Tinjauan Yuridis Atas Pencemaran di Laut Timor Berdasarkan Hukum Internasional

TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh: NDARU ADJI TANDAYUNG NIM. E0008195 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

commit to user commit to user

commit to user commit to user

commit to user commit to user

commit to user

ABSTRAK

Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM

INTERNASIONAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah di temukannya jawaban sementara atas identifikasi pengaturan hukum internasional dan hukum nasional atas pencemaran minyak di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Thailand - Australia) dan negara yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis data yang menggunakan metode penalaran deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia yang berlaku sudah cukup untuk mengatur pencemaran minyak di lingkungan laut. Negara yang bertanggung jawab dalam kasus meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia adalah Australia. Alasannya adalah Australia yang memberi ijin PT TEP Australasia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak di wilayah perairannya harus mengawasi dan bertanggung jawab atas meledaknya ladang minyak Montara karena dampak yang ditimbulkan serta penggunaan dispertan berbahaya dalam menanggulangi pencemaran minyak di lautan berdasarkan ketentuan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 yang tercantum dalam Pasal 235 yang didukung oleh ketentuan Pasal 60 ayat (4) dan (5), Pasal 79 ayat (3), Pasal 81, Pasal 139, Pasal 153 dan Pasal 195. Saran dari penelitian ini adalah perlu ada mekanisme dan pengaturan internasional yang lebih komprehensif lagi karena pengaturan ganti rugi pencemaran minyak di laut yang disebabkan oleh anjungan minyak lepas pantai belum diatur dalam hukum internasional.

Kata kunci: Pencemaran Laut, Minyak Mentah, United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Kata kunci: Pencemaran Laut, Minyak Mentah, United Nation Convention on The Law of The Sea 1982

commit to user

ABSTRACT

Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. LEGAL REVIEW OF POLLUTION IN TIMOR SEA UNDER INTERNATIONAL LAW. Faculty of Law Sebelas Maret University.

The aims of this research are found the temporary answer of the regulation on international law and national law of Indonesia; and also state responsibility of marine pollution in Timor Sea.

It is a normative research, using secondary data consist of primary, secondary, and tertiary legal materials. The technique of collecting data is library research. The technique of data analyzes is deductive method.

The conclusion of this research are the regulation of international law and domestic law in Indonesia is sufficient to regulate oil pollution in the marine environment. The state which has the responsibility of the marine pollution in Timor Sea is Australia. It is becaused Australia gives permission PT TEP Australasia to explore and exploit oil in its territorial waters shall supervise and

be responsible for the explosion of Montara oil field because of its impact and use of hazardous dispertan in preventing oil pollution in the oceans under the provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 listed in Article 235 which is supported by the provisions of Article 60 Paragraph (1) and (5), Article 79, Article 81, Article 139, Article 153 and Article 195. And there needs to be mechanisms and a more comprehensive international arrangement again in regulating the compensation of oil pollution at sea caused by offshore oil platforms.

Keywords : pollution in the marine, crude oil, United Nations Convention on the

Law of the Sea 1982

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

MOTTO

Man Jadda Wajada. (Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil)

Nil sine magno labore vita dedit mortalibus (Tanpa kerja keras, kehidupan tak memberikan apapun kepada manusia)

“Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhan lah yang berkehendak”

Nosce te ipsum (Kenalilah dirimu sendiri)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi segala berkat kenikmatan dan karunia-Nya, serta selalu memperlancar segala proses yang harus saya

tempuh dalam pembuatan skripsi ini. Ayah dan Ibu yang saya cintai dan sayangi terima kasih doa, bimbingan, , kasih sayang, dan dukungannya. Adik-adikku yang selalu memberikan semangat dan keceriaan kepadaku. Sahabat-sahabat dan seluruh teman-teman almamater saya Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulisan hukum (skripsi) yang

berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR

BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL ” ini dapat terselesaikan dengan baik, lancar dan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Penulis dengan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis.

3. Bapak Handojo Leksono, S.H. selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat membantu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Emmy Latifah, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih saya ucapkan atas semua ilmu dan kenangan yang telah dibagi.

6. Ayah dan Ibu saya, yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan, support, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap waktu. Inilah salah satu bentuk baktiku.

7. Kedua adik terkasih Diwan Adji Radityo dan Destio Adji Wiratama yang selalu mendukung, memberikan semangat dan keceriaannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun mengenai penelitian ini sangat penulis harapkan demi pengembangan ilmu lebih lanjut. Terima kasih.

