Bahasa Masyarakat Indonesia Terkini dalam Grafiti

(1)

BAHASA MASYARAKAT INDONESIA

TERKINI DALAM GRAFITI

(Kajian Teks Dan Konteks Wacana Grafiti di Terminal Bungurasih)

Iqbal Nurul Azhar1

Abstrak:

Pengalaman, maupun masalah sehari-hari masyarakat yang bersifat komunal dapat pula menentukan variasi bahasa yang terjadi di dalam sebuah kebudayaan. Masyarakat yang sedang berada dalam titik emosional tertinggi seperti sedang marah atau sedih akan menghasilkan tuturan yang berhubungan dengan kemarahan dan kesedihan. Demikian juga masyarakat yang sedang berada dalam tekanan krisis ekonomi tentunya akan menghasilkan tuturan-tuturan baru yang berhubungan dengan dunia ekonomi atau bisnis. Dengan bersandar pada pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa (meskipun tidak selalu), sanggup menjadi representer dari kondisi masyarakat sebuah kebudayaan. Grafiti (Latrinal) sebagai salah satu bentuk bahasa tulis, seakan menegaskan hal ini. Dengan melihat fenomena grafiti yang ada di toilet umum, kita dapat melihat potret bangsa Indonesia yang ternyata sangat ”unik”

Kata-kata Kuni : bisnis, grafiti, teks, konteks

A. Pendahuluan

Banyak karya sastra yang ditulis baik oleh orang Indonesia maupun orang asing memotret sisi-sisi natural Indonesia. Beberapa diantaranya berhubungan dengan dunia politik dan dunia ekonomi seperti: Schwarz (2004), Santoso (2003), Sulistyo, Achwan & Soetrisno (2002), Effendy (2003), kondisi sosial bangsa Indonesia seperti: Winarta (2004), Herlijanto (2003), serta kondisi budaya yang termasuk di dalamnya dunia sastra dan segala isinya seperti: Aveling (2001), dan Jordaan (1997). Sayangnya diantara karya-karya tulis tentang Indonesia tersebut, sangat sedikit dijumpai karya-karya sastra khusus mengulas grafiti di Indonesia, utamanya grafiti yang terdapat di toilet umum dalam perspektif linguistik. Sedikitnya tulisan yang mengupas tentang grafiti di toilet umum ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) adanya anggapan bahwa grafiti di toilet adalah produk dari tangan-tangan orang-orang yang kurang paham tentang kebersihan sehingga tidak layak untuk didiskusikan, (b) grafiti di toilet umum adalah produk orang-orang yang tidak terpelajar dan karenanya mengandung makna dangkal atau rendah, (c) dan adanya anggapan bahwa toilet umum adalah tempat yang kurang bersahabat untuk dijadikan bahan diskusi apalagi dalam bentuk sebuah artikel formal.


(2)

Kesan minus juga peneliti dapatkan ketika pertama kali menjumpai grafiti (atau yang lebih kita kenal sebagai corat-coret) di tembok toilet umum. Ada perasaan tidak nyaman ketika membaca tulisan-tulisan yang tertera di tembok tersebut. Selain banyak mengandung kata-kata yang tidak pantas, tidak sopan, rasis, ataupun vulgar, bentuk font tulisannyapun sangatlah rendah kualitasnya apabila ditinjau dari sudut pandang keindahan. Namun anehnya, semakin sering peneliti bersua dengan grafiti yang tertulis di tembok toilet umum, perasaan tidak nyaman itu kemudian berubah menjadi perasaan positif karena terkadang, coretan-coretan di dinding toilet umum di tulis dengan menggunakan gaya yang mengesankan. Ada banyak sekali pertanyaan yang kemudian muncul terkait grafiti di dinding toilet umum, seperti; mengapa penulis grafiti tersebut menulisnya di dinding toilet, siapa gerangan penulisnya, dan untuk siapa tulisan tersebut diajukan. Seperti contoh salah satu grafiti yang penulis jumpai di dinding toilet terminal Bungurasih: Rhy Chaa. Sunrise in the Dark, memunculkan banyak sekali pertanyaan dan asumsi. Tidak hanya tulisan tersebut memunculkan pertanyaan siapakah sosok Rhy Chaa yang tertulis dalam grafiti, frasa Sunrise in the Dark pun mampu memikat penulis karena pilihan bahasanya yang tinggi dengan muatan ironi. Sunrise in the Dark adalah frasa dalam bahasa Inggis yang berarti mentari pagi yang terbit di kegelapan. Bentuk lingualnya yang menunjukkan kemampuan intelektual seseorang karena menggunakan bahasa Ingris yang puitis terlihat ironi apabila dilihat dari keberadaannya yang tercetak di dinding toilet yang kotor. Kesan akhir dari peneliti yang timbul dalam menangkap fenomena grafiti adalah: grafiti sangatlah menantang untuk dikaji.

Perubahan kesan dari negatif menjadi positif ini membimbing peneliti untuk kemudian mencoba mencari beberapa literatur dalam rangka memahami grafiti lebih dalam lagi. Dalam proses pencarian tersebut peneliti mengalami kesulitan untuk menemukan tulisan yang benar-benar tuntas mengupas grafiti yang ada di toilet umum. Beberapa artikel yang berhubungan dengan grafiti memang ditemukan, namun semuanya adalah kajian grafiti di toilet umum yang ada di negara lain. Minimnya tulisan tentang grafiti di toilet umum yang berada di Indonesia inilah, manyebabkan peneliti memiliki pandangan bahwa penelitian, atau artikel yang mengupas tentang grafiti di toilet umum di Indonesia, wajib ada. Karena itulah, sebuah penelitian telah peneliti lakukan dan paper inipun di sajikan.

Sumarlam (2009: 15) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog atau secara


(3)

tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat dan dokumen tertulis yang dapat dilihat struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat terpadu. Grafiti adalah dokumen tertulis yang memiliki bentuk kohesif (meskipun banyak juga yang tidak kohesif) serta memiliki makna koheren atau padu. Karena telah memenuhi syarat minimum sebuah objek dikatakan sebuah wacana inilah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Grafiti adalah sebuah wacana. Artikel ini secara umum membahas tentang grafiti sebagai salah satu bentuk wacana dalam sudut pandang linguistik, dan karena berbentuk wacana, maka bidang linguistik yang tepat untuk mengkaji objek ini adalah analisis wacana. Pisau analisis yang digunakan untuk membedah wacana grafiti ini adalah analisis Kohesi Tekstual dan Kontekstual

B. Definisi dan Klasifikasi Grafiti

Kata ‘grafiti’ berasal dari bahasa Itali dan kata ini merupakan bentuk plural dari kata ’grafito’ yang berarti gambar atau tulisan. Dalam bahasa Inggris, kata grafiti telah berubah makna dari yang semula gambar atau tulisan menjadi tulisan yang berada di tempat umum, di tempat yang tidak semestinya. Seiring perkembangan jaman, definisi tersebut mulai melonggar dan lukisan muralpun kini telah dianggap sebagai grafiti. Grafiti di masa kini mencakup segala jenis coretan, gambar-gambar, lukisan-lukisan, simbol-simbol, lambang-lambang yang tertulis pada dinding, apapun motivasi penulisannya. Besarnya ruang lingkup grafiti, menyebabkan beberapa orang terpanggil untuk melakukan kodifikasi, seperti Gadsby (1995) mencoba memberikan klasifikasi terhadap grafiti; ia mengkategorikan grafiti kedalam enam jenis yaitu: (1) latrinalia, (2) public, (3) tags, (4) historical, (5) folk epigraphy, dan (6) humorous.

Latrinalia pertama kalinya didefinisikan dengan jelas oleh Dundes yang merujuk

pada tulisan yang ditemukan di toilet (Gadsby, 1995; Emmison & Smith, 2000).

Latrinalia adalah salah satu tipe grafiti yang telah menarik banyak orang dari berbagai

disiplin ilmu di Amerika Serikat untuk menelitinya. Dengan adanya banyak penelitian tersebut, toilet menjadi tempat terkotor namun paling diungkap di negara tersebut.

Public mengacu pada grafiti yang ditulis di tempat-tempat umum seperti

taman-taman, gedung-gedung, maupun tembok-tembok di pinggir jalan. Penamaan public diambil dari karakteristiknya yang mengisi tempat umum, entah ditujukan untuk mempercantik atau malah memperburuk pemandangan di tempat umum tersebut.


