yang telah diberikan kepada unit yang lebih rendah dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa dalam negara kesatuan tidak
pernah terjadi peralihan kekuasaan tetapi hanya pendelegasian kekuasaan. Kesimpulan yang dapat dihasilkan dari uraian karakteristik bentuk negara
kesatuan di atas adalah bahwa dalam negara kesatuan hanya ada satu badan legislative. Di Indonesia yang merupakan badan legislatif adalah Dewan
Perwakilan Rakyat DPR. DPRD bukan badan legislatif sehingga tidak bisa diberikan fungsi legislasi. Oleh sebab itu sangat tepat kalau UU No 23 Tahun
2014 menyebut fungsi DPRD adalah fungsi pembentukan perda. Pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Perwusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah UU MD3 masih menyebut fungsi DPRD adalah fungsi legislasi.
Sehingga pada Pasal 409 huruf d disebutkan mencabut dan menyatakan tidak berlaku materi muatan UU MD3 yang khusus mengatur mengenai DPRD, baik
DPRD provinsi maupun DPRD kabupatenkota yang berarti mencabut pula Pasal 316 ayat 1 dan 365 ayat 1 yang masih menyebut fungsi DPRD adalah fungsi
legislasi. Pasca UU No 23 Tahun 2014 fungsi DPRD benar-benar fungsi pembentukan perda bukan lagi fungsi legislasi.
2. Kesalahpahaman DPR dengan DPRD
Pada saat berlakunya UU No 23 Tahun 2004 fungsi DPRD meliputi fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tiga fungsi yang dimiliki oleh DPRD ini
sama persis dengan fungsi yang dijalankan oleh DPR. Nampaknya pembentuk UU No 23 Tahun 2004 sangat dipengaruhi pemikiran bahwa DPRD identik atau
bahkan sama dengan DPR sehingga kedua lembaga itu diberikan fungsi yang sama. Pemikiran mengidentikkan DPR dengan DPRD dapat terjadi karena tiga
sebab.
Pertama, dari aspek nama DPR-DPRD tentu sangat mirip. Dari kemiripan
nama ini dapat menimbulkan pemahaman bahwa keduanya adalah sama dan yang membedakan hanyalah bahwa DPR berada di pusat sedangkan DPRD berada di
daerah. DPR adalah badan legislatif pusat dan DPRD badan legislatif daerah.
Analisis DPRD sebagai lembaga legislative daerah
| Jefi R.A 3
Kedua, anggota DPR dan anggota DPRD sama-sama dipilih dalam pemilu legislatif. Ketiga, DPR dan DPRD diatur dalam satu undang-undang yaitu UU
MD3. Senyatanya DPR berbeda dengan DPRD.
3. Koreksi oleh UU No 23 Tahun 2014
Lahirnya Pasal 409 huruf d UU No 23 Tahun 2014 adalah dalam rangka meluruskan kerancuan antara DPR dengan DPRD. Pasal 409 huruf d UU No 23
Tahun 2014 menyatakan mengeluarkan DPRD dari UU MD3. DPR dan DPRD adalah lembaga yang berbeda dan sudah seharusnya tidak diatur dalam satu
undang-undang. Tepat pula penjelasan umum UU No 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa sebagai konsekuensinya posisi DPRD adalah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah maka DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam undang-undang UU No 23 Tahun
2014. Selain tidak lagi mengatur DPR dan DPRD dalam satu undang-undang,
masih terdapat langkah lain untuk lebih menegaskan bahwa DPR berbeda dengan
DPRD. Pertama, mengubah nama DPRD, misalnya dewan perwakilan rakyat
provinsi untuk DPRD provinsi dan dewan perwakilan rakyat daerah kabupatenkota untuk DPRD kabupatenkota.