Surakarta, 4 Juni 2012 Penulis

Ndaru Adji Tandayung

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..………………………. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.................................................

HALAMAN PERNYATAAN………………………………………….. ABSTRAK……………………………………………………………… ABSTRACT…………………………………………………………….. HALAMAN MOTTO............................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................... KATA PENGANTAR……………………………………….................. DAFTAR ISI……………………………………………………………. DAFTAR TABEL DAN GAMBAR……….......………………....…… BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………

A. Latar Belakang………..……………………………………..

B. Rumusan Masalah…………………………………………...

C. Tujuan Penelitian……………………………………………

D. Manfaat Penelitian…………………………………………..

E. Metode Penelitian…………………………………………...

F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….

A. Kerangka Teori………..……………………………………..

1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional………....

2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara……....

3. Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional……….......

4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional…..

5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut………………....

B. Kerangka Pemikiran..............................................................

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………...

A. Hasil Penelitian……………………………………...…......

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor..... Timor…………………………………………………...

viii ix xi

xiii

commit to user

a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional……..

b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional………….

2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor ………….........

B. Pembahasan Penelitian…………………………………...

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor...

2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor ……………….

BAB IV. PENUTUP ………………………………………………..….

A. Kesimpulan…………………………………………….......

B. Saran……………………………………………….....……

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………….....……...

34

42

53

60

60

67

77

77

78

79

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

......

Tabel 1 .................................................................................................. Gambar 1 ......................... ...……………………………………..............

33

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam aktivitas hidup manusia. Hal tersebut harus dilakukan secara tepat guna baik cara mengeksplorasinya dan cara melestarikannya agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Aktivitas pemanfaatan sumber daya alam tersebut tentu saja semakin maju dan modern, namun dengan kemajuan teknologi yang digunakan untuk mengeksplorasi sumber daya alam tersebut tidak ada yang bisa menjamin ada atau tidaknya kerusakan lingkungan. Kenyataannya bila kerusakan lingkungan yang timbul akibat aktivitas eksplorasi sumber daya alam oleh manusia ini tentu saja menjadi tanggung jawab manusia untuk segera mengatasinya.

Kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh dua faktor yakni yang pertama kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam misalnya letusan gunung berapi, gempa bumi, angin topan, erosi dan sebagaianya. Faktor yang kedua yakni kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia misalnya penebangan hutan secara liar baik untuk pembangunan kawasan industri atau pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, pembuangan sampah sembarangan, perburuan liar, penggunaan dispertan berbahaya yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya. Akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia sangat merugikan, misalnya terjadi pencemaran akibat proses eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Terkait hal tersebut untuk mencegah, menanggulangi serta mengatasi pencemaran lingkungan tersebut diperlukan mekanisme khusus yang berupa hukum berbentuk undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup. Permasalahan pencemaran lingkungan ini harus mendapat perhatian yang cukup dan penanganan yang serius dikarenakan lingkungan hidup sebagai tempat hidup manusia dan mahluk hidup lainya perlu dijamin kelestariannya guna menjamin kehidupan semua mahluk hidup di masa depan sehingga dengan adanya kerusakan lingkungan berarti ada ancaman bagi kelangsungan hidup manusia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pada tahun 1972 untuk pertama kalinya diadakan konferensi tentang lingkungan hidup yang dikenal dengan Konferensi Stockholm. Konferensi ini merupakan titik balik dalam perkembangan politik lingkungan hidup internasional. Konferensi tersebut dikatakan sebagai titik balik didasari karena didalamnya termuat 26 prinsip dasar untuk mewujudkan upaya adanya pengaturan lingkungan hidup yang lebih komprehensif baik di darat, di laut maupun di udara, termasuk adanya konsep hanya ada satu bumi (only one earth) dalam artian bahwa dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin banyak dan kompleks kebutuhannya ini diperlukan suatu kesadaran akan pentingnya pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan hidup yang bijaksana secara menyeluruh bagi keberlangsungan hidup manusia yang ada di bumi untuk masa yang akan datang.

Berbagai permasalahan pencemaran terhadap lingkungan terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini, dikarenakan semakin meningkatnya pola aktivitas penggunaan dan pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di lautan. Pola aktivitas tersebut bisa memberikan dampak berupa pelepasan zat-zat beracun dan berbahaya, pembuangan kotoran dan sampah, kegiatan kapal, penggunaan instalasi dan peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dari dasar laut dan tanah yang dibawahnya serta instalasi dan peralatan lainnya yang dioperasikan di lingkungan laut. Pencemaran lingkungan yang terjadi di Laut Timor salah satunya.