(4)

bersifat unik dan individualis. Tags dapat berbentuk nama individu, atau expresi individu. Dengan kata lain, Tags dapat diibaratkan sebagai sidik jari seseorang. Bentuk-bentuk umum Tags berupa nama penulis, inisial, alamat, atau simbol-simbol khusus individu.

Berbeda dengan beberapa jenis Grafiti di atas, Historical mengacu pada grafiti yang kebeadaannya terungkap oleh orang-orang yang hidup pada masa jauh setelah grafiti tersebut dibuat. Dari masa dibuat dan masa penemuannya yang terpaut jauh, menyebabkan orang-orang yang mengadakan penelitian terhadap grafiti tersebut tidak memiliki akses langsung terhadap pikiran internal dari penulis grafiti. Peneliti hanya bisa menemukan arsi-arsip bersejarah yang cukup untuk menguak misteri grafiti, namun tidak dapat menjelaskannya secara tuntas.

Folk epigraphy adalah tulisan yang dibuat oleh orang-orang kebanyakan pada

dinding, batu, kayu dan lainnya. Gadsby (1995) menemukan bahwa tipe grafiti jenis ini cenderung dituliskan dengan cat semprot yang banyak dijual ditoko-toko.

Jenis terakhir dari grafiti adalah Humorous. Grafiti berjenis ini sangat sulit untuh didefinisikan, namun pada dasarnya, grafiti jenis ini berkarakter untuk menghibur pembacanya.

Grafik di bawah ini merupakan perbandingan dari jumlah orang-orang yang mengadakan penelitian terhadap Grafiti. Dari grafik di bawah, kita dapat melihat bahwa grafiti berjenis public dan latrinalia adalah dua jenis Grafiti yang paling banyak diteliti dan diungkap oleh peneliti pada masyarakat

Tabel 1. Grafik Perbandingan jumlah penelitian terhadap berbagai tipe Grafiti. (Gadsby, 1995)

Klasifikasi Grafiti lain disampaikan oleh Blume (Dalam Gadsby, 1995). Blume membagi grafiti kedalam dua jenis yaitu: Conversational dan Declarative. Grafiti Conversational mengajak pembacanya (baik itu sengaja maupun tidak oleh penulisnya) untuk bergabung dalam sebuah alur percakapan. Kondisi ini hampir sama dengan sebuah


(5)

skrip percakapan yang ditulis oleh penulis yang beraneka macam. Berbeda dengan percakapan biasa, grafiti Conversational memiliki karakter mengajak berkomunikasi partisipan baik itu yang dikenal maupun yang tidak.

Perlu dicatat bahwa tidak semua Grafiti mengajak partisipasi dari pembacanya. Ketika sebuah graffito tidak dimaksudkan untuk mengajak pembacanya berkomunikasi, maka grafiti jenis ini disebut sebagai Declarative. Pada beberapa kasus, grafiti Artistik maupun tags temasuk dalam kategori grafiti jenis ini

C. Kajian-kajian Tentang Grafiti

Grafiti dapat ditemukan di berbagai tempat. Corat-coret ini menghiasi berbagai tempat termasuk di dalamnya toilet umum. Keberadaannya yang umum telah mengundang berbagai orang dari berbagai bidang ilmu untuk mengadakan eksplorasi dengan menempatkan grafiti sebagai objeknya. Namun, seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian-penelitian yang telah dilakukan kebanyakan dilakukan di luar Indonesia seperti; Obeng (2000); Adams & Winter (1997); Moonwomon (1995); Gadsby (1995); Rodriguez & Clair (1999); dan Joswig-Mehnert & Yule (1996). Hanya satu artikel bersetting Indonesia ditemukan, artikel ini ditulis oleh Basthomi (2007)

Penelitian grafiti yang dilakukan oleh Obeng (2000) sebagai contoh mengambil lokasi di Legon, Gana. Fokus penelitian Obeng adalah hubungan grafiti dengan politik. Dalam penelitiannya, Obeng meletakkan grafiti sebagai sebuah wacana yang berada dalam ranah politik. Wacana grafiti ini kemudian digunakan oleh masyarakat yang memiliki sikap dan pandangan yang berbeda dengan pemerintah untuk mengungkapkan aspirasinya. Grafiti juga difungsikan sebagai media penyampai rasa marah, frustasi atas kejenuhan dan keresahan masyarakat terhadap panasnya situasi politik yang ada di negara tersebut.

Berbeda dengan Obeng yang lebih menitik beratkan pada aspek politik, Adam dan Winter (1997) melakukan penelitian dengan fokus pada gafiti di gang-gang kota. Dari hasil penelitian mereka, grafiti di gang-gang ternyata tidak hanya memiliki fungsi sebagai penanda kekuasaan dari komunitas pemilik gang (gangster), tapi grafiti tersebut juga merefleksikan serta merepresentasikan sosiokultur dari subkultur para gangster pemilik gang tersebut. Grafiti ternyata menjadi penanda perasaan kesetiakawanan terhadap kelompok, dan tentunya kepemilikan terhadap gang itu sendiri. Grafiti dapat


(6)

Selain itu, grafiti dapat pula digunakan sebagai tanda penghormatan terhadap anggota mereka yang telah tewas dalam pertarungan antargangster atau dengan aparat kepolisian. Moonwomon (1995) melakukan pengajian terhadap grafiti yang ada di kamar mandi wanita. Di tempat tersebut ia menjumpai bahwa graffiti yang ditulis kaum wanita pengguna toilet, kebanyakan merupakan wacana politik, gender dan rasis. Berdasarkan pada data yang diambilnya di toilet umum yang ada di Universitas Kalifornia Berkeley, Moonwomon menemukan bahwa grafiti yang ada di kamar mandi wanita menggambarkan berbagai wacana yang berbentuk diskusi antar komunitas wanita dengan tema perkosaan, bias gender, ataupun rasis yang ditulis dengan nada “ hangat.” Grafiti ini juga mencakup wacana adanya pratek-praktek dan atau suara-suara pro kontra yang berhubungan dengan rasis/nonrasis dalam lingkaran komunitas kampus tersebut.

Berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan di atas, penelitian yang dilakukan oleh Joswig-Mehnert and Yule (1996) menitikberatkan pada bagaimana pembaca (dalam hal ini siswa) memberikan respon atau menginterpretasikan sebuah grafito. Subjek penelitian mereka adalah 75 siswa. Ke75 siswa tersebut diminta untuk membaca 12 grafiti. Dari pengamatan Joswig-Mehnert and Yule, mereka menjumpai bahwa subjek cenderung memberikan interpretasi berbeda. Mereka juga berbeda dalam menjelaskan sisi mana yang menarik dari grafiti yang telah mereka lihat. Dari data ini, Joswig-Mehnert and Yule menyimpulkan bahwa pembaca grafiti cenderung mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan grafti tanpa identitas. Ternyata, informasi tentang pembuat graffti tersebut mempengaruhi interpretasi terhadap sebuah grafito. Simpulan ini dikuatkan oleh temuan Rodriguez and Clair (1999) dalam studinya terhadap teks-teks tanpa identitas penulisnya.

Vernedoe and Gopnik (dalam Gadsby, 1995) membuat studi komparatif terhadap seni dan grafiti. Mereka menemukan bahwa grafiti adalah perpaduan dari expresi dewasa dan kekanak-kanakan. (Gadsby, 1995). Temuan Abel dan Buckley (dalam Gadsby, 1995) bertentangan dengan temuan Vernedoe and Gopnik. Dalam hal ini, mereka memandang grafiti sebagai fenomena pertentangan psikologis, yaitu bagi penulis grafiti, grafiti yang dihasilkannya adalah sebentuk komunikasi personal dan dianggap sebagai hal biasa padahal bagi orang lain, hal tersebut adalah sebuah problema (Gadsby, 1995).

Sedang Basthomi (2007) yang oleh peneliti sampai saat ini dijumpai sebagai satu-satunya pengkaji grafiti dengan setting Indonesia, mengangkat grafiti yang ada di bak truk sebagai pokok bahasan utama dalam tulisannya.


(7)

D. Limitasi, Jenis dan Metode Penelitian D.1. Limitasi Penelitian

Ada ribuan toilet umum tersebar di Indonesia. Karena jumlahnya sangat banyak, maka toilet yang dikaji dibatasi. Terminal Bungurasihpun dipilih sebagai lokasi penelitian. Dipilihnya bungurasih sebagai lokasi penelitian bukanlah tanpa alasan. Ada banyak pertimbangan yang mendasari pemilihan ini antara lain: (a) Bungurasih adalah termasuk terminal primer di Indonesia yang memiliki trayek hampir ke seluruh kota besar di pulau Jawa, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara, sehingga dengan besarnya trayek ini, dipastikan hampir semua suku bangsa di Indonesia pernah singgah dan bahkan menggunakan toilet yang ada di terminal bungurasih (b) akses peneliti terhadap teminal ini sangat mudah karena hampir dua minggu sekali peneliti berkunjung ke terminal ini dalam rangka bepergian.

