Deskripsi Register Anak Jalanan di Kota Surakarta

1. Deskripsi Register Anak Jalanan di Kota Surakarta

Analisis makna dilakukan untuk mengetahui makna kata atau kalimat sesuai dengan konteksnya. Analisis pada peristiwa tutur anak jalanan di Kota Surakarta didasarkan pada (a) setting and scene (keadaan), (b) participants (pihak yang terlibat dalam pertuturan), (c) ends (maksud dan tujuan pertuturan), (d) act (nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan), (e) key (bentuk ujaran dan isi ujaran), (f) instrumentalities (pada jalur yang dipakai), (g) norms (norma atau aturan dalam berinteraksi), dan (h) genres (jenis bentuk penyampaian).

a. Kata klimis

berantakan

Kata klimis arti sesuai dengan kamus adalah rapi dan mengilap, sedangkan dalam register kata klimis memiliki arti antonimnya yakni Kata klimis arti sesuai dengan kamus adalah rapi dan mengilap, sedangkan dalam register kata klimis memiliki arti antonimnya yakni

Peristiwa tutur ini terjadi pada Sabtu, 27 Oktober 2012; pukul 20.00 WIB, tugu traffic-light Panggung dekat Asia Motor, Jebres, Surakarta. Keadaan sekitar sangat ramai oleh anak jalanan yang sedang bermain gitar dan bernyanyi. Beberapa mobil berlalu-lalang, dan keadaan jalan sangat ramai kendaraan. Ketika anak jalanan saling mengejek, anak jalanan 1 tertawa terbahak-bahak. Dalam peristiwa tersebut terdapat empat anak jalanan yang masing-masing terlihat memiliki jenjang usia yang berbeda- beda.

Empat anak jalanan tersebut antara lain anak jalanan 1 dan 4 dengan usia ± 10 tahun; anak jalanan 2 dan 3 berusia ± 7 tahun. Partisipan pada peristiwa tutur ini adalah dua anak jalanan aktif sebagai pembicara aktif, dan dua anak jalanan sebagai partisipan pasif. Dua anak sebagai partisipan pasif hanya tertawa terbahak-bahak. Dengan adanya dua partisipan pasif, membuktikan bahwa dua anak jalanan tersebut paham dengan komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Register yang ada di dalamnya merupakan bukti, bahwa antaranak jalanan ada saling kesepahaman makna bahasa yang diutarakan satu dengan yang lainnya.

Anak jalanan 1 : Arep mblayang nangdi kowe Le? Mau pergi kemana kamu?

Anak jalanan 2

: Ngapa! melainkan penegasan)

Anak jalanan 1 :Arep mblayang nangdi kowe ki? Nganti ujudmu Klimis 1 , kaya bar disetlika wae! Mau pergi kemana kamu? Sampai-sampai kelihatan rapi banget, seperti habis disetlika saja

(Anak jalanan 1 bermaksud untuk menyindir penampilan anak jalanan 2 yang kusut dan tidak rapi)

Anak jalanan 2

diancuk! Ki arep ngalor kono golek

pangan! Titip po? Who mau ke warung makan, cari makanan! Mau titip?

Anak jalanan 1 : Ra duwe det aku. Tidak punya uang aku! Anak jalanan 2

: Oke, aku dhisik ya!

aku duluan ya

tidak berpengaruh pada ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan. Anak jalanan tidak mengenal adanya gradasi diksi dengan siapa mereka berbicara dan tidak ada perilaku yang berbeda ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Setelah diamati lebih lanjut, dan ditanyakan pada ibu salah satu anak jalanan, ternyata anak jalanan sejak kecil tidak diajarkan cara bertutur dengan orang yang lebih tua, bagaimana mengaplikasikan undha-usuk basa dengan lawan tutur. Dari konteks di atas, dapat ditarik simpulan berkenaan dengan tujuan percakapan dengan penggunaan register klimis adalah untuk menunjukkan muka yang rapi seperti baju. Klimis dalam bahasa jawa berarti alus sarta gilap , atau halus dan mengkilap .

Penggunaan register dalam konteks di atas, menyatakan bahwa orang tersebut berpenampilan menarik. Tujuan penggunaan kata klimis untuk mengejek anak jalanan 2, bahwa anak jalanan 2 berpenampilan sangat kucel dan tidak rapi. Dengan demikian topik pembicaraan dalam konteks ini adalah penampilan seorang anak jalanan yang kumal dan kurang terawatt yang akan pergi ke suatu tempat. Anak jalanan tersebut berbicara tentang penampilan yang seharusnya bisa lebih rapi. Anak jalanan 1 mengejek dan menertawakan anak jalanan 2.

Setelah dilakukan perbandingan makna kata klimis pada anak jalanan dengan komunitas di luar itu, terjadi pergeseran makna. Kata klimis dalam penelitian ini berarti berantakan, sedangkan bagi mahasiswa UNS, kata klimis digunakan untuk barang-barang seperti rambut, baju, atau sepatu. Barang-barang yang klimis tersebut berarti barang-barang tersebut berada dalam kondisi yang baik, rapi, dan indah. Sedangkan klimis pada anak anak jalanan berarti berantakan, tidak rapi, dan tidak sedap dipandang mata.

Bertumpu dari hasil analisis di atas, ternyata anak jalanan pun juga menggunakan perlawanan makna untuk mengejek dan mengingatkan seseorang. Secara tidak langsung, anak jalanan dalam percakapan ini menggunakan gaya bahasa sindiran, atau sering disebut majas ironi. Dalam Bertumpu dari hasil analisis di atas, ternyata anak jalanan pun juga menggunakan perlawanan makna untuk mengejek dan mengingatkan seseorang. Secara tidak langsung, anak jalanan dalam percakapan ini menggunakan gaya bahasa sindiran, atau sering disebut majas ironi. Dalam

Nada bicara pada anak jalanan 1 ketika menyebutkan penampilan anak jalanan 2 dengan nada mengejek. Sambil tertawa terbahak-bahak dan melirik anak jalanan 2. Nada bicara anak jalanan 2 ketika menanggapi anak jalanan 1 dengan nada memelas dan sedikit marah bercanda. Tapi dari pembicaran tidak ada kesan marah dan nilai rasa kasar. Keduanya terkesan berada di ragam akrab dan intim dalam bertutur, jadi benar-benar mengurangi esensi rasa marahnya.

Peristiwa tutur yang terjadi pada anak jalanan tersebut terkesan ragam santai dan akrab. Seakan satu dengan yang lain saling bersahabat dekat. Percakapan tersebut terjadi di tugu traffic-light di perempatan Panggung, dan percakapan terjadi secara langsung antara pembicara ssatu dengan yang lain. Percakapan tersebut tanpa menggunakan media tulis ataupun media yang lainnya. Meskipun anak jalanan berada di pinggir traffic light , di antara mereka seakan-akan tidak bising dengan lalu lalang mobil dan motor di sekitar mereka.

Dengan lokasi di pinggir jalan utama, tentunya partisipan percakapan tersebut adalah semuanya anak jalanan. Tidak ada partisipan dari luar anak jalanan. Oleh karena itu, peristiwa tutur tersebut tidak menggunakan norma ataupun aturan percakapan baik secara normatif maupun secara peradaban. Antara satu anak jalanan dengan yang lain, berbicara dengan apa adanya tanpa beban dan aturan yang membakukan percakapan. Ketika salah satu anak jalanan mengucapkan kata diancuk sebagai bentuk umpatan, tidak ada anak jalanan lain yang mengingatkan

Anak jalanan 1

: Arep mblayang nangdi kowe Le? Mau pergi kemana kamu?

(nada bertanya dengan mimik garang)?

memiliki aturan norma yang merangkulnya. Hal tersebut membuktikan bahwa komunikasi anak jalanan berjalan dengan santai dan akrab, tanpa ada aturan yang mengikat. Jenis bentuk penyampaian percakapan dengan narasi dan saling mengejek satu dengan yang lain, tanpa adanya kalimat yang memiliki ciri penyampaian seperti pantun, puisi, dan lainnya tidak ada.

Dari analisis di atas, maka kata klimis masuk ke dalam kriteria register. Selain itu setelah dilakukan komparasi penggunaan register klimis pada anak jalanan dan pada masyarakat secara umum yang diwakili oleh mahasiswa di Surakarta, ditemukan perbedaan makna. Klimis menurut sesama anak jalanan berarti berantakan dan tidak rapi, sedangkan menurut masyarakat secara umum berarti rapi dan enak dipandang mata.

b. Kata ngalor pergi ke warung makan Kata berikutnya yang ditemukan pada percakapan anak jalanan adalah kata ngalor. Ngalor dengan kata dasar lor yang artinya utara memiliki arti yang berbeda dalam register anak jalanan. Dalam konteks ini, ngalor memiliki arti pergi ke warung makan, dapat dilihat dari konteks di bawah ini. Sedangkan ngalor dalam percakapan umum masyarakat bahasa berarti pergi ke arah utara dari posisi awal.

Peristiwa tutur ini terjadi pada Sabtu, 27 Oktober 2012; pukul 20.00 WIB, tugu traffic-light Panggung dekat Asia Motor, Jebres, Surakarta. Keadaan sekitar sangat ramai oleh anak jalanan yang sedang bermain gitar dan bernyanyi. Beberapa mobil berlalu-lalang, dan keadaan jalan sangat

Anak jalanan 1:Arep mblayang nangdi kowe ki? Nganti ujudmu Klimis, kaya bar disetlika wae! Mau pergi kemana kamu? Sampai-sampai kelihatan rapi banget, seperti habis disetlika saja

Anak jalanan 2:

Ngalor kono golek

pangan! Titip po? Who ke warung makan, cari makanan! Kamu mau nitip?

Anak jalanan 1: Ra duwe det aku.

ak punya uang aku!

Anak jalanan 2 : Oke, aku dhisik ya!

aku duluan ya aku duluan ya

Seperti halnya pada register yang pertama, terdapat dua partisipan aktif dan dua partisipan pasif. Partisipan aktif yaitu anak jalanan 1 dan anak jalanan 2, sedangkan partisipan pasif dua anak jalanan 3, dan 4. Anak jalanan 1 dan 2 sebagai pemain utama yang saling berbincang satu dengan yang lain, sedangkan anak jalanan 3 sebagai pendukung, penyemangat dan tertawa sebagai partisipan pasif.

Dari empat partisipan di atas, setiap anak jalanan meski memiliki umur yang tidak sama ternyata juga tidak menerapkan undha usuk basa maupun mengubah ragam bahasanya. Anak jalanan dalam peristiwa tutur ini tidak menggunakan ragam bahasa khusus maupun menggunakan status sosial sebagai penggunaan ragam kebahasaannya. Namun, ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa santai atau intim dan bahasa Jawa yang dominan digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko. Tujuan dan maksud peristiwa tutur terutama pada percakapan ketika seorang anak jalanan pergi menjauh dan menggunakan kata (ngalor) adalah sebagai jawaban dari pertanyaan anak jalanan 1 kepada anak jalanan 2. Jadi tujuan penggunaan kata register ngalor sekadar bentuk jawaban pertanyaan.

