Diagram Alir Pembuatan Cookies
220
TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI GOGO MENGGUNAKAN VARIETAS UNGGUL UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADA LAHAN KERING
DI KABUPATEN ACEH TIMUR UPLAND RICE CULTIVATION TECHNOLOGY USING SUPERIORVARIETIES ON DRY
LAND TO INCREASE PRODUCTIVITYIN EAST ACEH REGENCY Idawanni
1
, Fenty Ferayanty
1
dan Emlan Fauzi
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Aceh
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. P. Nyak Makam No 27 Lampieneung 23125 TelpFax : 0651 7551811
e_mail : bptp_acehyahoo.co.id
, Idawanniismailyahoo.com
ABSTRAK
Budidaya padi gogo pada lahan kering menggunakan varietas unggul sangat potensial untuk dikembangkan karena lahan kering masih cukup luas untuk dimanfaatkan secara optimal. Penelitian
ini dilaksanakan di Desa Bukit Tiga Kecamatan Peunaron Kabupaten Aceh Timur dengan luas lahan 1 ha dan melibatkan satu kelompok taniyang beranggotakan 10 orang dimana lima orang
melaksanakan teknologi petani dan lima orang teknologi introduksi. Tujuan Pengkajian ini untuk mendapat kan paket teknologi budidaya padi gogo yang meningkatkan pertumbuhan dan hasil.
Perlakuan penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok RAK 5 ulangan dimana petani sebagai ulangan. Pengkajian ini terdiri dua paket teknologi yaitu teknologi introduksi dan teknologi
petani. Teknologi introduksi varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 200 kg ha
-1
urea, 150 kg ha
-1
SP-36, 150 kg ha
-1
KCL ; Dolomit 2 ton ha
-1
; dilakukan pengendalian gulma dan teknologi petani varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 150 kg ha
-1
urea, 50 kg ha
-1
SP-36, 50 kg ha
-1
KCL ; tanpa Dolomit ; tanpa pengendalian gulma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya dengan teknologi introduksi memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan
teknologi petani. Teknologi petani menunjukkan hasil panen sebagai berikut; Inpago 8 menghasilkan 5.0 ton ha
-1
, Situpatenggang menghasilkan 4.3 ton ha
-1
, dan Batutegi meghasilkan 4.1 ton ha
-1
. Sebaliknya, Teknologi Introduksi memberikan hasil tertinggi pada varietas Inpago 8 5.7 ton ha
-1
yang tidak berbeda nyata dengan varietas Situ patenggang 5.4 ton ha
-1
, dan berbeda nyata dengan Batutegi 4.8 ton ha
-1
. Varietas unggul yang adaptif dan cocok untuk di kembangkan di Kecamatan Peunaron yaitu Inpago 8 dan Situpatenggang dengan penerapan paket teknologi introduksi.
Kata Kunci :
Padi gogo, lahan kering, varietas
ABSTRACT
Cultivation of upland rice on dry land using high yielding varieties is potentially developed in the dry land area which it still large to be optimally utilized. This research was conducted in the Bukit Tiga
Village Peunaron Subdistrict of East Aceh Regency. The research was applied in one hectare land area using one group of ten farmers which of
five using implemented farmer’s technology and others using implemented introduced technology. The purpose of this assessment was to get a package of an
upland rice cultivation technology that increases both for its growth and yield. The experiment was arranged in a 5 replicates farmers Random Block Design RBD. This study divided in two
technology packages: the introduced technology and farmer’s technology. Introduced technology consisted of Inpago8 varieties, Situpatenggang, Batutegi; 200 kg ha
-1
urea, 150 kg ha
-1
SP-36, 150 kg ha
-1
KCL; Dolomite 2 ton ha
-1
to control weeds and farmer’s technology consisted of varieties Inpago 8, Situ, Batutegi; 150 kg ha
-1
urea, 50 kg ha
-1
SP-36, 50 kg ha
-1
KCL; without Dolomite; no weed control. The results showed that the introduced technology gives the best results compared to
farmer’s technology. The farmer’s technology indicates that result of Inpage 8 yield in 5.0 ton ha-1, Situpatenggangyield of 4.3 ton ha
-1
and Batutegi yield of 4.8 ton ha
-1
.On the other side, introduced technology produced the highest yield of Inpago8 varieties with yield of 5.7 ton ha-1 were not
significantly different from varieties of Situpatenggangyield of 5,4 ton ha
-1
, and significantly different from the variety Batutegi yield of 4.8 ton ha
-1
. Adaptive high yielding varieties and suitable to be developed in the District Peunaron are Inpago 8 and Situpatenggang with the application of
introduced technology.
Keywords: Upland rice, dry land, varieties
221
PENDAHULUAN
Indonesia masih menghadapai persoalan pangan, dimana bahan pangan terutama padi sangat srategis kedudukannya dalam kehidupan ekonomi dan politik. Permintaan terhadap beras sebagai
makanan pokok penduduk indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut Swastika et al
., 2000, proyeksi permintaan beras akan mengalami peningkatan dan diperkirakan pada tahun 2025 sampai 78 juta ton Balai Penelitian Tanaman Padi, 2002, dan defisit beras diperkirakan sebesar
13,50 per tahun apabila tidak dilakukan peningkatan produktivitas dan perluasan areal panen. Arifin et al
., 2000 melaporkan bahwa jika tidak terdapat terobosan teknologi yang efisien dan efektif, maka keamanan pangan akan terganggu.
Penurunan areal sawah akibat alih fungsi lahan yang berubah menjadi areal perumahan dan pabrik industri, tingginya biaya membuka areal sawah baru, serta peruntukan air irigasi padi sawah
yang semakin terbatas menyebabkan padi gogo menjadi penting untuk dikembangkan Rachman et al., 2003.
Budidadaya padi gogo pada lahan kering merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi. Pemanfaatan lahan kering merupakan salah satu sumber daya
yang mempunyai potensi besar untuk pemantapan swasembada pangan maupun untuk pembangunan pertanian ke depan. Luas panen padi gogo pada tahun 2013 di Aceh sekitar 6.374 ha dengan produksi
15.756 ton GKG dan produktivitas 2,47 ton ha
-1
BPS Aceh 2014. Produktivitas padi sawah adalah 4,75 ton ha
-1
sedangkan produktivitas padi di lahan kering rata-rata masih 2,52 ton ha
-1
Badan Pusat Statistik, 2012.
Rendahnya hasil padi gogo pada tingkat petani disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, terutama dalam penggunaan varietas unggul, pemupukan, pengendalian
hama dan penyakit, dan gulma. Salah satu inovasi teknologi yang cepat berkembang, namun lambat sampai dilahan petani adalah penerapan varietas unggul Pikukuh et al., 2009. Hingga saat ini sudah
banyak varietas unggul baru padi yang sudah dirakit dan dilepas oleh Badan Litbang Pertanian, tetapi yang digunakan dan dikembangkan oleh petani masih terbatas Badan Litbang Pertanian, 2007.
Menurut Suyamto et al., 2007 varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari pencapaian swasembada
beras pada tahun 1984.Varietas padi yang mempunyai sifat-sifat unggul tertentu merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di Indonesia Balitpa, 2005.
Peningkatan produksi padi gogo masih memerlukan perbaikan teknologi budidaya karena teknologi mempunyai peran strategis dalam mendukung peningkatan produksi pertanian dan teknologi
merupakan syarat mutlak pembangunan pertanian Mosher et al.,2003 Berdasarkan permasalahan tersebut diatas untuk meningkatkan produktivitas padi gogo pada
lahan kering maka dilakukan pengkajian ini dengan tujuan untuk mendapat kan paket teknologi budidaya padi gogo yang meningkatkan pertumbuhan dan hasil.
METODE PENELITIAN
Pengkajian ini dilaksanakan di lahan petani di Desa Bukit tiga Kecamatan Peunaron Kabupaten Aceh Timur dari bulan Juli - Desember 2015.
Pengkajian ini merupakan kegiatan lapangan yang bersifat partisipatif dan kemitraan antara penelitipenyuluh BPTP Aceh, PPL, kelompok tani, BPP Kecamatan, dan lain
–lain. Alat-alat yang digunakan dalam pengkajian ini terdiri atas cangkul, sabit timbangan, meteran,
sprayer dan lain-lain. Bahan-bahan yang digunakan adalah benih padi klas Breeder Seed yang terdiri dari varietas Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi. Pupuk yang digunakan terdiri atas pupuk Urea, SP-
36 dan KCL, kapur dolomite dan untuk pengendalian hama, penyakit dan gulma digunakan insectisida dan herbisida glyposhate.
Pengkajian ini melibatkan 10 petani kooperator dengan luas lahan ± 1 ha, dimana5 orang petani kooperator melaksanakan teknologi petani dan 5 orang petani kooperator dengan teknologi
introduksi. Perlakuan penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok RAK 5 ulangan dimana petani sebagai ulangan. Pengkajian ini terdiri dari dua paket yaitu paket teknologi introduksi
dan teknologi petani. Teknologi introduksi varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 200 kg ha
-1
urea, 150 kg ha
-1
SP-36, 150 kg ha
-1
KCL ; Dolomit 2 ton ha
-1
; dilakukan pengendalian gulma dan teknologi petani varietas unggul Inpago 8, Situpatenggang, Batutegi ; 150 kg ha
-1
urea, 50 kg ha
-1
SP-36, 50 kg ha
-1
KCL ; tanpa Dolomit ; tanpa pengendalian gulma.
222
Penanaman benih dilakukan dengan cara langsung dengan tugal sebanyak 5 butir benih per lubang tanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm untuk teknologi petani dan sedangkan untuk teknologi
intoduksi jajar legowo 2 : 1. Penyiangan dengan penyemprotan herbisida, dilakukan 2 kali yaitu pada , 4 dan 7 minggu setelah tanam pada teknologi introduksi.
Pengamatan dilakukan terhadap parameter tinggi tanaman yang diukur mulai permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi pada umur 6 dan 10 MST, jumlah anakan dihitung pada umur 6 dan10
MST, sedangkan panjang malai, pesentase gabah isi, berat 1.000 biji, dan hasil gabah ton ha
-1
dilakuakan setelah panen. Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analysis of
variance ANOVA dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test DMRT pada taraf 5 Gomez dan Gomez, 1995.
Tabel 1. Perlakuan paket teknologi introduksi dan teknologi petani padi gogo pada lahan kering di Kabupaten Aceh Timur.
Komponen Teknologi Teknologi introduksi
Teknologi petani 1.
Varietas Inpago 8,
Situpatenggang Batutegi
Inpago 8, Situpatenggang
Batutegi 2.
Takaran Pupuk 200 kg ha
-1
urea 150 kg ha
-1
SP-36 150 kg ha
-1
KCL 150 kg ha
-1
urea, 50 kg ha
-1
SP-36 50 kg ha
-1
KCL 3.
Pengapuran 2 ton
-1
Tanpa pengapuran 4.
Jarak tanam Legowo 2 : 1
20 cm x 20 cm 5.
Pengendalian hama dan penyakit
Dilakukan sejak awal penanaman sampai panen
Kurang diperhatikan 6.
Penyiangan dan
Pengendalian gulma Dilakukan pengedalian sejak awal
tanam sampai panen Dilakukan hanya pada saat
pembersihan lahan saat mau tanam
Sumber : Laporan Tahunan BPTP Aceh 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman
Hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman tabel 2 secara statistik menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman dari ketiga varietas yang ditanam pada umur 6 dan 10
Minggu Setelah Tanam MST pada teknologi introduksi Batutegi merupakan varietas yang paling tinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan yang paling rendah diperoleh pada
varietas Situpatenggang. Sedangkan pada teknologi petani pada umur 6 MST varietas Inpago 8 menunjukkan pertumbuhan tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya.
Sedangkan pada umur 10 MST varietas Batutegi merupakan varietas yang paling tinggi diantara varietas lainnya. Sedangkan yang paling rendah juga diperoleh pada varietas Situpatenggang.
Varietas Batutegi mempunyai pertumbuhan tanaman tertinggi dimana dalam deskripsi varietas ini memang mempunyai vigor pertumbuhan yang lebih tinggi dari situpatenggang dan inpago 8 Balitpa,
2002
Karakter tinggi tanaman tergolong karakter yang cukup penting, karena tinggi tanaman sangat berpengaruh pada tingkat kerebahan dan efisiensi dalam pemanenan Diptaningsari, 2013.
Perbedaan tinggi tanaman padi gogo yang diamati diduga lebih dipengaruhi oleh faktor genetik suatu individu, dimana perbedaan faktor genetis yang ada pada tanaman mengakibatkan
keragaman penampilan tinggi tanaman. Hal ini berkaitan dengan pendapat Mildaerizanti 2008, bahwa perbedaan tinggi tanaman lebih ditentukan oleh faktor genetis daripada faktor lingkungan.
223
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman umur 6 dan 10 MST tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.
Keragaan vegetatif Teknologi introduksi
Teknologi petani Tinggi tanaman
cm 6 MST Tinggi
tanaman cm 10 MST
Tinggi tanaman cm 6 MST
Tinggi tanaman
cm 10 MST 1.
Inpago 8 52,6 a
107 a 55,5 b
108 a 2.
Situpatenggang 51,5 a
111 a 49,6 a
104 a 3.
Batutegi 57,5 b
117 b 48,5 a
115 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji Duncan 0,05.
Sumber : Data primer diolah 2015
Jumlah Anakan
Hasil rata-rata pengamatan jumlah anakan Tabel 3 secara statistik menunjukkan pertumbuhan jumlah anakan dari ketiga varietas yang ditanam pada umur 6 dan 10 MST pada
teknologi introduksi varietas Inpago 8 merupakan varietas yang paling banyak jumlah anakan yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan pada teknologi petani pada umur 6 dan 10 MST
varietas Inpago 8 juga menunjukkan pertumbuhan jumlah anakan tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Sedangkan jumlah anakan paling rendah pada umur 6 MST diperoleh pada varietas
Batutegi yang tidak berbeda dengan Situpatenggang pada teknologi introduksi dan teknologi petani. Pada umur 10 MST jumlah anakan terendah di jumpai pada varietas Situpatenggang yang tidak
berbeda dengan varietas Batutegi pada teknologi petani sedangkan pada teknologi itroduksi varietas Batutegi.
Varietas yang memiliki daya adaptasi yang baik juga akan membentuk anakan yang banyak, sedangkan varietas yang tidak mampu beradaptasi akan terhambat dalam pembentukan anakan. Hal ini
sesuai pendapat khoiri et al. 2012 bahwa kemampuan masing-masing varietas berbeda dalam menghasilkan anakan sesuai dengan genotip yang dimiliki masing-masing varietas.
Jumlah anakan akan maksimal apabila memiliki genetik yang baik dan kondisi lingkungan yang menguntungkan atau sesuai untuk pertumbuhan dimana teknologi budidaya seperi tersedianya
unsur hara sesuai kebutuhan, jarak tanam yang sesuai, pengendalian hama dan penyakit serta dilakukan pengendalian gulma. Persaingan gulma dengan tanaman padi dalam hal unsur hara, air
dan cahaya sangat merugikan dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan seperti jumlah anakan, pengisian biji Miah et al. 2008
Tabel 3. Rata-rata jumlah anakan umur 6 dan 10 MST tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi
dan teknologi petani.
Keragaan vegetatif Teknologi introduksi
Teknologi petani Jumlah anakan
6 MST Jumlah anakan
10 MST Jumlah anakan
6 MST Jumlah anakan
10 MST 7.
Inpago 8 16,8 b
20,8 b 14,8 b
17,7 b 8.
Situpatenggang 11,3 a
15,8 a 11,2 a
13,7 a 9.
Batutegi 12,3 a
15,3 a 10,3 a
14,5 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji Duncan 0,05.
Sumber : Data primer diolah 2015
Panjang Malai
Hasil rata-rata pengamatan panjang malai Tabel 4 secara statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang malai dari tiga varietas yang ditanam bervariasi dimana varietas inpago 8
mempunyai panjang malai tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas situpatenggang dan Batutegi pada pola introduksi. Sedangkan panjang malai pada pola petani varietas inpago 8 mempunyai panjang
malai tertinggi akan tetapi tidak berbeda dengan varietas lainnya.
224
Tabel 4. Rata-rata panjang malai tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.
Keragaan vegetatif Teknologi introduksi
Teknologi petani Panjang malai cm
Panjang malai cm 1. Inpago 8
27,60 b 25,30 a
2. Situpatenggang 25,60 a
24.20 3. Batutegi
23,66 a 22,30 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji Duncan 0,05. Sumber : Data primer diolah 2015
Panjang malai pada teknologi introduksi lebih tinggi dibandingkan dengan panjang malai pada teknologi petani, akan tetapi panjang malai tertinggi sama-sama dijumpai pada varietas inpago 8
disusul varietas Batutegi dan Situpatenggang. Dengan demikian varietas Inpago 8 memiliki adaptasi yang baik pada lokasi kegiatan ini dibanding dengan varietas lainnya. Sesuai hasil penelitian Sirappa
et al . 2009 bahwa panjang malai dipengaruhi oleh faktor genetik dari varietas serta daya adaptasi
varietas itu pada lingkungan tumbuh tanaman. Panjang malai ini dapat diterima petani dengan baik dengan kriteria tanaman padi memiliki panjang malai yang optimal dan memiliki gabah yang tingkat
pematangan yang serempak dan tidak terdapat butir hijau. Panjang malai biasanya juga berhubungan dengan hasil tanaman padi dimana semakin panjang
malai diharapkan semakin banyak jumlah gabah total sebagaimana menurut Khairullah et al.2001 yang melaporkan adanya kecenderungan peningkatan hasil gabah biasanya pada malai yang lebih
panjang.
Persentase Gabah Isi dan Berat 1000 biji
Hasil analisis ragam Tabel 5. menunjukkan bahwa persentase gabah berisi pada teknologi introduksi dan teknologi petani varietas inpago 8 menunjukkan nilai tertinggi yang berbeda nyata
dengan varietas lainnya, sedangkan pada berat 1000 biji pada teknologi introduksi dan teknologi petani nilai tertinggi juga pada varietas inpago 8 akan tetapi tidak berbeda nyata pada semua varietas.
Persentase gabah berisi dan berat 1000 biji menunjukkan nilai tertinggi pada teknologi introduksi dibandingkan dengan teknologi petani. Hal ini diduga pada teknologi introduksi ketersedian unsur
hara N, P, dan K pada teknologi ini cukup tersedia. Hal ini sesuai dengan pendapat Krismawarti 2007; Hafsiah, et al., 2012 penggunaan pupuk N, P dan K dapat meningkatkan berat 1000 gabah
dan respon nyata pada padi gogo.
Unsur nitrogen merupakan unsur makro yang berperan dalam pembentukan protein dan molekul klorofil. Nitrogen juga dapat meningkatkan jumlah klorofil dalam tanaman sehingga dapat
meningkatkan aktivitas fotosintesis yang akhirnya fotosintat yang dihasilkan akan digunakan dalam pengisian gabah. Hal ini sesuai dengan pendapat Suriatna 2002 bahwa ketersediaan unsur hara yang
cukup dapat mempengaruhi proses pertambahan berat dan memperbaiki kualitas hasil.
Tabel 5. Rata-rata persentase gabah isi per malai dan berat 1000 biji tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.
Keragaan vegetatif Teknologi introduksi
Teknologi petani gabah isi per
malai Berat 1000 biji
gr gabah isi per
malai Berat 1000 biji gr
Inpago 8 99,2 b
25,5 a 92,2 b
24,5 a Situpatenggang
84,3 a 25,1 a
78,3 a 24,2 a
Batutegi 81,1 a
24,6 a 76,1 a
23,6 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji Duncan 0,05.
Sumber : Data primer diolah 2015
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hasil per ha Tabel 6. tertinggi diperoleh varietas Inpago 8 yang tidak berbeda nyata dengan varietas situpatenggang dan berbeda nyata dengan varietas
Batutegi pada teknologi introduksi. Sedangkan pada teknologi petani varietas Inpago 8 juga memperoleh hasil tertinggi yang berbeda nyata dengan varietas lainnya. Hasil Per ha teknologi
Introduksi lebih baik dibandingkan dengan teknologi petani. Hal ini diduga rendahnya hasil pada teknologi petani disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, dalam hal dosis
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, gulma. Sesuai pendapat Makarim dan Las 2005 bahwa untuk mencapai hasil maksimal diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil
225
dan keunggulannya dapat terwujud. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi dapat dibagi dua golongan yaitu pertama faktor alamiah seperti tanah, iklim, biologis.
Faktor kedua yaitu sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan varietas.
Tabel 6. Rata-rata hasil per ha tanaman padi gogo dengan teknologi introduksi dan teknologi petani.
Keragaan vegetatif Teknologi introduksi
Teknologi petani Hasil per ha ton
Hasil per ha ton Inpago 8
5,7 b 5,0 a
Situpatenggang 5,4 b
4,3 b Batutegi
4,8 a 4,1 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji Duncan 0,05. Sumber : Data primer diolah 2015
Peningkatan hasil juga bisa dengan sistem tanam yang digunakan hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arafah 2006 dimana sistim tanam legowo 2 : 1 nyata meningkatkan jumlah gabahmalai padi
dibandingkan sistem tegel 20 x 20 cm hal ini disebabkan pada pada legowo 2 : 1 setiap tanaman mempunyai ruang kosong yang cukup sehingga mengurangi persaingan terhadap cahaya, air dan udara
sehingga pembentukan biji dapat terjadi dengan sempurna. Hal ini juga diperkuat oeh penelitian Sudarsono dan Makarim 2008 legowo 2 : 1 jumlah malaim
2
adalah 411, sedangkan sistem tegel 20 x 20 cm hanya 322.
KESIMPULAN
1. Paket budidaya teknologi introduksi memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan teknologi
petani
2. Teknologi introduksi memberikan hasil tertinggi pada varietas Inpago 8 5.7 ton ha
-1
yang tidak berbeda nyata dengan varietas Situ patenggang 5.4 ton ha
-1
, dan berbeda nyata dengan Batutegi 4.8 ton ha
-1
.
3. Varietas unggul yang adaptif dan cocok untuk di kembangkan di Kecamatan Peunaron yaitu
Inpago 8 dan Situpatenggang dengan penerapan paket teknologi introduksi. DAFTAR PUSTAKA
Arafah. 2008. Kajian berbagai sistim tanam pada dua varietas unggul baru padi terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Jurnal Agrivigor 6 : 18 - 25
Arifin, Z., I. Sumono, L.I. Mangestuti. 2000. Keragaan dan analisis sistem usahatani berbasis padi SUTPA di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan. Buletin Teknologi dan Informasi
Pertanian 3: 59 - 67. BPTP Karangploso. Badan Litbang Pertanian. 2007. Petunjuk teknis lapang pengelolaan tanaman terpadu PTT padi
sawah irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 40 Hal.