Adapun grafiti yang menjadi objek penelitian adalah grafiti yang tertulis di dalam kamar mandi toilet, bukan di luar atau bukan pula di sekitar toilet. Dipilihnya grafiti yang ada di dalam kamar mandi didasar pertimbangan antara lain: (a) kamar mandi adalah tempat privat, hanya satu orang saja yang boleh memasukinya dalam satu waktu, tidak boleh dua ataupun lebih. Karena itulah, toilet dapat menjadi tempat yang aman bagi penulis grafiti untuk membuang hajat ataupun untuk menuliskan sesuatu yang bersifat pribadi tanpa harus merasa malu dan takut diketahui orang lain (b) karena bebas dari orang lain, maka bahasa yang digunakan akan lebih ekspresif dan lebih vulgar. Berdasarkan hasil studi lapangan, tidak adanya grafiti di toilet perempuan, sehingga grafiti yang dikaji dalaam artikelpun adalah grafiti yang dimbil di toilet laki-laki.

Ada 23 Grafiti yang akan dianalisa dalam paper ini. Pengambilan ke-23 grafiti tersebut didasarkan pada beberapa aspek yaitu (1) kejelasan tulisan, (2) dipahaminya pesan dan (3) kemampuannya grafiti untuk merepresentasikan grafiti lain yang sejenis.

D.2. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan cara memerikan gejala kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya dengan tidak melibatkan angka.

Adapun langkah-langkah penelitian dimulai dari: (a) pengumulan data, (b) klasifikasi data (c) analisis mikrostruktural dengan menitikberatkan pada mekanisme kohesi tekstual baik itu gramatikal maupun leksikal yang membentuk sebuah wacana


(8)

menjadi koheren (d) analisis makrostruktural dengan mempertimbangkan konteks situasi (e) menyimpulkan

E. Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Grafiti Di Toilet Umum Bungurasih

Berdasarkan data yang dikumpulkan peneliti dalam studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 28 Maret 2009, peneliti menemukan banyak hal menarik yang akan di bahas pada bagian ini. Hasil temuan dalam studi lapangan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekaan mikrostruktural melalui penanda kohesi grammatikal dan leksikal dan pendekatan makrostruktural secara konteks.

Adapun hasil temuan yang telah melalui proses reduksi data disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:

a. HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX

m. Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

Yang mau menerima apa adanya b. SALAM

AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

n. Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

c. CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI

o. Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri d. Gay Cakep Pacaku

Yang Macho Aja boleh

p. Bonek Viking sama saja Sama-sama anjing e. Boromania

Bonek 1 Jiwa

The Jack Anjing! Arema Jancok LA mania pecundang 19 Juni 2009

q. SINGO EDAN PASOPATI

MACAN KEMAYORAN LAMONGAN

Super Pengecut (Jago Kandang) f. Kadal Afrika

Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

r. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

g. Butuh Homo cepat s. KUSNUL LOVE SAMSUL

h. Aku SH Terate t. Jancok Kabeh Seng Nyoret

i. Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing pake doa

Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

u. Ini adalah Saksi Bisu Kenikmatan Bu Neli Kamis 13-09-09, 01.00 WIB

j. Mita Butuh Yang Besar Banget 081852335xxx

v. PSS Slemania QZ ROEH JOGJA k. Pasoepati Solo

By Winners

w. Rhy Chaa

Sunrise in the dark l. Di Bunuh Saja PSS Sleman


(9)

E.1. Kohesi Grammatikal

Sebuah wacana dapat dipahami apabila memiliki kepaduan struktur lahir dan struktur batin. Padunya dua struktur in dapat dilihat dari hadir atau tidaknya alat-alat pembentuk jaringan teks yang meliputi: (a) referensi, (b) substitusi, (c) elipsis, (d) konjungsi, (Halliday, 1976:9)

Diantara lima alat-alat pembentuk jaringan teks, tidak semuanya hadir dalam wacana grafiti yang muncul di toilet umum bungurasih. Adapun alat-alat tersebut adalah: (a) referensi, (b) substitusi, dan (c) elipsis

E.1.a. Referensi

Referensi (pengacuan) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau mengikutinya. Ada tiga pengacuan yang ditemukan dalam grafiti yaitu (1) pengacuan persona (2) pengacuan demonstratif (3) pengacuan komparatif.

Pengacuan yang berupa pronomina persona dalam grafiti dapat dilihat pada data di bawah ini:

1. Gay Cakep Pacaku Yang Macho Aja boleh 2. Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing pake doa Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

Pengacuan pada data 1 yaitu -ku, merupakan pronomina persona pertama tungal terikat lekat kanan. Pronomina -ku mengacu pada penulis grafiti ini yang identitasnya tidak jelas. Pada data 2, terdapat juga pengacuan pronomina -mu yang berbentuk pronomina kedua tunggal lekat kanan. Satuan lingual -mu mengacu pada setiap orang (tunggal) yang membaca grafiti tersebut. Karena hal yang diacu (acuan) dari dua pronomina persona -ku dan -mu pada data di atas berada di luar teks wacana, maka pengacuan ini disebut pengacuan eksofora.

Pengacuan yang berupa demonstratif waktu dan tempat ada pada data (3)–(11) di bawah ini.


(10)

3 Boromania Bonek 1 Jiwa

The Jack Anjing! Arema Jancok LA mania pecundang

19 Juni 2009

7 Pasoepati Solo By Winners

4 Ini adalah Saksi Bisu Kenikmatan Bu Neli

Kamis 13-09-09, 01.00 WIB

8 Di Bunuh Saja PSS Sleman

5 Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

9 Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

6 Awas penipuan di pondok alas tengah

Paiton Belajar bhs Asing pake doa

Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

10 SINGO EDAN PASOPATI

MACAN KEMAYORAN

LAMONGAN

Super Pengecut (Jago Kandang) 11 Asu Slemania 100%

Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

Pada data (3) dan (4) terdapat pengacuan satuan lingual waktu netral yaitu satuan lingual 19 Juni 2009 dan Kamis 13-09-09, 01.00 WIB. Pada data 4-11 terdapat pengacuan waktu tempat menunjuk secara eksplisit yaitu Afrika, Arabia, Indonesia, India (data 5), alas tengan Paiton (data 6), Solo (data 7), Sleman (data 8), Bojonegoro, Surabaya (data 9), Kemayoran, lamongan (data 10), dan Jogja (data 11)

Adapun engacuan yang berupa komparatif ada pada data 12 di bawah ini.

12. Bonek Viking sama saja Sama-sama anjing

Satuan lingual sama-sama adalah pengacuan komparatif yang membandingkan antara ciri dan sifat yang dimiliki Bonek dan Viking dengan anjing.

E.1.b. Substitusi

Substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda (Sumarlam, 2009:28). Hal ini nampak pada data berikut:

13. Boromania Bonek 1 Jiwa


(11)

Arema Jancok LA mania pecundang

19 Juni 2009 14. SALAM

AGENT DOSA

GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

15. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

Kata Anjing yang ada pada data 13, adalah kata makian. Kata ini bermuatan penghinaan yang kasar. Namun bagi orang Jawa Timur, makian ‘Anjing’ tidaklah seburuk kata makian ’Jancok’. ’Pecundang’ adalah juga kata makian, namun sifat penghinaannya tidaklah seburuk kata Anjing maupun Jancok. Dari data 13, kita dapat melihat bahwa penulis grafiti sangat mahir dalam memilih kata. Ia berusaha mengungkapkan kebenciannya pada The Jack dengan menggunakan kata ’Anjing,’ Sedangkan pada Arema yang mungkin lebih ia benci daripada ’The Jack,’ ia menggunakan kata makian yang lebih sarkastis dengan menggunakan kata ’Jancok.’ Pada LA Mania, ia ungkapkan juga perasaan bencinya dengan menggunakan kata makian. Namun untuk LA Mania, kata makiannya lebih halus daripada kata makian yang ditujukan pada The Jack dan Aremania. Dari pilihan inilah kita dapat menilai bahwa kebencian penulis grafiti ini kepada LA Mania tidaklah sebesar kebenciannya pada The Jack, lebih-lebih pada Aremania.