Anak jalanan 1 bertanya pada anak jalanan 2, anak jalanan 2 hendak pergi ke mana ia. Kemudian anak jalanan 2 menjawab ngalor yang artinya menuju kiblat arah utara (lor) atau menuju ke arah utara. Sedangkan ketika diamati, anak jalanan itu pergi ke warung makan, seperti pada percakapan berikutnya anak jalanan 2 bertanya pada anak jalanan titip po ? ikut pesan sesuatu, yang menunjukkan kepergiannya ke warung makan. Ketika diamati, setelah anak itu pergi, ia pergi arah barat (menuju SMP Anak jalanan 1 bertanya pada anak jalanan 2, anak jalanan 2 hendak pergi ke mana ia. Kemudian anak jalanan 2 menjawab ngalor yang artinya menuju kiblat arah utara (lor) atau menuju ke arah utara. Sedangkan ketika diamati, anak jalanan itu pergi ke warung makan, seperti pada percakapan berikutnya anak jalanan 2 bertanya pada anak jalanan titip po ? ikut pesan sesuatu, yang menunjukkan kepergiannya ke warung makan. Ketika diamati, setelah anak itu pergi, ia pergi arah barat (menuju SMP

Penggunaan kata register ngalor juga ditriangulasikan pada anak- anak secara umum di Kota Surakarta. Ketika responden berjalan ke warung

arep ngalor koe

Tidak, saya

makna antara penggunaan kata ngalor untuk anak jalanan dan kata ngalor untuk anak SD yang berdomisili di Kota Surakarta.

Uraian di atas menunjukkan pergeseran makna ngalor. Menurut kajian register dalam penelitian ini, ngalor memiliki makna pergi ke warung makan. Meskipun secara harfiah ngalor berarti ke arah utara dan hal ini pun sudah dikomparasikan dengan anak pada umumnya. Secara umum, dapat ditarik simpulan bahwa makna ngalor terjadi pergeseran makna.

Pada peristiwa tutur anak jalanan, berkenaan dengan kata ngalor mereka menggunakan nada tanya (naik) seperti halnya pengguna bahasa pada umumnya. Anak jalanan (anak jalanan (2) tersenyum datar dan menanggapi dengan bertanya dan adanya keselarasan antara pertanyaan dan jawaban. Tidak ada nada tinggi yang serius yang disampaikan anak jalanan satu dengan yang lainnya. Cara menyampaikannya dengan datar dan rileks, dengan ragam santai. Jalur bahasa yang digunakan untuk bercakap satu dengan yang lainnya, ketika anak jalanan bercakap dengan anak jalanan lain, mereka berada di tugu traffic-light dengan jalur lisan.

peraga lain. Percakapan tersebut dalam bentuk tuturan lisan. Penggunaan bahasa Jawa pada konteks tuturan di atas adalah bahasa Jawa ngoko.

Termasuk kata register pada konteks ini termasuk dalam bahasa Jawa ngoko pula, yakni ngalor apabila bahasa yang lebih halus adalah ngaler (ler) yang memiliki sama arti yakni pergi ke arah utara. Dalam konteks di atas, percakapan anak jalanan sama sekali tidak ada penaikkan nada bicara. Meskipun dengan nada datar tanpa ada menaikkan nada tinggi, dalam tengah percakapan ternyata ada sisipan penggunaan istilah diancuk oleh anak jalanan 2. Meskipun begitu istilah/kata diancuk menunjukkan bahwa setiap anak jalanan tidak memiliki norma yang mengatur percakapannya. Setiap penyimak anak jalanan pun tidak ada itikad untuk membenarkan ataupun mengkritisi kesalahan norma berbahasa pada lawan bicaranya. Anak jalanan dalam konteks tuturan di atas tidak memiliki norma atau aturan yang membatasinya percakapannya.

Jenis percakapan tersebut adalah narasi dan menjelaskan atau menjawab pertanyaan dari apa yang telah diajukan oleh temannya. Anak jalanan satu dengan yang lain tidak ada tanda adanya jenis percakapan lainnya. pada percakapan ini masih terkesan datar dan tidak memiliki intonasi maupun ciri tertentu. Dengan demikian kata register ngalor dapat dikatagorikan sebagai register karena kepemilikan makna yang berbeda dengan makna pada kamus dan tujuan penggunaan kata tersebut agar tidak bersifat umum atau diketahui publik.

c. Kata ahai dengan makna sesuatu (versi Syahrini) Ahai merupakan sebuah ungkapan yang memiliki makna sempurna.

Seorang anak jalanan mengungkapkan betapa sempurnanya Dardi (nama anak jalanan) dan menggunakan kata ahai untuk mengungkapkan kegembiraannya tersebut. Kata ahai tidak terdapat dalam kamus, namun apabila disesuaikan dengan konteks yang ada, maka kata tersebut Seorang anak jalanan mengungkapkan betapa sempurnanya Dardi (nama anak jalanan) dan menggunakan kata ahai untuk mengungkapkan kegembiraannya tersebut. Kata ahai tidak terdapat dalam kamus, namun apabila disesuaikan dengan konteks yang ada, maka kata tersebut

Kondisi jalan utama ramai oleh kendaraan, beberapa anak jalanan sedang mengamen dan meminta-minta di jalanan, namun ada dua anak jalanan perempuan dan satu anak jalanan laki-laki yang sedang mengobrol di depan/teras Panggung Motor Yamaha, Jebres, Surakarta.

(1) Anak Jalanan Perempuan; (2) Anak Jalanan perempuan; (3) Anak Jalanan laki-laki. Ada tiga anak jalanan sedang bermain gitar saling bercakap-cakap, dua anak jalanan perempuan diantaranya sedang berbincang akrab. Anak jalanan pertama menyebutkan dia (sebagai kata

Anak jalanan 1

: ndhredheg aku mben ketemu dheke orangnya itu nggak nahan banget.. Berdebar aku kalau di dekatnya

Anak jalanan 2

: Kowe ijik ngesir manungsa kae ta? Opo ta apikke dheke ki? Kamu masih suka sama manusia yang satu itu? Apa sih bagusnya dia sampai kamu tergila-gila padanya

Anak jalanan 1

: dheke ki ahai 3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang, kurang opo ta Len! Dia itu sesuatu banget lho, tampan, pintar cari uang, sering traktir aku juga! Kurangnya apa sih?

Anak jalanan 2

ih ahai 3 Dardi noh Len! Pinter banget sisan! Halah, lebih sesuatu Dardi ku dong! Pintar sekali juga!

Anak jalanan 2

: halah, cangkemmu! halah, omonganmu itu lho : halah, cangkemmu! halah, omonganmu itu lho

Ketiga anak jalanan terlihat sangat akrab, selain itu ketiganya pula memiliki reverensi sama dalam pemaknaan tuturannya. Dengan pemaknaan yang sama itulah, tujuan dari peristiwa tutur tersebut adalah sebagai interaksi dua anak jalanaan ketika salah seorang mengucapkan ahai dalam konteks tersebut ternyata memiliki makna yang belum tentu dapat diketahui referensinya bila berdiri sendiri. Tujuan secara umum percakapan tersebut adalah interaksi anak jalanan 1 yang menceritakan pujaannya (Dardi) kepada anak jalanan 2, namun anak jalanan 2 tidak memerdulikannya dan terlihat mengejeknya. Namun tujuan dari peristiwa tutur itu tersampaikan.

Ketika kata ahai mencoba ditriangulasikan dengan masyarakat di luar anak jalanan, ada perbedaan makna dan kebutaan informasi. Perubahan penafsiran tersebut menilik pada kebingungan dan ketidakpahaman dari makna kata ahai. Karena ketika kata tersebut diungkapan dalam suatu

Koe ki ahai tenan kok bro seluruh responden dari kalangan mahasiswa menjawab dengan pertayaan ahai merupakan register, karena penggunaannya menimbulkan efek yang berbeda ketika diterapkan pada anak jalanan dan ketika diterapkan pada mahasiswa, sebagai anggota komunitas di luar anak jalanan.

Bentuk ujaran yang digunakan oleh anak jalanan 1 terlihat lebih ekspresif dan menggunakan kata-kata yang lugas, tanpa adanya sindirian. Sedangkan anak jalanan 2 terkesan mengejek dengan menjelek-jelekkan sosok Dardi, di depan anak jalanan 1, namun anak jalanan 1 tidak sakit hati, karena paham dengan sikap anak jalanan 2 yang hanya bercanda.

pihak yang sakit hati atau tidak terima. Dengan adanya pembicaraan mengenai Dardi dan ejekan-ejekan kecil mengenainya, maka konteks di atas ditarik simpulan topik pembicaraan tersebut adalah seorang lelaki yang dikagumi anak jalanan 1, namanya Dardi. Kedua anak jalanan tersebut menyampaikan positif dan negatifnya Dardi kemudian saling meledek. Penggunaan ragam pada peristiwa tutur diatas terdengar akrab dan santai. Tidak ada hentakan tanda marah, meskipun diantara mereka saling mengejek. Intonasi biasa saja, tidak ada intonasi tinggi, namun layaknya sahabat bersenda-gurau.

Dengan intonasi yang santai dan akrab, hal tersebut menunjukkan ketika anak jalanan 2 menyebutkan kejelekan dari Dardi, anak jalanan 1 mencubit anak jalanan 2 dan saling tertawa. Hal ini membuktikan bahwa kedua anak jalanan saling akrab dan tidak ada beban atau rasa marah, kecewa dan benci satu dengan lainnya. Namun pada ujaran cangkemmu

terdapat sedikit nada naik dan menghentak. Pada ujaran dheke ki ahai 3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang terdapat nada mendayu dan manja.

Peristiwa tutur ini terjadi di teras sebuah toko di perempatan jalan, meskipun perbincangan mereka dirasa cukup rahasisa, namun keduanya biasa saja, dan menggunakan jalur lisan dalam berkomunikasi satu dengan lainnya. Pada percakapan ini ditemukan register untuk kata ahai, kata ini meruapakan ekspresi yang memiliki perannya sebagai kata. Kata ini untuk menunjukkan betapa luar biasanya Dardi, lelaki yang diperbincangkan oleh anak jalanan 1. Register tersebut merupakan penggunaan bahasa untuk menunjukkan ungkapan yang menandakan sifat-sifat yang dimiliki oleh Dardi.

Dengan tuturan yang dipaparkan sesuai dengan konteks di atas, tidak ditemukan satu aturan atau norma tertentu. Oleh karena itu, dalam peristiwa tutur ini tidak adanya norma yang mengatur percakapan antara anak jalanan dan mengikat cara berinteraksi anak jalanan. Dibaca dari kata Dengan tuturan yang dipaparkan sesuai dengan konteks di atas, tidak ditemukan satu aturan atau norma tertentu. Oleh karena itu, dalam peristiwa tutur ini tidak adanya norma yang mengatur percakapan antara anak jalanan dan mengikat cara berinteraksi anak jalanan. Dibaca dari kata

Jenis bentuk penyampaian dengan cerita narasi, tanpa adanya ungkapan estetis. Bentuk ini didukung dengan medekripsikan seseorang, kemudian melanjutkan cerita satu ke cerita yang lain, ketika seorang perempuan menyukai seorang lelaki, kemudian teman yang lain menimpali bahwa Dardi lebih baik segalanya daripada orang yang dikagumi anak jalanan 1. Jenis cerita deskriptif juga merupakan serangkaian dengan cerita narasi dalam cuplikan konteks di atas.