Pencemaran minyak di Laut Timor ini terjadi pada tanggal 21 Agustus 2009 akibat meledaknya ladang minyak Montara. Ladang minyak milik The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia yang merupakan operator kilang minyak dari Thailand yang berlokasi di Montara Well Head Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Akibat dari ledakan tersebut berakibat pada kebocoran pipa pada ujung sumur di kedalaman 3,6 kilometer sehingga minyak dan gas berhamburan keluar mencemari laut. Ledakan sumur minyak Montara Pencemaran minyak di Laut Timor ini terjadi pada tanggal 21 Agustus 2009 akibat meledaknya ladang minyak Montara. Ladang minyak milik The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia yang merupakan operator kilang minyak dari Thailand yang berlokasi di Montara Well Head Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Akibat dari ledakan tersebut berakibat pada kebocoran pipa pada ujung sumur di kedalaman 3,6 kilometer sehingga minyak dan gas berhamburan keluar mencemari laut. Ledakan sumur minyak Montara

commit to user

tersebut menumpahkan sekitar 400 barrel liter minyak mentah bercampur gas, kondensat dan zat timah hitam serta zat-zat kimia lainnya per hari ke perairan Laut Timor dan dalam realitasnya telah menghancurkan kawasan seluas 16.420 kilo meter persegi. Kerusakan lingkungan akibat pencemaran yang ditimbulkan tersebut bisa dilihat dari sisi biofisik seperti terganggunya keseimbangan ekologi laut dengan adanya zat-zat pencemar (pollutant) yang dapat meracuni kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan laut yang terkena langsung zat-zat pencemar tersebut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 178). Dampak psikologis dan sosial ekonomi yang dialami masyarakat terutama nelayan yang tinggal di sekitar pesisir Pulau Timor dan Pulau Rote pun terpukul. Hasil tangkapan ikan mereka turun drastis dan banyak diantara mereka tidak bisa lagi melaut karena lahan garapan di laut mereka tercemar berat. Hal paling berbahaya dan sangat dikhawatirkan adalah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat yang mendiami Timor Barat dan kepulauan sekitarnya bila mengkonsumsi ikan yang tercemar. Pada tanggal 30 Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah telah memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yg berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Australia. Selang sekitar 1 bulan kemudian tepatnya pada tanggal 3 November 2009, kebocoran minyak tersebut berhasil ditutup, namun minyak mentah dan gas yang keluar telah mencemari kawasan di zona maritim seperti di laut territorial, kawasan ZEEI, dan di wilayah laut landas kontinen Indonesia.

Dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak Montara oleh PT TEP Australasia di Laut timor tersebut sangat besar dan merugikan Negara Indonesia. Berdasarkan pengamatan Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut pada bulan Mei 2010 ditemukan data sebagai berikut.

1. Bahwa kadar total senyawa PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) air laut berkisar antara 54,6 - 213.7 µg/l, dimana sudah menunjukkan nilai di atas ambang batas baku mutu perairan. PAH, yang merupakan komponen minyak mentah sangat beracun, yang PAH bisa memberi dampak kronik yang menahun, hingga dapat menyebabkan kanker (karsinogenik).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Efek PAH terhadap ikan, secara langsung PAH dapat langsung mematikan insang atau paru-paru tersumbat sehingga ikan muda lebih mudah terpapar. Pada kondisi kronis bisa terjadi iritasi kulit dan mata. PAH juga menyebabkan kerusakan saluran pernafasan, hati, ginjal dan system reproduksi, serta kualitas hidup dan generasi berikutnya.

3. PAH pada konsentrasi 10 - 210 ppm dapat menyebabkan bio-akumulasi dan perubahan perilaku, sementara pada konsentrasi >1000 ppm dapat menyebabkan kematian biota laut. Karena PAH bersifat bioakumulasi maka patut diwaspadai apabila PAH ini terakumulasi di tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan.

4. Dampak sosial, adalah mengakibatkan terancamnya 17.000 masyarakat pesisir Pulau Timor yang berada di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua. Bahkan, nelayan Kolbano di Timor Tengah Selatan tak dapat menangkap ikan di pantai selatan Pulau Timor. Usaha nelayan di wilayah perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara terancam gulung tikar akibat meledaknya ladang minyak Montara di dekat gugusan Pulau Pasir (ashmore reef) yang menjadi pusat pencarian ikan dan biota laut lain oleh nelayan tradisional.