Badan Pusat Statistik. 2012. Data produksi padi dan jagung. bps.go.idtnmn.png Balai Penelitian Tanaman Padi. 2002. Pengelolaan tanaman terpadu inovasi sistem produksi padi
sawah irigasi Brosur. Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005. Padi gogo dan pola pengembangannya. Departemen Pertanian
Biro Pusat Statistik. 2014. Aceh dalam angka tahun 2013. Biro Pusat Statistik Aceh, Banda Aceh. Diptaningsari, D. 2013. Analisis keragaman karakter agronomis dan stabilitas galur harapan padi gogo
turunan padi lokal Pulau Buru hasil kultur antera. disertasi. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Gomez, K.A. A.A. Gomez.1995. Prosedur statistik untuk pertanian edisi 2 Hafsiah, Muhammad Taufik, Wijayanto T. 2012. Uji daya hasil dan ketahanan padi gogo lokal
terhadap penyakit blast Pyricularia oryzae pada berbagai dosis pemupukan. Kendari. Berkala Penelitian Agronomi. Vol 1. No 1. Hal. 26-36.
Khairullah , I, S. Subowo, dan S. Sulaiman. 2001. Daya hasil dan penampilan fenotipik galur-galur harapan padi lahan pasang surut di Kalimantan Selatan. Prosiding Kongres IV dan
Simposium Nasional Perhipi. Peran Pemuliaan dalam Memakmurkan Bangsa. Peripi Komda DIY dan Fak. Pertanian Universitas Gajah Mada. p. 169-174
226
Khoiri, M.A., Zuhri, E., dan Muslimin. 2012. The yield test for some varieties of superior rice Oryza sativa
L. in Padang Mutung Village Kampar District. Prosiding seminar nasional dan rapat tahunan bidang ilmu-ilmu pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2012. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Krismawati. A, dan M. Sabran. 2003. Eksplorasi buah-buahan spesifik Kalimantan Tengah. Buletin
Plasma Nutfah, Vol.9 1 : 12-15 Makarim, A.K. I. Las. 2005. Terobosan peningkatan produktivitas padi sawah irigasi melalui
pengembangan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu PTT. Dalam Suprihatno et al. Penyunting. Inovasi teknologi Padi Menuju Swasembada Beras
Berkelanjutan. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Hal. 115-127 Miah M. N, Islam S, dan Hadiuzzaman. 2008. An iImproved protocol form multiple shoot
regeneration from seedling and mature explants of Citrus macroptera M.. Plant. Tiss. Cult. Biotech . 181: 17-24.
Mildaerizanti. 2008. Keragaan beberapa varietas padi gogo di daerah aliran sungai Batanghari.http:katalog.pustaka-deptan.go.id pdf.
M osher, Christine M. and Chris B. Barrett. 2003. “The disappointing adoption dynamics of a yield-
increasing, low external input technology: The case of SRI in Madagascar” dalam Agricultural Systems 76, 1085
—1100. Pikukuh, B., D. Setyorini, Handoko, M. Purwoko. 2007. Inovasi teknologi varietas padi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Departemen. Sirappa, M.P., dan Edwen D. Waas, 2009. Kajian varietas dan pemupukan terhadap peningkatan hasil
padi sawah di dataran Pasahari, Maluku Tengah. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 121:79-90.
Sudarsono, Makarim AK. 2008. Peningkatan hasil padi melalui perbaikan cara tanam jajar legowo dan introduksi varietas unggul di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua, hal 601-609.
Prosiding Sem.Nas.Padi. Suyamto, R. Hidajat, S. Wahyuni, Y. Samaullah. 2007. Pedoman bercocok tanam padi. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Suriatna. 2002. Pupuk dan pemupukan. Medyatama Perkasa. Jakarta.
Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, N. Ilham. 2000. proyeksi penawaran dan permintaan komoditas tanaman pangan: 2000-10. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
227
PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI MELALUI DEMONSTRASI FARMING DI KOTA KENDARIPROVINSI SULAWESI
TENGGARA FARMERS PERCEPTION TO PADDY TECHNOLOGY SPECIFIC LOCATION THROUGH
DEMONSTRATION FARMING IN KENDARI CITY SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE
Assayuthi Ma’suf
1
, Sjamsiar
1
, dan Rahmat Oktavia
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sulawesi Tenggara,
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Prof Muh. Yamin No. 89, Puuwatu Kendari 93114
email : assayuthi.bptpsultragmail.com
ABSTRAK
Penerapan teknologi padi sawah di lahan milik petani memiliki tantangan yang berbeda pada masing- masing wilayah. Meskipun sebelumnya telah dilakukan penyuluhan, tidak semua petani menerima
teknologi yang dianjurkan. Salah satu metode penyuluhan pertanian yang dapat mempercepat penyebarluasan inovasi teknologi baru adalah demonstrasi farming demfarm. Implementasi demfarm
diharapkan dapat merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku petani serta keluarganya. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi
melalui demfarm di Kota Kendari. Metode pengkajian dilakukan dengan pendekatan partisipatif kepada kelompok tani dengan luasan lahan demfarm 5 Ha. Waktu pengkajian dilakukan pada bulan
Februari-Mei 2016. Data yang dikumpulkan adalah produktivitas VUB dan tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah. Penilaian tingkat persepsi menggunakan interval kelas dan item
pertanyaan menggunakan pilihan ganda menggunakan skala likert. Analisis data menggunakan
pendekatan ‘with and without’ dan analisis persepsi. Paket teknologi padi sawah yang diintroduksikan adalah pengolahan tanah sempurna, penggunaan VUB Inpari 30, penggunaan benih bermutu dan
berlabel, pemberian bahan organik, sistem tanam jajar legowo dengan alat tanam benih langsung jajar legowo, pemupukan berdasarkan perangkat uji tanah sawah PUTS dan bagan warna daun BWD,
pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan pengendalian hama terpadu PHT, dan panen tepat waktu. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa produktivitas Inpari 30 Ciherang Sub 1 di lokasi
demfarm lebih tinggi yang mencapai 7,88 tha dibandingkan dengan hasil non demfarm yang hanya mencapai 5,6 tha. Tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah tergolong kategori tinggi
yaitu seluruh petani 100 menilai positif inovasi teknologi padi sawah. Kata Kunci:
persepsi, teknologi padi sawah, demfarm
ABSTRACT
Adoption of paddy technology by the farmer has different challenges in each region. Although previously been done counseling, not all farmers receive the recommended technology. One as
agricultural extension methods to accelerate the dissemination of new technological innovations is a demonstration farming demfarm. Demfarm implementation expected to change knowledge, attitudes,
and behavior of farmers and their families. The purpose of this study was to determine the farmers perception on paddy technology in Kendari. Methods assessment is using a participatory approach to
farmers groups with demfarm area of 5 ha. Time assessment conducted in February-May 2016. The data collected are VUB productivity and the level of farmers perception on paddy technology. The
level rate of perception using the class interval and items with multiple choice questions using a likert scale. Data analysis using with and without approach and perception analysis. Technology package
were introduced was perfect tillage, use of VUB Inpari 30, use quality seeds and labeled, organic matter, row space planting system with row space direct seeding tool, fertilization based paddy soil
test devicesPSTD and leaf color chart LCC, control of pests and diseases with the approach of integrated pest management IPM, and timely harvest. The study showed that productivity Inpari 30
Ciherang Sub 1 at locations demfarm higher at 7.88 t ha compared with the results of non-demfarm which only reached 5.6 t ha. To the level perceived of farmers paddy to technology relatively high
category that all farmers 100 positive rate of paddy technology innovation.
Keywords: perception, paddy technology, demfarm
228
PENDAHULUAN
Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, pemerintah telah menetapkan pencapaian swasembada pangan berkelanjutan menuju kemandirian pangan yang harus
dicapai dalam waktu 3 tiga tahun. Untuk pencapaian swasembada berkelanjutan tersebut diperlukan upaya peningkatan produksi yang luar biasa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Balitbangtan yang bersinergi dengan lintas instansi, penuh semangat menyingsingkan lengan, menyatukan isi, mengikis rasa ego sektoral, berjibaku bekerja, bekerja dan bekerja menyongsong
program swasembada pangan Balitbangtan, 2015.
Melalui program UPSUS tiga komoditas utama padi jagung kedelai pajale, pemerintah sangat bertekad untuk mensukseskan kedaulatan pangan dalam 3 tahun ini, yaitu pada tahun 2017.
Pada kegiatan UPSUS pajale, segala strategi dan upaya dilakukan untuk peningkatan luas tanam dan produktivitas di daerah-daerah sentra produksi pangan Kurniawan, 2015.
Sulawesi Tenggara memiliki peluang yang besar dalam mendukung program pembangunan pertanian nasional antara lain daya dukung lahan masih cukup luas. Potensi lahan sawah di Sulawesi
Tenggara sebesar 350.000 ha, dan sawah fungsional seluas 121.222 ha. Penggunaan lahan untuk usahatani tanaman padi sawah seluas 94.921 ha dengan tingkat produktivitas sebesar 4,30 tha.
Sementara produksi beras tahun 2013 Sulawesi Tenggara 315.651 ton, kebutuhan konsumsi 231.387 ton sehingga surplus 84.264 ton Distan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014. Kota Kendari merupakan
salah satu daerah di Sulawesi Tenggara yang memiliki sumberdaya lahan sawah untuk pengembangan tanaman padi sawah seluas 1.319 ha dengan luas panen 897 ha dan produktivitas 3,89 tha Distan
Kota Kendari, 2014.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sulawesi Tenggara telah banyak melakukan uji adaptasi dan pengkajian teknologi spesifik lokasidi wilayah Sulawesi Tenggara. Namun demikian
masih ada kendala dalam transfer teknologi dari penghasil ke pengguna utamanya di lapangan. Penerapan teknologi padi sawah di lahan milik petani merupakan hal yang tidak mudah. Meskipun
sebelumnya telah dilakukan penyuluhan, tidak semua petani mau dan berani melaksanakan semua teknologi yang dianjurkan. Petani masih menanam satu varietas secara terus menerus, pemupukan
tidak sesuai rekomendasi, kurangnya pemeliharaan yang konsisten baik pemupukan, penyiangan, maupun pengendalian OPT. Hal ini diduga karena adanya faktor teknis atau kendala sosial ekonomi.
Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan pendampingan inovasi teknologi secara terus menerus agar terjadi percepatan penyebarlusan inovasi teknologi kepada petani. Keberhasilan
peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah perlu disebarluaskan kepada para petani melalui penyuluhan. Salah satu metode penyuluhan pertanian yang dapat mempercepat penyebarluasan inovasi
baru adalah demonstrasi farming demfarm. Implementasi demfarm diharapkan dapat merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku petani serta keluarganya. Dengan adanya adopsi terhadap inovasi
teknologi padi melalui demfarm, perilaku petani dan keluarganya dalam melakukan usahatani yang pada awalnya bersifat tradisional dan belum menerapkan teknologi pertanian yang baik dan benar
diharapkan akan berubah menjadi lebih baik. Petani diharapkan akan memberikan perubahan yang nyata dalam hal perbaikan produksi, memperbaiki mutu gabah padi sawah, dan menerapkan inovasi
atau teknologi baru budidaya padi sawah secara kontinu.
Sebelum petani mengambil keputusan untuk menerapkan inovasi teknologi pertanian tersebut, petani akan menilaimempersepsikan inovasi teknologi tersebut baik keunggulan dari inovasi itu
sendiri, kesesuaian, kerumitan, kemudahan untuk dicoba maupun kemudahan untuk dilihat hasilnya.Hendayana 2014 menyatakan bahwa persepsi petani terhadap informasi teknologi itu bisa
positif, negatif, atau bahkan netral. Persepsi petani yang positif akan mendorong adopsi, sebaliknya jika yang terbentuk adalah persepsi negatif, maka petani akan menolak teknologi yang ditawarkan
kepadanya. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi melalui demfarm di Kota Kendari.
229
METODE PENGKAJIAN
Waktu pelaksanaan pengkajian ini dimulai bulan Februari-Mei 2016. Kegiatan ini dilaksanakanpada diKecamatanBaruga,Kota Kendari dengan lahan demfarm seluas 5 ha. Metode yang
digunakan dalam introduksi inovasi baru oleh BPTP Sultra adalah demfarm yang dilaksanakan pada MT 1 tahun 2016 di lahan milik kelompok tani.
Kegiatan demfarm teknologi padi sawah menggunakan pendekatan secara partisipatif kepada kelompok tani. Melalui pendekatan partisipatif tersebut dapat dipahami apa masalah yang sebenarnya
dihadapi petani. Dengan demikian ada umpan balik teknologi yang benar-benar dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selanjutnya teknologi yang diintroduksikan tersebut diterapkan di
dalam demfarm sebagai media pembelajaran langsung oleh petani yang dilakukan di lahan petani. Paket teknologi yang diintroduksikan tersebut adalah pengolahan tanah sempurna, penggunaan VUB
Inpari 30 Ciherang Sub 1, penggunaan benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik, sistem tanam jajar legowo dengan atabela jajar legowo, pemupukan berdasarkan PUTS dan BWD,
pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan pengendalian hama terpadu PHT, dan panen tepat waktu.
Penilaian tingkat persepsi menggunakan item pertanyaan tipe pilihan berganda multiple choice
menggunakan skala likert. Adapun cara penggolongan tingkat persepsi digunakan rumus interval kelas. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dan jumlah sampel pada penelitian ini
sebanyak 20 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data komponen teknologi demfarm dan data tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi.
Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan pengkajian yaitu menggunakan pendekatan with and without dananalisis persepsi. Pendekatan with and without digunakan untuk
menganalisis yang membandingkan teknologi yang diterapkan dilokasi demfarm dengan teknologi yang dilakukan dilokasi non demfarm. Untuk analisis persepsi petani menggunakan penskalaan likert,
dengan skala berjenjang 3. Untuk pengukuran persepsi, skor 1 menyatakan tidak setuju, skor 2 menyatakan tidak yakin ragu dan skor 3 menyatakan setuju. Persamaan yang digunakan untuk
mengukur persepsi menggunakan nilai dengan formula sebagai berikut: K = nN x 100 Hendayana, 2014
Dimana : K = nilai konstanta
n = jumlah responden yang menyatakan orang N = total jumlah responden
Pengukuran persepsi pada pengkajian ini menggunakan pendekatan tertimbang. Pendekatan tertimbang pada analisis persepsi dilakukan dengan cara menghitung rasio atau perbandingan antara
jumlah individu yang memberikan pernyataan tertentu terhadap jumlah keseluruhan responden. Pernyataan tertentu itu, menunjukkan persepsi individu terhadap suatu obyek atau fenomena yang
dapat dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi pernyataan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dan dianalisis dalam bentuk tabel frekuensitabulasi dan disajikan dalam bentuk deskriptif dan
proporsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai inovasi teknologi budidaya padi telah dikembangkan dan disebarluaskan kepada para petani. Namun, hal tersebut sering menghadapi kendala, baik dari sisi daya serap atau pengetahuan
petani maupun faktor lingkungan setempat. Pendekatan secara langsung dengan membuat suatu demfarm dilakukan agar para petani lebih memahami dan segera dapat mengadopsi inovasi teknologi
dalam rangka peningkatan produksi padi.
Pelaksanaan Demfarm Teknologi Padi Sawah Spesifik Lokasi
Paket teknologi padi sawah yang diintroduksikan dalam pelaksanaan kegiatan demfarm adalah pengolahan tanah secara sempurna, penggunaan VUB Inpari 30 Ciherang Sub 1, penggunaan benih
bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik, sistem tanam jajar legowo dengan atabela jajar legowo, pemupukan berimbang berdasarkan PUTS dan BWD, pengendalian hama dan penyakit
dengan pendekatan pengendalian hama terpadu PHT, serta panen tepat waktu. Perbandingan paket teknologi antara petani kooperator dan non kooperator dapat dilihat pada tabel 1.
230
Tabel 1. Paket teknologi padi sawah pada petani kooperator dan petani non koopeartor di Kota Kendari
No. Teknologi
Petani Kooperator Petani Non Kooperator
1. VUB yang digunakan
Inpari 30 Ciherang Sub 1 Mekongga, Ciherang
2. Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan secara sempurna Pengolahan lahan secara sempurna
3. Penggunaan Benih
25 kgha 40 kgha
4. Cara Tanam
Tabela menggunakan atabela jajar legowo 2:1
Habela 5.
Pemupukan Phonska 15:15:15 dan
penambahan Urea dengan deteksi alat BWD Bagan Warna Daun
Pupuk majemuk aplikasi belum sesuai rekomendasi
6. Pengendalian Hama
Penyakit Pendekatan PHT
Mengutamakan penggunaanpestisida
7. Panen
Tepat waktu, alat panen combine harvester
Tepat waktu, alat panen combine harvester
Sumber: Data primer 2016
Hasil pengamatan pada kegiatan demfarm menunjukkan bahwa paket teknologi yang diterapkan memberikan peningkatan produktivitas sebesar 2,28 tha Tabel 2. Hasil penerapan
teknologi spesifik lokasi pada musim tanam Februari-Mei 2016, menunjukkan produktivitas Inpari 30 Ciherang Sub 1 mencapai 7,88 tha. Sedangkan rata-rata hasil petani non demfarm menunjukkan
produktivitas mencapai 5,6 tha. Hal ini berarti bahwa produkstivitas padi sawah dengan penerapan teknologi spesifik lokasi lebih tinggi dibandingkan teknologi kebiasaan petani.
Su
harno 2015 menyatakan bahwa adopsi teknologi varietas unggul, cara tanam jajar legowo dan pemupukan yang berdasarkan rekomendasi pemupukan yang berimbang di kabupaten kolaka
telah mampu meningkatkan produksi padi sawah di Kecamatan Baula dari 4,2 tha menjadi 5,2 tha 23,80 dan di Kecamatan Pomalaa dari 4,2 tha menjadi 5,3 tha 26,19.
Tabel 2. Peningkatan Produktivitas
No. Uraian
Produktivitas tha Demfarm
Non Demfarm 1.
Produktivitas 7,88
5,6 2.
Peningkatan Produksi 2,28
- Sumber: Data primer 2016
Keterangan : produktivitas dalam bentuk GKP
Masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan hasil sebagian besar disebabkan oleh penerapan teknologi yang tidak tepat, termasuk varietas yang ditanam, padahal ketepatan pemilihan
komponen teknologi diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal. Contohnya adalah penggunaan varietas yang sama secara terus menerus sehingga memacu kehadiran organisme pengganggu OPT.
Berdasarkan hasil kajian, inovasi teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diintroduksi telah meningkatkan hasil panen. Meningkatnya hasil panen tersebut berarti dapat juga meningkatkan
pendapatan petani sehingga jumlah petani dan luasan sawah yang menerapkan teknologi tepat guna akan bertambah pada musim tanam selanjutnya. Hal ini diungkapkan oleh Rusdin 2015 menyatakan
bahwa rendahnya penerapan pengelolaan PTT khususnya penggunaan varietas unggul berlabel, waktu tanam yang tidak serempak, dan penggunaan pupuk yang tidak berimbang akan mengakibatkan
rendahnya produktivitas padi, seperti yang terjadi di Kota Bau-Bau produktivitas padi kurang dari 4 tonha.
Persepsi Petani Terhadap Teknologi Padi Sawah Spesifik Lokasi
Inovasi teknologi padi sawah yang disampaikan melalui demfarm padi sawah ini merupakan inovasi teknologi yang dibutuhkan dan menambah pengetahuan petani. Berkaitan dengan hal tersebut
diharapkan petani yang melihat demfarm padi sawah ini memiliki persepsi yang positif terhadap inovasi teknologi padi sawah yang diintroduksikan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa persepsi
petani terhadap inovasi teknologi padi sawah spesifik lokasi termasuk dalam kategori tinggi dikarenakan seluruh petani 100 memberikan respon yang positif terhadap paket teknologi padi
sawah tersebut Tabel 3. Secara rinci mengenai pernyataan yang membentuk tingkat persepsi petani tersebut disajikan pada Tabel 4.
231
Tabel 3. Tingkat persepsi terhadap paket teknologi padi sawah spesifik lokasi di Kota Kendari
No. Kategori tingkat Persepsi
Jumlah Skor Jumlah orang
Persentase 1
Rendah 08,00 - 13,32
00,00 2
Sedang 13,33 - 18,66
00,00 3
Tinggi 18,67 - 24,00
20 100,00
Jumlah 20
100,00 Sumber : Data primer 2016
Pada tabel 4, terlihat secara terperinci persepsi petani terhadap komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi. Komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diterima 100 oleh
petani antara lain pengolahan tanah yang sempurna, penggunaan benih berlabel, pemberian bahan organik, dan panen tepat waktu. Hal ini dikarenakan petani menganggap penggunaan teknologi
tersebut memberikan hasil dan manfaat yang baik dalam usahatani padi sawah. Selanjutnya, komponen teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diterima 90 oleh petani antara lain
produktivitas VUB Inpari 30, pemupukan berdasarkan PUTS dan penggunaan alat BWD, serta pengendalian hamapenyakit secara PHT. Dalam hal ini, masih ada 10 petani yang ragu karena
belum merasakan manfaat secara langsung karena belum pernah menggunakan VUB, cukup rumit menggunakan PUTSBWD yang dan belum paham cara pengendalian hamapenyakit sesuai tingkat
serangannya sehingga perlu pengulangan pembelajaran terkait hal tersebut. Kemudian berdasarkan pernyataan yang membentuk tingkat persepsi, penggunaan atabela jajar legowo merupakan komponen
teknologi padi sawah spesifik lokasi yang diterima 80 oleh petani. Masih ada 20 petani yang ragu untuk menggunakannya karena masih terbatasnya alat tanam ini di daerah tersebut dan hanya efektif
diterapkan jika cuaca mendukung untuk diaplikasikan dilahan sawah karena setelah dilakukan penanaman maka selama 2-3 hari setelah sebar HSS maka kondisi lahan sawah perlu dijaga agar
tidak tergenang air ataupun terkena air hujan agar benih tidak terhambur dan hanyut bersama air.
Tabel 4. Pernyataan yang membentuk tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi di Kota Kendari
Pernyataan Persepsi
Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju
Total Pengolahan tanah yang sempurna ditandai
dengan komposisi tanah dan air yaitu 1:1 100
100 Benih berlabel memiliki kualitas benih yang baik
100 100
Produktivitas VUB Inpari 30 cukup tinggi 90
10 100
Pemberian bahan organik meningkatkan produktivitas padi
100 100
Penggunaan atabela Jarwo 2:1 mudah digunakan
80 20
100 Penggunaan pupuk berdasarkan PUTS dan alat
BWD memberikan pengaruh yang baik untuk tanaman padi
90 10
100 PHT mampu mengendalikan hamapenyakit
90 10
100 Hasil panen yang tepat waktu menghasilkan
kualitas bulir padi yang baik 100
100 Sumber : Data primer 2016
Menurut Fachrista 2014, persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus yang diterima oleh petani, sebelum petani
mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Persepsi merupakan tahap kedua dalam proses adopsi. Pada tahap pertama petani telah memperoleh informasi dan pengetahuan
mengenai PTT padi sawah. Kemudian, tahap selanjutnya petani kemudian mempersepsikan dan mulai menilai inovasi tersebut positif, netral atau negatif berdasarkan sifat inovasinya yaitu; keunggulan
nisbih, kesesuaian, kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat hasilnya. Hasil penelitian Fachrista 2014 yang berjudul persepsi petani terhadap inovasi teknologi PTT padi sawah
menunjukkan bahwa mayoritas petani Desa Labu, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka memiliki persepsi positif terhadap inovasi teknologi tersebut. Hal ini dikarenakan petani menganggap
bahwa inovasi teknologi PTT padi sawah lebih menguntungkan, sesuai dengan nilai dan kebutuhan
232
masyarakat, memiliki kerumitan yang rendah, mudah diterapkan, dan hasilnya dapat dengan mudah dilihat.