Analisis data di atas membuktikan bahwa ahai merupakan bagian dari register anak jalanan. Selain bertumpu dari analisis speaking, juga berdasar pada komparasi yang telah dilakukan pada masyarakat umum di luar anak jalanan. Dari komparasi tersebut didapatkan simpulan yang menunjukkan bahwa munculnya makna baru dari kata ahai yang digunakan oleh anak jalanan, sedangkan kata tersebut tidak dipahami oleh masyarakat bahasa secara umum.

d. Kata suwak

bodoh

Suwak merupakan kata yang termasuk register anak jalanan dan digunakan dalam percakapan sesama komunitas. Kata ini memiliki perbedaan arti dengan kamus. Sesuai dengan kamus, suwak berarti sobek atau robek. Apabila disesuaikan dengan konteks di bawah ini, suwak berarti bodoh atau tidak berotak. Dalam konteks di bawah ini pula akan ditemui pergeseran makna dan munculnya makna baru dari kata tersebut. Hakikatnya, register tidak hanya memunculkan makna baru, namun juga perbedaan penerimaan kata tersebut oleh lawan tutur. Data tersebut dapat dilihat di kartu data di bawah ini.

Percakapan tersebut bertempat di Teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres, Surakarta pada sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama Panggung. Setting waktu, pada hari Minggu, 28 Oktober 2012; pukul 16.00 WIB. Anak jalanan dalam ragam santai, situasi tuturan tidak ada masalah yang terlihat. Kondisi sekitar teras Panggung Motor jalan utama masih ramai oleh kendaraan, beberapa anak jalanan lalu-lalang, di depan/teras Panggung Motor Yamaha, Jebres, Surakarta juga masih ada tiga anak jalanan dan masih berbicara hal yang sama.

(1) Anak Jalanan Perempuan; (2) Anak Jalanan perempuan; (3) Anak Jalanan laki-laki. Ada tiga anak jalanan sedang bercakap-cakap, dua anak jalanan perempuan, dan satu anak jalanan laki-laki. Terdapat dua anak jalanan perempuan yang memiliki usia hampir sama 11 tahun. Kedua anak jalanan tersebut menjadi partisipan aktif, sedangkan satu anak jalanan laki- laki menjadi partisipan pasif. Ada dua orang lagi yang terlibat dalam percakapan tersebut, yaitu seseorang yang dipanggil dia dan Dardi, dua laki-laki yang menjadi pujaan hati kedua anak jalanan itu.

Dalam konteks di atas, terdapat tujuan pemakaian kata suwak untuk mengungkapkan rasa gemas terhadap temannya karena masih mencintai/menyukai Dardi. Anak jalanan 2 merasa anak jalanan 1 selalu

Anak jalanan 1

: dheke ki ahai 3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang, kurang opo ta Len! Dia itu sesuatu banget lho, tampan, pintar cari uang, sering traktir aku juga! Kurangnya apa sih?

Anak jalanan 2

ahai 3 Dardi noh Len! Pinter banget sisan! Halah, lebih sesuatu Dardi ku dong! Pintar sekali juga!

Anak jalanan 1

: Promosi! Promosi! Dardi elek ngono we pamer!! Suwak 4 tenan kowe wi!

romosi! Promosi! Dardi jelek seperti itu aja sombong! Songong banget kamu ya

Anak jalanan 1

: Cinta itu nggak bisa berbohong Len! Yen hahahaha cinta itu nggak bisa bohong ya!

Sekali

tanggapan selanjutnya yang dijawab oleh anak jalanan 1 dengan pola interaksi yang sama.

Kata suwak masuk ke dalam register, karena kata tersebut mengalami perbedaan reseptif arti dan pemaknaan. Ketika diterapkan pada koe ki suwak tenan kok merasa tersinggung dengan ucapan tersebut. Sedangkan apabila diterapkan pada sesama anak jalanan kata tersebut tidak mengalami perubahan arti dan makna. Kata tersebut tetap berarti normal dan netral, tidak ada rasa marah atau tersinggung dengan kondisi tersebut.

Ujaran tersebut memiliki paduan kata yang masih umum dan tidak ada spesifikasi yang mendalam. Penggunaan kata sebagian besar masih berupa kata umum. Namun, beberapa kata menunjukkan dan mengidentifikasikan kehidupan anak jalanan, sepeti cangkem; manungsa kae . Pengungkapan penggunaan kata-kata yang kasar menunjukkan kondisi anak jalanan yang keras. Meskipun dengan menggunakan pengungkapan kata yang keras, topik yang dibicarakan masih sama. Penggunaan register suwak sebagai bentuk ejekan dan candaan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2. Topik yang dibicarakan secara umum masih sama dengan analisis sebelumnya berkenaan dengan seorang laki-laki pujaan.

Nada yang digunakan pada pengucapan kata suwak dengan nada menghentak, tetapi disampaikan sambil bercanda. Selain itu, juga sedikit gerak tubuh menghantam lengan anak jalanan 1 yang tidak serius. Intonasi dan nada yang digunakan secara umum menunjukkan kedua orang tersebut merupakan sahabat akrab yang saling memahami permasalahan satu dengan yang lainnya. Penggunaan ujaran dalam konteks di atas, digunaan ujaran tersebut secara lisan dan dengan sedikit isyarat seperti melotot dan mencubit lawan bicara. Seperti pada ujaran tersebut sebagian besar menggunakan jalur lisan dan percakapan langsung tanpa media yang lainnya. Lisan dalam hal ini ternyata mampu mengurangi esendi dari Nada yang digunakan pada pengucapan kata suwak dengan nada menghentak, tetapi disampaikan sambil bercanda. Selain itu, juga sedikit gerak tubuh menghantam lengan anak jalanan 1 yang tidak serius. Intonasi dan nada yang digunakan secara umum menunjukkan kedua orang tersebut merupakan sahabat akrab yang saling memahami permasalahan satu dengan yang lainnya. Penggunaan ujaran dalam konteks di atas, digunaan ujaran tersebut secara lisan dan dengan sedikit isyarat seperti melotot dan mencubit lawan bicara. Seperti pada ujaran tersebut sebagian besar menggunakan jalur lisan dan percakapan langsung tanpa media yang lainnya. Lisan dalam hal ini ternyata mampu mengurangi esendi dari

Kata suwak merupakan istilah dalam register yang hampir memiliki kesamaan arti dengan songong. Kata itu digunakan untuk mengungkapkan perasaan sebal dan gemas pada lawan bicara. Namun apabila dibandingkan dengan kata tersebut berdiri sendiri dan dilafalkan oleh orang secara umum akan menimbulkan sakit hati. Kata ini memiliki nilai kasar dalam pelafalannya. Oleh karena itu benar jika dinyatakan bahwa percakapan ini tidak menggunakan aturan percakapan yang sesuai dengan prinsip kerja sama masyarakat orang Jawa. Penggunaan norma dalam percakapan ini masih belum dan atau sama sekali tidak terlihat, bahkan istilah yang digunakan kata suwak terkesan kasar dan tidak beretika. Kata suwak adalah jenis kata yang kasar dan tidak normal dalam pergaulan. Secara istilah, kata suwak digunakan untuk mempertegas ejekkan yang diberikan pada lawan tutur. Akan tetapi dalam konteks ini, anak jalanan terkesan akrab dan dekat. Tidak ada konflik antara satu anak dengan anak yang lainnya.

Dalam pernyataan konteks di atas tidak ada maslah/konflik yang terlihat, sekaligus bentuk penyampaian ini menggunakan narasi dan cerita deskripsi yang di dalamnya terdapat analogi, pembandingan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2. Cerita narasi tersebut meliputi seorang perempuan yang disakiti masih saja mencintai orang yang sama, akhirnya keluarlah kata suwak untuk mengungkapkan perasaannya. Dari penjabaran di atas, kata suwak masuk ke dalam kata register, karena pemaknaannya berbeda antara konteks di atas dengan makna dalam kamus.

Kata suwak ketika dikomparasikan penggunaannya oleh sesama anak jalanan dengan penggunaan oleh masyarakat secara umum menemukan pergeseran penerimaan. Secara umum, masyarakat akan sakit hati mendengar ucapan tersebut, sedangkan pada anak jalanan kata tersebut memiliki kekuatan untuk pengakraban. Komparasi yang dilakukan bersama dengan siswa sekolah menengah atas, ditemukan rasa tersinggung ketika penutur mengatakan kata tersebut.

e. Kata pengki anak buah Kata pengki muncul dua kali pada peristiwa tutur hari Selasa,

30 Oktober 2012, pukul 11.00 WIB di Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. Lingkungan percakapan dalam keadaaan ramai, baik situasi pasar maupun situasi stasiun, di stasiun juga masih terlihat banyak orang yang datang dan pergi.

Kata pengki termasuk ke dalam register. Selain karena maknanya berbeda dengan makna dalam kamus, kata ini hanya dimengerti dalam satu komunitas anak jalanan saja. Pengki memiliki makna anak buah, atau seseorang yang berada di bawah kekuasaan bos.

Di Pasar Ledoksari, anak jalanan yang disebut oleh responden lain Bos , sedang kehausan dan menginginkan es teh. Datang seorang anak jalanan, dan kemudian anak jalanan tersebut disuruh untuk membelikan es teh ataupun mencari pengki-nya. (1) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun.

Anak jalanan 1

: Bocah-bocah mau padha nyangdi to nyuk(munyuk), babarblas ra ketok wudel 5

sitok-

anak-anak tadi kemana saja ta? Sama sekali tidak kelihatan satu pun

Anak jalanan 2

: lha mbuh ya.. lha pengki 5 mu nengdi? Mbok kon nggolekki siji-siji, angger manut karo ujudmu

dhaan! tahu.. Lha Pesuruh/anak buah/bawahan di mana? Disuruh mencari satu per satu, karena mereka tundhuk sama kamu

Anak jalanan 1

: Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes 7 ! Opo kowe dadi pengki 5 ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes 7 ! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja : Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes 7 ! Opo kowe dadi pengki 5 ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes 7 ! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja

2 berada di bawah anak jalanan 1, dan anak jalanan 3 adalah yang paling kecil dan takut. Penggunaan kata pengki dalam konteks ini sebagai bentuk kata ganti orang yang disuruh dan diminta untuk membelikan es teh. Tujuannya untuk menyuruh seseorang sesuai dengan gradasi/strata sosial anggota anak jalanan. Tujuan secara tersirat adalah untuk menunjukkan kekuasaan seseorang untuk meminta/menyuruh orang lain yang telah dia kuasai atau di bawah kekuasaannya.

Bentuk ujaran adalah percakapan keras dengan beberapa pemilihan kata yang kasar dan tidak sopan. Bentuk ucapan yang ada seperti nyok atau nyet untuk monyet, kemudian asu atau anjing untuk mengungkapkan elspresi marah dan garang. Dengan mengetahui bentuk ujaran serta tujuan percakapan, diambil topik yang diangkat adalah menyuruh pengki untuk membeli es teh, dan semula tidak ada pengki yang ada untuk membelikannya minuman tersebut. Nada yang digunakan adalah nada tinggi dan dengan pelafalan yang garang. Mimik muka terlihat ingin menampakkan kemarahannya dan ingin menunjukkan siapa dia. Ada penekanan di banyak kata, yang menimmbulkan ekspresi lebih jahat dan garang. Beberapa kali anak jalanan 2 melirik dan melotot kepada anak jalanan 3. Anak jalanan 1 juga sempat melirik dan mimik garang pada beberapa kesempatan. Satu kali anak jalanan 2 mengusir anak jalanan 1 agar pergi membelikannya minuman.