5. Survei sosial ekonomi oleh Tim Nasional pada tanggal 15-20 Februari 2010 di pesisir Nusa Tenggara Timur meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kupang, Rote Ndao dan Sabu. Dari hasil survey menunjukan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dirasakan masyarakat.

6. Gas hydrocarbon dalam volume yang besar, mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan Laut Timor. Berbagai perubahan terjadi mengindikasikan telah terjadi gangguan lingkungan perairan sebagai habitat ikan, alga dan rumput laut. Jutaan ikan diduga bermigrasi akibat perubahan lingkungan sekitarnya, dan populasi rumput laut menurun sebagai dampak pencemaran.

Menurut data yang dihimpun dari Laporan Komisi Penyelidik Montara, dalam tindakan untuk menetralisir dampak pencemaran minyak montara, pihak Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menggunakan 7 (tujuh) zat dispertan seperti Slickgone NS, Slickgone LTSW, Tergo-R40, Shell VDC, Menurut data yang dihimpun dari Laporan Komisi Penyelidik Montara, dalam tindakan untuk menetralisir dampak pencemaran minyak montara, pihak Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menggunakan 7 (tujuh) zat dispertan seperti Slickgone NS, Slickgone LTSW, Tergo-R40, Shell VDC,

commit to user

Corexit EC9500, Corexit EC9527A dan Ardrox 6120 yang jumlah penggunaan sebagai berikut.

Tabel 1

Dispertan

Jumlah yang Digunakan

Slick gone LTSW

Shell VDC

Corexit EC9500

Slickgone NS

Corexit EC9527A

Sumber: West Timor Care Foundation Dari data diatas yang paling berdampak signifikan adalah penggunaan Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A yang dilarang di Inggris yang berlaku juga di negara-negara persemakmurannya. Studi ekstensif mengenai Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A dilakukan dan diperiksa oleh Marine Management Organization (MMO) di Inggris dan gagal uji tes shore rocky. Uji shore rocky merupakan standart yang menjamin bahwa dispersan tidak menyebabkan "perubahan ekologis yang signifikan merusak," terutama di sepanjang daerah garis

pantai

daerah

(http://www.marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/approval.htm diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.12WIB).

Dengan demikian, baik Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A telah dihapus dari daftar produk yang disetujui untuk digunakan dalam kondisi apapun di Negara Inggris sejak tanggal 21 Januari 1998. Australia yang notabene merupakan negara persemakmuran Inggris, melalui Maritim Australia Safety Authority (AMSA) lebih memilih untuk menggunakan dispertan dalam menetralisir pada dampak pencemaran termasuk penggunaan Corexit 9500 dan Corexit 9527 dalam kasus ledakan Montara. Menurut data West Timor Care Foundation pada kasus Exxon Valdez 1989 penggunaan Corexit dalam jumlah Dengan demikian, baik Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A telah dihapus dari daftar produk yang disetujui untuk digunakan dalam kondisi apapun di Negara Inggris sejak tanggal 21 Januari 1998. Australia yang notabene merupakan negara persemakmuran Inggris, melalui Maritim Australia Safety Authority (AMSA) lebih memilih untuk menggunakan dispertan dalam menetralisir pada dampak pencemaran termasuk penggunaan Corexit 9500 dan Corexit 9527 dalam kasus ledakan Montara. Menurut data West Timor Care Foundation pada kasus Exxon Valdez 1989 penggunaan Corexit dalam jumlah

commit to user

yang banyak ternyata diketahui berdampak luas terhadap kesehatan manusia seperti sakit pernapasan, gangguan saraf, hati, sistem ginjal dan darah.

Perkembangan terkini terkait upaya penyelesaian masalah ini masih dalam tahap perundingan, dalam rangka memastikan dan mendorong Pemerintah Australia sebagai pemberi ijin Blok West Atlas, untuk turut menekan PT TEP Australasia menjalankan tanggung jawabnya di Laut Timor. Upaya-upaya penyelesaian untuk mengatasi dampak yang diakibatkan telah dilakukan. Pemerintah Australia telah membentuk Komisi Penyelidikan Tumpahan Minyak Montara, suatu tim khusus untuk menyelediki kasus pencemaran laut ini. Atas permintaan Komisi ini, Leeders Consulting Australia melakukan uji analisis sampel minyak dan air dari Laut Timor di perairan Indonesia dan membuktikan bahwa kandungan minyak yang mencemari perairan Indonesia berasal dari ladang Montara.

