Amar Putusan Hakim Pembahasan

Hal-hal yang meringankan : a. Terdakwa mengakui terus terang atas perbuatannya; b. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.

7. Amar Putusan Hakim

Majelis hakim setelah mempertimbangkan berbagai hal yang telah dijelaskan diatas maka pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa sebagaimana yang akan terurai dalam amar putusan dipandang telah setimpal dengan kesalahan terdakwa. Hal tersebut berdasar kepada Pasal 60 ayat 1 huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 dan pasal-pasal dalam KUHAP serta peraturan perundangan lainnya yang bersangkutan, maka Majelis hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa adalah sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa : Sie Siepo alias Iwan Santoso tersebut diatas terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengedarkan Psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standard danatau persyaratan farmakope Indonesia”. b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 2 dua tahun 6 enam bulan dan sebesar Rp. 2.000.000,00 dua juta rupiah subsidair 2 dua bulan kurungan. c. Menetapkan masa penangkapan, masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. d. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. e. Menetapkan agar barang bukti berupa : uang tunai Rp. 30.000,00 tiga puluh ribu rupiah dirampas untuk Negara, sedangkan seperangkat alat hisap shabu-shabu bong, 1 satu buah plastik kecil transparan berisi shabu-shabu dan 1 satu korek gas warna hijau tetap terlampir dalam berkas perkara untuk digunakan dalam pemeriksaan lain; f. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000,00 lima ribu rupiah.