Menggunakan percakapan normal dan lusan. Tanpa adanya jalur lainnya, seperti jalur tertulis, sms, dll. Karena percakapan langsung maka seluruh percakapan yang terrekam menggunakan jalur lisan. Register yang digunakan adalah pengki yang disinyalir memiliki arti orang suruhan, yang mau disuruh dan diperintah. Tidak terdapat norma yang jelas dalam Menggunakan percakapan normal dan lusan. Tanpa adanya jalur lainnya, seperti jalur tertulis, sms, dll. Karena percakapan langsung maka seluruh percakapan yang terrekam menggunakan jalur lisan. Register yang digunakan adalah pengki yang disinyalir memiliki arti orang suruhan, yang mau disuruh dan diperintah. Tidak terdapat norma yang jelas dalam

Jenis bentuk penyampaiannya menggunakan jalur lisan tanpa adanya interaksi dengan jalur lainnya. jalur lisan antara tiga orang anak jalanan yang satu dengan yang lainnya tidak terlihat adanya penggunakan bahasa nonlisan. Namun beberapa bahasa nonverbal diutarakan seperti mengepalkan tangan, gerakkan tangan mengusir, dan lainnya.

Konteks tersebut merupakan bentuk secara umum dan digunakan beberapa kali pada ujaran langsung. Jalur lisan adalah yang paling sering digunakan. Dengan konteks yang baik, jenis yang baik, amak pesan atau tujuan yang ingin dicapai dapat sampai di tempat tujuan dengan baik, karena satu komunikasi dan yang lainnya berpengaruh. Dengan analisis data di atas ditemukan pemaknaan kata pengki merupakan register anak jalanan. Hal ini dikarenakan ditemukannya pergeseran makna antara penggunaan register pada anak jalanan dengan penggunaan pengki pada ibu rumah tangga, mereka menangkap pengki adalah alat kebersihan.

f. Kata ndhes memiliki persamaan makna dengan cah Peristiwa tutur ini terjadi pada, Selasa, 30 Oktober 2012. Pukul

11.00 WIB. Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. ± 300 meter selatan Stasiun Kereta Api, Jebres, Surakarta. Masih dengan keadaan yang sama dengan analisis sebelumnya keadaaan jalanan ramai, baik situasi pasar maupun situasi stasiun, dari stasiun juga masih terlihat banyak yang datang dan pergi.

disesuaikan dengan konteks di bawah ini, ndhes memiliki makna sama dengan cah.

Situasi anak jalanan sedikit sepi, anak jalanan tidak berlalu lalang di depan pasar, kebanyakan anak jalanan terlihat di jalanan, tidak ada kegiatan interaksi. Beberapa partisipan yang aktif, antara lain tiga anak jalanan, (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan kisaran usia ± 10 tahun.

Terdapat satu anak jalanan yang terlihat paling tua yaitu 18 tahun, menghampiri satu anak jalanan yang memiliki usia dibawahnya sekitar 15 tahun. Anak jalanan yang ketiga disebut pengki (anak jalanan yang berusia

10 tahun), anak jalanan yang pertama disebut bos oleh anak jalanan 2. Secara mimik muka, anak jalanan 1 terkesan garang dan keras. Sedangkan anak jalanan 2 berada di bawah anak jalanan 1, dan anak jalanan 3 adalah yang paling kecil dan penakut.

Kata ndhes termasuk dalam register karena penerapannya akan berbeda jika diterapkan pada anak jalanan dan diterapkan pada kelompok lain. Kelompok anak jalanan sama sekali tidak ada dampak penggunaan

Anak jalanan 2

: lha mbuh ya.. lha pengkimu nengdi? Mbok kon nggolekki siji-siji, angger manut karo

ujudmu dhaan! tau saya.. Lha Pesuruh/anak buah/bawahan di mana? Disuruh mencari satu per satu, karena mereka tunduk sama kamu

Anak jalanan 1

: Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes 6 ! Opo kowe dadi pengkiku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh !Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja

Anak jalanan 2

: Jon (Jono : nama orang) tukokno bos 8 mu iki es teh Jon, belikan bosmu ini es teh

tersinggung dan tidak terima dengan pengucapannya. Kata tersebut bermakna kasar dan tidak sopan, sedangkan dalam penerapan anak jalanan, kata tersebut sah-sah saja, dan tidak ada efek yang berpengaruh.

Tujuan dari konteks penggunaan register ndhes adalah untuk memanggil salah seorang dari anak jalanan atau anak jalanan lainnya. Sebagai bentuk kata ganti orang dan menjelaskan kedekatan seseorang dengan yang lainnya. Karena tidak mungkin seseorang yang baru kenal menyebut orang lain dengan sebutan tersebut. Selain itu, untuk tujuan jera juga dimungkinkan anak jalanan yang menjadi anak jalanan 1 memanggil dengan sebutan ndhes untuk menimbulkan efek agar anak jalanan 3 takut.

Ujaran yang dipakai dalam konteks ini bersifat kasar, namun percakapan antara orang satu dengan orang yang lain tetap terjaga benang merahnya. Ujaran menggunakan register ndhes sebagai bentuk singkatan dari sebuah kata yang telah dipaparkan sebelumnya. Topik pembicaraan secara umum masih sama dengan analisis sebelumnya, yakni mengenai permintaan/menyuruh anak jalanan lain untuk membelikannya minuman dingin. Namun, tidak ada yang ada untuk membelikannya.

Nada yang digunakan adalah nada tinggi dan dengan pelafalan yang garang. Mimik muka terlihat ingin menampakkan kemarahannya dan ingin menunjukkan siapa dia. Ada penekanan di banyak kata, yang menimbulkan ekspresi lebih jahat dan garang.

Beberapa kali anak jalanan 2 melirik dan melotot kepada anak jalanan 3. Anak jalanan 1 juga sempat melirik dan mimik garang pada beberapa kesempatan. Satu kali anak jalanan 2 mengusir anak jalanan 1 agar pergi membelikannya minuman

Peristiwa ini berjalan secara berurutan, yang pertama anak jalanan 1 mencari anak jalanan, yang kedua anak jalanan 1 bertemu dengan anak jalanan 2 dan yang terakhir anak jalanan 2 memanggil anak jalanan 3. Keseluruhan menggunakan percakapan normal dan lisan. Karena percakapan langsung maka seluruh percakapan menggunakan jalur lisan.

jalanan terkesan sederhana dan yang dikenakan simpel.

Register yang digunakan adalah Ndhes atau gondhes merupakan kata ganti orang kedua yang memiliki arti sama dengan bocah, atau Nak untuk anak. Dalam percakapan ini tidak ada norma yang mengatur, karena masih bayak kata-kata kasar yang masih diucapkan, terutama dalam percakapan antara yang muda dan yang tua. Seperti register ini sendiri merupakan kata yang kasar. Ndhes apabila diucapkan data situasi umum bersifat kasar dan tidak beretika.

Ketika berinteraksi antara yang lebih muda kepada yang lebih tua sedikit ada kekhasan gaya untuk sopan, tunduk, sedangkan yang tua kepada yang muda, tidak ada rasa hormat, bahkan tidak ada sikap mengayomi. Percakapan ini menggunakan jenis bentuk penyampaian dengan narasi dan perintah, karena sikap satu anak jalanan kepada anak jalanan yang lain tidak memiliki latar yang luang, jadi terkesan padat dan jelas.

Dalam upaya mendapatkan keabsahan data, kata ndhes pun dikomparasikan penggunaannya dengan masyarakat bahasa di luar anak jalanan. Ditemukan perbedaan dan pergeseran penerimaan makna anak jalanan dengan di luar anak jalanan, dilihat dari konteks di atas, yang menyatakan bahwa makna di luar anak jalanan akan bersifat negatif, sedangkan ketika dipakai oleh anak jalanan makna tersebut bersifat netral.

g. Kata bos

ang

yang memilki makna Kata bos ditemukan pada percakapan hari Selasa, 30 Oktober 2012, pukul 11.00 WIB. Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. ± 300 meter selatan Stasiun Kereta Api, Jebres. Keadaan Stasiun Kereta Api Jebres cukup ramai mengingat hari minggu, banyak penumpang turun dan berdatangan. Keadaan masih sama, tidak ada perbedaan situasi yang mendadak ketika register ini diucapkan.

Situasi keadaan di daerah tersebut panas dan beberapa kali anak jalanan berkumpul ketika suasana renggang dan tidak ada pekerjaan. Sesekali lewat petugas satpam Pasar, namun tidak merespons dengan keberadaan anak jalanan di sana. Secara umum, untuk partisipan tidak ada perubahan, yakni responden 1 datang paling awal, anak jalanan 2 kemudian mengikuti dan yang terakhir anak jalanan 3 datang paling akhir.

Akan ada perbedaan makna kata bos jika diterapkan pada anak jalanan dan diterapkan pada masyarakat pada umumnya. Ketika ditanya berkenaan dengan persepsi mereka terhadap bos pada anak jalanan, mereka mengganggap bos adalah orang yang selalu meminta uang anak jalanan, sedangkan bos dalam register anak jalanan ini berarti panutan, guru, dan seseorang yang dituakan, atau tetua.

Sesuai gradasi umur, anak jalanan 1 lebih tua daripada anak jalanan

2, dan anak jalanan 2 lebih tua daripada anak jalanan 3. (1) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun. Pertama-tama anak jalanan yang terlihat paling tua mendatangi anak jalanan 2, terlihat hubungan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2 tidak terdapat hubungan yang hormat-menghormati. Ketiganya seorang lelaki yang duduk di dekat kereta api yang sedang dimatikan.

Tujuan pemberian julukan bos pada anak jalanan 1 oleh anak jalanan 2 diidentifikasikan untuk menghormati dan menuakan-(tua) anak

Anak jalanan 1

: Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes 7 ! Opo kowe dadi pengki 6 ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes 7 ! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja

Anak jalanan 2

: Jon(Jono : nama orang) tukokno bos 8 mu iki es teh Jon, belikan bosmu ini es teh

Anak jalanan 3

: pira mas? berapa mas?

Anak jalanan 2

: siji wae ndhes 7 ! Cepet! atu saja! Cepat!

Anak jalanan 3

: iyo neh! iya-iya!

karena mimiknya paling garang. Tujuan percakapan tersebut adalah ungkapan marah dan kesal ketika seorang bos meminta seseorang untuk membeli es teh namun tidak ada yang disuruh. Disusul dengan kata perintah dan deksripsi anak jalanan seperti penyebutan nama Jon. Tujuannya untuk menjalin interaksi satu dengan yang lain, supaya anak jalanan 2 membelikannya es teh.

Ujaran terkesan kasar dan tertekan, dari setiap anak jalanan memiliki kekhasan ujarannya masing-masing, seperti pada anak jalanan 1 seorang yang ganas, berbicara garang dan kasar. Dilihat dari percakapan (konteks) yang berbicara dengan kasar hanya anak jalanan 1, salah satu alasannya karena ditakuti anak jalanan yang lain. Anak jalanan 2, takut tapi kadang berani pada yang lebih kecil, dilihat dari percakapan. Perubahan emosi yang dari awal takut, kemudian berani pada anak jalanan 3. Anak jalanan 3 di lihat dari percakapan adalah yang paling kecil dan penakut.

Secara spesifik, penggunaan nada pada setipa anak jalanan adalah; anak jalanan 1, nada tinggi, intonasi garang dan menggunakan tekanan yang berat; anak jalanan 2, menggunakan nada semi-takut dan berlagak berani ketika berbincang dengan anak jalanan 3; sedangkan anak jalanan 3, dengan nada rendah, lirih dan tanpa tenakan.

Semangat untuk berujar, pada anak jalanan 1 dan anak jalanan 2 tinggi, sedangkan pada anak jalanan 3 rendah. Tidak ada penggunaan jalur tulis, hanya menggunakan jalur lisan saja. Jalur bahasa yang lainnya tidak ada yang digunakan karena situasi yang kurang tepat, dan paling tepat hanyalah jalur lisan.