Persepsi petani yang positif terhadap teknologi padi sawah spesifik lokasi diharapkan mampu mempercepat adopsi teknologi padi sawah spesifik lokasi. Hasil penelitian Sugiman 2015 mengenai
tingkat adopsi PTT padi sawah menunjukkan bahwa komponen teknologi PTT yang adopsinya tergolong tinggi adalah penggunaan varietas unggul baru, dan panen-pasca panen, sedangkan
komponen teknologi PTT yang adopsinya tergolong rendah atau sulit diadosi adalah penambahan bahan organik, benih bermutu dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Maka, Sjamsiar
2016 menegaskan bahwa untuk mempercepat adopsi teknologi PTT padi sawah, diperlukan gelar teknologi demontrasi teknologi secara terus menerus dengan melibatkan petani, pendampingan
kelompok secara kontinyu, sehingga petani dapat belajar dan melihat langsung hasilnya. Hasil kajian Sjamsiar 2016 terkait penerapan teknologi PTT yang dilaksanakan di Amohalo Kelurahan Baruga
Kec. Baruga Kota Kendari pada bulan Januari-Juli 2014 menunjukkan tingkat adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah relatif tinggi sebesar 89,63. Komponen teknologi yang diterapkan adalah
penggunaan VUB Inpari 15, pengolahan tanah, tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca
panen. Hasil kajian diperoleh bahwa penerapan teknologi PTT padi sawah VUB Inpari 15 menghasilkan produksi 6,1 tha GKG.
KESIMPULAN
1.
Pr
oduktivitas Inpari 30 Ciherang Sub 1 di lokasi demfarm lebih tinggi yang mencapai 7,88 tha dibandingkan dengan hasil non demfarm yang hanya mencapai 5,6 tha.
2. Tingkat persepsi petani terhadap teknologi padi sawah tergolong kategori tinggi yaitu seluruh
petani 100 menilai positif inovasi teknologi padi sawah spesifik lokasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Asaad dan Suharno dalam mengarahkan pengkajian ini, Bapak Abdul Rauf Serry, RD. Teguh Wijanarko, Didik Raharjo, dan
Yuliani Zainuddin dalam membantu pelaksanaan dilapangan dan pengumpulan data, Bapak Kadek Sumitra Penyuluh Kecamatan Baruga dan Bapak Daud Babinsa Kecamatan Baruga sebagai mitra
kerjasama kami dilapangan, dan Kelompok Tani Samaturu I sebagai petani kooperator, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan pengkajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangtan. 2015. Rumusan Sementara Hasil Rapat Badan Litbang Pertanian, pada tanggal 8 – 10
Januari 2015. Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2014. Upaya Khusus UPSUS
Swasembada Padi, Jagung, dan Kedelai. Disampaikan pada acara Koordinasi UPSUS di BPTP Sulawesi Tenggara, Desember 2015.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Kendari. 2014. Data Produktivitas Tanaman Pangan di Kota Kendari. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Kendari.
Fachrista, I. A. dan M. Sarwendah. 2014. Persepsi dan tingkat adopsi petani terhadap inovasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Agriekonomika - Jurnal Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 31 : 1-10.
Hendayana, R. 2014. Persepsi dan Adopsi Teknologi Teori dan Praktek Pengukuran. Disajikan Dalam Kegiatan: Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Peneliti Sosial Ekonomi Dalam
Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Bogor, 19 Oktober – 1 November
2014. Kurniawan,
H. 2015.
Upaya Khusus
UPSUS Swasembada
Pangan 2015-2017.
http:biogen.litbang.pertanian.go.idindex.php201502upaya-khusus-upsus- swasembada-pangan-2015-2017
. [Diunduh Tgl 11 Januari 2016]. Mustaha, M.A., Sarjoni, R.D.T. Wijanarko, dan Rusdi. 2015. Deskripsi varietas unggul padi, jagung,
dan kedelai adaptif di Sulawesi Tenggara. Diterbitkan atas kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara.
233
Rusdin. 2015. Peningkatan produktivitas padi untuk mendukung ketahanan pangan melalui pengelolaan tanaman terpadu di Kota Bau-Bau. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang
diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 di Kendari, Seminar nasional ketahanan dan kedaulatan pangan berbasis sumberdaya lokal: 129-135.
Sjamsiar dan
Wardah. 2016.
Percepatan penerapan
PTT padi
sawah melalui
gelar teknologi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam Buku I Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 25-26 Agustus 2015 di Gorontalo, Seminar
nasional membangun kedaulatan pangan yang berkelanjutan : 115-120. Suharno dan E. Tando. 2015. Adopsi teknologi varietas, cara tanam dan pemupukan padi sawah di
Kabupaten Kolaka. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 di Kendari, Seminar nasional ketahanan dan kedaulatan pangan
berbasis sumberdaya lokal: 148-157. Sugiman, S.B. dan M. Asaad. 2015. Dampak program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu
SL-PTT terhadap adopsi teknologi PTT di Sulawesi Tenggara. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2015 di Kendari,
Seminar nasional ketahanan dan kedaulatan pangan berbasis sumberdaya lokal : 317- 325.
234
IDENTIFIKASI RESIDU ENDOSULFAN, TOXAPENE, DAN MIREX DI LAHAN SAWAH, KABUPATEN WONOSOBO
IDENTIFICATION OF ENDOSULFAN, TOXAPHENE, AND MIREX RESIDUES IN THE RICE FIELD LAND, WONOSOBO DISTRICT
Ina Zulaehah
1
, Sukarjo
2
dan Prihasto Setyanto
3
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken KM 5, Kotak Pos 59182 Jaken, Pati, Jawa Tengah
e_mail: izul_tbnyahoo.com
ABSTRAK
Tingginya kebutuhan pangan terutama beras mendorong petani untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan menggunakan pestisida untuk mengatasi
serangan hama dan penyakit. Penggunaan pestisida secara intensif dan melebihi ambang batas yang diijinkan akan menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Identifikasi status residu pestisida khususnya endosulfan, toxapene dan mirex di lahan sawah dilakukan untuk mengetahui keberadaan residunya, sehingga dapat dilakukan tindakan yang sesuai
untuk meminimalisir keberadaan senyawa tersebut di lingkungan pertanian. Penelitian dilakukan dari bulan Januari-Desember 2015. Pengambilan sampel tanah dilakukan di titik-titik sampel penelitian
yang ditentukan secara gridpada satuan unit lahan sawah. Satu titik sampling terdiri dari 5-10 contoh individual subcontoh, dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang. Pengujian residu
endosulfan, toxapene dan mirex secara ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas KG mengacu pada metode SNI 06-6991.1-2004. Hasil penelitian ini menunjukkan sejumlah
sampel terdeteksi senyawa endosulfan 57 sampel, senyawa toxapene 13 sampel dan senyawa mirex 24 sampel dari total 319 sampel. Sebagian kecil sampel mengandung senyawa endosulfan yang melebihi
batas maksimum residu BMR yaitu 0,94, dan senyawa toxapene 0,94, sedangkan senyawa mirex masih di bawah BMR pada semua sampel.
Kata kunci :
endosulfan, toxapene, mirex, sawah, Wonosobo
ABSTRACT
The high demand for food especially rice, encouraging the farmer to increase agricultural land productivity. One of way is by using pesticides to solve the pests and diseases attacks. The using of
pesticide intensively and exceeding the permitted limit will inflict bad effect on human health and the surrounding environment.Identification status of pesticide residue especially endosulfan, toxaphene,
and mirex in rice field was conducted to determine the presence of the residue, therefore can doright action to reducethe existence of these compound in agricultural land. The study was conducted from
January to December 2015. The taking of soil sample was conducted in the sample point which decided by grid unit of rice fields. One of sampling point consists of 5-10 individual sample sub-
sample, with taking each sub-sample distance for 25-50 m in the field. The residue analyzing of endosulfan, toxapheneand mirex by extraction using n-hexane solvent by Gas Chromatography GC
refers to a method SNI 06-6991.1-2004. The results of this study showed a number of compounds detected endosulfan residues are 57 samples, 13 samples for toxaphene compounds and for
compounds mirex are 24 samples from a total of 319 samples. A small part of the sample containing 0.94 endosulfan compounds and 0.94 toxaphene compound which are exceeding the Maximum
Residue Limits MRL, whereas mirex compound still below from MRL in all samples. Key Words:
endosulfan, toxaphene, mirex, rice field, Wonosobo
235
PENDAHULUAN
Penggunaan bahan agrokimia seperti pestisida digunakan untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan sekitarnya. Residu pestisida yang ada dilingkungan dapat berasal dari tempat aplikasi pestisida, maupun terbawa oleh gerakan air sungai, air tanah, dan laut, serta gerakan angin.
Soemirat 2005 menyatakan perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan pencemaran lingkungan oleh bahan kimia. Di antara polutan-polutan tersebut, terdapat
polutan organik yang disebut organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten dan dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.
Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah.
Keberadaan senyawa organoklorin seperti endosulfan, toxapene, dan mirex masih dijumpai pada tanah, air, dan tanaman dikarenakan sifatnya yang persisten dan mempunyai waktu paruh yang
cukup lama. Meskipun penggunaan senyawa Persistent Organic Pollutant POPs golongan organoklorin telah lama dilarang penggunaannya namun residu insektisida ini masih terdeteksi seperti
BHC, aldrin, endosulfan di tanah sawah Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan endosulfan di Jawa Timur. Kadar residu insektisida dalam tanah dan air sawah di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat lebih tinggi
daripada di daerah Jawa Timur Ardiwinata et al. 1999, Jatmiko et al. 1999, Harsanti et al. 1999.
Karakteristik senyawa POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman Tynan 2003 adalah: terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam
lingkungan untuk waktu yang lama; masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga sukar larut dalam air sertadapat terbawa jauh melalui udara dan air.
Organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor, dan kejang-kejang. Pestisida
organoklorin umumnya lebih mampu bertahan di lingkungan dan cenderung disimpan dalam timbunan lemak. Tetapi bioakumulasi lebih nyata pada beberapa zat kimia dibanding dengan zat lainnya.
Yuantari,2011
Komoditas tanaman pangan seperti padi sawah banyak ditanam oleh petani di kabupaten Wonosobo yang terletak di Daerah Aliran Sungai DAS sungai Serayu. Untuk mengurangi
keberadaan senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di lahan padi sawah maka perlu dilakukan identifikasi seberapa besar jumlahnya di dalam tanah, sehingga dapat dilakukan tindakan sesuai
dengan tingkat cemarannya di dalam tanah.
METODE PENELITIAN Bahan dan alat
Bahan peta yang digunakan adalah: 1 peta administratif skala 1:250.000 dan 1:50.000, 2 peta rupabumitopografi skala 1:25.000 dan 1:50.000, 3 peta tanah skala 1:250.000 dan 1:50.000, 4 peta
landuse penggunaan lahan skala 1:50.000, dan peta geologiskala 1:250.000. Bahan kemikalia
antaralain: diklormetana,aseton CH3COCH3 p.a, n-heksan C6H14 p.a, air suling bebas senyawa organoklorin atau mengandung senyawa organoklorin dengan kadar lebih kecil dari limit deteksi,
natrium klorida NaCl 10, natrium sulfat, natrium boraks, fluoro 2,4-dinitrobenze FdNB, celite.Bahan larutan standar pestisida organoklorin: endosulfan, gas nitrogen, N2 UHP ultra high
pure
99,9995; Glass wool atau kapas bebas lemak yang telah dicuci dengan n-heksan. Peralatan yang digunakan antaralain : GC Gas Chromatography dengan dilengkapi ECD untuk deteksi residu
insektisida, kolom kromatografi, homogenator,rotary evaporator, corong pisah, corong buchner, timbangan analitik, tabung digestion blok digestion,pengocok tabung mekanik; dispenser; tabung
sentrifusi, botol kocok, tabung reaksi 10 ml yang bertutup dan berskala; vial bertutup 1 ml dan 2 ml, labu jantung bertutup 300 ml; jarum suntik micro syringe, ayakan dengan ukuran pori 2 mm, gelas
ukur bertutup 50 ml, 100 ml dan 500 ml, gelas piala 100 ml, batang pengaduk, spatula, statif, mortar dan alu, dan pipet volumetrik 1 ml, bor tanah, abney level, kompas, dan GPS.
236
Metode survei
Kegiatan penelitian dilaksanakan di DAS Serayu HuluKabupaten Wonosobo propinsi Jawa Tengah tahun 2015. Jenis sampel yang diambil yaitu lapisan olah tanah sawah.Metode yang digunakan
yaitu metode survei, yang diawali dengan eksplorasi data dukung penelitian berupa informasi dari dinas terkait. Pengumpulan data primer dilakukan pada titik-titik sampel penelitian yang ditentukan
secara grid pada satuan unit lahan sawah.Menurut Rayes 2007 peta tanah semi detil skala 1:50.000 sd 1:25.000 adalah peta yang menyajikan informasi spasial tentang penyebaran dan luasan satuan
tanah dan sifat-sifatnya pada suatu wilayah yang cukup luas, biasanya mencakup 50.000 ha atau lebih. Intensitas pengamatan lapangan adalah tiap 12,5 ha-50,0 ha bergantung karakterisitik lahan. Pada peta
skala ini, 1 cm
2
setara dengan 6,25-25 ha di lapangan. Lahan datar kemiringan 3 satu titik sampling dapat mewakili luasan 50-100 hektar, dan lahan dengan kemiringan 3 satu titik sampling
mewakili luasan 50 hektar Hazelton dan Murphy, 2007; Schoknecht et al., 2008.
Pengambilan sampel
Satu titik sampling terdiri dari 5-10 contoh individual subcontoh, dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang. Pengambilan subcontoh tanah diambil pada lapisan olah dengan
kedalaman 20 cm. Contoh-contoh individual tersebut dimasukkan ke dalam ember dan dicampur sampai homogen, kemudian diambil seberat 0,5-1 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik
ukuran 15×25 cm dan diberi label, diikat dengan benang wol. Pengisianpenulisan label dalam dan label luar terdiri dari tanggal pengambilan, kode pengambil dan nomor contoh serta nama lokasi
desa, dan kecamatan dan jenis sampel. Contoh tersebut merupakan satu contoh komposit. Contoh tanah setelah dikering udarakan, digiling kemudian disaring dengan saringan 2 mm.
Pengujian kadar pestisida
Cara uji pestisida organoklorin secara ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas KG mengacu pada metode SNI 06-6991.1-2004. Senyawa pestisida organoklorin
dalam contoh uji tanah diekstrak dengan pelarut organik n-heksan, kemudian dimurnikan clean up, hasil pemurnian dipekatkan dan selanjutnya disuntikkan ke dalam KG.
Tanah yang dikumpulkan dari masing-masing titik sampling lokasi dilakukan analisis secara kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Wonosobo terletak antara 7°.43.13 dan 7°.04.40 garis lintang selatan LS serta 109°.43.19 dan 110°.04.40 garis bujur timur BTdengan luas wilayah 98.468 ha berada di
tengah wilayah Jawa Tengah. TopografiWonosobo berbukit-bukit, terletak pada ketinggian antara 200 sampai 2.250 m di atas permukaan laut. Kecamatan Kejajar memiliki ketinggian tempat tertinggi
1.378 dpl dan Kecamatan Wadaslintang dengan ketinggian terendah 275 dpl. Suhu udara di Wonosobo rata-rataantara 14,3
–26,5
o
C dengan curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 1713 - 4255 mmtahun. Luas lahan sawah yang dilakukan delineasi dalam kegiatan ini yaitu 11.732 ha.
Guna mengendalikan populasi hama dan penyakit maka banyak petani yang menggunakan pestisida. Selain memberikan dampak yang positif untuk menigkatkan produksi pertanian, perlu
dicermati pula dampak negatif yang ditimbulkan dari residu pestisida. Aplikasi pestisida yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan,
dll. Pestisida endosulfan, toxapene, dan mirex termasuk kedalam golongan organoklorin. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants POPs
yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf baik sentral
ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup, termasuk janin Yuantari,
2011.
Batas Maksimum Residu BMR senyawa POPs yang diijinkan di dalam tanah dalam penelitian ini mengacu pada referensi berikut : endosulfan 0.0085 ppm Alberta Tier 1, 2009,
toxapene 0.5000 ppm Australia SSW Stand, 2010, dan mirex 0.0270 ppm US Soil Standard, 2012. Dari hasil analisis residu senyawa POPs terhadap 319 sampel tanah di kabupaten Wonosobo,
ditemukan senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex dengan nilai yang bervariatif seperti disajikan dalam Tabel 1.
237
Tabel 1. Kandungan residu senyawa POPs dalam tanah ppm di kabupaten Wonosobo
Residu Pestisida
Kadar Residu ppm BMR ppm
Terdeteksi LOD
BMR BMR
Endosulfan 0.0034 ± 0.0027
0.0085 57
262 54
3 Toxapene
0.8908 ± 1.9047 0.5000
13 306
10 3
Mirex 0.0057 ± 0.0061
0.0270 24
295 24
Ket: LOD: Limit of Detection; BMR: Batas Maksimum Residu; n=319 Sumber: data primer 2015
Kandungan residu senyawa POPs yang terdeteksi berturut-turut dari besar ke kecil di kabupaten Wonosobo yaitu endosulfan mirex toxapene. Senyawa endosulfan terdeteksi 17,9 dari
total sampel, sedangkan senyawa toxapene dan mirex masing-masing terdeteksi 7,5 dan 4,1 dari total sampel.
Terdapat 58 desa yang terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex dari 122 desa yang diambil sampel tanahnya di 9 kecamatan di Wonosobo. Kandungan residu pestisida dari senyawa
endosulfan, toxapene, dan mirex di beberapa desa disajikan dalam tabel 2. Ditemukan 3 sampel tanah yang mengandung residu endosulfan yang melebihi batas BMR yaitu di desa Gunturmadu, kecamatan
Mojotengah sebesar 0,01511 ppm, di desa Jebengplampitan, kecamatan Leksono sebesar 0,01152 ppm, dan desa Punggangan kecamatan Mojotengah sebesar 0,00955 ppm.
Tabel 2. Kandungan residu pestisida dari senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di Kabupaten Wonosobo
Kecamatan Desa
ppm Endosulfan
Toxapene Mirex
Garung Larangan Lor
0,00187 Kalikajar
Butuh 0,00167
Kalikajar 0,00133
0,00242 Kalikuning
0,01344 Tegalombo
0,00237 Maduretno 1
0,00335 0,37503
Maduretno 2 0,00135
Mangunrejo 0,00150
Rejosari 0,00183
Kejajar Kejajar
0,00220 Serang
0,00602 Sigedang
0,00213 0,00177
Kertek Kapencar
0,00405 0,27523
Candiyasan 0,00156
Ngadikusuman 1 0,01610
Ngadikusuman 2 0,00422
Kertek 0,00290
0,50286 Purbosono
0,00274 Reco 1
0,00161 0,00274
Reco 2 0,00176
Sindupaten 0,00169
Sudungdewo 1 0,00367
Sudungdewo 2 0,00253
Sumberdalem 1 0,00412
0,13896 Sumberdalem 2
0,00360 Sumberdalem 3
0,00198 Wringinanom
0,00207 0,22415
0,00657 Leksono
Besani 0,00267
Durensawit 0,00709
Jebengplampitan 0,01152
0,00185 Kupangan
0,00166 Pacarmulyo
0,00330 Sojokerto 1
0,00125 0,20617
Sojokerto 2 0,00109
Suroyudan 0,00644
238
Mojotengah Candirejo
0,00159 Gunturmadu 1
0,00134 Gunturmadu 2
0,01511 Gunturmadu 3
0,00734 Mojosari
0,00603 Punggangan
0,00955 0,00286
Mudal 0,00228
Sukorejo 0,00190
Selomerto Adiwarno 1
0,00318 Adiwarno 2
0,00167 Bumitirto 1
0,00125 0,01497
Bumitirto 2 0,00602
Gunungtawang 0,00324
Kalierang 0,00527
Kecis 0,00333
0,29353 Krasak
0,00127 Plobangan
0,00457 0,17269
Simbarjo 0,00360
Sumberwulan 1 0,00206
0,02547 Sumberwulan 2
0,00118 0,00132
Selomerto 0,00625
Tumenggungan 0,00273
Wilayu 0,00114
Wulungsari 0,00208
Watumalang Limbangan 1
0,00595 1,36876
0,01081 Limbangan 2
0,00499 Limbangan 3
0,00252 Lumajang
0,00121 Gondang
0,00431 Pasuruhan
0,00244 Wonosobo
Jaraksari 0,00110
Jlamprang 0,32145
Jogoyitnan 0,23186
Kramatan 0,00217
0,32754 Rojoimo
0,00159 Wonolelo
0,00255 0,00282
Wonosari 0,00293
7,14248
Sumber: data primer 2015 Residu toxapene yang melebihi batas BMR ditemukan di desa Wonosari, kecamatan
Wonosobo sebesar 7,14248 ppm, di desa Limbangan, kecamatan Watumalang sebesar 1,36876 ppm, dan desa Kertek kecamatan Kertek sebesar 0,50286 ppm. Sedangkan senyawa Mirex masih berada
dibawah batas maksimum residu. Berdasarkan hasil analisa residu pestisida yang diperoleh, terdapat 7 desa yang sampel tanahnya mengandung kedua senyawa endosulfan dan mirex, dan 9 desa sampel
tanahnya mengandung kedua senyawa endosulfan dan toxapene. Namun tidak ada desa yang sampel tanahnya mengandung keduanya mirex dan toxapene, tetapi hanya salah satu saja.
Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan kecamatan yang ada di Wonosobo ditunjukkan dalam grafik 1. Dua peringkat persentase tertinggi senyawa endosulfan didapati di
kecamatan Selomerto 25 dan Kertek 19, sedangkan toxapene di kecamatan Kertek dan Wonosobo dengan angka yang sama sebesar 31, serta senyawa mirex terdapat di kecamatan Kertek
25 dan Selomerto 21.
239
Grafik 1. Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan kecamatan Sumber: data primer 2015
Berdasarkan hasil analisa tanah, diketahui bahwa rata-rata residu endosulfan, toxapene, dan mirex lebih dari 75 terdapat dilahan sawah tadah hujan dan sebagian kecil 25ditemukan di
sawah irigasi. Pada pengairan sawah tadah hujan diduga residu pestisida akan lama terdegradasi karena sistem pengairan dari air hujan yang intensitas aliran airnya sifatnya tidak sepanjang tahun.
Jika dengan pengairan air irigasi residu pestisida disamping terikat dalam tanah juga akan memasuki perairan melalui irigasi, dan dapat berpindah ke tanah di lokasi lain karena air larian.