Pada data 14, sebuah frasa ’agen dosa’ disubstitusikan dengan kata ’gigolo.’ Fenomena substitusi frasa inilah yang kita kenal dengan sebutan substitusi frasal berbalik arah. Frasa ’agen dosa’ dan ’gigolo’ merupakan frasa atau kata yang memiliki sifat sama yaitu kata atau frasa yang berkonotasi negatif. Agen Dosa dan Gigolo memiliki kemiripan nuansa makna yaitu sama-sama memiliki nuansa pekerjaan yang ilegal dan dekat dengan dunia hitam.

Data 15 hampir sama dengan data 13. Penulis menggunakan kata ‘anjing’ dan ‘anjing liar’ untuk mensubstitusi kata ‘asu.’ Dengan disubstitusikannya kata ‘asu’ dengan kata yang lain, maka kata-kata yang ada dalam grafiti menjadi lebih variatif

E.1.c. Elipsis


(12)

bahasa, dan bagi pembaca untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang sengaja (tidak) diungkapkan dalam satuan bahasa (Sumarlam, 2009:30). Teknik seperti ini ada pada beberapa grafiti yang ditemukan di toilet umum bungurasih, sepert contoh:

16 Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing

pake doa. Ø Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

19 Cewek Bispak asli Bojonegoro

Ø Domisili Surabaya Ø Asli Hot Ø Lagi butuh duit, Ø Hot mas!

Luni

17 Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar Ø 100% Asu

20 Cowok Brondong Cakep Imut-imut

Ø Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

18 Rhy Chaa.

Ø Sunrise in the dark

21 Bonek Viking sama saja

Ø Sama-sama anjing

Beberapa penulisan grafiti di toilet Bungurasih menggunakan cara lesap untuk memperoleh keekonomisan penggunaan bahasa. Pada data 16, satuan lingual Belajar

Bahasa Inggris Pake doa dilesapkan pada baris keempat di awal kalimat. Pada data 17,

satuan lingual Slemania PSIM dilesapkan pada awal kalimat baris keempat. Pada data 18, satuan lingual Rhy Cha mengalami pelesapan pada awal kalimat baris kedua. Pada data 19, satuan lingual cewek bispak dilesapkan pada awak kalimat pertama baris kedua, awal kalimat kedua baris kedua, awal kalimat pertama baris ketiga, dan awal kalimat kedua baris ketiga. Pada data 20, satuan lingual Cowok Brondong Cakep Imut-imut dilesapkan pada awal kalimat baris kedua. Dan pada data 21, satuan lingual Bonek Viking mengalami pelesapan pada awal kalimat baris kedua

Seluruh satuan lingual yang dilesapkan data 16-21 apabila keseluruhannya dimunculkan kembali akan membentuk kalimat-kalimat di bawah ini

22 Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing

pake doa.

(Belajar bhs Asing pake doa) Habis

duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

25 Cewek Bispak asli Bojonegoro

(Cewek Bispak) Domisili Surabaya (Cewek Bispak) Asli Hot

(Cewek Bispak) Lagi butuh duit, (Cewek Bispak) Hot mas!

Luni 23 Asu Slemania 100%

Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar (Slemania-PSIM) 100% Asu

26 Cowok Brondong Cakep Imut-imut

(Cowok Brondong Cakep Imut-imut) Cari

Bapak-bapak ABRI/Polri

24 Rhy Chaa

(Rhy Chaa) Sunrise in the dark

27 Bonek Viking sama saja

(Bonek Viking) Sama-sama anjing


(13)

Kohesi leksikal ialah hubungan antar unsur dalam wacana secara semantis. Dalam hal ini, untuk menghasilkan wacana yang padu, pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud. Hubungan ini didasarkan pada aspek leksikal yaitu pilihan kata yang serasi, yang menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2009:35)

Terdapat sejumlah piranti kohesi leksikal untuk mewujudkan keutuhan suatu wacana yaitu: (a) repetisi (pengulangan) (b) sinonimi (persamaan kata) (c) antonomi (lawan kata) (d) hiponimi (hubungan atas bawah) (e) kolokasi (sanding kata, dan (f) ekuivalensi (kesepadanan)

Pada bagian ini, tidak semua piranti kohesi leksikal digunakan dalam menganalisa grafiti yang ada didinding toilet Bungurasih karena tidak semuanya hadir pada wacana tersebut. Adapun Piranti kohesi leksikal yang hadir adalah:

E.2.a. Repetisi

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berikut ini adalah Grafiti yang mengandung repetisi

28. Kadal Afrika

Kadal Arabia Kadal Indonesia

Kadal India

Pada contoh 28 terdapat fenomena repetisi anafora. Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada setiap baris atau kalimat berikutnya. Kita dapat melihat bahwa dalam salah satu grafiti yang ditemukan di toilet Bungurasih, kata kadal pada baris pertama mengalami perulangan pada baris kedua, ketiga dan baris terakhir.

29. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

Pada contoh 29 juga terdapat fenomena repetisi, yaitu kata 100% yang diulang kemunculannya kembali pada akhir baris. Fenomena inilah yang disebut sebagai repetisi epistrofa. Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Contoh lain dari repetisi adalah:


(14)

Sama-sama anjing

31. Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

Pada contoh 30 kata ’sama’ pada penultima (pada baris pertama) mengalami repetisi, yaitu muncul pada awal kalimat pada baris kedua. Kemunculan seperti inilah yang disebut dengan repetisi anadiplosis. Demikian juga contoh 31, mengandung repetisi anadiplosis. Bedanya, jika pada contoh 30 repetisi muncul di awal baris, maka pada contoh 31, repetisi muncul pada awal klausa setelah koma.

E.2.b. Sinonimi

Sinonimi (persamaan kata) adalah pemakaian bentuk bahasa yang maknanya sama atau mirip dengan bentuk lain. Kesamaan ini berlaku dalam tataran kata, frasa, klausa/kalimat. Simpulannya, sinonimi adalah satuan-satuan lingual yang memiliki the

sameness of meaning (kesamaan arti), dapat pada tataran kata, frasa maupun klausa.

Penggunaan kohesi leksikal yang berupa sinonimi terjadi jika suatu wacana menggunakan kata/frasa/klausa yang memiliki kesamaan atau kemiripan makna, seperti contoh di bawah ini:

32. Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar

100% Asu

33. Boromania Bonek 1 Jiwa

The Jack Anjing! Arema Jancok LA mania pecundang 19 Juni 2009

Pada contoh 32, terdapat pemakaian sinonimi dari kata anjing yaitu ‘asu.’ Demikian juga pada contoh 33. terdapat juga penggunaan sinonimi dari kata makian ‘anjing,’ dengan kata makian lain (meskipun tingkatannya berbeda) yaitu ‘jancok’ dan ‘pecundang’

E.3. Analisis Konteks

Analisis ini merupakan penafsiran atas suatu penulisan grafiti berdasarkan pada irama konteks yang melatar belakanginya. Latar belakang yang dijadikan sebagai pedoman penafiran difokuskan pada penafsiran personal, lokal temporal, dan inferensi.


(15)

E.3.a. Konteks Personal

Penafsiran berdasarkan konteks personal berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang menjadi partisipan dalam suatu wacana. Dalam hal yang berhubungan dengan grafiti yang ditemukan di toilet yang ada di terminal bungurasih, maka siapa penutur maupun siapa mitra tutur yang terlibat dalam wacana grafiti akan diulas pada bagian ini. Mengetahui siapa penutur dan siapa mitra tutur (pelibat wacana) sangatlah penting karena dua hal tersebut sangat menentukan makna sebuah tuturan. Halliday dan Hasan (dalam Sumarlam, 2009:48) menjelaskan bahwa pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat-sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka, misalnya jenis-jenis hubungan peran apa yang terdapat diantara para pelibat. Ciri-ciri fisik maupun nonfisik, termasuk umur dan kondisi penutur dan mitra tutur perlu pula ditambahkan kedalam diri pelibat wacana untuk lebih detail dalam menjelaskan makna wacana dalam hal ini grafiti.