Register yang dipakai adalah ndhes menunjukan penggunaan bahasa yang kasar dan keras, menunjukkan kata gondhes. Istilah tersebut lazim digunakan oleh anak jalanan, namun jika diujarkan pada situasi umum terdengar kasar.

Anak jalanan merasa bebas dan tidak ada yang aturan, bahkan pada percakapan ini digunakan register ndhes yang menunjukkan kondisi dan Anak jalanan merasa bebas dan tidak ada yang aturan, bahkan pada percakapan ini digunakan register ndhes yang menunjukkan kondisi dan

Beberapa kata yang lain yang tidak sopan secara umum juga ada, namun lebih kental pada ekspresi yang ada. Seperti geram, galak, melotot dan lainnya. Bentuk percakapannya adalah narasi dan lebih tepatnya kalimat perintah untuk menekankan maksud dan tujuan percakapan. Narasi dalam konteks tersebut ada ketika Anak jalanan 2 menjelaskan ketidakberadaan anak jalanan yang lainnya. Anak jalana menceritakan detail percakapan dengan situasi demi situasi, anak jalanan berbicara satu dengan yang lain menunjukkan keakraban dan kedekatan meskipun terkesan tidak hormat-menghormati.

h. Kata kawasan wilayah kerja Dalam kehidupan sehari-hari kadang masyarakat bahasa pada umumnya menggunakan kata kawasan sebagai bentuk perwilayahan dengan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Ternyata, kata kawasan juga ditemukan pada bahasa anak jalanan dengan makna yang berbeda.

Rabu, 31 Oktober 2012; pukul 14.00 WIB. Depan showroom motor, Yamaha Motor, Panggung motor, berdampingan dengan jalan raya. Situasi jalanan ramai dengan kendaraan bermotor, suara gaduh anak jalanan yang terbahak-bahak saat bersenda-gurau.

Sedang ada konflik, ketika anak jalanan 2 dan anak jalanan 3 berkelahi tanpa diketahui penyebabnya. Kedua anak itu hanya memukul satu sama lain, tanpa adu mulut. Keadaan memanas ketika orang yang paling tua dan dituakan merasa terganggu dan berusaha melerai. Kemudian keduanya pun berhenti. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 20 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 13 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berkisar ± 13 tahun.

Partisipan pada peristiwa tutur tersebut terdiri dari 3 orang anak jalanan, dua diantaranya berusia kisaran 13 tahun dan yang paling tua dan Partisipan pada peristiwa tutur tersebut terdiri dari 3 orang anak jalanan, dua diantaranya berusia kisaran 13 tahun dan yang paling tua dan

Tujuan mengatakan register kawasan untuk menunjukkan bahwa lokasi tersebut meruapakan satu wilayah untuk kekuasaan dan agar kedua anak jalanan yang berkelahi terssebut segera tenang dan tidak membuat kegaduhan. Tujuan pengungkapan kata register tersebut juga sebagai bentuk pengungkapan bahwa anak jalanan 1 perlu dihormati sebagai pemilik kawasan.

Tujuan secara umum adalah untuk melerai perkelahian antar anak jalanan yaitu anak jalanan 2 dan anak jalanan 3 oleh Anak jalanan 1. Dengan adanya peristiwa tutur ini setidaknya dua anak jalanan itu akirnya berpisah tidak lagi berkelahi.

Bentuk ujaran yang digunakan seperti pemilihan kata yang kasar dan digunakan untuk menenangkan anak jalanan 2 dan anak jalanan 3. Setidaknya pemilihan ujaran yang cukup kasar mampu menenangkan dua anak jalanan yang sedang berkelahi, selain menimbulkan efek jera juga sebagai alat untuk menenangkan dua anak jalanan tersebut.

Nada yang digunakan ketika mengucapkan ujaran yang di dalamnya terdapat register kawasan dengan nada kesal, dan marah karena ketenangannya terusik dan terganggu. Selain dengan nada kesal dan marah, beberapakali hentakan juga dipakai untuk menimbulkan efek marah dan geram. Selain adanya nada dan tekanan, ekspresi yang timbul juga mampu mengidentifikasikan ekspresi yang sedang dirasakan (megucapkan kawasan) seperti marah dengan melotot, dan sedikit mengepalkan tangan.

Kawasan dalam register anak jalanan ditemukan ploting makna kawasan tersebut, antara lain kawasan satu untuk manggung, kawasan dua untuk masar, kawasan tiga untuk nyepur, kawasan empat digunakan untuk Kawasan dalam register anak jalanan ditemukan ploting makna kawasan tersebut, antara lain kawasan satu untuk manggung, kawasan dua untuk masar, kawasan tiga untuk nyepur, kawasan empat digunakan untuk

Secara norma kebahasaan, konteks yang dipakai menggunakan bahasa yang tidak baik, namun di sisi lain secara luas, konteks tersebut mengandung norma sosial yang cukup baik. dinyatakan dengan efek yang timbul setelah anak jalanan 1 geram dengan perilaku yang ditimbulkan anak jalanan 2 dan anak jalanan 3.

Kalimat di atas merupakan contoh yang tidak mengandung norma yang baik untuk masyarakat berbahasa. Jenis dan bentuk penyampain peristiwa tutur ini dengan bentuk tuturan narasi, dengan tegas anak jalanan 1 menyatakan hal yang sedikit kasar. Dalam peristiwa tutur ini tidak ada nilai estetik yang perlu dijaga.

i. Kata munggah

Kata munggah, nyepur, medhun, ngampung, manggung, masar, ngleseh digunakan dalam konteks situasi yang sama. Cukup berbeda dengan makna umumnya, munggah memiliki makna naik bus dan melakukan kegiatan mencari uang, sedangkan nyepur adalah mencari uang

Aja dha padu wae to Su

register berarti turun ke jalan untuk mencari uang. Sedangkan ngampung memiliiki makna dalam register yakni pergi ke pemukiman penduduk untuk mencari uang, manggung memiliki makna pergi ke daerah Panggung untuk mencari uang, sedangkan masar bermakna pergi pasar, begitu pula dengan ngleseh bermakna pergi ke tempat-tempat lesehan untuk mencari uang.

Partisipan 1 : Bu, lha Tutik meniko wonten pundi kok mboten ketingal?

Anak jalanan 2 : Munggah 10

Partisipan 1 : Munggah 10 pundi Bu?

Anak jalanan 2 : Munggah 10 Bis mas, ngamen .

Partisipan 1

: istilah lain malih napa bu?

Anak jalanan 2 : Nyepur 11 , iku ngamen neng cedhak stasiun neng daerah sepuran

Medhun 12 , iku

biasane nik nggone lampu merah digunakan untuk nongkrong di lampu me

Ngampung 13 , muter neng kampung-kampung, neng

omah-omah ngono mas makna berkeliling ke kampung-kampung dan rumah-

. Manggung 14 , iku nang Panggung,

daerah Panggung.

Masar 15 , iku neng pasar mas, ngamen ing pasar. Iku aku ngerti ya saka bajaku kok mas! Saiki bajaku ra enek . mengamen di sekitar pasar, saya mengetahuinya dari

Anak jalanan 3 : Ulat 16 mu kui lho mas le ngematke aku! Mbok biasa

wae! Rasah ngulat 16 ke !

Partisipan 1

: ora lho Nov! biasa wae kok!

Anak jalanan 1 : Ngleseh 17 mas, iku neng Lesehan!

19.00 WIB. Teras Panggung Motor, Jebres, Surakarta, tepatnya Perempatan Panggung motor, disamping Jalan utama. Situasi jalan utama depan Panggung Motor, sangat ramai dalam keadaan malam hari. Beberapa kendaraan lalu lalang, baik itu roda dua, mobil ataupun bus. Beberapa anak jalanan menggerombol dan sedang bermain gitar. Tetapi ada pula satu ibu anak jalanan dan anak jalanan yang sedang duduk menunggu anaknya yang lain sedang mengamen.

Di Teras Panggung, keadaan terlihat lebih sepi daripada hari biasanya yang ramai kendaraan lalu lalang. Tidak ada konflik antara satu anak jalanan dengan anak jalanan lain. Di perempatan jalan tidak terlihat adanya anak jalanan yang saling berkonflik dan masalah.

(1) Ibu dari anak Jalanan (Imam) ± 45 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki (Imam) ± 7 tahun. Ibu dari anak jalanan yang bernama Imam sedang duduk menunggu hujan reda, sebagai anak jalanan utama. Beberapa anak jalanan sedang bermain alat musik dan bernyanyi, tanpa berkomunikasi yang berhubungan dengan anak jalanan yang lainnya.

Tujuan wawancara ini untuk menggali informasi yang lebih luas berkaitan dengan kondisi anak jalanan saat ini, kondisi jalan yang mulai sepi dan tidak begitu ramai. Kemudian sedikit mendapatkan informasi mengenai istilah anak jalanan yang sering digunakan.

Tujuan secara umum penggunaan register tersebut merupakan untuk medekripsikan bahasa anak jalanan tersebut. Bentuk ujaran yang digunakan berupa jawaban dari pertanyaan yang ada. Partisispan memberi pertanyaan yang sekiranya tidak mencurigakan. Topik pembicaraan adalah kegiatan mobilitas anak jalanan di Kota Surakarta, khususnya di daerah Jebres.

Nada pembicaraan datar tanpa ada ekspresi yang bersifat emotif, nada bicara tidak ada tekanan yang berarti. Anak jalanan satu dengan yang lain tidak saling memengaruhi, dan kondisi yang datar membuat situasi tidak emotif.

ataupun semangat yang khusus dalam menunjukkan pertanyaan maupun jawaban. Dalam peristiwa tutur ini menggunakan jalur lisan, karena dilakukan dengan wawancara langsung. Register

1) Munggah

Berarti munggah/naik, naik dalam hal ini bukan naik tangga, naik tingkat. Naik dalam hal ini khusus untuk mengamen di bis. Bekerja di dalam bis, dengan istilah yang lebih mudah dan sederhana. Ketika diaplikasikan dalam masyarakat luas (khususnya masyarakat Jawa), masyarakat tidak begitu paham dan mengerti maksud dari bahasa tersebut. sekilas, memang sederhana, namun penggunaan bahasa tersebut bersifat khusus.

2) Nyepur

Nyepur adalah kegiatan di atas Sepur (Kereta Api), berarti anak jalanan sedang mencari uang di atas kereta api. Penggunaan istilah ini mempermudah interaksi dengan anak jalanan lainnya. istilah ini menunjukkan keberadaan anak jalanan. Namun belum tentu orang awam paham, seperti halnya telah dilakukan uji coba pada salah seorang mahasiswa yang kadang kala pulang kampung dengan kereta api, ia tidak paham istilah nyepur.

3) Medhun

Medhun dalam bahasa Indonesia berarti turun, bukan turun pangkat, bukan turun tangga, maupun gajinya turun. Namun sebagai ungkapan khusus anak jalanan, medhun berarti turun dari bis, setelah berkegiatan di atas bis, entah itu mengamen, mengemis, maupun kegiatan lainnya.

4) Ngampung

Ngampung yaitu berkegiatan di kampung, dari pintu ke pintu, istilah ini untuk memudahkan anak jalanan dalam berinteraksi ketika mereka berada/mengamen di kampung, masyarakat. Ngampung berarti di berbagai daerah yang bisa dipakai tempat mengamen.

penelitian Lestari (2011). Dalam pemaparannya, Lestari menjelaskan bahwa kata ngampung merupakan pembagian wilayah kerja dari seorang anak jalanan yang bertugas mengitari kampung-kampung. Dari sini, kedua penelitian ini dapat ditarik kesamaan makna penggunaan kata register dalam konteks yang sama.

