Hakikat Anak Jalanan

3. Hakikat Anak Jalanan

Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah grassroots dengan status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas. Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004).

Pernyataan di atas didukung pula oleh pendapat Brick (2001) yang menyatakan bahwa anak jalanan pada intinya adalah anak yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Brick menambahkan bahwa situasi Pernyataan di atas didukung pula oleh pendapat Brick (2001) yang menyatakan bahwa anak jalanan pada intinya adalah anak yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Brick menambahkan bahwa situasi

Berdasarkan data di atas, ternyata jumlah anak jalanan meningkat drastis dibanding tahun 2002. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan dengan kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) pada tahun 2002 jumlah anak jalanan sebanyak 94.674 anak (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2009).

Menurut data Badan Pemberdayaan Masyarakat Perlindungan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP, PA dan KB) Kota Surakarta serta data-data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) jumlah anak jalanan di Surakarta tak kurang dari ratusan anak. DINSOSNAKERTRANS (Arum, 2010) mencatat jumlah anak jalanan di Kota Surakarta mencapai 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Solo. Jumlah ini diperkirakan semakin meningkat pada beberapa tahun mendatang. Memang tak sedikit pihak yang melakukan upaya penanganan. Namun sebagian besar upaya tersebut masih bersifat sementara dan insidental.

Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Lain halnya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikemukakan bahwa anak adalah Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Lain halnya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikemukakan bahwa anak adalah

Bermula dan besar di jalanan, anak pun berinteraksi dengan kehidupan jalanan. Pada umumnya, berdasarkan observasi di beberapa titik di Kota Surakarta, anak jalanan ditemani oleh orangtuanya. Pada akhirnya, apabila

diawasi saja. Dari pernyataan tersebut, maka anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang berumur 4-18 tahun dan memiliki kehidupan di jalanan. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat Kuswarno (2009) bahwa kata jalan menunjukkan suatu tempat di mana mereka melakukan aktivitas kehidupannya dan maknanya positif atau paling tidak netral.

Tidak sedikit dari anak jalanan bermula dengan perilaku sederhana dan melakukan tindakan-tindakan yang salah, akhirnya menyebar ke dalam segi kehidupan yang lainnya. Mereka yang pada mulanya hanya untuk mencari uang, kemudian menjadi satu mata pencaharian dan hobi bersama. Hal ini didukung dari penelitian Saludung (2002) yang menyatakan bahwa mereka yang mengemis karena sangat miskin, dorongan kebutuhan makanan dan biaya pendidikan anak.

Dari penelitian Saludung, tergambar betapa mirisnya kehidupan anak jalanan, karena keadaan ekonomi keluarga yang mendorong mereka untuk berada di jalan sedangkan itu bukan pilihan bagi mereka. Dengan keberadaan mereka di jalan, anak jalanan akan semakin rusak oleh lingkungan yang membentuk mereka, hal ini seperti yang dinyatakan Izzudin (dalam Kuswarno 2009:98) berhasil mengungkap bahwa anak jalanan jarang tersentuh oleh peraturan, baik peraturan adat maupun peraturan pemerintah.

Semakin anak jalanan tidak tersentuh peraturan adat maupun pemerintah, mereka akan semakin liar dan mengisolasi diri sendiri.

mengungkapkan karakteristik dari anak jalanan di alun-alun Kota Bandung. Salah satunya adalah, anak jalanan itu tidak tersentuh oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga menjadikan mereka subetnis dalam masyarakat. Oleh karena itu mereka dapat mengembangkan bahasa mereka sendiri.

Pengertian children on the street (anak jalanan) menurut Suhartanto (2008) adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini. Pertama, anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari. Kedua, anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya.

Anak yang seharusnya bermain dan bersekolah terpaksa harus bekerja keras mencari rizki di jalanan. Kehidupan jalanan yang begitu keras berpengaruh besar terhadap perkembangan mereka baik perkembangan fisik, sosial maupun psikologis. Kehidupan mereka begitu rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual, bahkan kriminalitas. Selaras dengan pernyataan Kuswarno (2009), kehidupan di jalanan adalah kehidupan yang keras dan mereka bertahan dan berjuang pada kehidupan kerasnya jalanan, bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa tindakan mereka adalah bekerja.

Suhartanto (2008) menjelaskan bahwa anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal. Komunikasi intrabudaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan oleh mereka. Aspek-aspek tersebut tampak manakala berkomunikasi dengan sesama, Suhartanto (2008) menjelaskan bahwa anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal. Komunikasi intrabudaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan oleh mereka. Aspek-aspek tersebut tampak manakala berkomunikasi dengan sesama,

berbeda dalam hal ini salah satunya adalah penggunaan bahasa. Perilaku komunikasi dengan bahasa tertentu biasanya berlangsung secara dominan dengan orang-orang di sekitar jalanan. Keadaan yang memaksa anak jalanan untuk tidak bersekolah sangatlah merugikan bagi anak jalanan itu sendiri. Selain gagal bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih luas, anak jalanan terkesan mengisolasi diri dan lebih tertutup.

Dengan keadaan yang memaksa mereka melakukan penyendirian, maka tidak ayal mereka akan memiliki kecirian dan kekhasan yang tidak ditemui pada motorik halus anak seusianya. Termasuk dalam kekhasan yang dimiliki anak jalanan adalah bahasa yang dimilikinya. Bahasa anak jalanan terkesan keras dan kasar jika diperdengarkan pada anak umumnya. Hal ini merupakan sebuah sistem yang sudah terintegrasi pada diri anak jalanan.