Sesuai kemiringan lahan sampel tanah yang terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex 50 berada pada kemiringan 25-40 seperti yang disajikan pada grafik 2.
Grafik 2. Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan kemiringan lahan Sumber: data primer 2015
Jika dilihat dari bentuk lahan maka senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex banyak ditemukan 50 di lahan yang berbukit, 10 pada lahan bergunung dan datar, sedangkan sisanya
pada lahan berbukit kecil dan bergelombang seperti ditunjukkan pada grafik 3.
Kecamatan
Endosulfan Toxapene
Mirex
Kemiringan lahan
Endosulfan Toxapene
Mirex
240
Grafik 3.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan bentuk lahan Sumber: data primer 2015
Dari grafik 4 dapat dilihat bahwa persentase jumlah sampel tertinggi yaitu sebanyak 42 senyawa endosulfan, 62 senyawa toxapene, dan 33 senyawa mirex berada pada lereng lahar yang
tertoreh dan agak curam. Kurang dari 10 ditemukan di punggung gunung yang panjang di atas napal dengan singkapan-singkapan batuan, gunung berapi strato muda basasedang, lereng lahar yang agak
curam pada daerah dataran tinggi. Sisanya berada pada aliran lava basasedang yang agak tertoreh dan punggung bukit sangat curam di atas vulkanik basa RePPProt, 1987.
Grafik 4.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan deskripsi lahan Sumber: data primer 2015
Berdasarkan klasifikasi landform, maka 18 senyawa endosulfan ditemukan dilereng volkan tengah, dan 23 senyawa toxapene terdapat di lereng volkan bawah, sedangkan persentase tertinggi
senyawa mirex berada di lereng volkan bawah 25 dan lereng volkan atas 25. Sejumlah sampel yang terdeteksi lainnya terdistribusi di landform yang berbeda-beda seperti ditunjukkan pada grafik 5.
bentuk lahan
Endosulfan Toxapene
Mirex
D e
skr ip
si l
ah an
Mirex Toxapene
Endosulfan
241
Grafik 5.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan landform Sumber: data primer 2015
Berdasarkan jenis batuan induk maka senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex sebagian besar atau 50 dari batuan gunungapi Sundoro, sisanya dengan persentase kecil atau 20 memiliki
jenis batuan anggota breksi, batuan diorit, batuan gunungapi Dieng, batuan gunungapi Jembangan, batuan gunungapi Sumbing, formas Waturanda, dan morposet Patukbanteng-Jeding RePPProt, 1987
seperti digambarkan dalam grafik 6.
Grafik 6.Persentase jumlah sampel terdeteksi berdasarkan nama batuan induk Sumber: data primer 2015
Berdasarkan bahan induk 3 jenis senyawa POPs ini sebagian besar ditemukan pada bahan induk jenis andesit, andesit dan basalt, dan hanya sebagian kecil berjenis endapan liat, serta batuliat berkapur dan
batupasir. Ditemukan lebih dari 65 lahan yang terdeteksi endosulfan, toxapene, dan mirex berada pada lahan dengan ketinggian 700-1500 mdpl, sedangkan kurang dari 35 ketinggian 200-700 mdpl.
Berdasarkan karakteristik lahan ditemukannya sampel tanah yang terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex didapatkan persamaan bahwa sebagian besar sampel terdeteksi di
lahan dengan kemiringan 25-40, berbentuk bukit, pada lereng lahar yang tertoreh dan agak curam, dari bahan induk andesit, dan batuan induk batuan gunungapi Sundoro.Seperti diketahui bahwa
kabupaten Wonosobo merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian lokasi 250 dpl - 2250 dpl dan sebesar 50 dari seluruh areal berada pada rentang 500 dpl - 1.000 dpl serta dikelilingi beberapa
pegunungan. Tanah-tanah yang terbentuk dari abu vulkanik menjadikan tanah di wilayah ini banyak mengandung bahan organik. Residu insektisida dalam tanah sangat erat kaitannya dengan kandungan
bahan organik tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanah, makin tinggi kandungan
lan d
for m
Mirex Toxapene
Endosulfan
Batuan induk
Endosulfan Toxapene
Mirex
242
insektisida. Insektisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini karena lapisan tersebut mengandung bahan organik sehingga insektisida mudah diabsorpsi
dan sukar untuk keluar Connel dan Miller, 1995. Korelasi antara residu senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex di dalam tanah dengan sifat
fisik dan kimia tanah ditunjukkan dengan KTK, C Organik dan kandungan liat dalam tanah. Hasil analisis sifat-sifat tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Korelasi antara keberadaan residu senyawa POPs dengan sifat fisik dan kimia tanah
No. Endosulfan
Toxapene Mirex
KTK C
org
Liat 1
+ -
- 2
3 liat
2 +
- -
3 3
liat berdebu 3
+ -
- 4
2 liat
4 +
- -
3 4
pasir berlempung 5
- -
+ 3
3 liat berpasir
6 -
- +
2 4
liat berdebu 7
+ -
- 3
3 lempung berpasir
8 -
- +
5 2
lempung berpasir 9
+ +
- 4
2 liat
Keterangan: Harkat KTK, C Organik, Liat Balittanah, 2007
Sumber : data primer 2015
Tanah sawah yang ditemukan satu atau lebih senyawa POPs mempunyai nilai KTK: sedang- sangat tinggi, kadar C organik: sedang-sangat tinggi dan kadar lempung pada kategori lempung
sedang-lempung berat. Keberadaan senyawa POPs di dalam tanah dipengaruhi oleh ketiga sifat tanah tersebut. Dari 9 sampel tanah yang terdeteksi senyawa POPs 7 77,78 sampel tanahnya mempunyai
nilai KTK sedang-sangat tinggi atau C organik sedang-sangat tinggi dan kandungan liatnya sedang- berat atau dua sifat tanahnya mempunyai harkat tinggi atau ketiga-tiganya harkatnya tinggi. Hanya
22,22 sampel yang ditemukan senyawa POPs mempunyai KTK, C organik dan kadar liat berharkat sedang, tetapi tidak ada yang berharkat rendah. Cheng et al 1990 mengemukakan bahwa keberadaan
senyawa POPs di dalam tanah erat kaitannya dengan KTK, C organik dan kadar lempung. Sifat fisik dan kimia dari senyawa POPs di dalam tanah terutama dikendalikan oleh karakteristik tanah sehingga
sangat penting untuk mempelajari berbagai sifat tanah.
KESIMPULAN
Sebagian lahan sawah di Kabupaten Wonosobo terdeteksi senyawa endosulfan, toxapene, dan mirex. Terdapat 3 sampel 0,94 yang melebihi batas maksimum residu BMR senyawa endosulfan
dan toxapene, sedangkan senyawa mirex seluruh sampel masih di bawah BMR. Dengan diketahuinya residu senyawa endosulfan dan toxapene yang melebihi BMR maka diperlukan upaya tindak lanjut
kegiatan remediasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para peneliti dan teknisi Kelti EP3 yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
243
DAFTAR PUSTAKA
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di Jawa Barat. Hal 91-105 dalam Risalah seminar hasil penelitian emisi gas rumah kaca dan peningkatan
produktivitas padi di lahan sawah. Bogor 24 April 1999. Puslittanak, Badan Litbang, Deptan. Cheng H H, M. 1990. Pesticides in the soil environment: processes, impacts, and modeling. Soil
Science Society of America, Inc, ISBN 0-89118-791-X, Madison, Wisconsin, USA. Connell, D.W. dan Miller, G.J.. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan Y.
Koestoer. Universitas Indonesia. Jakarta. Gorman, S and Tynan, E. 2003. Persistent Organic Pollutants of Environmental Harm and Threats
to Health. Environ Strategy Notes 6. WorldBank. Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem lahan
sawah irigasi di Jawa Timur. Hal 119-128 dalam Risalah seminar hasil penelitian emisi gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas padi di lahan sawah. Bogor 24 April 1999.
Puslittanak, Badan Litbang, Deptan. Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada agroekosistem
lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Hal 106-118 dalam Risalah seminar hasil penelitian emisi gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas padi di lahan sawah.
Bogor 24 April 1999. Puslittanak, Badan Litbang, Deptan. Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Andi. Yogyakarta. 298p.
RePPProt, 1987. Peta landsystem Pulau Jawa, Regional Physical Planning Programme for Trasmigration RePPProT, Departemen Transmigrasi. Jakarta.
Schoknecht N, Wilson PR, Heiner I. 2008. Survey specification and planning. In ‘Guidelines for
surveying soil and lan d resources 2nd edn.’ Eds NJ McKenzie, MJ Grundy, R Webster, AJ
Ringrose-Voase pp 205-223 CSIRO Publishing:Melbourne SNI 06-6990.1-2004. Air
– Bagian 1: Cara uji pestisida organoklorin secara ekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas-Spektrofotometer Massa KG-SM
Soemirat. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: GadjahMada University Press. Yuantari M., 2011. Dampak pestisida organoklorin terhadap kesehatan manusia dan lingkungan serta
penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasio nal “Peran Kesehatan Masyarakat dalam
Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011.187-199
244
PROSPEK PENGGUNAAN INDO JARWO TRANSPLANTER PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU
PROSPECTS OF THE USE OF INDO JARWO TRANSPLANTER ON LAND IRRIGATED RICE FIELD IN BENGKULU PROVINCE
Yesmawati dan Wahyu Wibawa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km 6,5. Kel. Semarang Kota Bengkulu. Telp. 0736 23030
E-mail: vyesmawatiyahoo.com
ABSTRAK
Lahan sawah irigasi di Provinsi Bengkulu seluas 96.250 hektar dan sebagian besar mempunyai topografi yang datar dengan lapisan olah yang dangkal 25 cm. Produksi padi di Provinsi Bengkulu
dapat ditingkatkan melalui peningkatan Indeks Pertanaman IP. Ketersediaan tenaga kerja tanam menjadi masalah dalam peningkatan IP. Pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter yang memiliki banyak
keunggulan diharapkan dapat menjadi solusi dari kelangkaan tenaga kerja tanam. Tujuan pengkajian adalah: 1. Menghitung rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter di
Provinsi Bengkulu 2. Menganalisis efisiensi teknik dan ekonomis penggunaan Indo Jarwo Transplanter
pada lahan sawah irigasi di Provinsi Bengkulu 3. Menganalisis persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanterdi Provinsi Bengkulu. Pengkajian dilaksanakan pada bulan
November - Desember 2014 di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Data ekonomi dan data sosial diperoleh melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan
kuesioner terhadap 60 orang petani. Rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter
dihitung berdasarkan persentase antara luas sawah yang berpotensi dengan luas total sawah irigasi pada tingkat kabupaten dan provinsi. Efisiensi penggunaan Indo Jarwo Transplanter
dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan kelayakan teknis alokasi waktu dan kelayakan ekonomi alokasi biaya antara Indo Jarwo Transplanter dengan cara tanam petani. Persepsi petani
terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan interval kelas. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: 1. Rasio lahan yang berpotensi untuk
menggunakan Indo Jarwo Transplanter mencapai 62. 2. Secara teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter
lebih efisien dan dapat menghemat 399,86 jam yang setara dengan 50 Hari Orang Kerja HOK 3. Secara ekonomis biaya penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter memerlukan biaya
Rp. 1.100.000,- dan lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani yang memerlukan biaya Rp. 2.280.000,- 4.Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter sangat baik yang
diindikasikan oleh skor yang sangat tinggi 4,01 dan 4,08. 5. Penggunaan Indo Jarwo Transplanter mempunyai prospek yang baik berdasarkan rasio lahan, efisiensi teknis dan ekonomis, serta persepsi
petani. Kata Kunci:
Caplak roda,sawah irigasi, transplanter.
ABSTRACT
Irrigated rice field in Bengkulu Province upto 96,250 ha and dominated by flat topography with soil solum less than 25 cm. Rice production in Bengkulu Province can be increased by increasing Planting
Index PI. Insufficient of labours, especially for transplanting rice, is a problem in increasing PI. Transplanter machine Indo Jarwo Transplanter having many advantages are available and can be
bought easily. Using Indo Jarwo Transplanter can be a problem solving for insufficient of labour to transplant rice. Objectives of this assessment were: 1. To calculate land ratio having potency to use
Indo Jarwo Transplanter in Bengkulu Province 2. To analyze technical and economical efficiency in using Indo JarwoTransplanter in Bengkulu Province 3. To analyze farmers perception in using Indo
Jarwo Transplanter in Bengkulu Province. The assessment was conducted from November until December 2014 in Seluma and North Bengkulu. Land ratio having potency to use Indo Jarwo
Transplanter was calculated in percentage between land having potency with total of irrigated rice field in regency and province level. Efficiency in using Indo Jarwo Transplanter was analyzed
descriptively by compared technical and economical proper between Indo Jarwo Transplanter with conventional planting rice done by farmers. Farmers perception toward using Indo Jarwo
Transplanter were analyzed descriptively with interval class by Likert Summated Ratings LRS. Results showed that: 1. Land ratio having potency to use Indo Jarwo Transplanter in Bengkulu
245
Province upto 62 2. Technically, using Indo Jarwo Transplanter was more efficient and saved 399.86 hours equivalent with 50 day people working 3. Economically, planting rice using Indo
Jarwo Transplanter needed cost Rp. 1,100,000,-ha and more efficient than conventional planting rice done by farmers needed cost Rp. 2,280,000,-ha 4. Farmers perception toward using Indo Jarwo
Transplanter were very good indicated by high scores 4.01 and 4.08 5. The using Indo Jarwo Transplanter had good prospect based on land ratio, technical and economical efficiency, and
farmers perception
.
Keywords: Transplanter, caplak roda, irrigated rice field
PENDAHULUAN
Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian di Provinsi Bengkulu karena merupakan sektor utama yang memberikan peranan terbesar 31,21 dalam pembentukan Produk
Domestik Regional Bruto PDRB Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, 2015. Padi merupakan komoditas utama pada sektor pertanian dan berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan.
Kebutuhan pangan di Provinsi Bengkulu terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, disisi lain produktivitas padi di Provinsi Bengkulu baru mencapai 4,24 ton GKGha BPS
Provinsi Bengkulu, 2015.
Provinsi Bengkulu memiliki lahan sawah irigasi yang cukup luas yaitu 96.250 hektar Dinas Pertanian, 2014 dengan jumlah traktor sudah cukup memadai untuk mengolah lahan sawah secara
cepat, namun belum mampu menjamin terlaksananya tanam serentak dalam suatu hamparan. Anjuran tanam serentak dalam satu hamparan menjadi permasalahan di Provinsi Bengkulu, karena keterbatasan
tenaga kerja tanam. Kegiatan penanaman merupakan salah satu kegiatan yang penting dan kritis karena harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan berdasarkan jadwal penggunaan air irigasi.
Keterbatasan tenaga kerja pertanian termasuk tenaga kerja tanam pindah transplanting padi menyebabkan sulit tercapainya tanam serempak dalam satu hamparan. Dampak dari penanaman yang
tidak serempak diantaranya adalah menurunnya efisiensi lahan dan pemanfaatan air, serta tingginya serangan OPT yang memicu penurunan produktivitas dan produksi padi Ahmad dan Haryono, 2007.
Berbagai kajian menyimpulkanbahwa alat dan mesin pertanian merupakankebutuhan utama sektor pertanian sebagaiakibat dari kelangkaan tenaga kerja pertaniandi pedesaan. Alat dan mesin
pertanianberfungsi antara lain untuk mengisi kekurangantenaga kerja manusia yang semakin langkadengan tingkat upah semakin mahal,meningkatkan produktivitas tenaga kerja,meningkatkan
efisiensi usahatani melaluipenghematan tenaga, waktu dan biaya produksiserta menyelamatkan hasil dan meningkatkanmutu produk pertanian Unadi dan Suparlan,2011.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pemanfaatan mekanisasi pertanian Indo Jarwo Transplanter. Indo Jarwo Transplanter mempunyai kapasitas kerja 6-7 jamha
Balai Besar Mekanisasi Pertanian, 2013. Penggunaan Indo Jarwo Transplanter, diharapkan mampu menjadi titik ungkit dalam penghematan waktu penanaman bibit lebih cepat dengan biaya yang
murah serta peningkatan produktivitas dan produksi padi di Provinsi Bengkulu.
Di Provinsi Bengkulu, pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter masih belum berkembang. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian mengenai propek penggunaan Indo Jarwo Transplanter yang
bertujuan untuk: 1 menghitung rasio lahan yang berpotensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter
di Provinsi Bengkulu, 2 menganalisis efisiensi teknis dan ekonomis penggunaan Indo Jarwo Transplanter
pada lahan sawah irigasi di Provinsi Bengkulu, 3 menganalisis persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu.
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan di Kabupaten Seluma dan Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu pada bulan November
– Desember 2014. Penentuan lokasi dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling
dengan pertimbangan bahwa lokasi pengkajian merupakan sentra pengembangan
padi paling luas di Provinsi Bengkulu.
Data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data luas sawah irigasi, luas sawah yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo
Transplanter , dan data ekonomi biaya tenaga kerja tanam: penyiapan tempat persemaian, pembuatan
bibit dalam dapok, pemeliharaan bibit, pencabutan bibit, pendistibusian bibit ke sawah, pencaplakan,
246
penanaman, dan penyulaman serta data sosial persepsi petani. Selanjutnya data sekunder diperoleh dari informasi dari dinasinstansi terkait dan literatur yang berkenaan dengan pengkajian.
Pengumpulan data ekonomi dan data sosial dilakukan melalui metode wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan kuesioner terhadap 60 orang petani, dengan masing-masing
kabupaten terdiri dari 15 petani yang menggunakan Indo Jarwo Transplanter dan 15 orang responden dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda.
Prospek penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada pengkajian ini diukur berdasarkan rasio lahan, efisiensi dan persepsi. Rasio lahan yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo
Transplanter diukur berdasarkan persentase antara luas lahan yang berpotensi dengan luas total sawah
irigasi pada tingkat kabupaten dan provinsi. Semakin tinggi rasionya berarti semakin tinggi potensi sawah yang potensial untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter.
Efisiensi penggunaan Indo Jarwo Transplanter dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan kelayakan teknis dan ekonomis antara Indo Jarwo Transplanter dengan cara tanam
petani menggunakan alat bantu caplak roda. Efisiensi teknis dihitung berdasarkan perbandingan alokasi waktu jam yang diperlukan selama proses persiapan tanam sampai dengan tanam dam
penyulaman. Semakin kecil alokasi waktu berarti semakin efisien. Efisiensi ekonomisfinansial dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan selama proses persiapa, penanaman sampai dengan
penyulaman. Semakin kecil biaya yang dikeluarkan berarti semakin efisien suatu carametode penanaman yang diaplikasikan. Persepsi adalah pandangan dan penilaian petani mengenai penggunaan
Indo Jarwo transplanter
dengan alternatif jawabannya: sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat setuju dengan 4 kriteria: sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Selanjutnya dianalisis
secara deskriptif dengan menggunakan interval kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T 2007, penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:
NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK
Dimana :NR: Nilai Range PI
: Panjang Interval NST: Nilai Skor TertinggiJIK : Jumlah Interval Kelas
NSR: Nilai Skor Terendah
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Lahan Sawah Irigasi di Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu memiliki lahan sawah irigasi seluas 96.250 hektar dan terdapat 59.959 hektar yang berpotensi untuk penggunaan alat tanam pindah bibit Indo Jarwo Transplanter dengan
rasio 62 Tabel 1. Suhendrata 2013 melaporkan bahwa pada kondisi petakan sawah yang luas, datar dengan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm, mesin transplanter dapat membantu memecahkan
permasalahan kekurangan tenaga tanam padi sawah.
Tabel 1. Luas sawah irigasi dan rasio lahan yang potensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter
di Provinsi Bengkulu Tahun 2014
No Kabupaten
Luas Sawah Irigasi ha Berpotensi ha
Rasio 1
Bengkulu Selatan 11.290
6.774 60
2 Rejang Lebong
9.881 5.929
60 3
Bengkulu Utara 14.521
11.620 80
4 Kaur
8.132 4.880
60 5
Seluma 18.130
14.504 80
6 Mukomuko
9.544 6.204
65 7
Lebong 9.605
3.362 35
8 Kepahiang
5.287 1.850
35 9
Bengkulu Tengah 7.765
4.193 54
10 Kota Bengkulu
2.095 943
45 Jumlah
96.250 59.959
62 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi 2014
Tabel 1 menunjukkan bahwa rasio lahan yang berpotensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter
di Provinsi Bengkulu cukup tinggi 62 dan lokasi yang mempunyai rasio lahan tertinggi terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Seluma yaitu 80. Rasio tinggi
247
60 berarti lahan sawah yang berpotensi untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter juga tinggi dan sesuai dengan persyaratan teknis dari Indo Jarwo Transplanter. Persyaratan teknis dari Indo
Jarwo Transplanter diantaranya lahan datar, petakan luas, tanah tidak berbatu dengan kedalaman
lumpur kurang dari 40 cm BB Mektan, 2013. Semakin tinggi persentase rasio lahan berarti semakin tinggi potensi sawah yang potensial untuk menggunakan Indo Jarwo Transplanter.
Ada 6 kabupaten yang potensial untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter yaitu Bengkulu Utara, Seluma, Mukomuko, Bengkulu Selatan dan Kaur sedangkan 4 kabupaten lainnya mempunyai
rasiopotensi yang rendah untuk memanfaatkan Indo Jarwo Transplanter. Keempat kabupaten tersebut adalah Kota Bengkulu, Kepahiang, Bengkulu Tengah, dan Lebong. rendahnya rasio dari keempat
wilayah tersebut terutama disebabkan oleh topografi lahan yang berlereng, petakan kecil, kedalaman lapisan tanah, dan kondisi lahan yang berbatu serta sulit dalam pengaturan air.
Analisis Kelayakan Teknis dan Ekonomis
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa secara teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu mempunyai kinerja yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani
menggunakan alat bantu caplak roda. Alokasi waktu yang dibutuhkan dengan menggunakan Indo Jarwo Transplanter
hanya 88,14 jamha sedangkan dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda memerlukan alokasi waktu yang lebih tinggi yaitu 424,00 jamha Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi finansial dan ekonomis penanaman di Provinsi Bengkulu tahun 2014.
No Parameter
Indo Jarwo Transplanter Cara Tanam Petani
Alokasi Waktu Jam
Nilai Rp Alokasi Waktu
Nilai Rp 1
Pembuatan tempat pesemaian -
- 24,00
240.000 2
Pembuatan bibit dalam dapok 32,00
160.000 -
- 3
Pemeliharaan bibit 16,00
80.000 16,00
80.000 4
Pencabutan bibit -
- 72,00
360.000 5
Penyebaran bibit ke sawah -
- 8,00
40.000 6
Pencaplakan -
- 8,00
80.000 7
Penanaman 8,14
700.000 296,00
1.480.000 8
Penyulaman 32,00
160.000 -
- Jumlah
88,14 1.100.000
424,00 2.280.000
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 2 menunjukkan bahwa melalui cara tanam petani dengan alat bantu caplak roda memerlukan alokasi waktu yang cukup tinggi yaitu mencapai 296 jamha atau setara dengan 37 HOK.
