tertembak peluru tajam serta 35 orang ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Bogor.
5. Standar Nasional Indonesia SNI Nomor T-11-1991- 03 tentang Tata Cara Pemilihan Tenpat Pembuangan
Akhir Sampah TPA di mana dalam poin persyaratan disebutkan bahwa dalam penentuan TPA tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan dan peraturan yang telah ada.
6. Dalam Surat Keputusan Bupati Bogor tentang pemberian izin lokasi untuk TPA sampah hanya seluas
+- 20 Ha, akan tetapi dalam kenyataan pihak PT. WGS menggunakan lahan lokasi seluas 35 Ha.
7. Diduga keluarnya SK Pimpinan DPRD Kabupaten Bogor No.: 41 tahun 2002 tertanggal 08 November
2002 Tentang persetujuan kerjasama antara Pemkab Bogor dengan PT Wira Guna Sejahtera bermasalah
belakangan diketahui setelah dicek di sekretariat DPRD Bogor, SK tersebut tidak pernah dibahas, ini
juga berasal dari keterangan anggota DPRD Kabupaten Bogor.
3. Aspek Lingkungan Hidup
Bahwa ditinjau dari aspek lingkungan hidup, lokasi proyek sangat tidak layak. Secara geografis, lokasi TPST Bojong :
1. Sebelah Utara lokasi TPA hanya dipisahkan oleh jalan desa dan pemukiman warga juga terdapat situ danau
dengan luas kurang lebih 100 ha, dimana dalam Perda No. 17 tahun 2000 diperuntukkan sebagai kawasan
pariwisata.
2. Sebelah Selatan lokasi proyek berbatasan langsung dengan sungai Cikarang, merupakan sumber air bagi 7
desa di saat musim kemarau. 3. Sebelah Barat lokasi proyek merupakan sawah,
merupakan mata pencaharian warga terutama warga Desa Bojong, Singasari, Situsari dan Sukamaju.
4. Sebelah Timur lokasi terdapat Situ danau. 5. Dan lokasi TPA juga berada persis di tengah-tengah
desa, setidaknya ada 7 desa yang sangat dekat dengan lokasi, antara lain desa Bojong, Situsari, Cipeucang,
Singasari, Sukamaju, Cikahuripan dan desa Mampir. Dengan tetap memaksakan kehendak untuk
menjadikan TPA, berarti telah terjadi pelanggaran undang-undang No. 23 tahun 1997 pasal 5 ayat 1
yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
6. Jarak antara Lokasi TPST dengan permukiman hanya 50 meter, padahal sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia SNI Nomor T-11-1991-03 tentang Tata
Cara Pemilihan Tempat Sampah minimal berjarak 300 meter dari lokasi TPA.
Perlu diketahui, dalam studi yang pernah dilakukan di TPA Bantar Gebang, beberapa kerusakan lingkungan yang hingga
kini tidak bisa ditanggulangi akibat sebuah kawasan ekologi dijadikan TPA antara lain:
a Pencemaran Tanah Dengan asumsi volume sampah yang tidak terolah sebanyak
600 ton per hari, maka diperkirakan dalam 1 satu bulan tumpukan sampah yang tidak terolah bisa mencapai 18.000
ton. Dan sampah tersebut akan menggunung seperti apa yang pernah terjadi di Bantar Gebang. Otomotis sampah akan
mempengaruhi kualitas dan kuatitas lingkungan sekitar. Di mana diameter dampaknya bisa mencapai 0 sampai 10 km
dari lokasi.
Kegiatan penimbunan sampah akan berdampak terhadap kualitas tanah fisik dan kimia yang berada di lokasi TPST
dan sekitarnya. Tanah yang semula bersih dari sampah akan menjadi tanah yang bercampur dengan limbahsampah, baik
organik maupun anorganik baik sampah rumah tangga maupun limbah industri dan rumah sakit. Tidak ada solusi
yang konkrit dalam pengelolaannya, maka potensi pencemaran tanah secara fisik akan berlangsung dalam kurun
waktu sangat lama.
Akibat dijadikan Bojong sebagai keranjang sampah, seluruh kawasan dekat lokasi TPA dan lahan yang dilalui oleh truk-
truk sampah ke lokasi TPA tidak ada harganya. Warga semakin frustasi karena hanya tanah yang menjadi penopang
perekonomian satu-satunya warisan paling berharga dari nenek moyang mereka. Bukan kultur warga Bojong dan
sekitarnya menjadi pekerja informal apalagi sebagai pemulung.
b Pencemaran Air Air tanah sebagai kebutuhan utama untuk pemenuhan
kebutuhan bagi masyarakat Jonggol dan sekitarnya terancam keberadaannya. Pengalaman Bantar Gebang menyebutkan,
bahwa sampah apapun dapat diterima, sampah pasar dan sampah rumah tangga, limbah industri dan bahkan limbah
rumah sakit pun akan masuk ke TPA. Hal ini akan mempengaruhi kualitas air tanah akibat limbah sampah yang
akan meresap ke tanah dan akan terkumpulnya berbagai macam penyakit di sekitar wilayah proyek. Potensi
tercemarnya air tanah oleh limbah B3 pun tidak dapat dihindari, akibat adanya limbah indsutri dan limbah rumah
sakit.
Hasil penelitian Dinas Kesehatan, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa pencemaran di Bantar
Gebang pada bulan September 1999 menyebutkan 40 derajat keasaman air telah diambang batas, 95 ditemukan
bakteri ecoli di air tanah bakteri yang bisa menyumbat saluran pernafasan.
c Pencemaran Udara Kegiatan penimbunan sampah menimbulkan bau tidak sedap,
baik pada lokasi TPST maupun daerah sekitarnya dan jalur yang dilewati. Dampak bau bukan bersifat sementara,
malainkan selama TPST masih berfungsi, maka bau tidak sedap akan terjadi selam kegiatan berlangsung. Radius bau
sampah dari lokasi TPST berjarak antara 0 – 10 km, maka Desa yang paling besar menerima dampaknya adalah Desa
Bojong, Cipeucang, Situsari, Singasari, Sukamaju, Singajaya, dan desa Mampir. Baik desa yang dilewati jalur transportasi
pengakutan sampah maupun desa yang berada disekeliling lokasi proyek. Secara nyata kegiatn proyek akan berdampak
terhadap kualitas udara khususnya bau dan meningkatnya kadar SO2 dan NH2 di udara secara permanen selama
kegiatan proyek berlangsung. Secara otomatis, dengan tercemarnya udara maka kesehatan lingkungan penduduk di
sekitar TPST akan terganggu, terutama penyakit ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Atas.
Dalam temuan Dinas Kesehatan, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa 34 hasil foto rontgen
ditemukan penduduk sekitar Bantar Gebang positif menderita TBC. menurut sumber yang sama juga 99 mengalami
infeksi saluran pernafasan atas ISPA, 6 penduduk mengalami tukak tulang.
Tidak dapat dihindari bahwa terjadinya kebakaran sampah akibat gas methan maupun sengaja akan berpengaruh pada
perubahan iklim climate change, dimana hasil-hasil pembakaran tersebut menyebabkan perubahan temperatur
planet bumi semakin panas. Gas-gas yang menimbulkan efek rumah kaca, menyebabkan kerusakan lapisan ozon di
antaranya carbon dioxide, methan, dan clofluorocarbons CFC. Kegiatan pembakaran sampah semakin melengkapi
proses pemanasan global di samping emisi kendaraan bermotor timbal, Pb, pembakaran bahan bakar minyak
generator yang ada di lokasi proyek.
d Rusaknya Sistem Transportasi Pada saat kegiatan konstruksi maupun operasi akan
mempengaruhi terhadap kemacetan dan kerawanan lalu lintas
disepanjang jalur yang dilalui oleh armada pengangkutan sampah.
Proses pengakutan sampah dari wilayah DKI Jakarta dengan volume sampah 2.000 ton atau 8.000 m3 per hari akan
membutuhkan intensitas lalu kendaran ke lokasi sangat tinggi. Dengan asumsi 1 truk rata-rata mengakut 15 m3, maka dalam
satu hari membutuhkan sebanyak 533 truk. Dampak yang akan timbul antara lain : antrean panjang truk sampah yang
bau dan adanya ceceran sampah dan air daru truk-truk tersebut. Badan ruas jalan semakin sempit dan akan cepat
rusak akibat intesitas lalu lintas kendaraan yang melebihi kapasitas. Dengan demikian karena kondisi lingkungan sudah
tidak nyaman mengakibatkan warga yang mempunyai usaha dan tinggal disepanjang jalan akan terkena berbagai penyakit,
usaha warteg, dan pedagang makanan, akan mengalami kesulitan bangkrut.
4. Aspek Teknologi Bahwa dalam pelaksaan teknis, pemilahan antara sampah