8. Pembahasan

Hakim untuk mengetahui apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah terhadap tindak pidana yang didakwakan kepadanya membutuhkan pemeriksaan terhadap alat bukti serta barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim terhadap alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 KUHAP mengenai 5 lima alat bukti yang sah, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sesuai urutannya maka pemeriksaan yang pertama kali dilakukan adalah mendengarkan keterangan dari para saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam perkara pidana ”tanpa hak mengedarkan Psikotropika” ini terdapat 5 lima saksi, yaitu : Basri bin Wiryo Ngadimin, Suwito alias Wito, I Nengah Santra, Sri Joko dan Kusmantoro. Hasil pemeriksaan terhadap keterangan para saksi yang telah disumpah tersebut dapat disimpulkan bahwa benar terdakwa Sie Siepo alias Iwan Santoso adalah orang yang menjual shabu-shabu tanpa memiliki surat ijin kewenangan untuk menjualnya, shabu-shabu yang dijual seberat 0,5 setengah gram dengan harga Rp. 750.000,00 tujuh ratus lima puluh ribu rupiah dan terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 50.000,00 lima puluh ribu rupiah dari hasil penjualan shabu-shabu tersebut kepada saudara Basri bin Wiryo Ngadimin. Kesaksian yang diberikan oleh para saksi tersebut dibenarkan oleh terdakwa. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa, yang semuanya dilakukan pada persidangan pertama pada 26 Juni 2007. Dalam persidangan tersebut terdakwa memberikan pengakuan serta keterangannya. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Baik berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Dalam hal ini terdapat sedikit perbedaan mengenai ruang lingkup atau luasnya pengertian antara pengakuan dengan keterangan terdakwa. Istilah pengakuan lebih sempit pengertiannya dibanding dengan istilah keterangan terdakwa meliputi segala hal yang diakui maupun diingkari oleh terdakwa. Disamping itu penggunaan istilah keterangan terdakwa lebih manusiawi dibanding dengan istilah pengakuan. Istilah keterangan lebih mencerminkan posisi terdakwa sebagai subyek pemeriksaan yang diberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasinya, harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sedang istilah pengakuan, memperlihatkan posisi terdakwa sebagai obyek pemeriksaan, tidak memperlihatkan terlindunginya dan terjaminnya hak-hak asasi terdakwa dalam pemeriksaan. Istilah pengakuan menunjukkan pemeriksaan yang bersifat inquisitoir, sedang istilah keterangan mencerminkan pemeriksaan yang bersifat accusatoir Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992:121. Pengakuan haruslah diberikan oleh terdakwa sendiri, sehingga suatu keterangan maupun pengakuan yang diberikan oleh pembelanya tidak dapat dianggap sebagai pengakuan. Selain itu pengakuan harus diberikan secara bebas dan tidak dipaksa, dan tidaklah boleh memperolehnya dengan jalan memancing atas dasar pernyataan-pernyataan yang menjerat. Paksaan, kekerasan, tipu daya, menyebabkan suatu pengakuan menjadi tidak berharga sebagai alat bukti yang sah. Pengakuan haruslah diberikan di muka hakim. Selain itu pengakuan harus dengan teliti menyatakan cara- cara kejahatan tersebut dilakukan dan oleh sebab itu juga bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan tertentu untuk melakukan suatu tindak pidana. Terdakwa dalam memberikan pengakuan harus tegas. Diamnya seorang terdakwa merupakan pengakuan sebagian, dan ia tidak dapat memberi penjelasan tentang hal-hal yang memberatkan kesalahannya dan harus mengakui kekuatan alat-alat bukti, belumlah merupakan pengakuan kesalahan, hal tersebut hanyalah dapat dianggap ada jika terdakwa tegas menerangkan bahwa ia telah melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya Djoko Prakoso, 1988:107-108. Beberapa sering dijumpai terdakwa menarik atau mencabut kembali keterangan dan pengakuan yang diberikan dalam penjelasan penyidikan di sidang pengadilan. Hampir sebagian besar setiap keterangan dan pengakuan yang mereka berikan dalam pemeriksaan penyidikan, selalu dicabut kembali di sidang pengadilan. Jarang tersangka menyangkal kesalahan yang disangkakan, sehingga pada umumnya berita acara penyidikan mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan. Alasan pencabutan pengakuan itu diberikan karena tidak sanggup menahankan siksaan dan penganiayaan yang ditimpakan penyidik waktu pemeriksaan penyidikan. Namun tidak dapat semua dianggap benar dan dapat dipercaya. Dalam hal ini hakim harus secara arif bijaksana dan obyektif mengenai pencabutan keterangan tersebut. Secara yuridis terdakwa berhak untuk mencabut keterangannya tersebut, asal memiliki landasan alasan yang berdasar dan logis. Apabila keterangan terdakwa dicabut berarti keterangan yang ada dalam berita acara penyidikan dianggap tidak benar, keterangan itu tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan alat bukti di sidang pengadilan. Begitu juga sebaliknya apabila keterangan dan pengakuan tersebut tidak dicabut maka dapat digunakan untuk membantu menemukan alat bukti di persidangan. Dengan sistem pemeriksaan yang lazim dinamakan sistem inquisatoir tersebut, tersangka yang diperiksa hanya dipandang sebagai benda, sehingga terjadilah hal-hal yang mengerikan yang menimpa diri tersangka. Banyak tersangka yang diperlakukan di luar batas perikemanusiaan, dipukuli