BB Mektan 2013 melaporkan bahwa kebutuhan tenaga kerja penanaman padi secara manual mencapai 30
– 50 HOKha atau 240 – 500 jamha. Ini artinya melalui cara petani dengan menggunakan caplak roda memerlukan waktu yang lama dan tenaga kerja yang banyak. Alokasi
waktu yang tinggi dan kekurangan tenaga kerja pada kegiatan penanaman mengakibatkan tertundanya waktu tanam serentak, rendahnya cakupan garapan dan indeks pertanaman IP padi di Provinsi
Bengkulu. Tanam yang tidak sesuai musim dan tidak serentak akan meningkatkan resiko kegagalan akibat dari kekurangan air maupun ledakan serangan hama dan penyakit BB Mektan, 2013.
Berdasarkan spesifikasinya Indo Jarwo Transplanter memiliki kapasitas kerja 6-7 jamha BB Mektan, 2013. Dalam kajian ini kapasitas kerja dari Indo Jarwo Transplanter masih di bawah
spesifikasi yaitu 8,14 jamha, hal ini dipengaruhi oleh keterampilan operator yang belum begitu mahir dan kondisi lahan sawah yang datar tapi dengan petakan sawah yang tidak begitu luas. Namun,
Tambunan dan Sembiring 2007menyatakan bahwa pembangunan pertaniandewasa ini tidak lagi dapat dilepaskan dariperkembangan teknologi alat dan mesinpertanian.
Keberadaan Indo Jarwo Transplanter dirasa tepat untuk mengatasi kekurangan dan kelangkaan tenaga kerja untuk tanam padi di Provinsi Bengkulu, karena dari kegiatan penanaman saja
sudah dapat menghemat waktu 287,86 jamha atau mengurangi penggunaan tenaga kerja sebanyak 36 HOK Selain tenaga tanam masih banyak tenaga yang dapat dihemat dari kegiatan penyiapan lahan
persemaian, pencabutan bibit, penyebaran bibit ke sawah dan pencaplakan sampai bibit siap tanam dengan jumlah 112 jamha atau setara dengan 14 HOK. Unadi dan Suparlan 2011 menyatakan
248
bahwa fungsi dari alat dan mesin pertanian adalah untuk: 1. Mengisi kekurangan tenaga kerja manusia dan ternak yang semakin langka; 2. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja; 3.
Meningkatkan efisiensi usaha tani melalui penghematan tenaga, waktu dan biaya produksi; 4. Menyelamatkan hasil dan meningkatkan mutu produk pertanian. Pembangunan pertanian dewasa ini
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi alat dan mesin pertanian Tambunan dan Sembiring, 2007. Hasil pengkajian membuktikan bahwa kinerja teknis penggunaan Indo Jarwo
Transplanter
lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani menggunakan alat bantu caplak roda dan layak untuk digunakan pada kegiatan penanaman di Provinsi Bengkulu.
Selain kelayakan kinerja teknis yang lebih efisien, penggunaan Indo Jarwo Transplantersecara ekonomis juga lebih efisien dalam mengurangi beban kerja petani. Tabel 2 menunjukkan bahwa
dengan sistem tanam yang sama legowo 2:1, biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan Indo Jarwo Transplanter
lebih kecil Rp. 1.100.000,- dibandingkan dengan cara petani menggunakan alat bantu caplak roda Rp. 2.280.000,-. Hal ini berarti penggunaan Indo Jarwo Transplanter secara
ekonomis lebih efisien dibandingkan dengan cara petani menggunakan alat caplak roda. Penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter lebih murah karena tidak perlu biaya pembuatan tempat persemaian,
biaya pencabutan bibit, biaya distribusi bibit ke sawah dan biaya pencaplakan yang mencapai 720.000,-. Di samping lebih murah efisien, penggunaan Indo Jarwo Transplanter juga lebih cepat
dan sedikit menggunakan tenaga kerja Suhendrata, 2013 sehingga memungkinkan untuk tanam serentak dan memperluas cakupan garapan serta memungkinkan untuk meningkatkan IP padi.
Penanaman serentak dimaksudkan sebagai upaya untuk memutus siklus perkembangan organisme penggangu tanaman OPT antara lain wereng coklat, penggerak batang dan tikus Baehaqi, 2012.
Persepsi Petani terhadap Penggunaan Indo Jarwo Transplanter
Prospek penggunaan Indo Jarwo Transplanter pada pengkajian ini diukur berdasarkan persepsi petani. Persepsi petani terhadap pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter merupakan
pandangan yang dimiliki petani dalam melihat manfaat yang diperoleh dari penggunaan Indo Jarwo Transplanter
. Persepsi meliputi sikap kognitif petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter. Sikap kognitif petani adalah sikap yang berkaitan dengan pengetahuan, keyakinankepercayaan petani
terhadap suatu inovasi teknologi. Persepsi yang baik terhadap pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter selanjutnya akan mempengaruhi motivasi petani dalam menggunakan Indo Jarwo Transplanter
tersebut dan juga mempengaruhi percepatan proses adopsi serta mempermudah dalam menentukan kebijakan bagi stakeholders. Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter disajikan
pada Tabel 3. Tabel 3. Persepsi petani terhadap penggunaa Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu tahun
2014.
No Parameter
Kabupaten Seluma Kabupaten Bengkulu Utara
Skor Kriteria
Skor Kriteria
1 Kapasitas Kerja
4,07 Sangat Tinggi
4,29 Sangat Tinggi
2 Penggunaan Biaya
4,07 Sangat Tinggi
4,29 Sangat Tinggi
3 Kemudahan dalam Operasional
3,75 Tinggi
4,04 Sangat Tinggi
4 Solusi Pengurangan Tenaga Kerja Tanam 4,00
Sangat Tinggi 4.07
Sangat Tinggi 5
Solusi Tanam Serentak 4,02
Sangat Tinggi 4,06
Sangat Tinggi 6
Pesaing Tenaga Tanam 4,14
Sangat Tinggi 3,71
Tinggi Rata-rata
4,01 Sangat Tinggi
4,08 Sangat Tinggi
Sumber : Data Primer 2014 Keterangan : 1,00 ≤ x ≤ 1,99 = Rendah ; 2,00 x ≤ 2,99 = Sedang
3,00 x ≤ 3,99 = Tinggi; 4,00 x ≤ 5,00 = Sangat Tinggi
Tabel 3 menunjukkan bahwa di Kabupaten Seluma dan Bengkulu Utara rata-rata skor kognitif petani terhadap Indo Jarwo Transplanter adalah 4,01 dan 4,08, petani responden mempunyai persepsi
yang sangat tinggi terhadap pemanfaatan Indo Jarwo Transplanter. Hal ini berarti bahwa petani di Kabupaten Seluma maupun Bengkulu Utara tahu dan sangat yakin, Indo Jarwo Transplanter dapat
memberikan manfaat dan menguntungkan dalam menghemat waktu dan biaya tenaga kerja tanam padi pada usahatani mereka. Hal ini berarti bahwa penggunaan Indo Jarwo Transplanter mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan di Provinsi Bengkulu.
249
KESIMPULAN
1. Rasio lahan yang berpotensi untuk penggunaan Indo Jarwo Transplanter di Provinsi Bengkulu
cukup tinggi 62. 2.
Secara teknis penggunaan Indo Jarwo Transplanter lebih efisien dan dapat menghemat 399,86 jam yang setara dengan 50 Hari Orang Kerja HOK.
3. Secara ekonomis biaya penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter memerlukan biaya Rp.
1.100.000,- dan lebih efisien dibandingkan dengan cara tanam petani yang memerlukan biaya Rp. 2.280.000,-.
4. Persepsi petani terhadap penggunaan Indo Jarwo Transplanter sangat baik yang diindikasikan oleh
skor yang sangat tinggi 4,01 dan 4,08. 5.
Penggunaan Indo Jarwo Transplanter mempunyai prospek yang baik berdasarkan rasio lahan, efisiensi teknis dan ekonomis, serta persepsi petani.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Dedi Sugandi, MP yang telah memberikan masukan, arahan dan perbaikan makalah ini. Ucapan terimakasih juga kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan pengumpulan data pengkajian, yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2015. Provinsi Bengkulu dalam angka. BPS Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Balai Besar
Mekanisasi Pertanian.
2013. Mesin
tanam Indo
Jarwo Transplanter
. http:mekanisasi.litbang.deptan.go.idindindex.php?view=artice
. Baehaqi, S.E. 2012. Strategi pengendalianhama terpadu tanaman padi dalampraktek pertanian yang
baik goodagricultural practices. PengembanganInovasi Pertanian 2 1, 2009: 65-78. Ditjen Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis : Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu
SL-PTT Padi dan Jagung Tahun 2013. Dirjen Tanaman Pangan. 134Hal. Rentha, T. 2007. Identifikasi perilaku, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah irigasi teknis
sebelum dan sesudah kenaikan harga pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur Skripsi S1. Universitas Sriwijaya.Palembang.
Sugandi, D., Wibawa, W., Suparlan dan Astuti, U.P. 2014. Kajian pemanfaatan mesin tanam pindah bibit padi sawah sistem legowo Jarwo Transplanter Di Provinsi Bengkulu. Laporan
Akhir Kegiatan. BPTP Bengkulu. Suhendra, T., 2013. Prospek pengembangan mesin tanam pindah bibit rice transplanter dalam
rangka mengatasi klangkaan tenaga kerja tanam bibit padi. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Angibisnis SEPA Fakutas Pertanian UNS. Surakarta inpress.
Suhendrata, T., dan E. Kushartanti. 2013. Pengaruh penggunaan mesin tanam pindah bibit padi Transplanter terhadap produktivitas dan pendaptanan petani di Desa Tangkil
KecamatanKabupaten Sragen. Prosiding Seminar Nasional Akselarasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian
UNS. inpress.
Tambunan, A.H. dan E. N. Sembiring. 2007. Kajian kebijakan alat dan mesin pertanian. Jurnal Kteknikan Pertanian. Vol.21 4.
Unadi, A. dan Suparlan, 2011. Dukungan teknologi pertanian untuk industrialisasi agribisnis perdesaan. Makalah Seminar Nasional Penyuluhan Pertanian pada Kegiatan Soropadan
Agro Expo Tanggal 2 Juli 2011. Balai besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
250
KESESUAIAN VARIETAS UNGGUL BARU VUB PADI PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DI LOKASI PENGUJIAN KABUPATEN SELUMAPROVINSI BENGKULU
SUITABILITYOF NEW PADDY SUPERIOR VARIETIESON IRRIGATION PADDY FIELD ATASSESMENT LOCATIONIN SELUMA DISTRICT BENGKULU PROVINCE
Ahmad Damiri, Yartiwi dan Dedi Sugandi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jalan Irian km 6,5 Kelurahan Semarang, Kota Bengkulu
e_mail: bptp_bengkuluyahoo.com
ABSTRAK
Varietas unggul baru VUB merupakan salah satu trobosan inovasi teknologi untuk meningkatkan produkstivitas padi. Terobosan inovasi teknologi tersebut akan terwujud bila varietas yang ditanam
sesuai dengan kondisi lahan pada suatu lokasi yang digunakan. Tujuan pengkajian untuk memperoleh varietas yang cocok pada lahan sawah lokasi pengujian. Pengkajian dilakukan pada lahan sawah
irigasi di Kelurahan Lubuk Kebur, Kecamatan Seluma Kota, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dari bulan Oktober 2015 sampai bulan Januari 2016.
Rancangan yang digunakan dalam pengkajian adalah Rancangan Acak Kelompok RAK faktor tunggal yaitu varietas padi Inpari yang terdiri dari 3
jenis yaitu Inpari 16, 22, 30 dan Turunan Cigeulis.
Masing-masing diulang sebanyak 6 kali. Teknologi
yang diterapkan adalah komponen teknologi PTT padi sawah irigasi. Data yang dikumpulkan meliputi data komponen pertumbuhan tanaman, komponen hasil, dan hasil. Data dianalisis
dengan analisis sidik ragam ANOVA dan diuji lanjut dengan DMRT.
Sementara untuk mengkaji kemampuan varietas mencapai potensi hasil, dianalisis secara deskriptif.
Hasilnya menunjukkan bahwa persentase
terhadap pencapaian potensi hasil, tertinggi dicapai oleh varietas Inpari 22 sebesar 92,78 dan dikuti oleh Inpari 16, 30, dan Turunan Cigeulis masing-masing senilai 82,63; 72,91; dan 53,75. Rata-
rata berat 1.000 butir varietas Inpari 22 dan 30 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap Turunan Cigeulis dengan berat masing-masing 29,14 g; 28,08 g; dan 24,76 g. Namun berat 1.000 butir varietas
Inpari 22 dan 30 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap varietas Inpari 16 dengan berat 26,43 g. Untuk produktivitas GKP per ha, antara varietas Inpari 16, 22, 30 tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan berat masing-masing 6,28 tha; 7,00 tha; 7,33 tha. Namun berbeda nyata terhadap varietas Turunan Cigeulis dengan produktivitas sebesar 4,3 tha. Dengan demikian,
varietas Inpari 16, 22, 30 sesuai ditanam di lokasi pengujian di Kabupaen Seluma Provinsi Bengkulu.
Kata kunci : Varietas, Padi, Kesesuaian Lokasi
ABSTRACT
New varieties are one of the breakthrough technological innovation to improve the productivity of rice. The innovative technology will be realized if the varieties are grown in accordance with the
conditions of the land in a location that is used. The objective of assessment to obtain varieties suitable to land test site. Tests conducted on irrigated land in the village of Lubuk Kebur, Sub-district
Seluma City, District Seluma, Bengkulu Province from October 2015 through January 2016. The design used in the study is a randomized block design RBD single factor, namely rice varieties
Inpari consisting of 3 types Inpari 16, 22, 30 and derivatives Cigeulis. that repeated 6 times. The technology applied is the PTT irrigation paddy field technology component. Data collected includes
data components plant growth, yield components, and results. Data were analyzed by analysis of variance ANOVA with Duncan Multiple further. Meanwhile, to assess the ability to achieving the
yield potential of varieties, analyzed descriptively. The results showed that the percentage of achievement of the potential yield, the highest achieved by Inpari 22 amounted to 92.78 and
followed by Inpari 16, 30, and derivatives Cigeulis each valued at 82.63; 72.91; and 53.75. The average weight of 1,000 grains Inpari 22 and 30 showed significant differences on derivatives
Cigeulis with each weighing 29.14 g; 28.08 g; and 24.76 g. However, the weight of 1000 grains Inpari 22 and 30 did not show significant differences against Inpari 16 with a weight of 26.43 g. GKP
productivity per ha, between Inpari 16, 22, 30, did not show significant differences with each weighing 6.28 tha; 7,00 t ha; 7.33 tha. But significantly different with Cigeulis derivative varieties with the
productivity of 4.3 tha. Thus, Inpari 16, 22, 30 according planted at test sites in Seluma District Bengkulu Province.
Keywords: Variety, Paddy, LocationConformity
251
PENDAHULUAN
Varietas Unggul Baru VUB merupakan salah satu terobosan inovasi teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. VUB juga merupakan
inovasi teknologi yang paling mudah di adopsi petani karena teknologi ini murah dan penggunaannya sangat praktis. Varietas unggul adalah galur hasil pemuliaan yang mempunyai berbagai keunggulan
seperti potensi hasil tinggi, toleran terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap cekaman lingkungan, dan mutu produk yang baik, serta telah resmi dilepas oleh pemerintah. Penggunaan varietas yang
cocok dan spesifik lokasi sangat diperlukan dalam mendukung peningkatan produksi tanaman pangan di suatu wilayah. Untuk dapat menunjukkan potensi hasilnya, varietas memerlukan kondisi
lingkungan atau agroekosistem tertentu Rubiyo dkk., 2005. Tidak semua varietas mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai agroekosistem. Dengan kata lain, tiap varietas akan memberikan hasil
yang optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai Kustiyanto, 2001.
Berdasarkan agroekosistem, Provinsi Bengkulu mempunyai kesesuaian lahan yang cocok untuk tanaman padi. Menurut BPS Provinsi Bengkulu2015;ProvinsiBengkulu memiliki lahan sawah
seluas 96.250 ha dengan tingkat produktivitas 4,3 tha serta indeks pertanaman 137, sementara potensi hasilnya dapat mencapai 6,5 tha. Diduga penyebabnya adalah masih rendahnya penggunaan
varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan benih bersertifikat di tingkat petani yaitu sekitar 40- 50, penggunaan pupuk belum rasional dan efisien, penggunaan pupuk organik belum biasa, dan
budidaya spesifik lokasi masih belum diadopsi dan terdifusi secara baik.
Melihat kondisi demikian, uji kesesuaian varietas unggul baru VUB terhadap lahan-lahan yang ada perlu dilakukan guna mendapatkan hasil sesuai dengan harapan. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Kustiyanto 2001 bahwa tidaksemua varietas mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai agroekosistem. Dengan kata lain, tiap varietas akan memberikan hasil yang optimal jika
ditanam pada lahan yang sesuai. Tujuan dilakukan pengujian adalah untuk memperoleh varietas yang sesuai pada lahan sawah irigasi di lokasi pengujian.
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada lahan sawah irigasi milik petani di Kelurahan Lubuk Kebur, Kecamatan Seluma Kota, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dari bulan Oktober 2015 sampai
dengan bulan Januari 2016. Pelaksanaan pengkajian dilakukan melalui pendekatan On Farm Adaptive Research
OFAR, seluas 6 ha yang melibatkan 12 orang petani. Rancangan yang digunakan dalam pengkajian adalah Rancangan Acak Kelompok RAK
faktor tunggal 4 varietas padi yaitu varietas padi Inpari yang terdiri dari 3 jenis Inpari 16, 22, 30
yang penanamannya menerapkan komponen teknologi PTT dan Turunan Cigeulis yang penanamannya
berdasarkan perlakuan petani. yang masing-masing diulang sebanyak 6 kali. Varietas padi Turunan Cigeulis merupakan kontrol perlakuan menerapkan teknologi yang biasa dilakukan petani.
Pada varietas Inpari 16, 22, dan 30, teknologi yang diterapkan adalah teknologi PTT yang terdiri atas komponen varietas padi Inpari kelas BP Benih Pokok, jumlah benih 25 kgha, luas petak
persemaian sebesar 5 dari luas penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda 21 hari setelah semai hss dengan sistem tanam legowo 2:1 jarak tanam 20 x 10 x 40 cm dan pupuk NPK
Phonska 225 kgha dan Urea 175 kgha, frekuensi pemupukan 3 kali. Masing-masing waktu pemupukan: I = 7 hari setelah tanam hst, II = 22 hst dan III = 35 hst, pengendalian gulma secara
manual, pengendalian hama dan penyakit dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu PHT serta panen dan gabah segera dirontok menggunakan power threser.
Data yang dikumpulkan meliputi data pertumbuhan tanaman tinggi tanaman dan jumlah anakan, komponen hasil panjang malai, gabah bernasimalai, gabah hampamalai, berat 1000 butir,
dan produktivitas. Masing-masing data dianalisis dengan analisis sidik ragam ANOVA dan diuji
lanjut dengan DMRT. Sementara untuk mengkaji kemampuan masing-masing varietas terhadap potensi, dilakukan secara deskriptif.
252
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kelurahan Lubuk Kebur
Kelurahan Lubuk Kebur adalah bagian dari administrasi Kecamatan Seluma Kota Kabupaten Seluma, merupakan salah satu sentra padi di Kabupaten Seluma yang ketinggian tempat dari
permukaan laut lebih kurang 10 meter. Berdasarkan luas lahan pertaniannya, Kelurahan Lubuk Kebur memiliki luas lahan 185 ha. Dari luas lahan tersebut, peruntukannya terdiri dari 65 ha merupakan
lahan sawah, dan 120 ha merupakan lahan perkebunan lainnya Kecamatan Seluma. 2014.
Dilihat dari rekomendasi pemupukan untuk padi pada lahan sawah Kecamatan Seluma Kota termasuk Kelurahan Lubuk kebur, dosis pupuk yang direkomendasikan yaitu: 1 Urea = 175 kg, 2
NPK Phonska = 225 kgha Badan Litbang Pertanian, 2015a. Berdasarkan petunjuk rekomendasi pemupukan Perangkat Uji Tanah Sawah PUTS yang merupakan salah satu sumber penyusun
rekomendasi pemupukan padi sawah Kalender Tanam TerpaduKATAM, kondisi kesuburan lahan sawah di Kelurahan Lubuk Kebur termasuk lahan dengan kandungan N dan P tinggi dan kandungan K
rendah.
Pertumbuhan Tanaman dan jumlah anakan
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman keempat varietas yang uji menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan terendah pada varietas
Turunan Cigeulis dan berbeda nyata dengan Inpari 22. Sementara Varietas Inpari 22 menunjukkan keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan varietas Inpari 16 maupun Inpari 30 yang di uji kesesuaian lokasi. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang berbeda disamping merupakan ekspresi
faktor genetis, juga dapat disebabkan karena tingkat pengelolaan usahatani yang berbeda. Berdasarkan deskripsi padi tinggi tanaman VUB Inpari berkisar antara 100-120 cm
Suprihatno, dkk 2011.
Hasil pengamatan terhadap jumlah anakan produktif, varietas Inpari 16 dan 22 menunjukkan tinggi tanaman yang berbeda terhadap Turunan Cigeulis, namun tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas Inpari 30. Rata-rata hasil pengukuran terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman cm dan jumlah anakan produktif anakan masing-masing perlakuan.
Perlakuan Tinggi Tanaman cm
Jumlah Anakan anakan Inpari 16
112,27
ab
14,10
a
Inpari 22 117,53
a
13,38
a
Inpari 30 114,40
ab
12,67
ab
Turunan Cigeulis 98,45
b
8,42
b
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5
Pada tanaman padi, tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingginya tingkat produksi Suprapto
dan Dradjat, 2005. Sebagai contoh, tanaman akan tumbuh lebih rendah bila ditanam pada lokasi yang lebih tinggi dari permukaan laut Simanulang, 2001.
Pertumbuhan merupakan proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran, pertambahan bobot,
volume dan diameter batang dari waktu ke waktu. Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan.
Ada dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan
sifatperilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang
berbeda dalam hal memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.
253 Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai sebagai tempat
kedudukan bijibulir padi. Varietas unggul baru biasanya mempunyai 20-25 anakan, namun kebanyakan hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen dengan jumlah gabah per
malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih
tinggi dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya
Jumlah anakan produktif per rumpun atau per satuan luas merupakan penentu terhadap jumlah malai yang merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung
terhadap tinggi rendahnya hasil gabah Simanulang, 2001. Semakin banyak anakan produktif maka semakin banyak jumlah malai yang terbentuk. Terdapat korelasi antara jumlah malai
dengan hasil karena semakin banyak jumlah malai, semakin tinggi juga hasil tanaman padi.
Sama halnya dengan hasil penelitian Muliadi dan Pratama 2008 yang menunjukkan bahwa jumlah malai berkorelasi positif nyata terhadap hasil tanaman.
