2 Memeriksa kelengkapan para pihak yang terdapat dalam perkara tersebut.
Hakim Praperadilan memeriksa apakah para pihak yakni Pemohon dan Termohon Praperadilan sudah hadir atau belum. Misalnya belum hadir
apakah sudah dipanggil atau belum. Jika para pihak atau salah satu pihak didampingi Penasihat Hukum, dilihat surat kuasanya, sudah sesuai atau belum
dengan ketentuan yang berlaku. 3
Pembacaan permohonan Praperadilan dari Pemohon 4
Pembacaan jawaban Termohon Praperadilan. 5
Replik dari Pemohon Praperadilan 6
Duplik dari Termohon Praperadilan 7
Pemohon Praperadilan didengar keterangannya 8
Termohon Praperadilan didengar keterangannya. Ketentuan Pemohon maupun Termohon untuk didengar keteranganya di
pengadilan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf b mendengar keterangan tesebut secara tertulis atau secara lisan. Menurut
hemat penulis adalah secara- lisan, sehingga hakim Praperadilan bisa mendengar langsung dari para pihak. Segala sesuatu yang diperlukan untuk
bahan pertimbangan putusan. Juga bagi Termohon yang tidak langsung jadi kuasa dalam persidangan bisa disengar keterangannya.
9 Pemeriksaan alat bukti baik dari Pemohon dan Termohon
10 Kesimpulan para pihak.
11 Putusan Praperadilan.
Karena perkara Praperadilan harus diputus dalam waktu 7 tujuh hari, maka hendaknya hakim bisa mengatur jadwal sedemikian rupa, sehingga tidak lebih
dari 7 tujuh hari sudah bisa dibacakan putusan. Hari Sasangka, 2007:203-204
d. Gugur Pemeriksaan Praperadilan
Dalam Pasal 82 huruf d KUHAP ditentukan : ”dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.”
e. Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan
Dalam Pasal 83 ayat 1 ditentukan: ”Terhadap putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat
dimintakan banding”. Dalam Pasal 83 ayat 2 ditentukan : ”Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah putusan Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”.
Menurut Denny Kailimalang sebagaimana dikutip Hari Sasangka 2007: 206, hanyalah Penyidik dan Penuntut umum yang punya hak dalam hal ini. Jadi
apabila putusan tesebut menetapkan sah penghentian penyidikan atau penuntutan, berarti tidak dapat dimintakan banding dengan demikian dari
ketentuan Pasal 83 ayat 2 KUHAP itu tersirat adanya perlindungan terhadap penguasa Penyidik dan Penuntut Umum, karena hanya mereka saja yang dapat
mengajukan pemeriksaan akhir ke Pengadilan Tinggi kalau dinyatakan sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan.
Tata cara pemeriksaan banding perkara Praperadilan menurut TPP-KUHAP lampiran 12 adalah sebagai berikut:
1 Putusan Praperadilan tidak bisa diajukan banding kecuali dalam hal
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 2
Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan akhir Pasal 83 ayat 2 KUHAP;
3 Tenggang waktu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi adalah 7 tujuh
hari sesudah putusan; 4
Tenggang waktu 3 tiga hari setelah menerima permohonan banding sudah
harus mengirimkan berkas perkara ke Pengadilan Tinggi; 5
Pengadilan Tinggi dalam 3 tiga hari setelah menerima berkas perkara, harus sudah menetapkan hari sidang;
6 Dalam waktu 7 tujuh hari terhitung tanggal sidang yang ditetapkan, harus
sudah diputus perkaranya; 7
Antara penetapan hari sidang dan hari sidang tidak boleh melebihi 3 tiga hari.
dalam TPP-KUHAP lampiran 23 ditentukan bahwa putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan Kasasi. Sejalan dengan hal tesebut di atas Putusan
Mahkamah Agung No. 401 KPid1983 memberikan pertimbangan sebagai berikut:
1 bahwa menurut Pasal 244 KUHAP, permintaan pemeriksaan Kasasi dapat
diajukan terhadap putusan pekara pidana yang diberikan, pada tingkat terakhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung;
2 bahwa pemeriksaan dalam Praperadilan harus dilakukan secara cepat, dan
dalam hal perkara telah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, maka permintaan pemeriksaan Praperadilan gugur Pasal 82 KUHAP;
2. Tinjauan Umum Mengenai Penyidikan
a. Pengertian Penyidikan
Menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. b.
Wewenang Penyidik
Dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP ditentukan mengenai wewenang penyidik POLRI yaitu :
“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1 menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana; 2
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; 3
menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
4 melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5 melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6 mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7 memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8 mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara; 9
mengadakan penghentian penyidikan; 10
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
c. Penghentian Penyidikan
Dalam Pasal 109 ayat 2 ditentukan bahwa ”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat 2 tersebut maka dapat
disimpulkan adanya pembatasan tentang dapat dilakukannya suatu proses tindakan penghentian penyidikan yaitu;
1 Tidak diperoleh bukti yang cukup
2 Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana
3 Penghentian penyidikan demi hukum
Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak
menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 KUHP yaitu;
a Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya
atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus
perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b Tersangka meninggal dunia.
c Kedaluwarsa, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti
yang diatur dalam Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan.
M. Yahya Harahap, S.H. II, 2008:150-153.
d. Keberatan Atas Penghentian Penyidikan