sampai babak belur, luka, berdarah, patah, pingsan, bahkan ada yang sampai meninggal dalam tahanan sebelum perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. Dalam keadaan tertekan dan tersiksa lahir batin yang sedemikian hebatnya, banyak tersangka yang tidak dapat bertahan lagi, sehingga akhirnya terpaksa mengaku bersalah atau mengaku melakukan perbuatan apa saja sebagaimana yang dikehendaki oleh pemeriksa. Padahal sesungguhnya, hakikatnya, ia tidak bersalah sama sekali atau tidak tahu sama sekali tentang tindak pidana yang dipersangkakan terhadapnya. Sehingga oleh karena itu pengakuan bersalah yang dilakukannya pada waktu pemeriksaan penyidikan tersebut palsu dan ditariknya kembali pada waktu pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam menghadapi perkara yang serupa dengan penjelasan diatas mengenai pengakuan yang diberikan secara terpaksa oleh tersangka atau terdakwa dibawah tekanan penyidik, jika hakim yang memeriksa dan mengadilinya lebih percaya kepada penyidik pembuat Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan daripada kepada terdakwa karena penyidik telah mengangkat sumpah sebelum menjalankan tugasnya karenanya tidak mungkin berdusta, maka hakim dalam putusannya tentu akan menghukum terdakwa yang bersangkutan. Ini berarti bahwa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya, penjahat yang sebenarnya, masih bebas dalam masyarakat yang merupakan ancaman terhadap keselamatan, keamanan dan ketentraman masyarakat. Akan tetapi bila hakim yang memeriksa dan mengadili perkaranya itu tidak terikat dan tidak terpengaruh keterangan terdakwa pada waktu pemeriksaan pendahuluan tersebut, maka adanya perbedaan yang sangat berbeda, antara keterangan terdakwa di depan penyidik pada waktu pemeriksaan pendahuluan dengan keterangan terdakwa di depan hakim pada waktu pemeriksaan di pengadilan, akan mengakibatkan proses pemeriksaan di persidangan pengadilan mengalami banyak kesulitan. Pemeriksaan terdakwa terpaksa harus dimulai dari awal Riduan Syahrani, 1983:94. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh terdakwa dalam persidangan perkara pidana ”tanpa hak mengedarkan Psikotropika” tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdakwa secara sadar melakukan tindak pidana tersebut. Selain itu juga berdasarkan keterangan terdakwa dalam berita acara persidangan bahwa terdakwa telah 3 tiga kali melakukan perbuatan pidana. Tindak pidana tersebut sengaja dilakukannya karena untuk menghidupi dan menafkahi keluarga serta dirinya. Namun pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hal tersebut seperti yang telah dijelakan dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP bahwa pembuktian harus berdasar pada alat bukti yang sah. Sedangkan pengakuan bersalah terdakwa tidak termasuk didalamnya. Hal tersebut dapat dilakukan penafsiran hermeneutika. Penafsiran diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Penerapan penafsiran terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Penafsiran hukum yang digunakan adalah penafsiran analogi, yakni penafsiran yang memperluas pengertian atau istilah dalam rumusan undang-undang, tetapi tidak berpedoman pada ketentuan undang-undang, melainkan menurut pengertian subyektif penafsir Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004:165. Berdasarkan analogi tersebut maka pengertian pengakuan diperluas sehingga dapat diartikan sama dengan keterangan. Dalam hal ini pengertian keterangan terdakwa lebih luas daripada pengakuan terdakwa. Dan pengakuan terdakwa merupakan bagian dari keterangan terdakwa, maka dapat diartikan pengakuan terdakwa sebagai keterangan terdakwa serta kedudukan keduanya dapat diartikan sama dalam persidangan perkara pidana. Sehingga dengan demikian pengakuan terdakwa dapat digunakan dalam proses pembuktian dipersidangan untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Tentunya penilaian kekuatan pembuktiannya diartikan sama dengan kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, yakni bebas berada ditangan hakim. Hal tersebut tergantung dari keyakinan yang dimiliki oleh hakim. Hakim memiliki kewenangan untuk memberikan nilai pada alat bukti tersebut atau sama sekali tidak memberi nilai terhadap alat bukti yang ada. B. Dapat atau tidak dapatnya pernyataan pengakuan bersalah terdakwa sebagai dasar pertimbangan penilaian Hakim dalam memutus tindak pidana tanpa hak mengedarkan psikotropika KUHAP telah mengatur mengenai dasar pertimbangan hakim untuk memutus suatu perkara. Hakim tidak dapat begitu saja memutus suatu perkara. Melainkan harus berdasar pada ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam perkara pidana suatu penghukuman diperlukan keyakinan hakim, oleh sebab itu maka tidaklah mungkin dapat diberi kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap suatu alat bukti, terlebih-lebih tidak kekuatan pembuktian yang memaksa dwingende bewijskracht, karena hakim dapat memberi kekuatan bukti yang kurang nilainya kepada suatu alat bukti sesuai dengan keinginannya, ataupun tidak memberi kekuatan bukti sama sekali jika ia tidak yakin Djoko Prakoso, 1988:47. Berdasar pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP hakim harus berpegang pada 5 lima alat bukti yang sah. Alat-alat bukti tersebut secara terpisah ataupun disatukan bersama-sama, dapat dipergunakan untuk menetapkan keyakinan hakim, sejauh mereka dapat disesuaikan