Masalah seperti ini menjadi penting dikarenakan perbatasan suatu negara merupakan manifestasi utama kedaulatan suatu negara (sovereignty), termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, serta keamanan dan keutuhan wilayah. Kawasan Laut Timor disini memiliki nilai strategis bagi perekonomian Indonesia yang menyimpan kekayaan alam baik hayati dan kekayaan mineral. Kegunaan ekonomis lingkungan laut nusantara dapat dilihat dari peranan lingkungan laut sebagai tempat atau lokasi pelbagai kegiatan misalnya pelayaran, kegiatan di pelabuhan, pemasangan kabel, pipa laut dan tanki-tanki penyimpanan, tempat mengadakan penelitian ilmiah, pengembagan daerah pantai dan rekreasi dan tempat pembuangan sampah dan kotoran (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 175).

Ketentuan mengenai pencemaran lingkungan laut dalam United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) diatur di bagian XII tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban- kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut. Konvensi hukum laut 1982 tersebut meletakkan kewajiban kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut yang notabene Indonesia, Thailand dan Australia menjadi bagian dari negara Ketentuan mengenai pencemaran lingkungan laut dalam United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) diatur di bagian XII tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban- kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut. Konvensi hukum laut 1982 tersebut meletakkan kewajiban kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut yang notabene Indonesia, Thailand dan Australia menjadi bagian dari negara

commit to user

peserta yang turut serta dalam keanggotaaa UNCLOS 1982. Berdasarkan terminologi Hukum Internasional, peristiwa pencemaran Laut Timor dapat dikualifikasi sebagai suatu sengketa international public karena melibatkan kepentingan dua negara atau lebih yakni pihak Indonesia dan Australia. Kaitannya dengan kasus ini PT TEP Australasia perusahaan minyak asal Thailand yang memiliki ijin mengeksplorasi minyak dari Australia telah mencemari laut Indonesia atas meledaknya ladang minyak Montara, karena didalamnya terdapat permasalahan pelanggaran wilayah atau kedaulatan teritorial suatu negara dan kewajiban pemenuhan ganti rugi akibat tumpahnya minyak oleh anjungan lepas pantai tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan sejenis. Suhaidi dalam penelitiannya yang dimuat dalam Jurnal Equality (2005) mengkaji tentang kedaulatan negara pantai dalam menjaga kawasan laut seperti ketentuan dalam UNCLOS 1982 (Suhaidi, 2005:105-110). Thomas A. Mensah (2010) melakukan penelitian yang dimuat dalam Aegean Rev Law Sea mengkaji tentang kasus terbakar slops atau kargo yang sengaja dibuat untuk wadah minyak serta dapat dipindahkan milik Piraeus Ships Registry yang meledak dan menimbulkan pencemaran laut. Kasus tersebut mengaji apakah slops tersebut bisa dikategorikan sebagai kapal menurut ketentuan International Oil Pollution Compensation Fund 1992 dan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1992 sehingga bisa diajukan klaim ganti rugi (Thomas A Mensah, 2010:145-155). Hari M. Osofsky (2011) melakukan penelitian yang dimuat dalam Florida Law Review mengaji tentang perlu adanya upaya pembentukan lembaga dan pengembangan aturan khusus yang membantu negara dalam kasus pencemaran lingkungan laut dalam studi kasus Deepwater Horizon karena meledaknya anjungan minyak lepas pantai milik British Petroleum (Hari M. Osofsky, 2011:1077-1137).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai pencemaran lingkungan laut yang melewati lintas batas

negara melalui penelitian hukum yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS ATAS

PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL. ” PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL. ”

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah

1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional maupun Hukum Nasional terkait dengan pencemaran di Laut Timor ?

2. Negara manakah yang bertanggungjawab terhadap kejadian meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor yang melibatkan PT TEP Australasia (Thailand - Australia) tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk menemukan kesesuaian pengaturan Hukum Internasional dan Hukum Nasional terkait dengan pencemaran minyak di Laut Timor.

b. Untuk menemukan mekanisme pertanggung jawaban negara dan penyelesaian pencemaran laut yang melewati lintas batas negara.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri terutama di bidang ilmu hukum internasional, khususnya di ruang lingkup hukum laut internasional maupun hukum lingkungan internasional.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universias Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian ini ada dua, yakni baik secara teoritis maupun praktis yang meliputi :