5) Manggung

Manggung tidak bisa diartikan sebagai kegiatan di stage-panggung. Namun, satu istilah ketika anak jalanan berkegiatan di daerah Panggung Motor, entah mereka mengamen, mengemis, meminta- minta maupun kegiatan lainnya. bagi sebagaian orang mungkin berpikir manggung berarti kegiatan di atas panggung, bernyanyi, konser atau sejenisnya.

6) Masar

Masar berarti berkegiatan di pasar, dalam kata masar memiliki dua makna yang bisa berbeda arti.

a) Masar : mengamen di pasar, pasar yang dimaksudkan adalah pasar yang berskala besar, seperti Pasar Gedhe, Pasar Klewer, dan pasar lainnya. biasanya mereka mengamen, meminta-minta dan lainnya

b) Masar : pulang ke rumah dan tidur. Masar dalam hal ini spesifik berarti Pasar Ledoksari. Pasar Ledoksari menjadi tempat tinggal bagi anak jalanan yang bagi mereka paling nyaman dan menarik untuk mereka. Mereka akan tinggal di Pasar Ledoksari dan tidur untuk menunggu pagi.

7) Ngleseh

Ngleseh berarti mengamen di lesehan-lesehan tempat makan masyarakat. Ngleseh berarti mereka akan berkegiatan di Lesehan baik kota maupun di pinggiran.

Norma dalam percakapan ini cukup terjaga, dilihat dari tanggapan ibu anak jalanan ketika partisipan berbicara dnegan bahasa kromo alus, dia paham dengan begitu bahasa kromo alus berterima. Namun merek abelum Norma dalam percakapan ini cukup terjaga, dilihat dari tanggapan ibu anak jalanan ketika partisipan berbicara dnegan bahasa kromo alus, dia paham dengan begitu bahasa kromo alus berterima. Namun merek abelum

j. Kata colut memiliki makna berpindah dari satu tempat ke tempat lain

Kata colut tidak memiliki pemaknaan dalam kamus bahasa Jawa. Kata ini adalah register yang digunakan anak jalanan yang memiliki arti berpindah tempat. Hal tersebut terlihat dari data yang diambil pada hari Senin, 5 November 2012; Pukul 14.00WIB di Tugu perempatan Jimbaran Radio, Surakarta, 50 meter sebelum Stasiun Balapan dari arah timur. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 12 tahun. Situasi yang dideskripsikan, kondisi yang panas, siang hari. Perempatan tampak lebih sepi dari sebelumnya, dan kegiatan mengamen menjadi kurang begitu ramai dan emndapatkan banyak pemasukan.

Anak jalanan yang berusia 15 tahun, ketika sudah mulai bosan berkegiatan dan hendak pindah ke terminal/stasiun lain, ada pula anak jalanan berusian kisaran 12 tahun yang diajak untuk berpindah namun tidak bersedia. Tidak ada anak jalanan di sekitar daerah tersebut, hanya kendaraan yang lalu lalang dan beberapa motor tidak memberikan uang untuk anak jalanan yang mengamen.

Menunjukan arah tujuan kepergiannya, anak jalanan 1 berusaha memberikan sedikit ajakan, persuasi kepada anak jalanan 2 untuk berpindah tempat ke stasiun balapan, namun anak jalanan 2 meskipun

Anak jalanan 1

: Melu ra? ikut tidak

Anak jalanan 2

: Nengdi? kemana

Anak jalanan 1

: Colut 18 , Tirtonadi! indah ke Tirtonadi

Anak jalanan 2

: Ora om! Tidak Om : Ora om! Tidak Om

Nada yang digunakan adalah nada ajakan, persuasi. Di lain pihak anak jalanan 2 menjawab dengan nada datar. Anak jalanan satu mengajak dengan sangat semangat, namun anak jalanan 2 menjawab dengan sederhana.

Jalur bahasa yang digunakan adalah jalur bahasa lisan, tanpa media apapun,. Obrolan biasa dua anak jalanan. Register yang digunakan adalah colut yang artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti pada konteks yang jelas, berpindah dari perempatan Radio Jimbaran ke Stasiun Kereta Api.

Tidak terlihat adanya pelanggaran norma, maupun tindakan yang senonoh dan tidak sopan. Dengan begitu datarnya percakapan, belum mampu dilakukan identifikasi yang mendalam, namun secara garis besar ungkapan yang digunakan masih datar. Jenis dan bentuk penyampaian ujaran dengan persuasi, bukan narasi maupun deskripsi. Anak jalanan 1 mengajak anak jalanan 2 untuk berpindah tempat.

k. Kata bolo

pasukan dalam tim

Kata bolo yang dalam keseharian masyarakat bahasa menyatakan artinya adalah teman, sedangkan dalam konteks anak jalanan, bolo memiliki makna pasukan atau pasukan dalam satu tempat kerja. Ditemukan penggunaan kata bolo dalam percakapan anak jalanan pada hari Sabtu,1 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB. Kompleks Balaikota Surakarta, Surakarta. ± 300 meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta Kondisi jalanan tampak sangat ramai memuncak, jalanan sedikit lebih macet. Beberapa Kata bolo yang dalam keseharian masyarakat bahasa menyatakan artinya adalah teman, sedangkan dalam konteks anak jalanan, bolo memiliki makna pasukan atau pasukan dalam satu tempat kerja. Ditemukan penggunaan kata bolo dalam percakapan anak jalanan pada hari Sabtu,1 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB. Kompleks Balaikota Surakarta, Surakarta. ± 300 meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta Kondisi jalanan tampak sangat ramai memuncak, jalanan sedikit lebih macet. Beberapa

Kondisi cuaca cerah, namun beberapan percakapan sering tidak berkaitan karena jumlah anak jalanan cukup banyak. Ada anak jalanan kecil yang mengikuti perbincangan.

(1)Anak Jalanan laki-laki berusia ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki- laki berusia ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 10 tahun; (4) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun; (5) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 4 tahun. Usia anak jalanan yang paling kecil adalah adik dari anak jalanan yang lainnya.

Beberapa anak jalanan yang lainnya tidak termonitori karena aktivitasnya yang tidak begitu mendukung. Beberapa anak jalanan sedang asik bermain musik, beberapa anak jalanan sedang makan dan beberapa lainnya sedang mengamen.

Tujuan dari percakapan dan penggunaan kata register bolo untuk menunjukkan anak jalanan memiliki teman, bahwa teman-temannya telah pergi mendahuluinya. Percakapan ini terjadi tanpa ada tujuan khusus untuk menunjukkan situasi maupun kondisi tertentu yang diidentifikasikan. Tujuan penggunaan register lebih tertuju untuk efisiensi pemakaian dan pemaknaan kata yang dipakai satu orang dengan yang lainnya.

Bentuk ujaran berupa kata, kalimat dan beberapa ujaran yang lainnya. kalimat yang berisi register lainnya, apabila dipahami perkata oleh orang awam akan cukup sulit, namun anak jalanan akan paham dengan rangkaian kata yang telah dipakai.

anak jalanan 5 : baksoku peken baksoku buat kamu aja anak jalanan 1

: aku nanging terminal kok arep munggah, arep munggah kene balaku wis do rampung

aku mau naik di terminal saja, mau naik di sini teman-temanku sudah selesai

konflik yang ada di masyarakat. Namun sebuah peristiwa tutur anak jalanan pada hari biasa. Nada, tekanan, cara dan semangat penyampaian terkesan datar dan tanpa ada gejala yang memungkinkan ada konflik maupun beberapa nada yang dibuat dengan sengaja, nada mengejek. Digunakan nada mengejek, namun masih terkesan datar dan tanpa ada gejolak yang berarti. Tekanan masih bersifat datar.

Peristiwa tutur ini berjalan secara langsung dengan jalur lisan. Register yang dipakai meliputi kata bolo yang menunjukkan sekawanan rekan mengamen, bukan berarti sahabat. Namun sekumpulan komunitas mengamen yang satu dan yang lain akan bekerja sama untuk mencari uang. Pada kasus umum, kata bolo bermaksud untuk menjelaskan makna sahabat, kawan dekat atau teman sepemikiran, namun pada konteks ini, maksud dari kata bolo rekan satu grup untuk mencari uang.

Norma tidak begitu menonjol atau berpengaruh, bersifat biasa dan datar. Tidak ada penyelewengan yang berarti, namun satu anak jalanan dengan yang lain saling menghormati dan saling berbicara sopan. Tidak menutup kemungkinan, ketika berbicara mengenai hal yang mengandung

konflik mungkin saja berpengaruh berbeda. Bentuk penyampaiannya menggunakan penyampaian narasi. Dengan bercerita dari satu aspek ke aspek yang lainnya, dan menceritakan secara runtut tanpa jeda, satu anak jalanan ke anak jalanan lainnya.

l. Kata rampung pulang selesai kerja Makna secara umum untuk kata rampung adalah selesai, namun dalam konteks di bawah ini, kata rampung memiliki makna usai bekerja dan hendak pulang. Ditemukan penggunaan kata rampung pada percakapan anak jalanan. Percakapan yang dilakukan pada hari Sabtu, 1 Desember

*matamu, matamu, matamu!!

*iki kok gambare kok kayak ngene? hahaha.. mengko di cekel polisi

meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki ± 10 tahun; dan (4) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran

15 tahun. Selain anak jalanan ini, masih banyak anak jalanan yang hadir, namun tidak berbincang.

Kondisi sosial masyarakat cenderung datar dan tidak ada konflik. Sebagai perbincangan normalnya masyarakat, tidak ada konflik yang menjadi tolok utama satu dengan yang lainnya. Kondisi jalannya ramai dan beberapa motor lalu lalang. Beberapa kendaraan besar menyebabkan macet, sekitar kanan dan kiri jalanan, anak jalanan sedang berbincang satu dengan yang lainnya.

Percakapan ini tidak memiliki tujuan yang spesifik, hanya saja beberapa kata digunakan untuk mempersingkat pembicaraan, termasuk register rampung yang berarti selesai. Selesai bukan berarti menyelesaikan tugas, atau menyelesaikan pekerjaan, namun untuk menunjukkan telah pulang.

anak jalanan 1 : aku ing terminal kok arep munggah, arep munggah kene balaku wis do rampung aku mau naik di terminal saja, mau naik di sini teman-temanku sudah selesai

anak jalanan 3 : la iki kok gambare kok kayak lha ini kok gambarnya semacam ini? Hahaha.. ntar ditangkap polisi lho!

anak jalanan 3 : dheke neng Tegal, ora mudeng neng kene kapan, mbolang kok kon mulih-mulih dia di Tegal, saya tidak mengetahui dia ke sini kapan! Mbolang kok disuruh pulang!

anak jalanan 4 : nak ora enek sms wae. kalau tidak ada sms saja

Bentuk ujaran itu seperti,

Selain itu, beberapa pemilihan diksi untuk memperkjelas kalimat dan mengaitkan antar anak jalanan, termasuk di dalamnya menggunakan register lainnya. Nada, cara penyampaiannya, dan semangat dalam mengucapkan dan berbincang satu anak jalanan dengan anak jalanan lain terkesan datar, tidak ada penekanana yang berarti maupun memengaruhi makna kata ataupun kalimat yang diucapkan.