Jumlah anakan padi juga berkaitan dengan periode pembentukan phyllochron. Phyllochron
adalah periode muncul satu sel batang, daun dan akar yang muncul dari dasar tanaman dan perkecambahan selanjutnya. Semakin tua bibit dipindah ke lapang, semakin
sedikit jumlah phyllochron yang dihasilkan, sedangkan semakin muda bibit dipindahkan, semakin banyak jumlah phyllochron yang dihasilkan sehingga anakan yang dapat dihasilkan
juga semakin banyak Sunadi, 2008.
Komponen Hasil
Pada parameter panjang malai secara statistik menunjukkan bahwa varietas Inpari 22 menunjukkan panjang malai tertinggi 48,60 cm yang berbeda nyata dengan Inpari 30 yang 41,39 cm
dan Turunan Cigeulis yang 21,17 cm, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Inpari 16 yang 44,24 cm. Sedangkan pada gabah hampa, Inpari 30 menunjukkan jumlah gabah hampa paling
sedikit 9,92 butir dan berbeda nyata dengan varietas lainnya.
Pada jumlah gabah bernas dan jumlah gabah, Inpari 30 menunjukan jumlah gabah bernas tertinggi dan jumlah gabah paling banyak masing-masing 97,42 butir dan 117,72 butir serta berbeda
nyata denganInpari 16 yang 78,76 butir dan 96,38 butir, dan Turunan Cigeulis yang 62,85 butir dan 89,04 butir, namun tidak berbeda nyata dengan Inpari 22 yang 81,36 butir dan 104,94 butir. Pada berat
1.000 butir gabah, Turunan Cigeulismenunjukkanberat gabah terkecil 24,76 gram dan berbeda nyata dibandingan dengan Inpari 22 yang 29,14 gram dan Inpari 30 yang 28,08 gram, tetapi tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Inpari 16 yang 26,43 gram seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata panjang malai cm, jumlah gabah hampa butir, jumlah gabah bernas butir, jumlah gabah butir, dan berat 1.000 butir gram.
Perlakuan Panjang Malai
cm Gabah Hampa
butir Gabah Bernas
butir Jumlah Gabah
butir B-1000 butir
g Inpari 16
44,24
ab
17,62
b
78,76
b
96,38
b
26,43
ab
Inpari 22 48,60
a
16,18
b
81,63
ab
104,94
ab
29,14
a
Inpari 30 41,39
b
9,92
a
97,42
a
117,72
a
28,08
a
Turunan Cigeulis 21,17
c
26,19
c
62,85
c
89,04
c
24,76
bc
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji Duncan taraf 5
Panjang malai menunjukkan gambaran banyaknya gabah pada suatu malai tanaman padi. Semakin banyak malai pada suatu rumpun sangat menentukan hasil panen secara keseluruhan.
Manurung dan Ismunaji 1989 menerangkan bahwa adanya suatu stadia tumbuh yang merupakan stadia akhir dari anakan efektif yakni stadia dimana jumlah anakan sama dengan jumlah malai pada
stadia masak. Oleh karena itu, jumlah gabah permalai sangat tergantung pada banyaknya malai dalam rumpun tanaman padi itu sendiri.
Produksi suatu malai merupakan salah satu penambahan berat kering suatu tanaman. Besar kecilnya produksi malai suatu tanaman sangat tergantung pada faktor-faktor pertubuhan. Pertumbuhan
tanaman tergantung dari dua faktor yaitu faktor internal yang berasal dari tanaman tersebut seperti kemampuan tumbuh dan deskripsi tanaman, sedangkan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan seperti
tanah dan iklim.
254
Varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dicirikan dengan jumlah anakan yang banyak, persentase anakan produktif dan gabah bernas yang tinggi. Semakin tinggi jumlah gabah bernas,
semakin besar peluang memberikan hasil yang tinggi. Menurut Vergara 1985, varietas padi memiliki jumlah gabah per malai tinggi berkisar 80-120 butir per malai. Sementara untuk berat 1.000 butir, ke
tiga varietas introduksi Inpari 16, 22, dan 30, masing-masing tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Menurut Rafaralahly 2002, berat 1.000 biji gabah biasanya merupakan ciri yang stabil dari
suatu varietas yang besarnya butir ditentukan oleh ukuran kulit biji gabah. Ukuran butir itu sendiri sudah ditentukan selama malai keluar, sehingga perkembangan karyopsis dalam mengisi butir sesuai
dengan ukuran butir yang telah ditentukan. Bobot 1.000 biji gabah bernas juga menggambarkan kualitas dan ukuran biji yang tergantung pada hasil asimilat yang bisa disimpan.
Kemampuan Varietas Mencapai Potensi Hasil
Perbandingan antara produktivitas hasil pengkajian dengan deskripsi varietas padi Inpari 16, 22, 30 dan Turunan Cigeulis yang diintroduksi serta persentase kemampuan varietas mencapai potensi
hasil seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan antara produktivitas hasil pengkajian dengan deskripsi varietas padi Inpari 16,
22, 30 dan Turunan Cigeulis yang diintroduksi serta persentase kemampuan varietas mencapai potensi hasil.
Varietas Padi Produktivitas tha GKG
Kemampuan Varietas Mencapai Potensi Hasil
Pengkajian Deskripsi
Rata-Rata Hasil Potensi Hasil
Inpari 16 6,28
6,3 7,6
82,63 Inpari 22
7,33 5,8
7,9 92,78
Inpari 30 7,00
7,2 9,6
72,91 Turunan Cigeulis
4,30 5,8
8,0 53,75
Data primer diolah Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi. 2009 dan Suprihatno, et. al., 2011.
Tabel 3, menunjukkan bahwa produktivitas gabah kering giling GKG yang tinggi dicapai pada VUB yang diiintroduksikan, dan lebih tinggi dari varietas eksisting Turunan
Cigeulis. Hasil tertinggi dicapai pada varietas Inpari 22 dengan rata-rata produktivitasnya mencapai 7,33 tha dan produktivitas terendah dicapai pada varietas Turunan Cigeulis sebesar
4,30 tha. Varietas Inpari 16 dan 30 dengan produktivitas masing-masing 6,28 th dan 7,00 tha, dalam deskripsi memiliki produktivitas rata-rata 6,3 tha dan 7,2 tha dan potensi hasil
masing-masing sebesar 7,6 tha dan 9,6 tha Badan Litbang Pertanian. 2015.
Dari ke empat varietas yang ditanam, hanya varietas Inpari 22 dengan produktivitas 7,33 tha yang mampu melampaui produktivitas rata-ratanya sebesar 5,8 tha, walaupun belum
mencapai potensi hasil yang mencapai 7,9 tha. Faktor yang menyebabkan belum tercapainya potensi hasil, dimungkinkan karena belum terpenuhinya secara optimal berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap potensi hasil yang harus dicapai. Menurut Ikhwani 2014, untuk mencapai hasil maksimal diperlukan ketepatan pemilihan komponen teknologi pada suatu
kondisi iklim, varietas dengan sifat genetik yang memiliki potensi hasil tertentu yang disebut dengan potensi hasil G x X, dimana hasil akhir merupakan pengaruh interaksi antara faktor
genetik varietas tanaman, kondisi lingkungan, dan cara pengelolaannya G x X x M melalui suatu proses fisiologik sejak fase bibit hingga fase masak.
Berdasaran data pada Tabel 3, pencapaian potensi hasil pada semua varietas yang ditanam bervariasi antara Inpari 16, Inpari 22, Inpari 30, dan Turunan Cigeulis masing-masing
82,63, 92,78, 72,91, dan 53,75. Tidak tercapainya potensi hasil tersebut diduga disebabkan oleh : 1 kualitas benih yang kurang baik. Ini ditunjukkan oleh varietas Cigeulis
yang telah ditanam berulang-ulang Turunan, 2 Dosis pupuk yang belum tepat, hal ini karena dosis yang digunakan merupakan dosis pupuk kecamatan secara umum yang berasal
dari Kalender Tanam Terpadu KATAM Kecamatan Seluma Kota Kabupaten Seluma. Sementara pada saat penanaman dilakukan, kondisi musim kemarau tetapi dengan keadaan air
yang melimpah.
255 Dengan demikian diketahui bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan
produktivitas keempat varietas yang dikaji jika teknologi yang digunakan tepat guna. Tinggi dan rendahnya produktivitas, salah satunya tergantung pada teknologi yang diterapkan dan
kesesuaian iklim di lokasi setempat. Sampai batas tertentu, semakin baik teknologi yang diterapkan pada kondisi iklim yang mendukung, produktivitas yang dicapai akan semakin
tinggi. Menurut Ikhwani, et al 2013 bahwa cara tanam jajar legowo berpeluang menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam tegel melalui populasi yang
lebih banyak, dengan varietas yang lebih cocok.
Provitas Hasil
Provitas hasil merupakan kemampuan tanaman dalam memberikan hasil persatuan luas lahan satu hektar. Provitas padi Turunan Cigeulis menunjukkan provitas terendah sebesar 4,3 ton per hektar
dan berbeda nyata dengan varietas lainnya yaitu Inpari 16 sebesar 6,28 ton per hektar, Inpari 22 sebesar 7,33 ton per hektar, dan Inpari 30 sebesar 7,00 ton per hektar. Namun tidak ada perbedaan
yang nyata provitas antara Inpari 16 dengan Inpari 22 dan Inpari 30 seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Rata-rata provitas tonhektar.
Perlakuan Provitas th
Inpari 16 6,28
a
Inpari 22 7,33
a
Inpari 30 7,00
a
Turunan Cigeulis 4,3
b
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5
Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh lima komponen, yaitu panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah bernas, persentase gabah hampa dan berat 1000 butir gabah
Yoshida, 1981. Hasil kajian menunjukkan bahwa semakin berat suatu gabah seperti terlihat pada Tabel 3, maka produktivitas yang dihasilkan semakin tinggi seperti terlihat pada Tabel 5. Hal ini
ditunjukkan oleh varietas Inpari 16, 22, dan 30. Sebaliknya, semakin rendah berat gabah, maka produktivitas yang dihasilkan semakin rendah seperti yang ditunjukkan oleh varietasTurunan Cigeulis.
Introduksi VUB Inpari 16, 22, dan 30 dimasa mendatang, diharapkan mampu meningkatkan produksi dibandingkan varietas yang ditanam pada musim sebelumnya yang banyak ditanam varietas
Turunan Cigeulis. Hasil kajian Sirappa, dkk 2007, membuktikan bahwa intorduksi varietas unggul baru yang didukung teknologi lainnya mampu memberikan hasil 21-54 lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pencapaian hasil suatu varietas harus didukung oleh teknologi dan lingkungan tumbuh yang optimal. Dalam pelaksanaan pengkajian, rakitan teknologi yang diterapkan adalah
perpaduan antara inovasi teknologi pendekatan PTT dengan tingkat kemampuan petani, sehingga varietas yang cobakan memberikan keragaan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik. varietas yang
diintroduksikan sebagai varietas unggul baru yang mampu beradaptasi dengan baik pada daerah tersebut.
Seiring dengan hasil penelitian Anggraini, dkk 2013 bahwa tanaman padi dengan perlakuan umur bibit 7 dan 14 hari mampu meningkatkan jumlah malai per rumpun, bobot gabah per rumpun,
produksi GKG tha bila dibandingkan umur bibit 21 dan 28 hari. Sedangkan menurut Horie, dkk
2004 bahwa bibit muda 10 hari dengan 2-3 phyllochron, mempunyai bahan makanan cadangan pada endosperm benih untuk pertumbuhan bibit dan kadar nitrogen pada daun yang lebih tinggi.
Penggunaan umur bibit tua 21 hss masih dapat dilakukan namun hasil tanaman padi yang dicapai lebih rendah bila dibandingkan dengan umur bibit muda.
Tanaman padi mempunyai daya adaptasi yang cukup besar terhadap kerapatan tanaman melalui mekanisme pengaturan terhadap jumlah malai, jumlah gabah per malai, dan persentase gabah
bernas. Peningkatan populasi tanaman dapat dilakukan dengan sistem tanam legowo atau tandur jajar 20 cm x 20 cm.
Pada kondisi radiasi matahari yang rendah, terutama pada musim hujan, peningkatan populasi tanaman menjadi sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah dan efisiensi penggunaan
pupuk N karena lebih sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk De Datta, 1981. Selain itu salah satu faktor penting dalam budidaya untuk menunjang pertumbuhan hidup
tanaman adalah pemupukan. Tanaman tidak cukup hanya mengandalkan unsur hara dalam tanah,
256
tetapi tanaman perlu diberi unsur hara tambahan dari luar yaitu berupa pupuk Simanungkalit, dkk., 2006.
KESIMPULAN
1. Introduksi VUB dan perbaikan manajemen usahatani menggunakan pendekatan PTT mampu
meningkatkan produktivitas padi pada lahan sawah di lokasi pengujian. 2.
Ke tiga varietas yang diintroduksikan yaitu varietas Inpari 16, 22, dan 30, cocok untuk ditanam pada lahan sawah irigasi di lokasi pengujian.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tinggunya kepada Kepala BPTP Bengkulu, Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP. Yang telah membantu dan mendukung kegiatan pengkajian
hingga penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem Tanam dan Umur Bibit Pada Tanaman Padi Sawah Oryza Sativa. L. Varietas Inpari 13. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Produksi Tanaman Vol. 12. Badan Litbang Pertanian. 2015. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2015a. Kalender Tanam Terpadu Musim Tanam MK2015 April - September Kecamatan Seluma Kabupaten Seluma.
BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Bengkulu Dalam Angka. BPS. 2015. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley Sons, Inc., USA.
Departemen Pertanian. 2006. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah Paddy Soil Test Kit Versi 1.1. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980s? Paper on International
Crop Science Congress. p. 1-24. Ikhwani. 2014. Dosis Pupuk dan Jarak Tanam Optimal Varietas Unggul Baru Padi. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 33 No 3 2014. 188-185 p.
Ikhwani, GR. Pratiwi, E. Paturrohman, dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi melalui Penerapan Jarak Tanam jajar Legowo. Iptek Tanaman Pangan Vol. 8 No. 2. 72-
79 p. Kecamatan Seluma. 2014. Profil Kelurahan Lubuk Kebur. Kantor Kelurahan Lubuk Kebur. Kabupaten
Seluma. Kustiyanto. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah
Penelitian dan Koordinasi pemuliaan Partisipatif Shuttle Breeding dan Uji Multilokasi. Sukamandi.
Manurung, S.O. dan M. Ismunadji. 1989. Morfologi Padi. Dalam Padi Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor. Hal. 319
Muliadi A., R. Heru Pratama. 2008. Korelasi Antara Komponen Hasil dan Hasil Galur Harapan Padi Sawah Tahan Tungro. Prosiding. Seminar Nasional Padi; Inovasi teknologi padi
mengantisipasi perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan 1:165-171. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Pemerintah Kabupaten Seluma. 2010. Daftar Isian Profil DesaKelurahan Tingkat Desa. Desa Rimbo Kedui. Kecamatan Seluma Selatan. Kabupaten Seluma.
Rafaralahy, S, 2002. An NGO Perspective on SRI and Its Origins in Madagascar. Assessments of The System of Rice Intensification SRI :Proceeding of an International Conference held in
Sanya, China, April 1-4 2002. Ithaca NY : Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development.
Rubiyo, Suprapto, dan Aan Drajat. 2005. Evluasi beberapa galur harapan padi sawah di Bali. Buletin Plasma Nutfah. Vol 11. No 1:6-10.
257
Simanulang, Z.A. 2001.Kriteria Seleksi untuk Sifat Agonomis dan Mutu.Pelatihan dan Koordinasi Progam Pemuliaan Partisipatif Shuttle Breeding dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9-14
April 2001. Balitpa.Sukamndi. Simanungkalit, R.D.M, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Styorini, W. Hartatik. 2006. Pupuk
Organik dan Pupuk Hayati.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sunadi. 2008. Modifikasi paket teknologi SRI The System or Rice Intensification untuk meningkatkan hasil padi sawah. Oryza sativa. L. Disertasi Doktor Ilmu Pertanian pada
Program Pascasarjanan Unand. Padang. Suprapto dan A. Dradjat. 2005 uletin Plasma Nutfah Vol. 11 No. 1 tahun 2005.
Suprihatno, B., Aan A. Daradjat., Satato., Erwin Lubis., Baehaki, SE., S. Dewi Indrasari., I Putu Wardana dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal. Suryana, A., S. Mardianto, K. Kariyasa dan I.P. Wardana. 2009. Kedudukan padi dalam
Perekonomian Indonesia dalam Suyamti, dkk Eds. Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku 1. Balai Pbesar Penelitian Tanaman Padi. Balitbangtan.
Vergara, B.S. 1985. Komponen Hasil Unsur –unsur yang Mempengaruhi Hasil Padi. Penerbit Bhratara
Karya Aksara. Jakarta. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los
Banos. Laguna. Philippines.
258
DOMINANSI GULMA PADA LAHAN SAWAH DATARAN RENDAH DI KABUPATEN SELUMA
WEEDS DOMINANCE IN LOW LAND PADDY FIELD PLAIN IN SELUMA Siti Rosmanah dan Alfayanti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp. 0736 23030, Fax. 0736 345568
e-mail : rosmanah_sitiyahoo.com
ABSTRAK
Keberadaan gulma pada tanaman padi akan menyebabkan penurunan produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan dominansi glma pada lahan sawah dataran rendah di
Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Penelitianini dilaksanakan di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu pada bulan Oktober-November
2015 dengan luas lahan penelitian 1 ha. Pengambilan sampel gulma dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat berukuran 1 m x 1 m. sampel yang diamati sebanyak 5 titik yang diambil secara
acak.Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis, jumlah individu, serta tajuk masing-masing jenis. Identifikasi gulma dilakukan secara desk study dengan menggunakan buku identifikasi gulma,
sedangkan dominansi gulma dihitung berdasarkan nilai Summed Dominance Ratio SDR. Hasil penelitian di Kelurahan Rimbo Kedui Kabupaten Seluma, teridentifikasi sebanyak 25 jenis gulma
yang tersebar pada 11 famili dan merupakan golongan gulma berdaun lebar, berdaun sempit dan teki. Jenis gulma yang mendominasi adalah Echinochloa colonum Linn SDR 18,89 Hedyotis biflora
SDR 12,52 dan Fimbristylis miliacea Linn. SDR 10,10 dengan rekomendasi pengendalian tanam dan pengenangan lebih awal serta penyiangan dengan tangan.
Kata kunci :
dominansi,identifikasi, gulma, sawah
ABSTRACT
The presence of weeds in rice plants will cause a decrease in production. This study aims to identify the type and dominance of weeds in paddy fields in lowlandSeluma Bengkulu Province. The study was
conducted in the village of Rimbo Kedui District of South Seluma Bengkulu province in October- November 2015. The study carried out on an area of 0.50 ha of paddy fields. Sampling was conducted
using the method of weed squares measuring 1 m x 1 m. Examples were observed by 5 points taken at random. Data collected include the name of the type, number of individuals, as well as the header of
each type. Weed identification is done by using a desk study weed identification book. The dominance ofweeds is calculated based on the value Summed Dominance Ratio SDR. Weeds were identified in
low-lying paddy fields in Seluma as many as 25 species, distributed in 11 families which are a class of broad-leaved weeds, narrow-leaved and puzzles. The dominant weeds are Echinochloa colonum
Linn SDR 18.89, Hedyotis biflora SDR 12.52 and Fimbristylis miliacea Linn. SDR 10.10 with control recommendations and irrigation early planting and weeding with hand.
Keywords: identification, dominance, weed, paddy
PENDAHULUAN
Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra pengembangan padi di Provinsi Bengkulu. Lahan sawah di Kabupaten Seluma seluas 18.130 ha yang terdiri dari lahan sawah irigasi, tadah hujan,
pasang surut dan rawa lebak. Lahan sawah irigasi mempunyai areal yang paling luas dibandingkan jenis sawah yang lain yaitu 10.265 ha atau sekitar 56,62 dari total luas lahan sawah di Kabupaten
Seluma BPS Provinsi Bengkulu, 2015. Secara umum, lahan sawah di Kabupaten Seluma berada pada dataran rendah yaitu 20 meter di atas permukaan laut m dpl. Dataran rendah merupakan
agroeskosistem yang berada pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut Djaenudin, 2009.
Ketinggian tempat akan menyebabkan adanya perbedaan jumlah populasi jenis gulma yang teridentifikasi. Menurut Tjitrosoedirjo et al. 1984, pada dataran rendah populasi yang akan
ditemukan lebih banyak akan tetapi mempunyai jumlah individu yang lebih sedikit, sedangkan gulma pada dataran tinggi jumlah populasi lebih banyak akan tetapi jumlah individunya lebih sedikit.
259
Gulma sebagai tumbuhan yang tidak berguna keberadaanya cenderung tidak diharapkan di dalam kegiatan budidaya. Hal ini disebabkan karena gulma dapat mempengaruhi dan menurunkan
produksi tanaman Tjitrosoedirdjoet al., 1984.Menurut Miranda et al. 2011, gulma merupakan salah satu permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas padi. Keberadaaan gulma pada
tanaman padi akan menyebabkan penurunan produksi apabila gulma tidak dikendalikan secara efektif Pane dan Jatmiko, 2002. Adanya gulma pada kegiatan budidaya dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan menurunkan produksi tanaman pangan.
Menurut Nantasomsaran dan Moody 1993 dalam Pane dan Jatmiko 2009, persaingan gulma dengan tanaman padi pada lahan irigasi dapat menurunkan hasil antara 10-40, tergantung
pada jenis dan kepadatan gulma, jenis tanah, pasokan air serta keadaan iklim. Selain itu, k
eberadaan gulma pada lahan sawah juga merupakan organisme pengganggu tanaman OPT. Menurut Lamid
2011, gulma merupakan salah satu OPT yang mampu beradaptasi, tumbuh dan berkembang pada semua agroekosistem dan dalam kondisi iklim yang telah berubah.
Kanekaragaman tumbuhan pada ekosistem sawah cenderung rendah Mardiyantiet al., 2013. Keberadaan tumbuhan yang dianggap tidak berguna perlu diketahui dengan tujuan untuk mengetahui
cara pengendaliannya. Dinamika populasi gulma akan menentukan tindakan pengendalian yang tepat. Menurut Kastanja 2011 agar pengendalian gulma dapat dilakukan secara tepat,maka perlu dilakukan
identifikasi mengenai jenis gulma yang berada pada suatu ekosistem. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan dominansi gulma pada lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Seluma.
METODE PENELITIAN
Kajian dilaksanakan di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma pada bulan Oktober-November tahun 2015. Lokasi kajian merupakan lahan sawah yang
berada di dataran rendah dengan ketinggian 20 m dpl. Lahan sawah yang diamati seluas 1 ha. Berdasarkan penggunaanya, lahan sawah yang digunakan merupakan lahan yang biasa digunakan
untuk kegiatan budidaya padi sebanyak 2 kalitahun dengan sistem penanaman padi-bera-padi.
