Konsep Mahasiswa berkarakter kuat, cerdas dan berakhlak mulia

3. Konsep Mahasiswa berkarakter kuat, cerdas dan berakhlak mulia

Mahasiswa FKIP UNS dicetak sebagai calon guru, mereka dicetak agar mampu menjadi guru yang berkompeten yaitu yang memiliki karakter yang kuat, cerdas dan berakhlak mulia. Guru yang berkarakter kuat , ia bukan hanya mampu mengajar tetapi ia juga mampu mendidik. Ia bukan hanya mampu mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi ia juga mampu menanamkan nilai- nilai yang diperlukan untuk mengarungi hidupnya (Furqon Hidayatullah, 2009: 3). Dan salah satu dari penanaman nilai tersebut adalah melalu busana mereka. Mahasiswa yang memiliki karakter kuat oleh karena itu mereka diharapkan menggunakan busana yang longgar dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh.

commit to user

Guru yang cerdas menurut Furqon Hidayatullah bukan hanya memiliki kemampuan yang bersifat intelektual tetapi yang memiliki kemampuan secara emosi dan spiritual sehingga guru mampu membuka mata hati peserta didik untuk belajar, yang selanjutnya ia mampu hidup dengan baik ditengah-tengah masyarakat(2009:3)

Sosok guru yang berkarakter kuat dan cerdas diharapkan mampu mengem,ban amanah dalam mendidik peserta didiknya. Untuk menjadi guru atau tenaga pendidik yang handal harus memilki seperangkat kompetensi. Kompetensi utama yang harus melekat pada tenaga pendidik adalah nilai-nilai keamanahan, keteladanan dan mampu melakukan pendekatan paedagogis serta mampu berpikir dan bertindak cerdas. Selain itu Mahasiswa sebagai calon guru harus memiliki akhlak yang mulia harus mampu mengemban amanah, jujur dan memiliki sopan santun dalam hal ini terutama pertama kali dapat dilihat melalui busana yang mencerminkan diri mereka.

Mahasiswa FKIP yang berkarakter kuat, cerdas dan berakhlak mulia dididik untuk menjadi pendidikan yang unggul seperti visi FKIP tersebut yang sejatinya mereka akan menjadi seorang guru. Dalam usaha untuk menjadi pendidik yang unggul setidak- tidaknya ada tiga hal seperti yang diungkapkan oleh M. Furqon Hidayatullah (2003 : 167), (1) penampilan terbaik (The Best Appearance); (2) sikap terbaik (The Best Attitude); (3) prestasi terbaik ( The best Achivement). Dalam point pertama yaitu penampilan terbaik cara berbusana menjadi salah satu yang paling penting, cara berbusana yang mencerminkan mahasiswa sebagai seorang guru yang memilki karakter kuat, cerdas dan berakhlak mulia dalm hal ini cara berbusana yang sesuai dengan syariat (hukum agama); bersih dan pantas.

Dalam hal berbusana mahasiswa juga harus tetap menggunakan yang namanya etika Poerwadarminta dalam K. Bertens berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indon esia yang lama etika dijelaskan sebagai “ilmu pengetahuan tentang asas- asas akhlak (moral)” (1997: 4-6). Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru, etika dijelaskan dengan m embedakan tiga arti: “(1) Ilmu tentang apa yang

commit to user

baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). (2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. (3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau bermasyaraka t” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988).

Dengan demikian etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidup. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma moral serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.

Menurut Magnis Suseno dalam Burhanuddin Salam”etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran, yang memberikan norma tentang bagaimana harus hidup adalah moralitas” (1997: 1-2). Sedangkan etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut. Bisa juga dikatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi bagaimana dan ke mana harus melangkah dalam hidup. Tetapi

bedanya, moralitas langsung mengatakan: ”Inilah cara harus melangkah.” Sedangkan etika justru mempersoalkan: ”Apakah harus melangkah dengan cara itu? dan “Mengapa harus dengan cara itu?”.

M. Yatimin Abdullah (2006: 5-6) membedakan arti mengenai definisi etika sebagai berikut:

1) Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi

seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

2) Etika dapat dipakai dalam arti asas norma tingkah laku, tata cara melakukan, sistem perilaku, tata krama. Lebih tegasnya lagi ialah kode etik.

3) Etika dapat dipakai dalam arti perilaku baik-buruk, boleh tidak boleh, suka

tidak suka, senang tidak senang.

commit to user

4) Etika dapat dipakai dalam arti ilmu tentang perbuatan yang baik atau buruk.

Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodologis dan sistematis yang terdiri asas-asas dan nilai-nilai baik dan buruk.