Dengan menggunakan prinsip ini, kita dapat membagi data temuan 1 s.d. 23 ke dalam beberapa setting antara lain

a) Penawaran Produk dan Jasa

Grafiti yang mengandung muatan promosi produk dan jasa dapat dilihat pada data di bawah ini:

34 HENI BTH DUIT 031724xx 08180387xx

37 CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI

35 Mita Butuh Yang Besar Banget 081852335xxx

38 SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

36 Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni

39 Butuh Homo cepat

Ada dua kemungkinan siapa penutur pada data 34, 35, dan 36. Pada data 34 Kemungkinan pertama adalah seseorang yang sedang membutuhkan uang yang bernama Heni, karena nama Heni tertulis pada Grafiti tersebut. Pada data 35, penutur adalah seorang perempuan bernama Mita yang sedang membutuhkan sesuatu yang besar, sedang pada data 36, penutur adalah seorang perempuan yang berasal dari bojonegoro dan berdomisili di Surabaya. Kemungkinan lain dari siapa penutur data 34, 35, dan 36 adalah seorang laki-laki yang pekerjaannya menawarkan produk dagangan seorang


(16)

memiliki akses masuk ke toilet laki-laki dan memiliki kesempatan untuk menuliskan grafiti di tempat tersebut. Tidak diketahui berapa umur, dan kondisi fisik dari Heni, Mita, dan Luni, maupun laki-laki yang menawarkan produk Heni dan Mita, karena tidak ada petunjuk pada koteks. Pada data 36 hanya dijelaskan sedikit bahwa perempuan yang bernama Luni memiliki sesuatu yang hot atau bersifat hot. Meskipun tidak terlalu jelas gambaran fisik dari penutur, namun yang jelas, tujuan dari penulisan Grafiti ini adalah menawarkan produk wanita bernama Heni, Mita dan Luni, berdasarkan pada diletakkannya dua nomor telpon seluler di baris kedua dan ketiga (pada data 34) dan baris kedua (pada data 35) pada grafiti, serta munculnya kata ’butuh duit’ (butuh uang) (pada data 34 dan 36) yang menjadi penanda adanya sebuah kegiatan komersial. Mitra tutur wacana ini adalah semua laki-laki yang berminat menggunakan produk atau jasa Heni, Mita atau Luni.

Sama seperti data 34-36, pada data 37-39, ada dua kemungkinan siapa penutur wacana ini. Kemungkinan pertama adalah seseorang yang bernama Edi (data 37) dan Mokid (data 38) karena dalam koteks, nama Mokid dan Edi tertulis jelas. Kemungkinan kedua adalah orang lain yang menawarkan produk gigolo (orang ini berfungsi sebagai makelar), dengan Mokid dan Edi sebagai penyedia gigolonya. Pada data 39, tidak diketahui siapa penutur karena tidak ada petunjuk pada koteks. Ketiga data tidak menjelaskan berapa umur, dan kondisi fisik dari penutur, namun yang jelas, seluruh penutur adalah laki laki. Tujuan dari penulisan Grafiti ini adalah menawarkan jasa gigolo. Mitra tutur wacana ini adalah laki-laki yang mau menggunakan jasa gigolo.

b) Pengungkapan Jati diri

Grafiti dapat pula berfungsi sebagai wadah mengungkapkan, menunjukkan dan mempromosikan diri sendiri seperti terlihat pada data di bawah ini:

40. Aku SH Terate 41. PSS Slemania QZ ROEH JOGJA 42. Pasoepati Solo By Winners

Pada data 40, terdapat pengungkapan jati diri dari seorang ”Aku” yang merupakan anggota dari salah satu perguruan pencak silat yaitu Setia Hati Terate. Selain pengungkapan siapa sebenarnya ‘Aku,’ grafiti tersebut juga seakan berusaha memperkenalkan perguruan Setia Hati Terate. Demikian juga pada data 41 dan 42.


(17)

Seseorang yang beridenttas atau berinisial QZ ROEH dari Jogjakarta, dan Winers berusaha memperkenalkan sesuatu. Berbeda dengan data 40 yang memperkenalkan perguruan pencak silat, data 41 berusaha memperkenalkan tim sepak bola kesayangan mereka yaitu PSS Sleman. Data 42 hampir sama dengan data 41, bedanya, penuturnya berusaha memperkenalkan nama kelompok suporter sepakbola yaitu Pasopati dari Solo.

c) Sentimen Terhadap Rival

Ada beberapa grafiti yang secara jelas menggambarkan kondisi rivalitas dan sentimen-sentimen yang berhubungan dengan rivalitas tersebut. Data di bawah ini dapat menggambarkan betapa kuatnya rasa kepemilikan seseorang terhadap sebuah perkumpulan serta sentimen negatif terhadap perkumpulan lain yang menjadi rival dari perkumpulan yang digemarinya.

43 Boromania Bonek 1 Jiwa

The Jack Anjing! Arema Jancok LA mania pecundang 19 Juni 2009

45 SINGO EDANG PASOPATI

MACAN KEMAYORAN LAMONGAN

Super Pengecut (Jago Kandang)

44 Asu Slemania 100% Anjing Jogja 100%

Slemania-PSIM itu anjing liar 100% Asu

46 Di Bunuh Saja PSS Sleman

47 Bonek Viking sama saja Sama-sama anjing

Data 43 s.d.47 adalah data yang berhubungan erat dengan dunia sepak bola. Petunjuk yang bisa digunakan untuk menyimpulkan hal ini adalah satuan lingual

Boromania, Bonek, The Jack, Arema, LA mania, Slemania, PSIM, Singo Edan, Pasopati, Macan Kemayoran, PSS Sleman, dan Viking.

Dari kata-kata yang berhubungan dengan dunia olahraga di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa penutur adalah penggemar sepakbola atau suporter sebuah kesebelasan dan mitra tutur adalah juga penggemar sepak bola. Grafiti tersebut dibuat tidak hanya untuk dibaca penggemar sepakbola yang memiliki tim favorit yang sama dengan tim penutur, tapi juga untuk dibaca penggemar sepakbola yang mendukung kesebelasan yang menjadi rival dari kesebelasan favorit penutur.

Pada data 43, jelas menunjukkan keberpihakan penutur kepada sebuah kesebelasan yaitu Persebaya dan The Boro dan perasaan tidak suka mereka kepada


(18)

dengan hadirnya nuansa positif pada kata Bonek dan Boro mania (baris 1 dan 2) yang disebutkan sebagai satu jiwa.

Pada data 44 s.d. 47 tidak diketahui dari pendukung kesebelasan mana penutur berasal, namun kita dapat menyimpulkan bahwa penutur adalah suporter dari pendukung kesebelasan yang menjadi rival dari kesebelasan sepak bola yang dimaki-makinya dalam grafiti tersebut

d) Romantisme Tak Terungkap

Grafiti di toilet Bungurasih juga menjadi media menyalurkan perasaan romantis dan sayang pada seseorang. Dikatakan tidak terungkap karena grafiti yang berisi muatan perasaan sayang ini berbentuk tulisan yang berada di tempat tersembunyi. Padahal, perasaan cinta dan sayang biasanya diungkap secara lisan pada orang yang dicintai, atau melalui tulisan dan dikirimkan pada orang tercinta tersebut. Seperti yang terdapat pada data 85 dan 86 di bawah ini terdapat dua wacana yang berisi romantisme yang tak terungkap.

48. KUSNUL LOVE SAMSUL 49. Rhy Chaa

Sunrise in the dark

Data 48 menunjukkan romantisme yang terjadi antara dua orang yaitu Kusnul dan Samsul. Penutur dari grafiti ini adalah Samsul, karena Kusnul (perempuan) tidak mungkin menuliskan grafiti ini di toilet laki laki. Peletakan kata Kusnul sebagai Subjek dari kalimat bukan tanpa alasan. Dengan diletakkannya Kusnul sebagai subjek kalimat seakan-akan menunjukkan bahwa Kusnullah yang mencintai penutur bukan sebaliknya. Kusnullah yang menjadi inisiator hubungan tersebut. Samsul sebagai seseorang yang juga mencintai Kusnul dengan menuliskan Grafiti ini seakan menginginkan bahwa hubungan mereka diketahui banyak orang. Nuansa inilah yang menjadi penyebab mitra tutur grafiti ini menjadi tidak terbatas. Seluruh pembaca yang memiliki kesempatan membaca grafiti ini adalah mitra tutur dari grafiti, bahkan Kusnul, andaikata memiliki kesempatan masuk ke dalam toilet laki-laki, dapat juga menjadi mitra tutur dari grafiti ini.

Data 49 juga menunjukkan suasana romantisme, Namun, pada grafiti ini tidak diketahui siapa penuturnya karena grafiti ini anonimous (tanpa nama). Meskipun demikian, kita masih tetap dapat menyimpulkan bahwa penutur adalah seseorang laki-laki yang sangat mencintai seorang perempuan bernama Rhy chaa dan menganggapnya


(19)

sebagai the sunrise in the dark, mentari pagi yang terbit dalam kegelapan. Sama seperti data 85, mitra tuturnya adalah semua orang yang memiliki kesempatan untuk membaca grafiti ini.

e) Berbagi Pengalaman

Terkadang pengalaman yang menarik perlu diabadikan dalam berbagai bentuk baik itu gambar maupun tulisan. Penutur wacana pada data 50 telah melakukan hal tersebut. Dengan menggunakan media grafiti, penutur mengabadikan pengalaman yang telah didapatkannya.