satu sama lain. Tiga dari lima alat bukti yang sah dapat dipergunakan secara tersendiri ataupun dengan digabungkan, dengan demikian dapatlah bukti yang sah disusun, tetapi tidak boleh hanya atas dasar pengakuan saja, yang mana ditentukan bahwa hanya dengan bersatunya alat-alat yang lain dapat menyebabkan dijatuhkannya suatu hukuman, dengan lain perkataan, pengakuan secara tersendiri tidaklah mungkin dapat memberikan bukti yang sah tentang suatu kesalahan seperti tersebut dalam Pasal 189 ayat 4 KUHAP Djoko Prakoso, 1988:48. Suatu penafsiran hukum dapat dilakukan oleh hakim untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai yang berkembang dan dianut masyarakat. Seperti yang telah dibahas di depan bahwa dapat dilakukan penafsiran hukum analogi terhadap pengertian pengakuan terdakwa dengan keterangan terdakwa. Dalam hal ini pengakuan terdakwa dapat diartikan sama kedudukannya dengan keterangan terdakwa. Sehingga pengakuan terdakwa dapat digunakan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Karena keterangan terdakwa merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam KUHAP. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap alat bukti keterangan para saksi yang terdiri dari Basri bin Wiryo Ngadimin, Suwito alias Wito, I Nengah Santra, Sri Joko dan Kusmantoro. Serta alat bukti surat sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan Psikotropika danatau Narkotika melalui Test Urine tertanggal 10 April 2007 yang ditandatangani oleh Dr. Nariyana, dokter Poliklinik Polwiltabes Surakarta, terbukti test urine terdakwa mengandung Metamfetamina terdaftar dalam golongan II dua Nomor urut 09 Lampiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997, yang dengan adanya alat bukti surat tersebut dapat menerangkan bahwa selain memperjualbelikan shabu-shabu dengan tidak memiliki kewenangan, terdakwa juga mengkonsumsi shabu- shabu. Hal tersebut dibenarkan oleh terdakwa sendiri dalam persidangan bahwa benar dirinya juga mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu tersebut. Hakim untuk menentukan suatu hukuman kepada terdakwa harus memperhatikan kepentingan masyarakat serta kepentingan terdakwa sendiri. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim harus dapat dirasakan yang terbaik oleh masyarakat dan terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk mencapai usaha ini hakim harus memperhatikan beberapa hal Laden Marpaung, 1992:414-415: a. Sifat pelanggaran terhadap pelanggaran pidana itu; mengenai sifat pelanggaran pidana itu, apakah termasuk dalam pelanggaran berat atau ringan. Tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Sie Siepo alias Iwan Santoso merupakan tindak pidana khusus dan berat. Karena dengan dilakukannya pengedaran obat-obatan terlarang tersebut akan mengakibatkan rusaknya generasi bangsa serta menghancurkan nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.. b. ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu; ancaman hukuman yang diberikan atau dijatuhkan kepada terdakwa harus setimpal dan sesuai dengan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukannya, agar tujuan dari pemidanaan dapat dipenuhi, yakni untuk membuat jera pelaku dan tidak ingin mengulanginya lagi serta nantinya masih dapat diterima kembali kehadirannya dalam masyarakat. c. keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu yang memberatkan atau meringankan; keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana, yang dimaksudkan adalah pada saat melakukan tindak pidana tersebut adakah hal- hal yang membuat terdakwa terdesak sehingga mengakibatkan terdakwa harus melakukan kejahatan lain untuk menutupi kejahatan yang sedang diperbuatnya tersebut. Dalam perkara ”tanpa hak mengedarkan Psikotropika” ini terdakwa Sie Siepo alias Iwan Santoso merasa tenang melakukan perbuatan pidana tersebut, karena selain keadaan yang dikiranya aman dari pantauan petugas atau pihak-pihak yang berwajib dan berwenang, serta orang-orang yang terlibat didalamnya adalah orang-orang yang dikenalnya. Namun hal yang memberatkan dari tindak pidana yang dilakukannya adalah perbuatan terdakwa merusak mental generasi muda penerus bangsa serta terdakwa sudah pernah dihukum dalam perkara sejenis. Sedangkan hal-hal yang meringankan yakni terdakwa mengakui terus terang atas perbuatannya dan terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yang harus dinafkahinya. d. pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat tulen atau seorang yang telah berulang-ulang dihukum recidivist atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja, atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun seorang yang telah berusia tinggi; dalam perkara ini terdakwa Sie Siepo alias Iwan Santoso dapat dikategorikan sebagai penjahat recidivist, apabila ternyata benar kejahatan yang dilakukannya telah berulang kali dan jarak antara kejahatan yang satu dengan kejahatan yang lain tidak lebih dari 1 satu tahun dan ancaman pidananya sama dengan danatau lebih dari 5 lima tahun. Namun dari penjelasan yang penulis peroleh dari putusan serta berita acara persidangan yang hanya terbatas, penulis hanya sekedar mengetahui bahwa terdakwa sudah pernah dihukum sebanyak 3 tiga kali dalam kasus yang sama, tetapi tidak diketahui rentang waktu antara hukuman yang satu dengan hukuman yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ternyata hukuman