Etika yang didefinisikan oleh Poerwadarminta dan Yatimin Abdullah memiliki persamaan yaitu sama-sama mendefinisikan etika dalam kajian dan perspektif yang luas yaitu etika mencakup ilmu, nilai, norma dan perilaku. Sedangkan Magnes Suseno mendefinisikan etika hanya dalam satu perspektif yaitu etika sebagai ilmu.

Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa etika dapat dibagi menjadi dua kajian yaitu etika sebagai ilmu dan etika sebagai perilaku. Etika sebagai ilmu apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Disusun secara metodologis.

2) Sistematis.

3) Berisi asas-asas.

4) Mengandung nilai-nilai baik dan buruk. Sedangkan etika sebagai perilaku apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Memiliki tata cara melakukan.

2) Memiliki sistem perilaku.

3) Memiliki tata krama.

4) Ada kode etik yang jelas. Kajian etika busana mahasiswa merupakan etika perilaku karena membahas mengenai cara berbusana, norma tingkah laku, tata krama serta kode etik sebagai akademisi.

Setelah membahas mengenai etika maka selanjutnya akan dijelaskan juga mengenai moral. Alasannya karena etika merupakan kata yang cukup dekat dengan kata moral. Bertens (1997: 5&7) menyatakan moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang bearti kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam kamus besar bahasa Indonesia 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral, karena keduanya

commit to user

berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya yang berbeda yang pertama etika berasal dari bahasa Yunani dan kedua moral berasal dari bahasa Latin. Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya ada nada yang lebih abstrak. Jika berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Burhanuddin Salam me nyatakan bahwa “moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia” (1997: 3). Sistem

nilai yang terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas adalah tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Jean

Piaget dalam Kohlberg, “...setiap kemampuan mental yang baru bermula dengan memasukkan dunia ke dalam suatu proses asimilasi egosentris. Barulah kemudian

kesanggupan itu mencapai keseimbangan melalui penyesuaian yang menyeimbangi realitas” (1995: 97).

Remaja yang mampu berfikir, hidup dalam suatu dunia kemungkinan antara tatanan konkret dan tradisional yang mematok masa dewasanya, terletaklah cakrawala luas dari yang hipotesis. Rasa terpesona beralih dari apa yang ada kepada apa yang dapat ada. Ketika seluruh alternatif berlipat ganda, menjadi jelaslah bahwa cara berfikir dapat menghantar dari masa remaja menuju ketakterbatasan, atau barangkali, menuju pada masa remaja yang tak terbatas. Berdiri pada puncak asimilasi kognitif, remaja disebut sebagai filsuf, bukan kanak-kanak lagi, tetapi ia belum dewasa, dan minat terletak pada hakikat peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa sebagaimana yang terjadi pada bidang moral. Beranjak dari tempat dalam proses perkembangan di mana pikiran

commit to user

deduktif hipotesis remaja beralih pada moralitas dan bukan saja mempertanyakan isi, melainkan juga seluruh premis filsafat moral konvensional. Perhatian menyangkut hakikat dari semua pertanyaan dengan bermacam-macam bentuk pemecahannya.

Memulai dengan melihat kembali hasil-hasil penelitian terbaru mengenai hubungan antara pemikiran operasional formal dan perkembangan moral, kemudian mempertimbangkan masalah relativisme moral dan hakikat pertimbangan moral pasca-konvensional, dan akhirnya membahas hubungan antara perkembangan moral dan perkembangan ego pada masa remaja akhir. Horton dalam Kohlberg (1995: 97-98) mempersoalkan apa yang diandaikan sebagai lazim, kesadaran mengenai alternatif-alternatif bagi sistem kenyakinan yang mapan, membedakan suatu budaya yang berorientasi pada ilmu dari budaya tradisional. Namun di dalam suatu budaya yang terorientasi pada ilmu pengetahuan, kesadaran bergantung pada perkembangan pemikiran operasional formal. Walaupun pertimbangan moral tidak semata-mata merupakan pengetrapan logika terhadap berbagai situasi konflik antarpribadi, struktur-struktur logis Piaget memang memberikan batasan pada pertimbangan moral. Maka pencapaian suatu tahap khusus kegiatan logis justru merupakan syarat yang perlu, walaupun tidak cukup, bagi perkembangan struktur paralel di dalam bidang moral.

Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan berkata bahwa perbuatan benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruk perbuatan manusia. Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak perilaku. Lepas dari segala keadaan khusus pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diijinkan dengan sukarela menghendaki macam perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan pelaku sebagai individu.

commit to user

Menurut Poespoprodjo (1988: 102-103) moralitas dapat intrinsik atau ekstrinsik . Moralitas intrinsik memandang perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap bentuk hukum positif. Hal yang dipandang adalah; apakah perbuatan baik atau buruk pada hakikatnya, bukan apakah seseorang telah memerintahkannya atau telah melarangnya. Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang kuasa, atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etika dan moral memiliki persamaan yaitu:

1) Berasal dari etimologi kata yang sama karena berasal dari kata yang berarti

adat kebiasaan.