Pengambilan sampel dengan menggunakan metode kuadrat yang berukuran 1 m x 1 m. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali ulangan yang diambil secara acak. Selanjutnya gulma
yang terdapat pada petak contoh diidentifikasi nama jenis, famili serta dihitung jumlah individu masing-masing jenis gulma yang ditemukan. Identifikasi gulma dilakukan secara desk study,
sedangkan dominansi gulma dianalisis untuk dicari nilai Summed Dominance Ratio SDR. Nilai SDR tersebut di peroleh dari perhitungan nilai Kerapatan Nisbi Suatu Spesies KNSS, Dominansi Nisbi
Suatu Spesies DNSS, Frekuensi Nisbi Suatu Spesies FNSS serta Nilai Penting NP. Perhitungan nilai-nilai tersebut menggunakan persamaan menurut Tjitrosoedirdjoet al., 1984 sebagai berikut :
1.
Kerapatan nisbi suatu spesies KNSS
= Kerapatan mutlak jenis itu
x 100 Jumlah kerapatan mutlak semua jenis
Dimana kerapatan mutlak suatu jenis sama dengan jumlah individu jenis itu dalam petak contoh. 2.
Dominansi nisbi suatu spesies DNSS
= Nilai dominansi mutlak suatu jenis
x 100 Jumlah semua petak contoh yang diambil
Dominansi mutlak suatu jenis adalah jumlah dari nilai kelindungan atau nilai luas basal atau nilai biomassa atau volume dari jenis itu. Kelindungan dihitung dengan rumus :
Kelindungan =
d1 x d2 x 2π
4 Dimana d1 dan d2 adalah diameter proyeksi tajuk suatu jenis.
3. Frekuensi nisbi suatu spesies
FNSS =
Nilai frekuensi mutlak suatu jenis x 100
Jumlah nilai frekuensi mutlak semua jenis Dimana frekuenis mutlak FM suatu jenis diperoleh dari persamaan sebagai berikut :
FM =
Jumlah petak contoh yang berisi jenis itu Jumlah semua petak contoh yang diambil
260
4. Nilai Penting NP
NP = Kerapatan Nisbi + Dominansi nisbi + frekuensi nisbi 5.
SDR = NP3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Jenis
Berdasarkan hasil identifiksi diperoleh sebanyak 25 jenis gulma yang tersebar pada 11 famili dan terdiri dari 3 golongan yaitu berdaun lebar, berdaun sempit dan teki-tekian Tabel 1. Jenis yang
termasuk kategori berdaun lebar merupakan gulma yang paling banyak teridentifikasi yaitu sebanyak 15 jenis, berdaun sempit sebanyak 6 jenis dan teki-tekian sebanyak 4 jenis. Populasi gulma yang
diperoleh sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mercado 1979 dan Lamid 1996 dalam Lamid 2011 bahwa populasi gulma padi sawah dikelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu
berdaun sempit semua jenis dari famili Gramineae, gulma berdaun lebar jenis gulma berdaun lebar, batang berkayu, dan tulang daun menyirip serta teki semua jenis dari famili Cyperaceae.
Tabel 1. Identifikasi jenis gulma pada lahan sawah dataran rendah di Kelurahan Rimbo Kedui
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma tahun 2015.
No Jenis
Famili Jumlah
individu Golongan
1 Synedrella nudiflora
Asteraceae 11
Berdaun lebar 2
Porophyllum ruderele Jacq. Cass.
Asteraceae 1
Berdaun lebar 3
Eclipta alba L. Hassk
Asteraceae 1
Berdaun lebar 4
Vernonia cinerea L. Lass
Asteraceae 1
Berdaun lebar 5
Emilia soncivilia Asteraceae
1 Berdaun lebar
6 Cleome rutidosperma
Capparidaceae 13
Berdaun lebar 7
Drimaria cordata Caryophyllaceae
1 Berdaun lebar
8 Fimbristylis miliacea
Linn. Cyperaceae
58 Teki
9 Cyperus iria
Cyperaceae 7
Teki 10
Cyperus killingia Cyperaceae
1 Teki
11 Cyperus compressus
Linn Cyperaceae
1 Teki
12 Phylanthus niruri
Euphorbiaceae 33
Berdaun lebar 13
Euphorbia heterophylla L.
Euphorbiaceae 3
Berdaun lebar 14
Echinochloa colonum Linn. Link Gramineae
251 Berdaun sempit
15 Eleusine indica
Gramineae 81
Berdaun sempit 16
Digitaria adscendens Gramineae
4 Berdaun sempit
17 Digitaria setigera
Gramineae 9
Berdaun sempit 18
Paspalum comersonii Gramineae
63 Berdaun sempit
19 Sporobolus indicus
Gramineae 1
Berdaun sempit 20
Ludwigia perennis Onagraceae
24 Berdaun lebar
21 Rumex acetosella
L. Polygonaceae
1 Berdaun lebar
22 Hedyotis biflora
Rubiaceae 206
Berdaun lebar 23
Hedyotis corymbosa L. Lam
Rubiaceae 1
Berdaun lebar 24
Physalis angulata Solanaceae
14 Berdaun lebar
25 Melochia concatenata
L. Sterculiaceae
2 Berdaun lebar
Sumber : Data Primer 2015
Menurut Harsono 2011, kelompok teki umumnya termasuk famili Cyperaceae, mempunyai daya tahan luar biasa terhadap pengendalian mekanik karena memiliki umbi batang stolon di dalam
tanah yang mampu bertahan hidup di bawah cekaman lingkungan yang berat. Kelompok berdaun sempit termasuk famili Gramineae umunya berdaun sempit, mempunyai akar rimpang rhizoma yang
membentuk jaringan rumit di dalam tanah dan sulit diatasi secara mekanik. Sedangkan gulma berdaun lebar merupakan jenis gulma dari ordo dicotyleneae. Gulma golongan berdaun lebar biasanya tumbuh
dengan habitus yang besar, sehingga kompetisi yang terjadi dengan tanaman terutama dalam memperebutkan cahaya.
Menurut Kristanto 2006 salah satu jenis gulma yang termasuk famili Cyperaceae adalah Cyperus rotundus
L. Jenis ini merupakan gulma yang sangat mengganggu pada pertanaman jagung
261
dan beberapa tanaman lain. Gulma ini proses tumbuhnya secara berumpun dan rapat sehingga peluang zat alelopati yang dikeluarkan lebih banyak dari pada gulma lain Miranda et al., 2011. Melalui
mekanisme alelopati, teki menyebabkan penghambatan pembelahan sel dan pertumbuhan, aktivitas enzim, sintesis protein, proses fotosintesis, permiabilitas membran sel dan penyerapan unsur hara serta
meningkatkan respirasi secara berlebihan Sastroutomo, 1990. Melalui mekanisme persaingan, teki bersaing untuk mendapatkan faktor tumbuh dengan tanaman di sekitarnya berupa air, unsur hara,
udara, cahaya dan ruang tumbuh.
Jenis gulma dengan jumlah individu yang banyak ditemukan adalah Echinochloa colonum sebanyak 251 rumpun dan Hedyotis biflora sebanyak 206 batang. E. colonum merupakan salah satu
jenis gulma berdaun sempit yang tergolong ke dalam famili Gramineae dan merupakan jenis gulma yang banyak ditemukan pada lahan budidaya, tempat-tempat terbuka dan lembab dengan jenis tanah
berpasir atau tanah liat Barnes, 1972, sedangkan H. biflora merupakan jenis gulma yang banyak ditemukan pada tanaman budidaya lahan kering, tanaman perkebunan dan sayuran Moody et al.,
1984. Kedua jenis tersebut merupakan gulma yang biasanya tumbuh pada lahan kering.
Dominansi Gulma
Dominansi merupakan proyeksi vertikal dari tajuk canopy suatu jenis pada area yang diambil samplingnya, dinyatakan dalam persen luas secara penaksiran. Dapat dinyatakan berdasarkan
penaksiran dengan kelas atau dihitung berdasar suatu rumus Tjitrosoedirdjo, dkk, 1984. Berdasarkan hasil, terdapat tiga jenis gulma dominan pada lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Seluma yaitu
Echinochloa colonum Linn., Hedyotis biflora dan Fimbristylis miliacea. Menurut Caton et al. 2011
gulma E. colonum merupakan jenis gulma yang mempunyai daya saing tinggi dan salah satu jenis gulma terburuk di dunia, sedangkan F. miliacea mempunyai daya saing sedang dan merupakan jenis
gulma yang toleran kegaraman. Struktur komposisi gulma di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma disajikan pada Tabel 2.
Gulma E. colonum mempunyai nilai SDR yang paling tinggi dibandingkan dengan H. biflora dan F. Miliacea. Nilai KNSS menunjukkan banyaknya jumlah individu jenis E. colonum yang
ditemukan pada petak contoh, DNSS menunjukkan luasan areal yang ditumbuhi sedangkan FNSS menunjukkan bahwa gulma E. colonum ditemukan hampir pada semua petak contoh. Pada jenis H.
biflora , tingginya nilai SDR disebabkan oleh jumlah individu dan frekuensi, sedangkan jenis F.
miliaceae tingginya nilai SDR didukung oleh dominansi yang artinya jenis ini mempunyai jumlah
individu yang sedikit dan ditemukan hanya pada beberapa petak contoh. Menurut Lamid 2011, pada dinamika populasi gulma, golongan gulma yang dominan merupakan target utama untuk dikendalikan
karena berpotensi sebagai pesaing tanaman budidaya. Menurut Pane dan Jatmiko 2009 metode pengendalian gulma berbeda dengan pengendalian
hama dan penyakit tanaman. Hal ini disebabkan oleh 4 faktor yaitu : 1 komunitas gulma lebih beragam, 2 merugikan tanaman sejak awal sampai panen, 3 gulma berasosiasi dengan hama,
patogen, dan musuh alami, serta 4 gulma tumbuh berasosiasi dengan tanaman. Sehingga tujuan pengendalian gulma adalah1 membentuk gulma yang kaya spesies tetapi miskin populasi sehingga
pengendalian secara mekanis maupun dengan pergiliran tanaman jadi lebih mudah, serta 2 eradikasi total diarahkan pada gulma jahat.
Pengendalian gulma padi di lahan sawah irigasi biasanya merupakan kombinasi antara pengendalian secara tidak langsung dan secara langsung. Teknik
pengendalian gulma secara tidak langsung dapat dilakukan melalui pengolahan tanah, pengelolaan air irigasi, cara pemupukan dan pengaturan populasi tanaman, sedangkan teknik pengendalian langsung
adalah penyiangan dengan tangan, mekanis dan penggunaan herbisida.
262
Tabel 2. Struktur gulma pada lahan sawah dataran rendah di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma, tahun 2016.
No Jenis
KNSS DNSS
FNSS NP
SDR 1
Echinochloa colonum Linn.
31,81 15,04
9,80 56,66
18,89 2
Hedyotis biflora 26,11
1,64 9,80
37,55 12,52
3 Fimbristylis miliacea
Linn. 7,35
17,08 5,88
30,31 10,10
4 Eleusine indica
10,27 10,47
5,88 26,62
8,87 5
Phylanthus niruri 4,18
11,83 9,80
25,82 8,61
6 Cyperus iria
0,89 17,26
5,88 24,03
8,01 7
Paspalum comersonii 7,98
5,73 1,96
15,68 5,23
8 Ludwigia perennis
3,04 1,93
7,84 12,81
4,27 9
Physalis angulata 1,77
3,59 3,92
9,29 3,10
10 Cleome rutidosperma
1,65 1,47
5,88 9,00
3,00 11
Synedrella nudiflora 1,39
3,03 3,92
8,35 2,78
12 Sporobolus indicus
0,13 4,60
1,96 6,68
2,23 13
Melochia concatenata L.
0,25 1,03
3,92 5,20
1,73 14
Digitaria setigera 1,14
1,10 1,96
4,20 1,40
15 Cyperus compressus
Linn 0,13
1,50 1,96
3,59 1,20
16 Eclipta alba
L. Hassk 0,13
1,41 1,96
3,49 1,16
17 Cyperus killingia
0,13 0,65
1,96 2,73
0,91 18
Digitaria adscendens 0,51
0,00 1,96
2,47 0,82
19 Vernonia cinerea
L. Lass 0,13
0,28 1,96
2,36 0,79
20 Euphorbia heterophylla L.
0,38 0,00
1,96 2,34
0,78 21
Emilia soncivilia 0,13
0,23 1,96
2,31 0,77
22 Hedyotis corymbosa
L. 0,13
0,16 1,96
2,24 0,75
23 Porophyllum ruderele
Jacq. 0,13
0,00 1,96
2,09 0,70
24 Drimaria cordata
0,13 0,00
1,96 2,09
0,70 25
Rumex acetosella L.
0,13 0,00
1,96 2,09
0,70 Sumber : Data primer 2015
Menurut Caton et al. 2011 pengendalian gulma E. colonum dan F. miliacea dilakukan secara budidaya yaitu meliputi tanam dan pengenangan dilakukan lebih awal serta penyiangan dengan
tangan. Genangan air irigasi cukup efektif untuk menekan persentase perkecambahan beberapa spesies gulma yaitu Fimbristylis littoralis, Cyperus iria, Monocharia vaginalis, dan Cyperus difformis. Selain
itu, genangan air juga dapat menurunkan bobot bobot gulma dan jumlah gulma yang tumbuh. Pada genangan yang dalam spesies gulma yang masih banyak tumbuh adalah M. vaginalis, sedangkan pada
kondisi tanah yang jenuh air atau lembab, gulma yang dominan tumbuh adalah Echinochloa spp dan F. miliacea
Pane dan Jatmiko, 2009.
KESIMPULAN
1. Gulma yang teridentifikasi pada lahan sawah di Kelurahan Rimbo Kabupaten Seluma sebanyak
25 jenis dan tersebar pada 11 famili yang merupakan golongan gulma berdaun lebar, berdaun sempit dan teki.
2. Gulma yang dominan yaitu Echinochloa colonum Linn dengan SDR 18,89, Hedyotis biflora
SDR 12,52 dan Fimbristylis miliacea Linn. SDR 10,10 dan merupakan jenis gulma yang mampu beradaptasi tinggi serta toleran kegaraman.
3. Rekomendasi pengendalian untuk ketiga jenis gulma tersebut adalah tanam dan pengenangan
lebih awal serta penyiangan dengan tangan.
263
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP dan Ir. Sri Suryani M. Rambe, M.Agr atas saran dan masukan di dalam penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, D.E and M. M. Chandapillai. 1972. Common Malaysian weeds and their control. Kualalumpur.
BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Provinsi Bengkulu dalam angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Caton, B.P., M. Mortimer, J.E. Hill dan D.E. Johnson. 2011. Panduan lapang praktis untuk gulma padi di Asia. International Rice Research Institute.
Djaenudin, U. D. 2009. Prospek penelitian potensi sumber daya lahan di wilayah Indonesia. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2 4 : 243-257.
Harsono, A. 2011. Implementasi Pengendalian Gulma Terpadu Pada Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 11 halaman.
Kastanja, A. Y. 2011. Identifikasi jenis dan dominansi gulma pada pertanaman padi gogo Studi kasus di Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Agroforestri 6 1 : 40-
46. Kristanto, B. A. 2006. Perubahan karakter tanaman jagung Zea mays L. akibat alelopati dan
persaingan teki Cyperus rotundus L.. Journal Indonesian Tropical Animal Agriculture 31 3 : 189-194.
Lamid, Z. 2011. Integrasi pengendalian gulma dan teknologi tanpa olah tanah pada usaha tani padi sawah menghadapi perubahan iklim. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 4 1 : 14-
28. Mardiyanti, D. E., K. P. Wicaksono dan M. Baskara. 2013. Dinamika keanekaragaman spesies
tumbuhan pasca pertanaman padi. Jurnal Produksi Tanaman 1 : 24-35. Mercado, B.L. 1979.
Introduction to Weed Science. Searca Pub., Los Banos, Laguna, the Philippines. 279 pp.
Miranda, N., I. Suliansyah dan I. Chaniago. 2011. Eksplorasi dan identifikasi gulma pada padi sawah lokal Oryza sativa L. di Kota Padang. Jurnal Agronomi 4 1 : 45-54.
Moody, K., C. E. Munroe., R.T. Lubigan, and E. C. Paller. 1984. Major weeds of the Philipines. Weed Science Society of the Philipines, University of the Philipines at Los Banos. College,
Laguna, Philipines. Pane,
H. dan
S. Y.
Jatmiko. 2009.
Pengendalian gulma
pada tanaman
padi. www.litbang.pertanian.go.id. [diakses 5 September 2016].
Sastroutomo, S. S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo. dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan gulma di perkebunan.
Gramedia. Jakarta.
264
EFEKTIFITAS PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI PADI TENTANG INOVASI TEKNOLOGI SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO 2 : 1 DI BALI
IMPROVE KNOWLEDGE ON TECHNOLOGY INNOVATION RICE FARMERS CROPPING SYSTEMS JAJAR LEGOWO 2 : 1 IN BALI
Ni Ketut Kasih Sukraeni
1
, Eko Kristanto
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bali Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu
Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran – Denpasar, Bali. TelpFax.0361 720498.
e_mail: sugiartaputuyahoo.co.id
. ABSTRAK
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan menerapkan inovasi teknologi. Salah satu inovasi teknologi yang digunakan untuk meningkatkan produksi adalah penerapan inovasi
teknologi sistem tanam Jajar Legowo 2:1. Tingkat pendidikan petani yang relatif rendah dan umur yang sudah relatif tua ≥ 50 tahun adalah faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan penerapan
inovasi teknologi. Metode yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 adalah demonstrasi cara dan demplot. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten
Karangasem Provinsi Bali mulai Januari-Desember 2014. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja purposive, alasannya bahwa kabupaten tersebut merupakan salah satu produsen beras
di Bali dan adanya permohonan dari dinas terkait untuk pelaksanaan pendampingan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 dalam mendukung pencapaian produksi beras nasional Tahun 2014. Sampel yang
digunakan adalah petani kooperator yang merupakan petani kooperator SL sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan adalah pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 dan komponen
teknologi usahatani padi. Analisis data menggunakan pendekatan efektifitas peningkatan pengetahuan dan efektifitas program yang dilakukan melalui penilaian tes awal pre test dan tes akhir pos test
pada pelaksanaan demplot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas peningkatan pengetahuan dengan kriteria cukup efektif, sedangkan efektifitas program dengan kriteria efektif. Parameter yang
diamati adalah tingkat pengetahuan petani sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan demplot dan program penyuluhan tentang inovasi teknologi jajar legowo 2 : 1 serta komponen teknologi budidaya
padi. Kata kunci:
Metode penyuluhan, teknologi, jajar legowo 2 : 1, peningkatan pengetahuan.
ABSTRACT
One effort to increase rice production is by applying technological innovations. One of the innovations of technology used to increase production is the application of technological innovations
cropping systems Jajar Legowo 2 : 1. The education level of farmers is relatively low and the already relatively old age ≥ 50 years as an influential factor in the successful implementation of
technological innovation. The method used to increase their knowledge of Legowo row planting system 2 : 1 is a demonstration of how and demonstration plots. The activities carried out in
Karangasem Bali Province started from January to December 2014. Location research by purposive sampling methods, arguing that the district is one of the producers of rice in Bali and the request from
the relevant government agencies for the implementation of assistance row planting system legowo 2 : 1 in support of the achievement of 2014 national rice production. Respondents were measured by 30
people as farmer cooperators. The data collected were age, level of education, land and farmers knowledge about legowo row planting system 2: 1. Analysis of data using approaches the effectiveness
of increasing the knowledge and effectiveness of the program is done through assessment tests early and final test on the implementation of the activity project.The results showed that the effectiveness of
the improvement of knowledge with the criteria sufficiently effective, while the effectiveness of programs with effective criteria.
Keywords : Extention method, technology, planting legowo system 2 : 1, an increase in knowledge.
265
PENDAHULUAN
Padi merupakan bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan pula permintaan terhadap padi. Untuk peningkatan produksi padi di
Indonesia, pemerintah melaksanakan dua program, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian Fagi dan Eko, 2005. Kebutuhan beras nasional meningkat setiap tahunnya seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan beras nasional pada tahun 2012 cukup tinggi, yaitu mencapai 2,7
– 2,8 juta ton per bulan dengan asumsi bahwa konsumsi beras rata-rata 316 gramkapitahari padahal cukup dengan 275 gramkapitahari Suswono, 2012.
Sejak tahun awal tahun 2007 pemerintah bertekad untuk meningkatkan produksi beras 2 juta ton dan selanjutnya meningkat 5 per tahun hingga tahun 2009. Program Peningkatan Produksi Beras
Nasional P2BN diluncurkan untuk mencapai target tersebut dengan mengimplementasikan empat strategi yaitu: 1 peningkatan produktivitas, 2 perluasan areal, 3 pengamanan produksi dan 4
kelembagaan dan pembiayaan serta peningkatan koordinasi Purwanto, 2008.
Upaya untuk mencapai produksi beras tersebut salah satunya adalah dengan menerapkan inovasi teknologi seperti sistem tanam jajar legowo. Suhendra 2008 menyatakan sistem tanam
legowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun maupun antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun di dalam barisan dan memperlebar jarak antar barisan.
Abdulah 2004 menyatakan bahwa hasil padi pada cara tanam legowo lebih tinggi dibandingkan cara petani sistem tegel. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya populasi tanaman serta efek tanaman
pinggir border effect yang cenderung menghasilkan gabah bernas yang lebih tinggi. Menurut Jamal 2009, menyatakan buruh tani merasa direpotkan bila harus mengatur tanaman dengan pola legowo
sehingga dalam upaya penerapan inovasi tersebut diperlukan kajian dengan melibatkan petani yang nantinya sebagai pengguna.
Petani di Indonesia khususnya di Provinsi Bali, berusahatani padi pada umumnya masih menerapkan cara yang konvensional, sehingga produktivitas yang dicapai masih rendah. Usaha untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan meningkatkan intensifikasi pertanian melalui pengenalan dan penerapan teknologi untuk meningkatkan produksi petani. Salah satu teknologi yang
sudah dilakukan dan memberikan dampak yang positif adalah penerapan sistem tanam jajar legowo dengan komponen teknik budidaya padi spesifik lokasi.
Kabupaten Karangasem merupakan salah satu wilayah di Provinsi Bali penghasil padi dengan luas panen 11.857 hektar dengan rata-rata produksi sekitar 5,8 tonha BPS, 2012. Salah satu usaha
yang perlu dilaksanakan adalah dengan melaksanakan program pendampingan melalui kegiatan diseminasi penerapan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 padi sawah.
Tingkat pendidikan petani yang relatif rendah dan umur petani yang sudah diatas 50 tahun merupakan faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan penerapan suatu teknologi yang dilaksanakan.
Hasil atau dampak dari penerapan teknologi tersebut belum dapat dirasakan oleh petani bahkan cenderung dianggap merugikan. Untuk itu perlu metode yang tepat sehingga teknologi tersebut dapat
dirasakan manfaatnya bagi petani. Salah satu metode yang dilakukan adalah dengan demonstrasi hasil berupa demplot yang dilaksanakan di areal petani. Petani akan terlibat langsung dalam semua tahapan
kegiatan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani terhadap teknologi yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan tujuan penelitian yaitu mengetahui efektifitas
peningkatan pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi sistem tanam jajar legowo 2 : 1 Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah sarana produksi berupa benih, pupuk, pestisida dan bahan-bahan lain yang mendukung usahatani padi. Metode yang digunakan adalah demonstrasi
hasil berupa demonstrasi plot demplot dengan menggunakan lahan milik petani serta melibatkan petani dalam usahatani padi khususnya penerapan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 secara menyeluruh.