atau pemidanaan yang dulu dijatuhkan kepadanya tidak membuatnya jera untuk tidak melakukan kejahatan lagi, apalagi dalam perkara yang sama. Serta faktor usia juga mempengaruhi putusan yang diambil oleh hakim. Apabila tindak pidana dilakukan oleh anak maka pidana yang dijatuhkan lebih ringan, karena anak dianggap masih memiliki masa depan yang panjang dan masih mampu untuk memperbaiki sikap dan perilaku untuk membangun masa depan yang baik. e. sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu; dalam perkara pidana “tanpa hak mengedarkan Psikotropika” ini sebab- sebab terdakwa untuk melakukan pelanggaran pidana adalah untuk menghidupi dan menafkahi keluarganya. f. sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu apakah ia menyesal tentang kesalahannya ataukah dengan keras menyangkal meskipun telah ada bukti yang cukup akan kesalahannya; sikap yang terdakwa tunjukkan dalam persidangan tersebut adalah ia merasa sangat menyesal atas perbuatan pidana yang dilakukannya dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. g. kepentingan umum; putusan yang diambil oleh hakim selain untuk memperhatikan kepentingan dan keadaan terdakwa tetapi juga untuk kepentingan umum yakni kehidupan masyarkat, bangsa dan negara. Karena tujuan ditegakkannya pidana adalah untuk menciptakan dan menjaga ketertiban umum dalam masyarakat. Sehingga putusan yang diambil haruslah mencerminkan kepentingan umum serta setimpal dengan kejahatan yang diperbuat. Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana hakim dapat bergerak dalam batas-batas maxima hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan bahwa alasan- alasan tersebut, baik untuk dijadikan landasan untuk memberatkan hukuman ataupun untuk meringankannya, tidak merupakan arti yang essential lagi. Dalam maxima dan minima tersebut, hakim bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Suatu kebebasan yang bukan berarti kebebasan mutlak secara tidak terbatas. Hal tersebut tidak mengandung arti dan maksud untuk menyalurkan kehendaknya dengan kesewenang- wenangan subyektif untuk menetapkan berat-ringannya hukuman secara konkrit. Hakim harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Hakim juga harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan, dengan umurnya, tingkatan pendidikan, apakah ia pria ataupun wanita, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal-hal lainnya. Berdasar pada ketiga alat bukti yang telah disebutkan diatas maka ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP dalam perkara pidana ini telah terpenuhi bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila terdapat minimal 2 dua alat bukti yang sah, dan ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada perkara ini, terdapat 3 tiga alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat 1 KUHAP serta hakim telah memiliki keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut, yang diperoleh dari satu kesatuan berdasarkan pembuktian yang dilakukan hakim di persidangan ditambah dengan pengakuan bersalah oleh terdakwa sendiri yang dapat ditafsirkan oleh hakim sebagai keterangan terdakwa. Maka putusan yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Surakarta sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pernyataan pengakuan bersalah terdakwa yang telah ditafsirkan menjadi keterangan terdakwa, dapat dijadikan dasar pertimbangan dan keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara pidana. Serta harus di dukung dengan alat bukti yang sah lainnya ditambah dengan keyakinan hakim yang memperkuat dakwaan terhadap kesalahan yang dilakukan terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan batas minimum pembuktian perkara pidana berdasar pada Pasal 183 KUHAP dan Pasal 189 ayat 4 KUHAP. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan dari beberapa kajian pustaka yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan seperti berikut :

A. Simpulan

Dokumen yang terkait

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN ACARA PEMERIKSAAN CEPAT DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN DI PENGADILAN NEGERI BOYOLALI

0 5 71

TINJAUAN TENTANG KEKUATAN ALAT BUKTI AHLI KETERANGAN DOKTER DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

0 4 109

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Wonogiri ).

0 3 13

PENUTUP TINJAUAN YURIDIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Wonogiri ).

0 3 4

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA (Studi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta).

0 0 26

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SITA EKSEKUSI DALAM KASUS UTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA.

0 0 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGAKUAN TERGUGAT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA.

0 0 16

SKRIPSI Penggunaan Keterangan Terdakwa dalam Pembuktian Persidangan Perkara Pidana ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta ).

0 0 14

PENDAHULUAN Penggunaan Keterangan Terdakwa dalam Pembuktian Persidangan Perkara Pidana ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta ).

0 1 18

KEKUATAN KETERANGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI PERSIDANGAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG (STUDI KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DI PENGADILAN NEGERI SEMARANG) - Unika Repository

0 0 9