2) Nilai dan norma yang menentukan perilaku manusia dalam hidup. Selain memiliki persamaan etika dan moral memiliki perbedaan pada asal bahasa yaitu etika berasal dari bahasa Yunani dan moral berasal dari bahasa Latin.

Dalam hal ini seorang calon guru juga harus memiliki etika, bukan hanya dalam hal berperilaku saja tetapi juga dalam hal penampilan terutama dalam hal ini adalah busana, busana yang dikenakan calon guru harus sopan sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya, tidak memakai celana ketat, kemudian baju mini dan transparan.

Dari beberapa uraian di atas dapat dijelaskan bahwa busana bagi manusia pada umumnya dan mahasiswa pada khusunya, bahwa busana bagi manusia yang memakainya mengandung makna,

a) Menunjukkan identitas pisik bagi kelompok manusia yang berada dalam tempat atau wilayah yang sama.

b) Menunjukkan identitas kejiwaan pribadi manusia individu. Busana menunjukkan identitas pisik manusia dalam wilayah yang sama misalnya pakaian adat Surakjarta dan Yogyakarta berbeda seragam maka siswa FKIP UNS berbeda dengan Fakultas lain. Pakaian oprang besar (raja lain dengann masyarakat biasa), sedangkan yang menunjukkan identitas kejiwaan pribadi manusia dapat dilihat dengan cara-cara berpakaian, ada yang berpakaian rapi

commit to user

trendi, ada yang berpakaian asal-asalan masa bodoh yang tidak menunjukkan kerapaian, keindahan, dengan cara-cara yang demikian ini akan dapat menentukan kejiwaan kepribadiannya.

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS TEKS EKSPOSISI MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN METODE INKUIRI DI MAN 2 FILAIL PONTIANAK Sajidin Muttaqin Putra. Nanang Heryana. Syambasril. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak

0 0 10

PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS DENGAN TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER DI SDN 24 PONTIANAK TENGGARA Hajar Mariani, Sugiyono, Syamsiati. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Pendidikan Dasar FKIP Untan Pontianak Email: marianiriri606gmail.com Abst

0 0 13

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MENGGUNAKAN MEDIA MANIPULATIF KELAS III SD NEGERI 21 PONTIANAK BARAT Nadhirah AR, K.Y Margiati, Kaswari. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Pendidikan Dasar FKIP Untan Pontianak Email: nadhirah_arasyid

0 0 14

Hayana Indryani, Suryani, Sri Utami Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Untan Pontianak Email : hayanaindryaniyahoo.com Abstract - PENGARUH PENGGUNAAN MODEL EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP HASIL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH

0 0 8

KAJIAN STRUKTURALIAME DAN NILAI-NILAI PADA HIKAYAT HANG TUAH JILID I KARYA MUHAMMAD HAJI SALEH Fiky Indra Gunawan Saputra, Antonius Totok Priyadi, Agus Wartiningsih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan, Pontianak Email : fikyind

0 0 14

Yoga Kharisma Putra Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik FKIP UNTAN Pontianak E-mail : yogagoyaaayahoo.co.id Abstract - BIOGRAFI H. MUHAMMAD (TOKOH SENIMAN HADRAH KOTA PONTIANAK)

0 0 12

PENGARUH TYPE THINK PAIR SHERE TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SDN 39 PONTIANAK KOTA Niki Anggraini, Tahmid Sabri, Hery Kresnadi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Untan, Pontianak Email: anggraininikigmail.com Abstract - PENGARUH TYPE THINK PAIR

0 0 8

Program Pascasarjana FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak venysafaria123yahoo.com Abstract - PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA GURU TERHADAP PRODUKTIVITAS SEKOLAH PADA SEKOLAH DASAR

0 0 10

Muhamad Ramadhan, Gusti Budjang A, Supriadi Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : muhamadramadhan441gmail.com Abstract - PENGENDALIAN SOSIAL PERILAKU INDISIPLINER SISWA OLEH GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SMA

0 1 12

Safitri, Nuraini Asriati, Supriadi Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : safitri1915yahoo.co.id Abstract - UPAYA ORANG TUA DALAM MENGATASI REMAJA PUTUS SEKOLAH (STUDI DI DUSUN TUMPUAN HATI DESA BENTUNAI KECAMATAN SELAKAU)

0 0 8