Peristiwa tutur ini menggunakan jalur percakapan secara lisan. Pada jalur ini banyak yang berbicara, namun yang diambil yang memiliki keterkaitan dengan tema dan anak jalanan yang berpengaruh saja, beberapa audien yang tidak memengaruhi makna dan kosakata dari anak jalanan lainnya, tidak digunakan. Tidak ada pelanggaran norma yang terlihat secara nyata, maupun tersirat. Karena percakapan bersifat kejadian datar tanpa konflik, maka anak jalanan satu dengan yang lain tidak ada kegiatan atau peristiwa yang mengganggu. Anak jalanan satu dengan yang lainnya hormat-menghormati. Jenis atau bentuk penyampaiannya merupakan dialog realis, yang di dalamnya hanya narasi tanpa ada konflik yang mendasari. Jadi genres percakapan ini termasuk ke dalam narasi.

m. Kata Nggurke liki makna ditinggalkan sendirian Nggurke , dalam bahasa masyarakat secara umum berarti

dianggurkan, seperti halnya benda. Berbeda dengan makna register anak jalanan untuk kata nggurke, adalah istri yang ditinggalkan di rumah sendirian.

Percakapan ini terjadi pada Senin, 3 Desember 2012. Pukul 17.00 WIB di komplek Perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung Jebres terjadi perbincangan anak jalanan yang ditemukannya penggunaan register yaitu penggunaan kata nggurke.

Keadaan lingkungan sekitar ada beberapa anak jalanan yang sedang duduk santai dan bercerita dengan lapang satu sama lainnya. keadaan sore yang sedikit renggang dimanfaatkan anak jalanan untuk saling mengejek dan bermain alat musik.

(1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun. Beberapa anak jalanan lainnya tidak diidentifikasi karena tidak memengaruhi kegiatan perbincangan satu dengan yang lainnya. anak jalana saling berbicara hangat tanpa ada beban yang dibawanya.

Anak jalanan di luar anak jalanan berkegiatan yang berbeda, beberapa diantaranya masih bermain alat musik, bermain dengan temannya, ada pula yang tidur. Tujuan pengambilan register nggurke, pada sebagian besar orang menganggap barang saja yang bisa dianggurkan, tanpa berkegiatan, namun dalam hal ini untuk memudahkan anak jalanan lain, dalam berkomunikasi istilah ini keluar sebagai kata register.

Kata register tersebut untuk megatakan bahwa istri seseorang tidak ia bawa kemana-mana, hanya tinggal di rumah saja, ia istilahkan sebagai dianggurkan. Dalam hal ini penggunaan bahasa terkesan kasar dan egois,

anak jalanan 1 : bojomu ing omah gur mbok nggurke, opo ra mesakake?

manten

istrimu di rumah hanya disia-siakan, apa tidak kasihan? Pengantin baru. Hahahahhaha

anak jalanan 3 : aku dak melu urun, dak tuku. wani pira? aku ikut menyumbang dong, saya beli. Berani berapa?

anak jalanan 2 : 2.000. gaya mu! 2.000! gaya mu! anak jalanan 3

: Hey! Koe ki ngapa bar umbah2? hey! Kamu habis nyuci?

logis. Bentuk ujaran yang dipakai adalah akkulturasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, kata anggur dalam bahasa Indonesia. Anggur, menganggur tidak memiliki kegiatan apa-apa yg dapat menghasilkan uang; tidak melakukan apa-apa; tidak bekerja.

Namun dalam register mampu muncul istilah nggurke yang bemakna dianggurkan. Nada, cara dan semangat yang ada hanya nada mengejek, ataupun bentuk bercanda ataupun gurauan yang tidak begitu jelas.

Pada dua contoh kalimat di atas, termasuk ke dalam nada mengejek. Percakapan ini terjadi dengan jalur lisan, tanpa jalur lainnya. dengan register nggurke yang memiliki makna dianggurkan atau dalam bahasa Jawa dianggurke. Termasuk ke dalam register, karena dianggurke memiliki makna tidak diajak berhubungan suami-isteri.

Norma yang kurang tegas, menjelaskan bahwa tidak ada pihak yang melarang ataupun mengingatkan ketika seorang suami mengatakan hal setega itu kepada isterinya. Namun beberapa teman lainnya hanya tertawa terbahak-bahak mendengar kaimat tersebut. Hal tersebut seharusnya menjadi norma dan point tersendiri dalam bergaul, terutama sudah berumah tangga. Terkesan memalukan ketika didengar oleh orang lain.

Jenis bentuk penyampain adalah narasi dan deksripsi, yaitu menarasikan kegiatan seorang anak jalanan kemudian mendeskripsikan dan mencocokan dengan kehidupan nyata. Seperti mengatakan tentang sudah menikah, tetapi isterinya didiamkan saja di rumah.

Anak jalanan 1

:aku dak melu urun, dak tuku.

Anak jalanan 2

: wani pira?

Anak jalanan 1

: 2.000 gayamu

Kata manten atau temanten memiliki arti kamus mempelai pria dan wanita secara sah baik oleh hukum maupun agama. Pada konteks anak jalanan, kata manten memiliki perbedaan makna, yakni pasangan muda- mudi yang sedang berpacaran, asalkan sudah melakukan hubungan suami- istri sudah dapat dikatakan manten.

Percakapan ini terjadi pada Senin, 3 Desember 2012. Pukul 17.00 WIB di perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung, Jebres. Terjadi percakapan antaranak jalanan. Keadaan sosial daerah tersebut cukup ramai oleh kendaraan, selain itu juga beberapa orang lalu- lalang karena cuaca yang cerah dan nyaman untuk berjalan-jalan. Beberapa anak jalanan duduk santai dan bercerit satu dengan yang lainnya. satu anak jalanan dengan yang lain terkesan ramah dan akrab. Namun beberapa kali terkesan saling tertawa dan dorong-mendorong, hal tersebut ketika pembicaraan pada ujung.

(1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun. Selain itu beberapa anak jalanan juga duduk di sekitar lokasi tersebutm namun tidak berperan aktif dalam perbincangan yang sesuai dengan yang lainnya.

Percakapan tersebut dengan register manten, yang dalam bahasa Jawa berarti temanten atau mempelai pria dan wanita. Dalam percakapan ini bertujuan untuk mengasingkan dua orang yang belum menikah secara hukum, tetapi sudah dikatakan mempelai. Hal tersebut diidentifikasikan dari jari tangannya yang tidak mengenakan cincin dan usia yang relatif masih muda. Ketika diminta klarifikasi dari orang yang bersangkutan, juga mengaku belum menikah.

Ujaran yang digunakan bersifat terbuka dan beberapa register yang digunakan masih bersifat umum. Topik pembicaraan mengenai ketidakharmonisan hubungan dua orang yang sedang memadu kasih, tanpa pernikahan secara hukum, namun mungkin sudah secara agama.

mengejek, tertawa, seperti pada

Mengacu pada jalur lisan percakapan tersebut, karena diliihat dari kejadian nyata yang ada di masyarakat. Bentuk ujaran yang lainnya juga beberapa kata yang kasar dan semantiknya tidak masuk katagori kata yang halus. Beberapa pemaknaan kata cukup dalam, seperti halnya wanita yang berstatus pasangan, namun ditinggalkan karena bawel. Beberpa hal lain, seperti wanita yang dianggurkan,, dan diceritakan kepada kawan yang seyogyanya merupakan aib pribadi. Jenis dan bentuk penyampaiannya secara narasi dan deskripsi cerita. Karena mengandung alur cerita setiap anak jalanan, baik anak jalanan 1, anak jalanan 2 maupun yang lainnya.

o. Kata rabi

bersetubuh

Kata rabi memiliki perbedaan makna antara makna dalam kamus dan register anak jalanan. Rabi yang berkembang di masyarakat secara luas berarti pernikahan. Sedangkan dalam konteks di bawah ini, rrabi memiliki makna persetubuhan antara sepasang kekasih. Ditemukan penggunaan kata rabi pada percakapan di bawah ini.

Anak jalanan 1

: Bajamu ing omah gur mbok nggurke, opo ra mesakake? Manten

. istrimu di rumah hanya disia-siakan, apa tidak

kasihan?

Pengantin baru.

Hahahahhaha

Anak jalanan 2

: Oalah Mbang, Mbang, bajane pengen rabi malah ditinggal liyane adhem-adhem bajane

dikeloni. Oallah mbang, mbang! Istri inginnya bersetubuh kok dibiarkan, yang lain saja dingin-dingin dipeluk

Anak jalanan 3

: Aku dak melu urun, dak tuku. Wani pira? aku ikut menyumbang dong, saya beli. Berani berapa?

opo ra mesakake? manten

Anak jalanan lain: hahahaahhahahaha

WIB. Kompleks Perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung, Jebres, Surakarta. ± 300 meter sebelah utara Pasar Gedhe, Surakarta. Kondisi ramai oleh motor yang berlalu-lalang dengan keadaan kota yang mulai sore, anak jalanan saling menggerombol dan bercerita. (1) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun. Beberapa anak jalanan sedang bercerita satu dengan yang lainnya. Salah satu anak jalanan menjadi objek perbincangan, yang menceritakan tentang isterinya yang hanya di rumah saja.

Penggunaan register rabi digunakan anak jalanan untuk menunjukan kata kerja, yaitu bersetubuh antara suami-isteri. Tujuan secara umum, adalah ajang berceita secara pribadi anak jalanan satu yang menceritakan banyak hal tentang kehidupan pribadinya. Tujuan tersebut melebar hingga ia menceritakan hal yang tidak ia sukai dari isterinya, padahal itu tidak baik.

Bentuk ujaran dalam konteks ini adalah kata perkata yang telah disingkat dan dipadatkan serta ujaran tersebut hanya dipahami segolongan anak jalanan saja. Seperti nggurke dan lainnya, namun beberapa istilah ada di masyarkat, namun pemaknaan dari anak jalanan pun berbeda.

Nada, cara dan semangat sama dengan analisis sebelumnya menggunakan nada yang mengejek namun santai, jadi tidak ada konflik antar satu anak jalanan dengan anak jalanan lainnya. beberapa kali ditunjukkan ekspresi sedih dan tidak puas akan sesuatu.

Jalur bahasa yang digunakan untuk bercakap satu dengan yang lainnya, ketika anak jalanan bercakap dengan anak jalanan lain, mereka

Anak jalanan : aku dak melu urun, dak tuku. wani pira?

iuran ya? Saya beli, berani berapa?

Anak jalanan : Hey! Koe ki ngapa bar umbah2?

selesai mencuci ya? selesai mencuci ya?

Penggunaan istilah rabi oleh anak jalanan 2 menunjukkan bahwa setiap anak jalanan tidak memiliki norma yang mengatur percakapannya. Tidak ada sikap yang baik untuk membenarkan ataupun mengkritisi kesalahan norma berbahasa pada lawan bicaranya. Anak jalanan tidak memiliki norma atau aturan yang mampu membatasinya dalam berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

Jenis bentuk penyampaian adalah narasi dan deksripsi, yaitu menarasikan kegiatan seorang anak jalanan. Seperti mengatakan tentang sudah menikah, tetapi isterinya didiamkan saja di rumah. Selain itu penyelewengan arti dan semantik dari kata rabi yang berubah.

p. Kata kerja mengamen, mengemis, dan melakukan

berbagai hal dalam bentuk apapun untuk mendapatkan uang

Kata kerja untuk sebagian orang bermakna mencari uang di suatu tempat secara rutin. Sedangkan makna untuk register kerja anak jalanan adalah mengamen, mengemis, dan melakukan berbagai hal dalam bentuk apapun untuk mendapatkan uang.