50. Ini adalah Saksi Bisu Kenikmatan Bu Neli

Kamis 13-09-09, 01.00 WIB

Data di atas adalah rekaman pengalaman penutur yang luar biasa. Pengalaman tersebut terjadi pada hari kamis, tanggal 13 September 2009 jam 01 dini hari yaitu pengalaman menikmati Bu Neli. Kisah pengalaman penutur demikian berkesan dan indah hingga penutur memulai bahasanya dengan menggunakan kalimat metafora ”Ini adalah Saksi Bisu,”

f) Ajakan Kencan Menyimpang

Data 51 s.d 53 mengandung ajakan kencan. Dikatakan menyimpang karena penutur dari tiga data tersebut adalah laki-laki dan mitra tutur, atau target ajakan kencan dari penutur tersebut adalah laki-laki juga.

51 Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

Yang mau menerima apa adanya

53 Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

52 Gay Cakep Pacaku Yang Macho Aja boleh

Petunjuk yang mengarah pada kesimpulan kencan ada pada kalimat “Cari teman

curhat” (data 51), “yang macho aja boleh (data 52) dan “cari bapak-bapak ABRI/Polri

(data 53). Kata cari yang muncul pada pada dua data (51 dan 53) mengandung arti ajakan kencan pada seseorang.


(20)

Selain beberapa muatan yang telah disebutkan di atas, grafiti dapat juga mengandung muatan peringatan pada orang lain seperti yang terlihat pada data di bawah ini.

54. Awas penipuan di pondok

alas tengah Paiton. Belajar bhs Asing pake doa Habis duitmu

Kusnadi Gus Saleh Penipu

Penutur adalah anonimous (tanpa identitas). Tujuan penutur menuliskan grafiti ini adalah untuk memberikan peringatan pada mitra tutur agar berhati-hati (kata ”awas pada baris pertama) atau ajakan untuk tidak belajar bahasa ssing di pondok Alas Tengah Paiton. Pada wacana ini juga disebutkan dua oknum penipu yaitu Kusnadi dan Gus Saleh, sebagai alasan penutur menuliskan grafiti tersebut.

h. Ungkapan Kekesalan

Data 55 yang berisikan kata umpatan terhadap sesuatu sangat unik bentuknya. Seperti terlihat di bawah ini.

55. Jancok Kabeh Seng Nyoret

Keunikan ini disebabkan bahwa data 55 memiliki bentuk yang kurang sempurna untuk menjadi sebuah kalimat yang baik, koteks maupun konteks yang mendukung interpretasi penutur juga tidak ada. Kurangnya bantuan dari koteks dan konteks dalam menginterpretasikan data 55 menyebabkan siapa penutur sebenarnya menjadi kuang jelas. Kurang jelasnya penutur ini karena sangat bergantung pada parafrase wacana tersebut. Kalimat ”Jancok Kabeh Seng Nyoret” apabila diparafrasekan dapat berbentuk: (a) ”Jancok Kabeh Seng Nyoret (tulisanku kemarin ini)” dan (b) ”Jancok Kabeh Seng Nyoret (tembok ini)”. Jika kita menerima parafrase (a) sebagai parafrase yang sahih, maka penuturnya adalah seseorang yang telah menuliskan sesuatu di tembok toilet yang kemudian tulisannya dicoret oleh orang lain yang datang setelahnya. Namun jika kita menerima parafrase (b) maka penutur wacana ini adalah penjaga toilet sebagai penanggung jawab kebersihan toilet. Ia kesal karena toiletnya dicoreti oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Apabila benar penutur adalah penjaga toilet, fenomena ini sangatlah unik, mengingat ia sangat kesal pada orang yang mencoret-coret dinding toilet, padahal ia sendiri juga melakukan kegiatan corat-coret tersebut.

i. Anfora Absurd

Jenis wacana yang mengandung muatan perulangan anafora ada pada data 56. Dari data ini terdapat daftar segala macam jenis kadal, mulai kadal Afrika, hingga India.


(21)

56. Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

Data di atas tidak jelas maksud penulisan maupun identitas penuturnya. Kata kadal juga multiinterpretasi. Kata itu dapat bermakna hewan melata, atau singkatan dari “Katok Dalem” atau bahkan alat kelamin laki-laki. Karena minimnya bantuan dari koteks inilah maka wacana grafiti yang seperti ini disebut sebagai wacana absurd

E.3.b. Penafsiran Berdasarkan Konteks Lokal Temporal

Prinsip lokasional ini berkaitan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi dalam rangka memahami wacana. Prinsip penafsiran temporan berkaitan dengan waktu dengan menggunakan konteksnya. Seluruh data grafiti tidak dapat dipahami dengan menggunakan dua pendekatan ini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya petunjuk baik itu yang ada pada koteks maupun konteks. Andaikata ada, maka grafiti tersebut tidak perlu ditafsirkan kapan waktu dan tempat kejadian karena telah jelas petunjuknya dalam koteks. Ketika informasi yang dibutuka ada pada wacana, maka analisisnya masuk pada bagian pembahasan referensi temporal dan lokasional

E.3.c. Inferensi 1) Inferensi Lingual

Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkap oleh komunikator, atau dengan kata lain inferensi adalah proses memahami makna tuturan sedemikian rupa sehingga sampai pada penyimpulan maksud dan tuturan.

Beberapa grafiti yang membutuhkan inferensi untuk memahami pesan atau makna di balik keberadaannya adalah:

57 HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX

60 SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

58 Mita Butuh Yang Besar Banget 81852335xxx

61 CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI 59 Cewek Bispak asli Bojonegoro

Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni


(22)

Data 57 s.d 59 secara implisit memberi informasi bahwa Heni, Mita, dan Luni adalah Wanita Tuna Susila. Melalui grafiti ini, mereka dipromosikan untuk mendapatkan pelanggan yang mau menggunakan jasa mereka. Berdasarkan konteks inilah, maka frasa “Yang Besar Banget” dapat dipahami sebagai kelamin laki-laki

Data 60 dan 61 juga memberikan informasi secara implisit bahwa nama Mokid dan Edi adalah nama penyedia gigolo. Bagi masyarakat yang berminat, Edi dan Mokid sanggup menyediakan gigolo untuk masyarakat tersebut.

Beberapa data lain yang melibatkan inferensi adalah:

62 Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

64 Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

Yang mau menerima apa adanya 63 Gay Cakep Pacaku

Yang Macho Aja boleh

Melalui proses inferensi, kita dapat menjumpai informasi bahwa grafiti ini ditulis oleh seorang homoseksial yang memiliki fungsi untuk mengajak berkencan sesama homoseksual lainnya.

Harus diakui bahwa seluruh data yang didapat (sebelum proses reduksi) memiliki kaitan erat dengan dunia seksual ilegal, baik itu dengan wanita tuna susila, gigolo, maupun homoseksual. Bahkan data di bawah ini yang sekilas terlihat biasa saja, namun karena bergabung dengan data lain yang berhubungan dengan seksualitas ditambah dengan adanya bantuan gambar berupa alat kelamin laki-laki, maka kata kadal akhirnya berbau seksual juga:

65. Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

Kata kadal, tanpa ada petunjuk koteks maupun konteks secara alami akan dimaknai hewan melata seperti cicak, namun tubuhnya lebih besar dan licin. Namun, karena kata ini berada dalam konteks seksualitas, maka kata kadal dimaknai alat kelamin laki-laki. Penutur berusaha mendaftar alat kelamin laki-laki dari beraneka jenis suku bangsa di dunia.