1. Manfaat Teoritis Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum internasional pada 1. Manfaat Teoritis Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum internasional pada

commit to user

umumnya serta hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional pada khususnya.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada pihak- pihak terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas untuk menyusun perundang-undangan nasional yang komprehensif terkait dengan lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup yang bertugas untuk menerapkan amanat undang-undang dalam pengimplementasian program- program dan kebijakan terkait dengan lingkungan hidup, serta mampu memberikan manfaat bagi kalangan akademisi dalam upaya mempelajari serta memahami ilmu hukum khususnya hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder atau dengan kata lain metode doktrinal yang bersaranakan terutama logika deduksi untuk membangun sistem hukum positif. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analistis. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2010:10).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3. Pendekatan Penelitian Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Johny Ibrahim, 2006:32).

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer Penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer sebagai berikut.

1) Convention on the High Seas 1958

2) International Convention on Civil Liability for Oil Pollution

Damage 1969

3) International Convention on the Esta-bilishement of an International

Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971

4) Stockhlom Declaration 1972

5) United Nations Convention on Law Of The Sea (UNCLOS) 1982

6) Rio Declaration 1992

7) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

8) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

9) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut

11) Peraturan Presiden Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML)

b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1) Jurnal 1) Jurnal

commit to user

2) Dokumen

3) Pendapat ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang

diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.

5. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka (library research) yaitu dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan Perundang-Undangan, dokumen, jurnal tulisan-tulisan, cybermedia, serta kumpulan pendapat ahli yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.

6. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang didasarkan pada pengukuran dengan logika deduksi yakni dengan menghimpun atau mengkaji data secara umum kemudian ditarik lebih khusus terkait dengan objek penelitian sehingga data hasil penelitian berupa data deskriptif (Soerjono Soekanto, 2010:32).

7. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun susunannya adalah sebagai berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional

2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara

3. Tinjuan Mengenai Sengketa Internasional

4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan

Internasional

5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut

B. Kerangka Pemikiran

BAB III

: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

B. Pembahasan

BAB IV

: PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka Daftar Pustaka

commit to user

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tidak lepas dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional pada masa imperium Romawi yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi. Konsepsi yang pertama yaitu Res Communis , yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi kedua yaitu Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara (Dikdik Mohamad Sodik, 2011: 1-2).

Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya imperium Romawi diawali dengan munculnya klaim sejumlah negara atau kerajaan atas sebagaian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam atau laut tertutup (mare clausum). Menyikapi atas berbagai klaim tersebut Hugo Grotius mengajukan prinsip kebebasan laut (mare liberum ) dengan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas dilayari oleh siapapun. Perbedaan 2 (dua) prisip tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan penganut mare clausum dengan mare liberum dengan diakuinya pembagian laut ke dalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia. Perkembangan konsepsi mengenai hukum laut internasional semakin maju hal ini bisa dilihat dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial, Proklamasi Presiden AS Truman tahun 1945 tentang landas kontinen yang selanjutnya diatur dalam Konvensi IV Jenewa 1958, hingga pada puncaknya perundingan masalah kelautan adalah dengan adanya Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of The Sea ) pada tahun 1982 di Montego Bay, Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya imperium Romawi diawali dengan munculnya klaim sejumlah negara atau kerajaan atas sebagaian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam atau laut tertutup (mare clausum). Menyikapi atas berbagai klaim tersebut Hugo Grotius mengajukan prinsip kebebasan laut (mare liberum ) dengan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas dilayari oleh siapapun. Perbedaan 2 (dua) prisip tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan penganut mare clausum dengan mare liberum dengan diakuinya pembagian laut ke dalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia. Perkembangan konsepsi mengenai hukum laut internasional semakin maju hal ini bisa dilihat dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial, Proklamasi Presiden AS Truman tahun 1945 tentang landas kontinen yang selanjutnya diatur dalam Konvensi IV Jenewa 1958, hingga pada puncaknya perundingan masalah kelautan adalah dengan adanya Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of The Sea ) pada tahun 1982 di Montego Bay,

commit to user

Jamaika. Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomer 2750 (XXV) tanggal 17 Desember 1970. UNCLOS 1982 ini memuat 320 pasal, 9 buah lampiran serta beberapa resolusi pendukung dalam perkembangannya (Didik Mohamad Sodik, 2011 : 1-15).

Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction). Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, dibahas beberapa pembagian wilayah-wilayah laut, antara lain sebagai berikut.

a. Perairan Dalam (Internal Waters) Internal Waters merupakan perairan bagian sisi dalam dari garis pangkal. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut ini, sehingga kapal asing tidak boleh melintas kecuali dalam keadaan yang bersifat memaksa (Pasal 8 UNCLOS 1982). Garis Pangkal yang dimaksud adalah garis yang ditarik melingkar sejauh 12 mil pada pantai saat air laut surut yang dihitung dari pulau terluar. Ada tiga jenis garis pangkal, yakni :

1) Garis Pangkal Normal Garis pangkal yang ditarik pada pantai saat air laut surut mengikuti lekukan pantai.

2) Garis Pangkal Lurus Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai.

3) Garis Pangkal Kepulauan Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau atau karang kering terluar dari kepulauan suatu negara.

b. Laut Teritorial (Territorial Sea) Territorial Sea diatur dalam Pasal 2-32 UNCLOS 1982. Definisi laut territorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai b. Laut Teritorial (Territorial Sea) Territorial Sea diatur dalam Pasal 2-32 UNCLOS 1982. Definisi laut territorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai

commit to user

memiliki kedaulatan terbatas atas wilayah laut ini yang meliputi ruang udara diatas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya (rights of the coastal state over the territorial sea ). Kapal-kapal Negara lain pun memiliki hak lintas damai atau the right of innocent passage (Pasal 17-32 UNCLOS 1982) untuk dapat melintasi laut teritorial sebuah negara sebatas kapal tersebut dengan syarat :

1) Melintasi laut tanpa memasuki perairan dalam atau singgah di

pelabuhan.

2) Lintasan tersebut harus cepat dan tidak terputus, kecuali situasi

overmacht.

3) Lintasan tersebut harus damai dan tidak melakukan kejahatan, survei, pencemaran atau mengganggu sistem komunikasi di wilayah teritorial Negara pantai tersebut.

c. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) Perairan kepulauan berada pada sisi dalam garis pangkal untuk mengukur laut territorial, tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya pada pantai. Kedaulatan Negara pantai terbatas pada wilayah laut ini, sehingga negara lain dapat menikamati hak lintas damai dan hak lintas transit (Pasal 49 UNCLOS 1982).

d. Zona Tambahan (Contiguous Zone) Contiguous zone merupakan zona yang berbatasan dengan laut teritorial. Negara pantai atau kepulauan dapat melakukan pengawasan di zona ini untuk mencegah pelanggaran terhadap pajak, imigrasi dan kesehatan. Zona tambahan ini tidak boleh melebihi jarak 24 mil dari garis pangkal. Diatur dalam Pasal 33 UNCLOS 1982.

e. Selat (Straits) Straits atau selat diatur dalam Pasal 34-44 UNCLOS 1982. Wilayah ini sering dipergunakan untuk pelayaran internasional. Negara- negara yang berada di tepi selat juga mempunyai kedaulatan dan yurisdiksi penuh atasnya. Selat dapat dbagi menjadi 2 (dua) yakni : e. Selat (Straits) Straits atau selat diatur dalam Pasal 34-44 UNCLOS 1982. Wilayah ini sering dipergunakan untuk pelayaran internasional. Negara- negara yang berada di tepi selat juga mempunyai kedaulatan dan yurisdiksi penuh atasnya. Selat dapat dbagi menjadi 2 (dua) yakni :

commit to user

1) Selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan perairan yang termasuk dalam yurisdiksi nasional (laut teritorial) suatu negara.

2) Selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional yang menghubungkan suatu laut lepas atau ZEE dengan laut lepas atau ZEE lainnya.

f. Landas Kontinen (Continental Shelf) Landas Kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga berjarak 200 mil laut dari garis pangkal. Wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang banyak sehingga Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam didalamnya. Negara lain pun bisa mengeksploitasi dan mengeksplorasi wilayah tersebut setelah mendapat ijin dari negara pantai (Pasal 77 UNCLOS 1982).

g. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zones)

Zona ekonomi eklusif adalah daerah marit di luar tersambung dengan laut teritorial, yang luasnya tidak boleh melebihi 200 nautica miles dari garis pangkal yang di pakai untuk mengatur laut teritorial. Zona ekonomi eklusif berisi hak-hak negara pantai seperti riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian laut, serta pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan. ZEE diatur pada Pasal 55-75 UNCLOS 1982.