Penggunaan kata kerja ditemukan pada perbincangan anak jalanan pada hari Rabu, 5 Desember 2012, pukul 20.00 WIB di Tugu perempatan Jimbaran Radio, Surakarta. Situasi percakapan pada malam hari dengan kondisi yang ramai, dan kondisi jalanan padat. Saat itu ada beberapa anak jalanan yang mengamen dan mengemis di beberapa tugu traffic-light.

(1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 10 tahun, anak tersebut bernama Marsono. Beberapa anak jalan lainnya dari kejauhan mengamati dan melihat percakapan antara partisipan dan anak jalanan, namun tidak bertindak aktif. Register yang digunakan adalah kata kerja atau dalam bahasa Indonesia disebut kerja. Dalam situasi ini, anak jalanan menganggap kegiatannya adalah sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan dan mendapatkan uang baik itu laba, upah sebagai pengganti jerih- payahnya. Menurut asumsi publik, kegiatan yang dilakukan anak jalanan saat ini masih sebatas mengamen dan meminta-minta.

Bentuk ujaran yang digunakan adalah kata, kalimat dan kalimat tanya. Seperti menanyakan keberadaan anak jalanan, serta mampu mnejawab pertanyaan yang dilontarkan oleh anak jalanan, dan mampu menjawab dengan benar.

Nada, cara dan semangat dalam menjawab pertanyaan bersifat reseptif, dan sedikit ada semangat. Pada saat bertanya, sudah menggunakan tekanan ketika bertanya, nada naik dengan benar. Kegiatan anak jalanan ketika ditanyai sesuatu, tidak bisa berdiam diri. Ia melakukan kegiatan ekstra seperti memetik gitar, sambil jalan-jalan tanpa arah, dan kegiatan lainnya.

Kegiatan dan peristiwa tutur ini berjalan dengan baik dengan jalur lisan sebagai cara pengambilan datanya. Register yang ada adalah kerja yang memiliki arti bekerja, dalam hal ini identifikasi kata bekerja pada anak jalanan dan pada lingkungan masyarakat adalah berbeda. Jadi,

anak jalanan 1 : kowe ki ngapa neng kene ? Aku ki lagi kerja. kamu ngapain disini? Aku baru kerja

partisipan 1

: Ora opo-opo. Ora masar opo piye? idak apa- apa! Tidak ke pasar atau gimana?

anak jalanan 1 : Ora lha wong adhem tenan kok! idak, ini dingin

sekali kok

partisipan 1

: Gek kono kerjao aku tak neng kene. udah, ke sana saja, aku di sini

anak jalanan 1 : wegah tidak mau partisipan 1

: Yowis aku tak lunga! ya sudah aku pergi

bekerja. Secara normatif, tidak ada pelanggaran norma yang terjadi. Dikarenakan anak jalanan masih menggunakan bahasa yang wajar dalam bergaul dan berinteraksi. Namun adakalanya, jika dipermasalahkan, anak jalanan yang menggunakan bahasa sehari-hari dan berbicara dengan yang lebih tua tidak menggunakan bahasa yang baik kepada yang lebih tua.

Jenis peristiwa tutur ini adalah wawancara secara relaistis dari pertanyaan dan klarifikasi register yang dipakai dalam keseharian anak jalanan.

Meskipun klarifikasi bersifat singkat, namun setidaknya anak jalanan paham dan mengerti makna yang disampaikan oleg partisipan dalam konteks tersebut. selain itu juga sebagai bentuk klarifikasi penggunaan bahasa pada anak jalanan yang satu dan anak jalanan yang lainnya apakah juga mengerti dan paham dengan tutuan anak jalanan yang lainnya.

q. Kata kawasan pembagian lokasi kerja dan bos

penguasa pemimpin

Ditemukan penggunaan kata kawasan dan bos pada perbincangan anak jalanan yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB. Kompleks Teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres, Surakarta pada sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama Panggung. (1) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun bernama Slamet Irianjaya

Pertanyaannya

: Ora masar opo piye?

Dan jawabannya : Ora lha wong adhem tenan kok!

Tujuan dari peristiwa tutur tersebut untuk menggali informasi mengenai register yang dipakai oleh anak jalanan lain. Namun di sisi lain, anak jalanan tidak mengerti bahwa anak tersebut ditanya mengenai penggunaan bahasa anak jalanan lainnya. Tujuan penggunaan register pada kata kawasan adalah untuk mengetahui batasan kawasan beroperasi anak jalanan dalam satu daerah.

Dari peristiwa tutur ini di dapatkan, batasan wilayah untuk daerah Panggung dan Pasar Ledoksari, Kecamatan Jebres, Surakarta. Dengan diketahuinya batasan penggunaan baik dari anak jalanan (Slamet Irianjaya) dan anak jalanan lainnya, maka diketahui bahwa pemaknaan istilah kawasan serupa dengan pemaknaan kata daerah kekuasaan. Selain itu, penggunaan kata kawaan pada anak jalanan satu dengan yang lainnya memiliki persamaan persepsi.

Penggunaan kata bos, merupakan orang yang telah membimbing anak jalanan berada di jalanan. Anak jalanan tidak beroperasi sendirian, namun mereka dimonitori oleh seorang bos. Meskipun dalam peristiwa tutur ini tidak mampu digali siapa bos di kawasan Panggung, namun setidaknya pengertian bos untuk anak jalanan memiliki persepsi yang berbeda dengan masyarakat secara umum.

Bentuk ujaran berupa kalimat dan jawaban atas pertanyaan. Kalimat seperti, anak jalanan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh partisipan.

partisipan 1

: Pasar, Panggung, kawasan ngono kui batase opo ta? Pasar, Panggung, Kawasan seperti itu batasannya apa ta?

anak jalanan 1

: Ya, kui rel kreta! Gek cedhak pasar, perempatan ngono kui jenenge wis beda mas! Ya, ada rel kereta! Kalau enggak, dekat pasar! Di dekat perempatan! Namanya sudah beda!

partisipan 1

: Bos ki opo ta? bos itu artinya apa ta?

anak jalanan 1

: Bos ki sing mbimbing bos itu

pembimbing!

Topik pembicaraan adalah klarifikasi dari register anak jalanan yang diklarifikasikan di tempat yang berbeda. Topik secara eksplisit menceritakan tentang kawasan tempat anak jalanan beroperasi dan pengertian dari kata bos. Anak jalanan bersikap responsif dan menanggapi dengan baik pertanyaan dan tuturan dari partisipan.

Jalur digunakan peristiwa tutur ini adalah jalur lisan, karena bentuk interaksi ini wawancara semu. Anak jalanan ditemui ketika sedang beroperasi dan diajak berinteraksi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Register yang dipakai adalah kata kawasan dan bos. Kawasan memiliki makna yang sempit, yaitu daerah kekuasaan dan lokasi beroperasi anak jalanan, sedangkan bos memiliki arti seorang pembimbing yang memonitori kegiatan anak jalanan di jalan.

Norma pembicaraan antara anak jalanan dan partisipan adalah pembicaraan antar generasi yang berbeda. Namun tidak ada pembedaan diksi dan kalimat ketika anak jalanan berinteraksi dengan seseorang yang lebih tua. Norma tersebut adalah gambaran kecil anak jalanan di satu kawasan.

Bentuk peristiwa tuturan pada konteks ini adalah eksplorasi dan narasi. Anak jalanan menjawab pertanyaan dan menceritakan apa yang diketahuinya tanpa mengetahui adanya wawancara dan menggali informasi.

r. Kata mulih

tidur

Makna kata mulih yang secara umum dipahami oleh masayrakat adalah pulang ke rumah, sedangkan dalam register anak jalanan, mulih berarti tidur. Entah dimana dan kapan waktunya, asalkan ia bisa tidur dan beristirahat itu dinamakan mulih.

Ditemukan penggunaan kata mulih pada percakapan anak jalanan pada hari Senin, 10 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB di teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres. Situasi di sekitar teras Panggung Motor (Yamaha)

partisipan 1

:Bos ki opo ta? bos itu artinya apa ta?

anak jalanan 1

:Bos ki sing mbimbing bos itu pembimbing!

Beberapa anak jalanan masih berlalu lalang di jalanan. Kegiatan anak jalanan adalah mengamen, meminta-minta dan menjual koran.

(1) Anak Jalanan laki-laki denga usia ± 8 tahun; (2) Anak Jalanan perempuan (bernama Tugi) dengan usia kisaran ± 10 tahun. Ketika peristiwa tutur berlangsung anak jalanan tersebut sendirian, namun selang beberapa waktu, datang Tugi (anak jalanan (2) yang mengikuti jalannya peristiwa tutur yang sedang berlangsung. Ada dua anak jalanan yang menjadi nara sumber dan objek penelitian, namun selain itu ada pula anak jalanan yang duduk-duduk dan bernyanyi, namun tidak sebagi objek penelitian.

Tujuan dari penggunaan register mulih untuk mengidentifikasikan bahwa anak jalanan pulang ketika dia tidur saja, dan tempat pulang bagi anak jalanan tersebut adalah tempat tidur yang ia pakai untuk istirahat. Anak jalanan mengidentifikasikan dirinya ingin pulang ke tempat tidur dan istirahat.

Penggunaan register mulih atau pulang menunjukkan aktivitas anak jalanan ketika dia pulang hanya tidur saja. Dilihat dari kondisi anak jalanan ketika pulang saat dia sudah merasa kantuk, dan akan tidur ketika sampai di rumah. Bentuk tuturan anak jalanan tersebut adalah beberapa kata, kalimat pernyataan, dan kalimat tanya. Contohnya,

Mlaku? Mulih nengdi? alan kaki? Kemana? anak jalanan 1 Turu

tidur!

partisipan 1

: Kerja kono lho. kerja sana lho!

anak jalanan 1 : Lha aku bar iki mulih lho Lha saya setelah ini pulang

lho!

partisipan 1

: Mlaku? Mulih nengdi? jalan kaki? Kemana?

anak jalanan 1 : Turu

tidur!

partisipan 2

: Ora tau sekolah meneh? tidak pernah sekolah lagi?

Variasi penggunaan bahasa pada anak jalanan, serta anak jalanan mengerti penggunaan kalimat tertentu untuk maksud tertentu. Contohnya kalimat perintah dengan tujuan untuk memerintah, kalimat tanya untuk bertanya, kata berdiri sendiri untuk menjawab pertanyaan.

Penggunaan nada juga terlihat pada beberapa konteks kalimat yang dipakai oleh anak jalanan, seperti ketika itu ada beberapa anak jalanan yang lebih dewasa menghampiri anak jalanan ini, dan anak tersebut terlihat takut.

Jalur yang digunakan dalam peristiwa tutur ini adalah jalur lisan, karena penggunaan dan pemakaian bahasa lisan sebagai sarana utama perbincangan. Selain itu penggunaan register terdengar ketika anak jalanan

mulih

ke Pasar Ledoksari untuk beristirahat (tidur). Bentuk peristiwa tutur pada konteks ini mengacu pada eksplorasi dan narasi. Percakapan terjadi secara natural, ketika anak jalanan bertemu dengan anak jalanan lainnya. Eksplorasi, karena anak jalanan ketika ditanya perihal nama anak perempuan tersebut, ia menjawab pertanyaannya Ora tau sekolah meneh? (tidak pernah sekolah lagi?) oleh anak jalanan dijawab seperti pada kartu data di bawah ini.

Takut :

anak jalanan 1 : Kae lho sing neng kono mengko dha rhene nak kowe neng kene, dikira bosku! itu lho, yang di sana, nanti mereka ke sini kalau kamu di sini! Nanti kamu dikira bos saya!

anak jalanan 1

: Kowe mulih wae yo? kamu pulang aja ya?