(23)

Fenomena penulisan grafiti di toilet Bungurasih dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan inferensi dari sudut pandang sosiokultural. Ada beberapa poin yang dapat disimpulkan dari munculnya ke-23 grafiti di toilet umum antara lain:

a. Masyarakat Indonesia yang terkenal adat sopan santunnya, bahasanya yang halus dan penuh tata krama, ternyata ketika mereka diberikan media yang menawarkan provasi tinggi berubah menjadi lebih ekspresif dan berani, terutama dalam menunjukkan perasaan dan menggunakan kata-kata makian

b. Berdasarkan data grafiti yang dikumpulkan, ada beberapa aspek yang dapat memicu dan mendorong masyarakat untuk lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan dan menggunakan kata-kata makian yaitu asmara, sex, dan dunia sepak bola

c. Wanita, masih tetap menjadi ‘objek penderita’ dalam kacamata lelaki, terbukti banyak grafiti yang berisi penawaran-penawaran wanita untuk dibooking, meskipun banyak juga yang menawarkan pria sebagai komoditas dagang.

d. Dengan tidak ditemukannya grafiti di toilet wanita, maka secara tidak langsung memberikan kesan pada kita meskipun terdapat media yang menawarkan privasi tingkat tinggi, kaum wanita tidak mudah terpancing untuk memanfaatkannya dan berubah menjadi lebih ekspresif seperti laki-laki dengan memunculkan kata-kata vulgar dan jorok. Sikap tertutup dan malu-malu wanita Indonesia masih melekat kuat

F. Simpulan

Berdasarkan analisis kewacanaan terhadap grafiti yang ditemukan didinding toilet umum terminal Bungurasih melalui pendekatan mikro dan makrostruktural sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirunut menjadi sebuah simpulan sebagai berikut:

a. Berdasarkan isi grafiti/latrinal serta manfaatnya, ditemukan bentuk-bentuk manfaat latrinal baru yang belum pernah dijelaskan dalam laporan penelitian tentang grafiti yang ada di Amerika Serikat atau negara lain, yaitu graiti ternyata dapat juga berfungsi sebagai (1) alat menawarkan produk dan jasa, (2) pengungkapan jati diri (3) sarana memberikan peringatan, dan (4) ajakan kencan menyimpang

b. Semakin pendek sebuah teks, semakin banyak inferensinya, semakin panjang sebuah teks, semakin sedikit inferensi yang terlibat

c. Grafiti yang ada ditoilet umum Bungurasih dapat dianalisis dengan menggunakan analisis wacana


(24)

d. Meskipun dapat dianalisis dengan menggunakan analisis wacana, namun tidak semua piranti analisis dapat digunakan dalam menganalisis grafiti tersebut.

e. Dengan menggunakan kohesi gramatikal, hanya tiga piranti yang dapat digunakan yaitu Substitusi, Elipsis dan Referensi

f. Pada kohesi leksikal hanya ada dua piranti yang digunakan yaitu repetisi dan sinonimi

g. Pada analisa konteks, piranti penafsiran personal dapat digunakan dengan baik. Piranti temporal dan lokasional kurang dapat berperan karena minimnya petunjuk dalam koteks maupun konteks. Inferensi masih dapat berperan meskipun tidak dapat mencakup seluruh grafiti yang ada dalam daftar

h. Dengan menggunakan prinsip penafsiran personal ini, maka ke-23 data temuan dapat dibagi ke dalam 9 setting antara lain: (1) promosi produk, (2) pengungkapan jati diri, (3) sentimen terhadap rival, (4) ajakan kencan menyimpang, (5) peringatan, (6) romantisme tak terungkap, (7) berbagi pengalaman, (8) ungkapan kekesalan, (9) dan daftar

i. Grafiti dapat pula dianalisis dengan piranti inferensi sosiokultural. j. Mayoritas grafiti berhubungan dengan seksualitas ilegal

k. Banyak dijumpai penggunaan kata-kata tidak sopan, makian, vulgar, dan pendiskreditan kelompok dalam membentuk sebuah grafiti sehingga dengan demikian, penelitian ini, meskipun tidak seratus persen benar, dapat digeneralisasi sebagai rapor merah bagi masyarakat Indonsia, utamanya kaum laki-lakinya. Dari hasil penelitian ini kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi sosial yang berkembang yang diiringi kondisi ekonomi yang semakin sulit ternyata dapat merubah bahasa yang dunakan masyarakat Indonesia. Masyarakat ternyata mulai mudah menggunakan bahasa kotor ketika bersinggungan dengan dunia seksual dan sepakbola.

REFERENSI

Adams, K. L., & Winter, A. 1997. Gang Grafiti As a Discourse Genre. Journal of Sociolinguistics, 1(3), 337-360.

Aveling, H. (Ed. & trans). 2001. Secrets Need Words: Indonesian Poetry. 1966-1998. Athens: Ohio University Press


(25)

Basthomy, Yazid. 2007. An Initial Intimation Of a Yet Banal Discourse: Truck Graffiti. K@TA 9:1.34-48

Effendy, B. 2003. Islam and the state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Emmison, M., & Smith, P. 2000. Researching the visual: Images, objects, contexts and

interactions in social and cultural inquiry. London: Sage Publications.

Gadsby, J. (1995). Taxonomy of analytical approaches to grafiti. Retrieved July 22, 2004, from http://www.grafiti.org/faq/appendix.html

Herlijanto, J. 2003. The politics of Chinese Indonesians after the May 1998 tragedy. Paper presented at the 3rd International Convention of Asia Scholars, August 19-22, 2003, organized by National University of Singapore, Singapore.

Jordaan, R. E. 1997. Tara and Nyai Lara Kidul: Images of the Divine Feminine in Java.

Asian Folklore Studies, 56(2), 285-312.

Joswig-Mehnert, D., &Yule, G. 1996. The trouble with grafiti. Journal of English

Linguistics, 24(2), 123-130.

Moonwomon, B. 1995. The writing on the wall: A border case of race and gender. In K. Hall, & M. Bucholtz (Ed.), Gender articulated: Language and the socially

constructed self (pp. 447-467). New York: Routledge.

Obeng, S. G. (2000). Speaking the unspeakable: Discursive strategies to express language attitudes in Legon (Ghana) grafiti. Research on Language and Social

Interaction, 33(3), 291-319.

Rodriguez, A., & Clair, R. P. (1999). Grafiti as communication: Exploring the discursive tensions of anonymous texts. Southern Communication Journal, 65(1), 1-15. Santoso, A. (2003). Bahasa politik pasca Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Schwarz, A. (2004). Indonesia: The election and beyond. Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies.

Sulistyo, H., Achwan R., & Soetrisno, B. R. (2002). Beyond terrorism: Dampak dan

strategi pada masa depan.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumarlam, 2009, Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta. Pustaka Caraka Winarta, F. H. (2004). Racial discrimination in the Indonesian legal system: Ethnic

Chinese and nation-building. In L. Suryadinata (Ed.), Ethnic relations and

nation-building in Southeast Asia: The case of the ethnic Chinese (pp. 66-81).


(26)

Lampiran-lampiran


(1)

56. Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

Data di atas tidak jelas maksud penulisan maupun identitas penuturnya. Kata kadal juga multiinterpretasi. Kata itu dapat bermakna hewan melata, atau singkatan dari “Katok Dalem” atau bahkan alat kelamin laki-laki. Karena minimnya bantuan dari koteks inilah maka wacana grafiti yang seperti ini disebut sebagai wacana absurd

E.3.b. Penafsiran Berdasarkan Konteks Lokal Temporal

Prinsip lokasional ini berkaitan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi dalam rangka memahami wacana. Prinsip penafsiran temporan berkaitan dengan waktu dengan menggunakan konteksnya. Seluruh data grafiti tidak dapat dipahami dengan menggunakan dua pendekatan ini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya petunjuk baik itu yang ada pada koteks maupun konteks. Andaikata ada, maka grafiti tersebut tidak perlu ditafsirkan kapan waktu dan tempat kejadian karena telah jelas petunjuknya dalam koteks. Ketika informasi yang dibutuka ada pada wacana, maka analisisnya masuk pada bagian pembahasan referensi temporal dan lokasional

E.3.c. Inferensi 1) Inferensi Lingual

Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkap oleh komunikator, atau dengan kata lain inferensi adalah proses memahami makna tuturan sedemikian rupa sehingga sampai pada penyimpulan maksud dan tuturan.

Beberapa grafiti yang membutuhkan inferensi untuk memahami pesan atau makna di balik keberadaannya adalah:

57 HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX

60 SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID

58 Mita Butuh Yang Besar Banget 81852335xxx

61 CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI 59 Cewek Bispak asli Bojonegoro

Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni


(2)

Data 57 s.d 59 secara implisit memberi informasi bahwa Heni, Mita, dan Luni adalah Wanita Tuna Susila. Melalui grafiti ini, mereka dipromosikan untuk mendapatkan pelanggan yang mau menggunakan jasa mereka. Berdasarkan konteks inilah, maka frasa “Yang Besar Banget” dapat dipahami sebagai kelamin laki-laki

Data 60 dan 61 juga memberikan informasi secara implisit bahwa nama Mokid dan Edi adalah nama penyedia gigolo. Bagi masyarakat yang berminat, Edi dan Mokid sanggup menyediakan gigolo untuk masyarakat tersebut.