Kedua, anggota DPRD tidak lagi dipilih dalam pemilu legislatif bersama-
sama dengan pemilihan anggota DPR dan DPD tetapi dipilih bersama dengan pemilihan kepala daerah karena DPRD adalah penyelenggara pemerintahan
daerah bersama kepala daerah. Dengan demikian beberapa pernyataan di atas dengan tegas menjelaskan
bahwa DPRD bukan merupakan lembaga legislatif daerah. Karena DPRD sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang. DPRD
dalam UU No 23 Tahun 2014 adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Konsep pemisahan kekuasaan hanya terjadi pada pemerintah pusat dan tidak terjadi pada
pemerintah daerah. Karena pemerintah daerah hanya menerima kekuasaan atas dasar pendelegasian dari pemerintah pusat. Kekuasaan tersebut akan dapat di tarik
kembali oleh pusat dan masih dalam pengawasan pemerintah pusat. Perubahan
Analisis DPRD sebagai lembaga legislative daerah
| Jefi R.A 4
fungsi legislasi ini didasarkan pada DPRD tidak memiliki wewenang untuk membuat undang-undang. yang terjadi selama ini ialah disfungsi legislasi yang
dimiliki DPRD dan mengharuskan untuk diadakannya perubahan. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU No 23 Tahun 2014 sebagai bentuk protes dan solusi
dari permasalahan yang terjadi pada DPRD. Namun muncul dampak lain akibat dikeluarkannya kebijakan ini. Dampak
ini sejalan dengan reposisi DPRD dalam pemerintahan daerah. selain itu adanya pengurangan kewenangan yang dimiliki DPRD. Reposisi ini juga akan
berpengaruh pada tata pemerintahan daerah terkhusus pada hubungan DPRD dengan Kepala daerah.
Sebagaimana disebutkan dalam UU No 23 Tahun 2014 bahwa DPRD bersama Kepala daerah merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Jika ditelaah perjalanan reposisi ini telah berlangsung sejak UU No 32 Tahun 2004. Awalnya reposisi ini diakibatkan oleh Pemberian posisi DPRD sebagai
Badan Legislatif Daerah oleh UU No. 22 Tahun 1999. Dalam Pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan
Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. kemudian ditegaskan dalam Pasal 16 ayat 2 bahwa DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan
sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Di samping itu, UU No 22 Tahun 1999 juga mendudukkan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di
daerah yang nota bene wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Peneguhan kedudukan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat pada UU No 22 Tahun 1999 diperkuat dengan pemberian hak politik yang sangat besar,
yakni hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada Gubernur, Bupati dan Walikota. DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara,
pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan,
dan pembangunan.
Analisis DPRD sebagai lembaga legislative daerah
| Jefi R.A 5
Dalam praktiknya, menguatnya lembaga perwakilan rakyat daerah DPRD ternyata tidak diikuti dengan semangat moral dan mental reformasi dalam arti
yang sebenarnya. Akibatnya melahirkan kekuasaan lembaga perwakilan rakyat di daerah yang sewenang-wenang.
Tujuan awal pemberian hak politik yang begitu besar pada DPRD terhadap kepala daerah yaitu untuk menciptakan pemerintahan daerah yang demokratis.
Hal itu tidak dapat terwujud karena belum berkompetennya sumber daya yang ada pada DPRD sehingga hanya menciptakan suatu kondisi yang disebut dengan
Legislative Heavy. Akibatnya pemerintah mengeluarkan revisi terhadap UU No 22 Tahun 1999.
Hal ini bertujuan untuk mengurangi dominasi DPRD terhadap kepala daerah. sehingga dikeluarkan UU No 32 Tahun 2004. Di dalam UU No 32 Tahun 2004
kedudukan DPRD mengalami perubahan yang sangat besar. Dalam UU No 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa DPRD tidak lagi diposisikan sebagai lembaga
legislatif daerah tetapi ditempatkan sebagai lembaga atau unsur dari pemerintahan daerah. sehingga adanya suatu check and balances dalam pemerintahan daerah.
Namun fungsi DPRD tidak berubah yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Terdapat beberapa dampak dengan reposisi DPRD pada UU No 32 Tahun
2004. Pertama, memposisikan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan