Pemkab Bogor telah mengorbankan ribuan warga dan sumber sumber penghidupan warga Bojong khususnya, dan kawasan
Bogor Timur pada umumnya. Aspirasi warga Bojong dan sekitarnya yang menolak keberadaan proyek seolah tidak ada
artinya di telinga para pejabat Pemkab Bogor maupun Pemerintah Provinsi Pemprov DKI Jakarta.
Gunungan sampah sebesar 8.000 m3 2.000 ton dari 26,320 m3 perhari jumlah seluruh sampah dari Jakarta ini rencananya
akan dibuang TPST Bojong. Kawasan seluas 20 hektar area yang merupakan tanah adat tersebut akan dialokasikan sebagai
Tempat Pembuangan Sampah TPATPST seluas 70, dan fasilitas pendukung 30.
Pengalaman di kawasan Bantar Gebang Bekasi menyebutkan, akibat dijadikan kawasan tersebut sebagai TPA, warga sekitar
menuai derita yang tiada berujung. Dampak, seperti Penyakit ISPA, Gastritis, Mialgia, Anemia, Infeksi kulit, Kulit alergi,
Asma, Rheumatik, Hipertensi, dan lain-lain merupakan hasil penelitian di Bantar Gebang selama kawasaan tersebut
dijadikan TPA.
[2]
Penolakan datang sejak digulirkan oleh pemkab Bogor Bojong sebagai TPST antara lain desa Desa Bojong, Cipeucang,
Situsari, Singasari, Sukamaju, Cikahuripan, dan Desa Mampir. Nyaris semua kegiatan penolakan terhadap pihak-pihak
berwenang tidak ditanggapi secara positif, justru sebaliknya warga dianggap menghambat pembangunan sehingga warga
diintimidasi, dan dikriminalisasi oleh aparat kepolisian.
2. Aspek Hukum
Dasar Hukum yang dipergunakan untuk melegalkan proyek TPATPST ini adalah Surat Keputusan SK Bupati
Kabupaten Bogor Nomor: 59131KptsHuk2001 tentang Pemberian Izin lokasi untuk Pembangunan Tempat
Pembuangan Sampah Akhir TPA seluas ± 20 Hektar, terletak di desa Bojong, Kecamatan Cileungsi, atas nama PT. Wira
Gulfindo Sarana. Serta SK Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor Nomor: 41 Tahun 2002
tentang Persetujuan Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan PT Wira Gulfindo Sarana Tentang
Pembangunan dan Pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu TPST di Desa Bojong Kecamatan Klapanunggal
Kabupaten Bogor. Setelah diteliti ternyata SK tersebut bertentangan dengan:
1. Perda No. 27 tahun 1998 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kecamatan Cileungsi sampai dengan
Tahun 2008 dan Perda No. 17 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten
Bogor. Karena dalam Perda tersebut tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa kawasan tersebut
sebagai TPA. Yang ada justru sebaliknya kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan
Pengembangan Permukiman perkotaan. Kalaupun ada, kawasan yang diperuntukkan sebagai lokasi TPA
adalah desa Nambo Kecamatan Cileungsi dan kawasan tersebut khusus untuk lokasi TPA sampah dari
Kabupaten Bogor.
2. Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan hidup dan Peraturan
Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan hidup. Dalam
pembuatan AMDAL sangat tidak sesuai dengan prinsif dan nilai yang terkandung dalam Undang-undang No
23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Semestinya, sesuai dengan prosedur yang berlaku,
sebelum adanya kegiatan proyek perlu ada kajian KA ANDAL Kerangka Acuan Analisa Dampak
Lingkungan. Dan hal yang paling mendasar dalam proses ini adalah: pertama, kegiatan sosialisasi public
hearing dan membuat kesepakatan dengan warga yang berpotensi terkena dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kedua, pihak pemrakarsa harus secara transparan menjelasakan dampak-dampak
negatif dan positif apabila kegiatan proyek nantinya berjalan. Ketiga, dalam pembuatan AMDAL tersebut
harus mencakup tiga hal; i aspek ekonomi, ii aspek lingkungan hidup, dan iii aspek teknis. Dalam proses
ini, pihak pemrakarsa dan konsultan hanya mengutamakan aspek ekonomi dan keuntungan bagi
pemrakarsa saja tanpa memperhitungkan ekonomi masyarakat Bojong dan sekitarnya.
3. Undang-Undang Nomor 42 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terutama pasal 5 ayat 2 yang
menyatakan “Setiap orang berkewajiban mentaati Tata Ruang yang telah ditetapkan”. Dengan keluarnya SK
No. 59131KptsHuk2001, telah dengan sengaja Pemkab Bogor melakukan pelangggaran hukum.
4. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan mengeyampingkan aspirasi dan
melecehkan hak-hak atas lingkungan hidup maka secara otomatis Pemkab Bogor telah melakukan
pelangggaran HAM. Terlebih setelah terjadi bentrok antara warga dengan aparat kepolisian pada 22
November 2004 yang mengakibatkan 5 orang
tertembak peluru tajam serta 35 orang ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Bogor.
5. Standar Nasional Indonesia SNI Nomor T-11-1991- 03 tentang Tata Cara Pemilihan Tenpat Pembuangan
Akhir Sampah TPA di mana dalam poin persyaratan disebutkan bahwa dalam penentuan TPA tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan dan peraturan yang telah ada.
6. Dalam Surat Keputusan Bupati Bogor tentang pemberian izin lokasi untuk TPA sampah hanya seluas
+- 20 Ha, akan tetapi dalam kenyataan pihak PT. WGS menggunakan lahan lokasi seluas 35 Ha.
7. Diduga keluarnya SK Pimpinan DPRD Kabupaten Bogor No.: 41 tahun 2002 tertanggal 08 November
2002 Tentang persetujuan kerjasama antara Pemkab Bogor dengan PT Wira Guna Sejahtera bermasalah
belakangan diketahui setelah dicek di sekretariat DPRD Bogor, SK tersebut tidak pernah dibahas, ini
juga berasal dari keterangan anggota DPRD Kabupaten Bogor.
3. Aspek Lingkungan Hidup