Anak jalanan tidak mengerti bahasa maupun intonasinya yang kasar atau lebih tepatnya dianggap kasar oleh masyarakat. Menurut kelompok ini, bahasa yang mereka gunakan sah-sah saja dan tidak ada kekeliruan di dalamnya. Selain penggunaan bahasa dan intonasi berbeda, mereka kadang kala menciptkan bahasa sendiri. Bahasa yang hanya dimengerti oleh satu komunitas saja dan diterapkan pula oleh satu komunitas tersebut, inilah yang disebut register.

Dari hasil kajian pustaka berkenaan dengan anak jalanan, dapat dikomparasikan dengan penelitian Kuswarno (2009) yang menyebutkan bahwa sisi perilaku pengemis dapa diketahui bahwa pada umumnya komunikasi sesama pengemis menggunakan bahasa daerah asal mereka. Kuswarno menambahkan dalam hasil kajian temuannya, ketika anak jalanan berada di

tempat tinggal mereka, hampir semua hidup berkelompok dengan sesama mereka yang berasal dari daerahnya.

Ngobrol dengan sesama

Frekuensi

Persentase

a. Bahasa Indonesia

b. Bahasa Daerah masing-masing

16 66,7 Jumlah

Dari tabel di atas, terlihat dari 24 anak jalanan, menggunakan bahasa daerah disaat mengobrol dengan sesama anak jalanan. Frekuensi dari penggunaan bahasa Jawa adalah dua per tiga dari keseluruhan sampel penelitian.

Tabel 2. Contoh bahasa yang digunakan pengemis dengan calon dermawan (Kuswarno, 2009)

Frekuensi

Persentase

a. Bahasa Indonesia

b. Bahasa Daerah masing-masing

c. 2 8,3 Jumlah

Dari kedua tabel di atas, terlihat perbedaan penggunaan bahasa oleh anak jalanan. Ketika anak jalanan berada dalam komunitasnya, mereka lebih nyaman menggunakan bahasa daerah, karena dengan penggunaan bahasa daerah, calon dermawan belum pasti memahami percakapan tersebut. Sedangkan, untuk mendapatkan perhatian dari calon dermawannya, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa tersebut dianggap lebih universal. Dengan begitu, terlihat jelas fungsi bahasa telah dipahami sebagai tujuan dan penggunaannya oleh anak jalanan. Semakin terlihat, bahwa anak jalanan merupakan anggota masyarakat bahasa yang penting untuk diteliti.

Register merupakan bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang yang bahasanya memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan dan kekhasan itu terlihat pada penggunaan kosakata, kalimat pada situasi, dan kondisi mereka. Setiap kelompok atau komunitas memiliki register sendiri seperti pada anak jalanan dan tentunya penggunaan register tersebut juga memiliki tujuan atau maksud tertentu. Register yang nampak di komunitas anak jalanan di Kota Surakarta akan dipetakan melalui penelitian ini. Setiap register yang muncul akan didata dan dianalisis.

Berdasarkan pada kerangka berpikir yang dirancang, menunjukkan bahwa setiap register yang muncul dalam pergaulan anak jalanan sangat beragam dan di antaranya karena kedekatan antaranak jalanan dalam komunitas. Kemungkinan munculnya register dalam komunitas anak jalanan sebagai masyarakat bahasa adalah kesamaan dan frekuensi kesibukan bersama. Dengan frekuensi yang tinggi, maka register yang diciptakan akan semakin kuat sehingga bahasa tersebut hanya dimengerti komunitas itu saja. Dengan pola yang demikian nantinya akan dibuat analisis hasil penelitian tetang register yang dipakai oleh anak jalanan di Kota Surakarta.

Setiap bahasa yang ada dalam anak jalanan perlu untuk dianalisis, karena nyatanya register yang ada dalam pergaulan mereka memiliki kandungan makna yang berbeda dengan penggunaan keseharian masyarakat pada umumnya. Analisis data penggunaan register anak jalanan menggunakan teori speaking milik Hymes (dalam Bell, 1976:79).

Penemuan yang ada dalam penelitian ini tidak berhenti pada analisis speaking saja, namun akan ada pembahasan pada dua rumusan masalah yang dipaparkan sebelumnya. Pertama membahas mengenai karakteristik bahasa register anak jalanan Kota Surakarta. Pada pembahasan ini, akan ditemukan beberapa karakteristik yang sama dari setiap fenomena munculnya register anak jalanan di Kota Surakarta.

Di samping mengutarakan adanya karakteristik dari setiap bahasa yang muncul dari kalangan anak jalanan, juga perlu ditemukan adanya tujuan dari Di samping mengutarakan adanya karakteristik dari setiap bahasa yang muncul dari kalangan anak jalanan, juga perlu ditemukan adanya tujuan dari

Dalam penelitian ini akan dipaparkan pula makna yang tersirat dari register tersebut serta penutur, keadaan situasi dan kondisi percakapan, serta berbagai aspek lain. Lebih jelasnya, alur/kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Karakteristik bahasa register anak jalanan Kota Surakarta

Tujuan penggunaan bahasa

register pada anak jalanan