h. Laut Lepas (High Seas) Pengaturan laut lepas ada didalam Pasal 86-120 UNCLOS 1982. High seas merupakan bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman, laut territorial, zona ekonomi eksklusif suatu negara dan perairan kepulauan dalam suatu Negara kepulauan. Yurisdiksi suatu negara tidak berlaku pada wilyah ini karena hal ini merupakan perairan internasional. Laut lepas pada Pasal 2 konvensi Jenewa tahun 1958 h. Laut Lepas (High Seas) Pengaturan laut lepas ada didalam Pasal 86-120 UNCLOS 1982. High seas merupakan bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman, laut territorial, zona ekonomi eksklusif suatu negara dan perairan kepulauan dalam suatu Negara kepulauan. Yurisdiksi suatu negara tidak berlaku pada wilyah ini karena hal ini merupakan perairan internasional. Laut lepas pada Pasal 2 konvensi Jenewa tahun 1958

commit to user

menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua negara, tidak ada satu pun negara secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari padanya ke bawah kedaulatannya. Kebebasannya yaitu kebebasan berlayar menangkap ikan, kebebasan menempatkan kabel dan pipa bawah laut, serta kebebasan terbang di atas laut lepas. Dikenal juga kebebasan dan aturan-aturan kapal di laut bebas (interference with ships on the high seas ) yang meliputi stateless ship (kapal berbendera negaranya), hot persuit (pengejaran seketika), the right of approach (hak untuk mendekat), treaties (melakukan perjanjian), piracy (perompakan di laut), belligerent right (hak untuk negara yang sedang berperang dengan memperbolehkan melakukan perdagangan dengan kapal dagang musuh), self defense (pertahanan sendiri), dan action authorized by the united nations (sanksi atau tindakan dari Persatuan bangsa-bangsa.

2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara

Pertanggungjawaban negara memiliki dua pengertian yang pertama adalah pertanggungjawaban negara atas tindakan Negara yang melanggar kewajiban internasional yang telah dibebankannya. Kedua yakni pertanggungjawaban yang dimiliki negara atas pelanggaran terhadap orang asing (Jawahir Thontowi, 2006: 193). Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban (Andrey Sujatmoko, 2005: 29). Pertanggungjawaban oleh negara biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, menciderai perwakilan diplomatik negara lain atau memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan (Jawahir Thontowi, 2006: 194).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Subjek pertanggungjawaban dalam hukum internasional menempatkan negara sebagai subjek utama. Hal ini dikuatkan pada ketentuan Pasal 1 dari rancangan pasal-pasal mengenai tanggungjawab dalam hukum internasional oleh The Internasional Law Commission (ILC) yang menyatakan “setiap tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara bersangkutan ”. Subjek pertanggungjawaban berikutnya adalah individu. Hal ini ditandai ketika pembentukam peradilan internasional pasca Perang Dunia (PD) II. Peradilan ini didirikan di Tokyo dan Nuremberg dalam upaya memberi keadilan terhadap para korban kekejaman PD II yang ditujukan untuk meminta pertanggungjawaban individual. Tanggal 1 Juli 2002 ketika Statuta Roma mulai berlaku, maka pengakuan atas individu sebagai subjek yang dibebani tanggungjawab dalam hukum internasional bersifat sangat terbatas hanya dalam lapangan hukum pidana internasional dan hukum perang (Jawahir Thontowi, 2006: 195-196). Ada beberapa pembenaran atas adanya pelanggaran dalam rancangan pasal-pasal ILC dimasukan ke dalam BAB V bagian satu yakni sebagai berikut.

a. Persetujuan Persetujuan yang sah (valid consent) oleh negara terhadap tindakan negara lainnya yang bertentangan dengan yang seharusnya merupakan salah satu alasan pemaaf. Persetujuan ini bisa dilaksanakan asal tidak bertentangan dengan peremptory norms atau jus cogen.

b. Bela Diri Suatu negara diijinkan bertindak dalam cara yang bertentangan dengan kewajiban internasional yang diembannya dengan tujuan untuk membela diri sebagaimana yang dinyatakan dalam Piagam PBB yang berbunyi "nothing in this chapter precluded the wrongfulness of any act of a state which not in conformity with an obligation arising under peremptory norm general international law”.

c. Force Majeure Hukum Internasional mengenal alasan akibat dari keadaan yang berada diluar kemampuan. Pasal 23 (1) Draft ILC argumen ini hanya c. Force Majeure Hukum Internasional mengenal alasan akibat dari keadaan yang berada diluar kemampuan. Pasal 23 (1) Draft ILC argumen ini hanya

commit to user