Beberapa data lain yang melibatkan inferensi adalah:

62 Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri

64 Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn

Yang mau menerima apa adanya 63 Gay Cakep Pacaku

Yang Macho Aja boleh

Melalui proses inferensi, kita dapat menjumpai informasi bahwa grafiti ini ditulis oleh seorang homoseksial yang memiliki fungsi untuk mengajak berkencan sesama homoseksual lainnya.

Harus diakui bahwa seluruh data yang didapat (sebelum proses reduksi) memiliki kaitan erat dengan dunia seksual ilegal, baik itu dengan wanita tuna susila, gigolo, maupun homoseksual. Bahkan data di bawah ini yang sekilas terlihat biasa saja, namun karena bergabung dengan data lain yang berhubungan dengan seksualitas ditambah dengan adanya bantuan gambar berupa alat kelamin laki-laki, maka kata kadal akhirnya berbau seksual juga:

65. Kadal Afrika Kadal Arabia Kadal Indonesia Kadal India

Kata kadal, tanpa ada petunjuk koteks maupun konteks secara alami akan dimaknai hewan melata seperti cicak, namun tubuhnya lebih besar dan licin. Namun, karena kata ini berada dalam konteks seksualitas, maka kata kadal dimaknai alat kelamin laki-laki. Penutur berusaha mendaftar alat kelamin laki-laki dari beraneka jenis suku bangsa di dunia.


(3)

Fenomena penulisan grafiti di toilet Bungurasih dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan inferensi dari sudut pandang sosiokultural. Ada beberapa poin yang dapat disimpulkan dari munculnya ke-23 grafiti di toilet umum antara lain:

a. Masyarakat Indonesia yang terkenal adat sopan santunnya, bahasanya yang halus dan penuh tata krama, ternyata ketika mereka diberikan media yang menawarkan provasi tinggi berubah menjadi lebih ekspresif dan berani, terutama dalam menunjukkan perasaan dan menggunakan kata-kata makian

b. Berdasarkan data grafiti yang dikumpulkan, ada beberapa aspek yang dapat memicu dan mendorong masyarakat untuk lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan dan menggunakan kata-kata makian yaitu asmara, sex, dan dunia sepak bola

c. Wanita, masih tetap menjadi ‘objek penderita’ dalam kacamata lelaki, terbukti banyak grafiti yang berisi penawaran-penawaran wanita untuk dibooking, meskipun banyak juga yang menawarkan pria sebagai komoditas dagang.

d. Dengan tidak ditemukannya grafiti di toilet wanita, maka secara tidak langsung memberikan kesan pada kita meskipun terdapat media yang menawarkan privasi tingkat tinggi, kaum wanita tidak mudah terpancing untuk memanfaatkannya dan berubah menjadi lebih ekspresif seperti laki-laki dengan memunculkan kata-kata vulgar dan jorok. Sikap tertutup dan malu-malu wanita Indonesia masih melekat kuat

F. Simpulan

Berdasarkan analisis kewacanaan terhadap grafiti yang ditemukan didinding toilet umum terminal Bungurasih melalui pendekatan mikro dan makrostruktural sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirunut menjadi sebuah simpulan sebagai berikut:

a. Berdasarkan isi grafiti/latrinal serta manfaatnya, ditemukan bentuk-bentuk manfaat latrinal baru yang belum pernah dijelaskan dalam laporan penelitian tentang grafiti yang ada di Amerika Serikat atau negara lain, yaitu graiti ternyata dapat juga berfungsi sebagai (1) alat menawarkan produk dan jasa, (2) pengungkapan jati diri (3) sarana memberikan peringatan, dan (4) ajakan kencan menyimpang

b. Semakin pendek sebuah teks, semakin banyak inferensinya, semakin panjang sebuah teks, semakin sedikit inferensi yang terlibat

c. Grafiti yang ada ditoilet umum Bungurasih dapat dianalisis dengan menggunakan analisis wacana


(4)

d. Meskipun dapat dianalisis dengan menggunakan analisis wacana, namun tidak semua piranti analisis dapat digunakan dalam menganalisis grafiti tersebut.

e. Dengan menggunakan kohesi gramatikal, hanya tiga piranti yang dapat digunakan yaitu Substitusi, Elipsis dan Referensi

f. Pada kohesi leksikal hanya ada dua piranti yang digunakan yaitu repetisi dan sinonimi

g. Pada analisa konteks, piranti penafsiran personal dapat digunakan dengan baik. Piranti temporal dan lokasional kurang dapat berperan karena minimnya petunjuk dalam koteks maupun konteks. Inferensi masih dapat berperan meskipun tidak dapat mencakup seluruh grafiti yang ada dalam daftar

h. Dengan menggunakan prinsip penafsiran personal ini, maka ke-23 data temuan dapat dibagi ke dalam 9 setting antara lain: (1) promosi produk, (2) pengungkapan jati diri, (3) sentimen terhadap rival, (4) ajakan kencan menyimpang, (5) peringatan, (6) romantisme tak terungkap, (7) berbagi pengalaman, (8) ungkapan kekesalan, (9) dan daftar

i. Grafiti dapat pula dianalisis dengan piranti inferensi sosiokultural. j. Mayoritas grafiti berhubungan dengan seksualitas ilegal

k. Banyak dijumpai penggunaan kata-kata tidak sopan, makian, vulgar, dan pendiskreditan kelompok dalam membentuk sebuah grafiti sehingga dengan demikian, penelitian ini, meskipun tidak seratus persen benar, dapat digeneralisasi sebagai rapor merah bagi masyarakat Indonsia, utamanya kaum laki-lakinya. Dari hasil penelitian ini kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi sosial yang berkembang yang diiringi kondisi ekonomi yang semakin sulit ternyata dapat merubah bahasa yang dunakan masyarakat Indonesia. Masyarakat ternyata mulai mudah menggunakan bahasa kotor ketika bersinggungan dengan dunia seksual dan sepakbola.

REFERENSI

Adams, K. L., & Winter, A. 1997. Gang Grafiti As a Discourse Genre. Journal of Sociolinguistics, 1(3), 337-360.

Aveling, H. (Ed. & trans). 2001. Secrets Need Words: Indonesian Poetry. 1966-1998. Athens: Ohio University Press


(5)

Basthomy, Yazid. 2007. An Initial Intimation Of a Yet Banal Discourse: Truck Graffiti. K@TA 9:1.34-48

Effendy, B. 2003. Islam and the state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Emmison, M., & Smith, P. 2000. Researching the visual: Images, objects, contexts and interactions in social and cultural inquiry. London: Sage Publications.

Gadsby, J. (1995). Taxonomy of analytical approaches to grafiti. Retrieved July 22, 2004, from http://www.grafiti.org/faq/appendix.html

Herlijanto, J. 2003. The politics of Chinese Indonesians after the May 1998 tragedy. Paper presented at the 3rd International Convention of Asia Scholars, August 19-22, 2003, organized by National University of Singapore, Singapore.

Jordaan, R. E. 1997. Tara and Nyai Lara Kidul: Images of the Divine Feminine in Java. Asian Folklore Studies, 56(2), 285-312.

Joswig-Mehnert, D., &Yule, G. 1996. The trouble with grafiti. Journal of English Linguistics, 24(2), 123-130.

Moonwomon, B. 1995. The writing on the wall: A border case of race and gender. In K. Hall, & M. Bucholtz (Ed.), Gender articulated: Language and the socially constructed self (pp. 447-467). New York: Routledge.

Obeng, S. G. (2000). Speaking the unspeakable: Discursive strategies to express language attitudes in Legon (Ghana) grafiti. Research on Language and Social Interaction, 33(3), 291-319.

Rodriguez, A., & Clair, R. P. (1999). Grafiti as communication: Exploring the discursive tensions of anonymous texts. Southern Communication Journal, 65(1), 1-15. Santoso, A. (2003). Bahasa politik pasca Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Schwarz, A. (2004). Indonesia: The election and beyond. Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies.

Sulistyo, H., Achwan R., & Soetrisno, B. R. (2002). Beyond terrorism: Dampak dan strategi pada masa depan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumarlam, 2009, Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta. Pustaka Caraka Winarta, F. H. (2004). Racial discrimination in the Indonesian legal system: Ethnic

Chinese and nation-building. In L. Suryadinata (Ed.), Ethnic relations and nation-building in Southeast Asia: The case of the ethnic Chinese (pp. 66-81). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.


(6)

Lampiran-lampiran