Efektifitas peningkatan pengetahuan petani dapat diketahui melalui penilaian tes awal pre test sebelum demplot dan tes akhir pos test setelah pelaksanaan demplot yang dianalisis dalam bentuk
tabulasi. Alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani adalah kuisioner sebanyak 20 pertanyaan dengan nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 1. Kriteria nilai ditetapkan dengan:
- Nilai 1 kriteria tidak baik, - Nilai 2 kriteria kurang baik,
266
- Nilai 3 kriteria cukup, - Nilai 4 kriteria baik,
- Nilai 5 kriteria sangat baik.
Parameter yang diamati adalah tingkat pengetahuan petani tentang teknik budidaya padi sistem tanam jajar legowo 2 : 1 serta komponen teknologi usahatani padi lainnya, seperti: pesemian,
pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan tanaman, panen dan pasca panen. Berdasarkan kriteria tersebut, maka skor maksimum 20 x 5 = 100, dan skor minimum 20 x 1 = 20, dengan kategori:
Kategori tingkat respon: 20 ≤ kurang 50
skor 20 sd 49 dikategorikan kurang.
50 ≤ cukup 70 skor 50 sd 69 dikategorikan cukup.
70 ≤ baik 90 skor 70 sd 89 dikategorikan baik.
90 ≤ sangat baik ≤ 100 skor 90 sd 100 dikategorikan sangat baik. Menurut Ginting dalam Arofi 2009, evaluasi perubahan peningkatan pengetahuan responden
dianalisis dengan menggunakan rumus efektifitas peningkatan pengetahuan dan efektifitas program sebagai berikut:
Efektifitas Program = Nilai Post test x 100
Target Efektifitas Peningkatan Pengetahuan
= Nilai Post test - Nilai Pre test x 100 Kesenjangan
Peningkatan Pengetahuan = Rata-rata Nilai Post test – Rata-rata Nilai Pre test. Kesenjangan = Target - Rata-rata Nilai Pre test
Kriteria Efektifitas Program dan Efektifitas Peningkatan Pengetahuan:
- Jika 33,33
= Kurang Efektif -
Jika 33.34 – 66.66 = Cukup Efektif -
Jika 66.67 = Efektif
Evaluasi terhadap petani dilakukan oleh penyuluh untuk mengetahui tingkat perubahan pengetahuan petani setelah penyuluhan berdasarkan parameter yang telah ditentukan. Dalam evaluasi
penyuluhan ini berpatokan pada 9 indikator keberhasilan penyuluhan pada poin ke 4 yang berbunyi: terdiseminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani
Wahjuti, 2007, dan indikator inilah yang melatarbelakangi kegiatan evaluasi terhadap petani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkajian berupa demplot dan pengukuran efektifitas peningkatan pengetahuan petani kooperator dilaksanakan di Subak Gantalan II, yaitu di Tempek Pangi dan Tempek Manggungan.
Untuk mengetahui tingkat efektivitas kegiatan diseminasi dalam bentuk kegiatan penyuluhan pertanian melalui metode demonstarsi cara dan demplot, maka perlu diketahui karakteristik petani meliputi
umur, tingkat pendidikan dan luas lahan yang dianggap berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam menerima inovasi. Karakteristik petani kooperator kegiatan demplot disajikan seperti pada
Tabel 1.
267
Tabel 1. Karakteristik Petani Kooperator Kegiatan Demplot
No Nama Responden
Umur Th Pendidikan
Luas Lahan are 1
I Wyn Derana 56
SD 15
2 I Wyn Keredek
51 SD
19 3
I Gde Rai 42
SD 15
4 I Kt Suka
47 SD
15 5
I Md Santika 55
SD 10
6 Ngh Patra
52 SD
25 7
Nym Rai 50
SD 25
8 I Wyn Kawiarta
60 SD
30 9
Kt Rusti 55
SD 15
10 I Ngh Oka
75 SD
20 11
I Wyn Seribok 50
SD 10
12 I Md Sudarsana
50 SD
20 13
I Nym Cagus 70
SD 30
14 I Gde Mirta
50 SD
15 15
I Ngh Sridana 60
SMP 20
16 I Kdk Widia
26 SMA
20 17
I Ngh Suda 43
SD 10
18 I Kt Rai
64 SD
30 19
I Wyn Mangku 45
SD 15
20 I Wyn Murdi
43 SD
20 21
I Wyn Rudana 26
SMP 20
22 I Gde Krada
56 SD
56 23
I Nym Sukarta 40
SD 10
24 I Wyn Putra Astawa
53 SD
15 25
I Nym Sandri 45
SMP 10
26 I Wayan Murda
40 SMA
25 27
I Gde Sudana 45
SD 30
28 I Wyn Sarna
47 SD
20 29
I Md Gendra 50
SD 25
30 I Wyn Jaya
39 SMP
25 Sumber: data primer diolah, 2014.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa dari 30 orang responden anggota subak rata-rata tingkat pendidikannya dikategorikan masih rendah, yaitu SD 24 orang 80 , SLTP
sebanyak 4 orang 13 dan SLTA sebanyak 3 orang 7 . Tingkat pendidikan memberikan pengaruh positif terhadap tingkat adopsi inovasi. Petani yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat
dalam melaksanakan adopsi suatu inovasi, walaupun jenjang pendidikan yang dilalui tidak spesifik tentang inovasi tersebut. Begitu juga sebaliknya yang berpendidikan rendah, mereka agak sulit
menerapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekartawi 1988 dalam Azwardi 2001, menyatakan bahwa dalam prakteknya hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat adopsi pertanian adalah
berjalan secara tidak langsung, kecuali bagi mereka yang belajar secara spesifik tentang inovasi baru tersebut. Sedangkan usia dari petani responden dikategorikan non produktif, karena petani yang
berusia 25
– 50 tahun dalam kategori produktif sebanyak 14 orang 46 sedangkan dalam usia non produktif sebanyak 16 orang 54 . Mardikanto 1992 menyatakan bahwa semakin tua umur
seseorang maka semakin lambat dalam mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat setempat. Semakin muda petani
biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman dalam hal inovasi tersebut. Sedangkan untuk kepemilikan lahan usahatani anggota subak sangat sempit yaitu antara 10
– 30 are. Hal inilah menjadi pertimbangan dalam pemilihan metode dan teknik penyuluhan pertanian agar sesuai dengan karakter sasaran sehingga materi yang
akan disampaikan dapat diterima dengan baik. Hasil evaluasi yang dilaksanakan menunjukkan bahwa tingkat respon sasaran sebelum SL
berada pada kriteria cukup dengan skor nilai 68.8, sedangkan setelah kegiatan SL pada kriteria baik dengan skor 83.2 dengan peningkatan 14.4. Sedangkan efektivitas peningkatan pengetahuan petani
268
setelah pelaksanaan penyuluhan pertanian melalui metode diskusi dan demonstrasi cara berdasarkan indikator yang ditetapkan sebelumnya berada pada kriteria cukup efektif dengan peningkatan sebesar
= 46.15 , serta efektifitas program berada pada kriteria efektif dengan skor nilai 83.2. Hasil perhitungan selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Target pengetahuan yang diharapkan adalah 100.
2. Hasil evaluasi sebelum penyuluhan Pre test jumlah skor 2.066 dengan rata-rata skor 68.8.
3. Hasil evaluasi sesudah penyuluhan Post test jumlah skor 2.496 dengan rata-rata skor 83.2.
4. Peningkatan Pengetahuan = 83.2
– 68.8 = 14.4 5.
Kesenjangan = 100 – 68.8= 31.2
6. Efektifitas Program =
.
� = 83.2 efektif
7. Efektifitas Peningkatan Pengetahuan =
. .
� = 46.15
cukup efektif.
KESIMPULAN
Hasil kegiatan dalam pengukuran efektifitas peningkatan pengetahuan petani dalam penerapan inovasi teknologi jajar legowo 2 : 1 dan efektifitas program yang dilaksanakan maka dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo 2 : 1 meningkat yang dapat dilihat dari hasil evaluasi penyuluhan pertanian yang dilaksanakan dengan tes awal dan tes akhir yang
menunjukkan efektifitas peningkatan pengetahuan dengan kriteria cukup efektif dengan skor 46,15 , sedangkan efektifitas program dengan nilai 83,2 dengan kriteria efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, S. 2004. Kajian Alternatif Teknologi Produksi Padi. Dalam: Suprihanto, B, A.K. Makarim, I N.Widiarta, A. Setyono, H. Pane, Hermanto dan A. S. Yahya;
Penyunting.Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku Tiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.Hal.667-682.
Arofi, F. 2009. RancanganPenyuluhan Peningkatan Adopsi Petani Terhadap Teknologi System Of Rice Intensification
SRIDi Desa Pancoran Kecamatan Bondowoso Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Malang: STPP.
Azwardi, D., 2001. Kajian Tingkat Teknologi Pembenihan Ikan Mas Cyprinus Carpio pada Sentra Benih Ikan di Sumatera Barat. Thesis, Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
BPS Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. Denpasar Fagi, A.M., dan Eko.A. 2005. Lahan Rawa Dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Kedepan.
Dalam : Ar-Riza,I., Undang Kurnia, Izzuddin Noor dan Achmadi Jumberi ed. 2005.
Proseding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendaian Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pegembangan Pertanian. Jamal, E. 2009. Telaah Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang dalam Pengelolaan Tanaman
Terpadu PTT Padi: Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Jurnal Analisis Kebijakan 74: 337-349.
Mardikanto, T., 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Purwanto, S. 2008. Implementasi Kebijakan untuk Pencapaian P2BN. Prosiding Seminar Apresiasi
Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Suhendra, T. 2008. Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Peningkatan Produktivitas Padi Sawah untuk Mendukung Ketahanan Pangan.Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian,
Yogyakarta, 18-19 November 2008. Suswono,
2012. Mentan:
Konsumsi beras
Indonesia terlalu
banyak. http:beritanasionalumum.republika.co.id161003.b.
Diakses tanggal 16 Oktober 2013. Wahjuti, 2007. Metodologi Penyuluhan Pertanian Partisipatif. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian.
Malang.
269
KERAGAAN AGRONOMI DAN HASILVARIETAS UNGGUL BARU VUB PADI SAWAH PADA AGROEKOSISTEM BERBEDA DI PROVINSI BENGKULU
PERFORMANCE AND YIELD OF NEW IMPROVED VARIETIES VUB PADDY IN DIFFERENT AGROEKOSISTEM BENGKULU PROVINCE
Yartiwi, Yulie Oktavia dan A. Damiri
Balai Penelitian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu
Email : bptpbengkulu.deptan.go.id
ABSTRAK
Pemilihan benih padi varietas unggul baru merupakan salah satu faktor pendukung dalam peningkatan produktivitas dan pendapatan petani padi sawah. Tujuan penelitian adalah untuk menguji daya hasil
dan mendapatkan varietas unggul baru yang adaptif pada agroekosistem yang berbeda di Propinsi Bengkulu. Penelitian di lakukan pada dua Kabupaten yaitu Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejang
Lebong Provinsi Bengkulu pada bulan Oktober2015 sampai dengan bulan Januari 2016.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok RAK faktor tunggal yaitu
varietas padi Inpari yang terdiri3 jenis yaitu Inpari 16, 22 dan 30, dengan
6 ulangan. Data yang
dikumpulkan meliputi : a komponen pertumbuhan, b komponen hasil. Selanjutnya data dianalisis
sidik ragam ANOVA dan diuji lanjut dengan DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
Kabupaten Rejang Lebong varietas inpari 30 menunjukkan hasil yang tertinggi pada berat 1000 butir dan produktivitas GKP per ha masing-masing 26,21 gr dan 6,72 tha. Sedangkan di Kabupaten Seluma
varietas Inpari 22 menunjukkan hasil tertinggi pada berat 1000 butir dan produktivitas 29,14 gr dan 7,33 tha.
Kata kunci : agroekosistem, keragaan, padi, varietas
ABSTRACT
Improved Varieties is one contributing factor in increasing productivity and production of paddy. Determinate of varieties necessary for cropgrowing and high yield. The aim of assessment was done to
obtain new varieties that have broad adaptability and able to provide high yields with different ecosystem conditions in Bengkulu. The assessment done in two districts, Seluma and Rejang Lebong
Bengkulu province in October 2015 until January 2016. The assessment method is compared between treatments on two assessment locations districts Seluma and Rejang Lebong. The design used
randomized block design RAK with single factor, the treatment is rice varieties Inpari which consists of 3 types Inpari 16, 22 and 30, with 6 replication. Data collected includes: a components of growth,
b yield components, and productivity. Furthermore, the data analysis of variance ANOVA with Duncan Multiple further. The assessment showed that Inpari 22 and 30 have a high yield stability
compared with Inpari 16. The productivity of each Inpari 22 and 30 are 6.45 t ha and 6.72 t ha compared with only Inpari 16 is 5,74 t ha.
Keywords: paddy, location specific, new varieties
270
PENDAHULUAN
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal menghasilkan produktivitas tinggi pada berbagai agroekosistem dan cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Varietas
padi juga merupakan teknologi yang paling mudah diadopsi karena teknologinya murah dan penggunaannya sangat praktis Badan Litbang Pertanian, 2007.
Sebagai galur hasil pemuliaan varietas unggul mempunyai beberapa keunggulan seperti potensi hasil tinggi, toleran terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap cekaman lingkungan, mutu
produk, dan atau sifat-sifat lainnya, serta telah dilepas secara resmi oleh pemerintah. Penggunaan varietas yang adaptif dan spesifik lokasi sangat diperlukan dalam mendukung peningkatan
produktivitas dan produksi tanaman pangan di Provinsi Bengkulu. Untuk dapat menunjukkan potensi hasilnya, varietas memerlukan kondisi lingkungan atau agroekosistem tertentu Rubiyo dkk., 2005.
Tidak semua varietas mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai agroekosistem. Dengan kata lain, tiap varietas akan memberikan hasil yang optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai
Kustiyanto, 2001.
Berdasarkan agroekosistem dan kesesuaian lahannya, tanaman padi mempunyai potensi dan peluang yang besar untuk dikembangkan di Provinsi Bengkulu. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
sawah di Provinsi Bengkulu. Menurut BPS Provinsi Bengkulu2015;ProvinsiBengkulu memiliki lahan sawah seluas 96.250 ha dengan produktivitas yang masih rendah yaitu 4,3 tha dengan indeks
pertanaman 137. Sedangkan potensi hasilnya dapat mencapai 6,5 tha. Penyebabnya antara lain adalah penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan benih bersertifikat di tingkat petani masih
relatif kurang sekitar 40-50, penggunaan pupuk yang belum rasional dan efisien, penggunaan pupuk organik yang belum biasa dan budidaya spesifik lokasi masih belum diadopsi dan terdifusi
secara baik.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengujin penanaman padi pada agroekosistem yang berbeda. Dalam pengujiannya inovasi teknologi yang diterapkan merupakan inovasi teknologi pendekatan PTT
dengan varietas unggul baru Inpari 16, 22 dan 33. Model teknologi PTT merupakan sistem penerapan komponen teknologi yang sinergis satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan karakteristik
biofisik lingkungan tanaman, kondisi sosial, ekonomi dan budidaya petani yang diharapkan ada efek sinergisme terhadap pertumbuhan tanaman spesifik lokasi serta dinamis dalam susunan teknologinya
karena adanya sistem introduksi inovasi secara terus menerus Makarim dan Las, 2004. Tujuan penelitian dilakukan adalah untukuntuk menguji daya hasil dan mendapatkan varietas unggul baru
yang adaptif pada agroekosistem yang berbeda di Propinsi Bengkulu.
METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini adalah percobaan lapangan pada lahan sawah irigasi di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu dari bulan Oktober 2015
sampai dengan Januari 2016. Kabupatn Seluma merupakan dataran rendah, sedangkan Kabupaten Rejang Lebong merupakan dataran tinggi.Pelaksanaan peelitian dilakukan di lahan petani melalui
pendekatan On Farm Adaptive ResearchOFAR,seluas 12 ha yang melibatkan 20 orang petani.
Metode penelitian yaitu membandingkan keragaan pertumbuhan dan hasil 3 varietas padi sawah Inpari 16, 22 dan 30 pada dua lokasi Kabupaten Seluma dan Rejang Lebong.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok RAK faktor tunggal yaitu
varietas padi Inpari yang terdiri dari 3 jenis yaitu Inpari 16, 22 dan 30, dengan 6 ulangan. Data yang
dikumpulkan meliputi : a komponen pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan, b komponen hasil panjang malai, gabah isimalai, gabah hampamalai, berat 1000 butir dan hasil produktivitas.
Selanjutnya data di analisis sidik ragam ANOVA dan diuji lanjut dengan DMRT untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan .
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan penerapan inovasi teknologi pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu PTT yang terdiri atas komponen varietas padi Inpari 16, 22 dan 30 dengan kelas
benih BP Benih Pokok, jumlah benih 25 kgha, dengan petak persemaian 120 luas penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda 21 hari setelah semai hss dengan sistem tanam
legowo 2:1 jarak tanam 20 x 10 x 40 cm dan pupuk Kabupaten Seluma : NPK Phonska 225 kgha dan Urea 175 kgha dan Kabupaten Rejang Lebong : NPK Phonska 200 kgha dan Urea 150 kgha,
rekomendasi pemupukan menggunakan Kalender Tanam KATAM Terpadu Kabupaten Seluma dan Rejang Lebong MK 20152016 . Frekuensi pemupukan 3 kali. Masing-masing waktu pemupukan: I =
7 hari setelah tanam hst, II = 22 hst dan III = 35 hst, pengendalian gulma secara manual,
271
pengendalian hama dan penyakit dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu PHT serta panen dan gabah segera dirontok menggunakan power threaser.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Lokasi Penelitian a. Kabupaten Seluma
Kelurahan Lubuk Kebur adalah bagian dari administrasi Kecamatan Seluma Kota Kabupaten Seluma, merupakan salah satu sentra padi di Kabupaten Seluma yang ketinggian tempat dari
permukaan laut lebih kurang 10 meter dengan jenis tanah regosol. Suhu udara rata-rata 26,24
o
C. Dengan jumlah curah hujan rata-rata 7,2 mm, dengan jumlah hari hari hujan sepanjang tahun 12
haribulan Kabupaten Seluma dalam angka, 2014. b. Kabupaten Rejang Lebong
Desa Tanjung Beringin adalah bagian administrasi Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong, Desa Tanjung Beringin merupakan salah satu sentra padi di Kecamatan Curup Timur.
Kemiringan tanah 5-30 dengan ketinggian tempat dari permukaan laut lebih kurang 600 m dengan jenis tanah andosol 90 dan Latosol 10. Suhu udara rata-rata maksimal 22,7
o
C. Rata-rata kelembaban 40
– 80. Dengan jumlah curah hujan rata-rata 2,410 mmtahun, dengan jumlah hari hari hujan 156 haritahun, dengan intensitas penyinaran matahari rata-rata 5-8 jamhari Kecamatan Curup
Timur, 2014. 2. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil
a. Pertumbuhan Tanaman
Hasil pengukuran terhadap parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ketiga varietas yang diujikan di dua agroekosistem yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman cm dan jumlah anakan produktif anakan masing-masing perlakuan.
Perlakuan Tinggi Tanaman cm
Jumlah Anakan Anakan Rejang Lebong
Seluma Rejang Lebong
Seluma Inpari 16
108.23
b
112.27
ab
10.22
ab
14.10
a
Inpari 22 124.77
a
117.53
a
9.56
b
113.38
a
Inpari 30 122.04
ab
114.4
ab
11.79
a
12.67
ab
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman antara 3 varietas yang ditanam di kabupaten
rejang lebong varietas Inpari 22 tidak menunjukan perbedaan yang signifikan, namun menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap varietas Inpari 16 terhadap parameter tinggi tanaman, sedangkan pada
parameter jumlah anakan varietas inpari 30 tidak berbeda nyata dengan inpari 16 namun berbeda nyata dengan inpari 22. Pada kabupaten seluma ketiga varietas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan merupakan ekspresi faktor genetis. Menurut Suprihatno, dkk 2011 bahwa tinggi tanaman VUB Inpari
berkisar antara 100-120 cm.
Pertumbuhan merupakan proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran, pertambahan bobot, volume dan diameter batang dari waktu ke waktu. Keberhasilan
pertumbuhan suatu tanaman dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan. Pendapat ini sejalan dengan
pendapat Suprapto dan Dradjat 2005 yang menyatakan bahwa pada tanaman padi, tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum
menjamin tingginya tingkat produksi. Dari Tabel 1 terlihat bahwa ketiga varietas mempunyai prilaku dan kemampuan yang sama
terhadap pemanfaatan sarana tumbuh. D ua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu
tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan sifatperilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan
dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal
272
memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.
Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai sebagai tempat kedudukan bijibulir padi. Varietas unggul baru biasanya mempunyai 20-25 anakan, namun kebanyakan hanya 14-
15 anakan yang malainya dapat dipanen dengan jumlah gabah per malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan
utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya
Jumlah anakan produktif per rumpun atau per satuan luas merupakan penentu terhadap jumlah malai yang merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi
rendahnya hasil gabah Simanulang, 2001. Semakin banyak anakan produktif maka semakin banyak jumlah malai yang terbentuk. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan hasil karena semakin
banyak jumlah malai semakin tinggi juga hasil tanaman padi, sama halnya dengan hasil penelitian
Muliadi dan Pratama 2008 yang menunjukkan bahwa jumlah malai berkorelasi positif nyata terhadap hasil tanaman.
Jumlah anakan padi juga berkaitan dengan periode pembentukan phyllochron. Phyllochron adalah periode muncul satu sel batang, daun dan akar yang muncul dari dasar tanaman dan
perkecambahan selanjutnya. Semakin tua bibit dipindah ke lapang, semakin sedikit jumlah phyllochron yang dihasilkan, sedangkan semakin muda bibit dipindahkan, semakin banyak jumlah phyllochron
yang dihasilkan sehingga anakan yang dapat dihasilkan juga semakin banyak Sunadi, 2008.
Menurut Suprihatno 2007, padi varietas unggul dengan anakan banyak ditanam petani di dataran rendah dan menengah 0-500 m dpl. Padi unggul dengan anakan banyak umumnya memiliki
tipe tanaman pendek. Sebagai contoh, varietas Cisadane memperlihatkan tingkat keparahan hawar pelepah yang lebih rendah dibandingkan dengan Ciherang Nuryanto 2011, karena merupakan
varietas padi tipe tanaman tinggi 105 cm dengan jumlah anakan sedikit.
MenurutHardjowigeno danRayes 2005,fasemasapertumbuhan anakan tanamanpadirata- ratamencapaiumur30-40 hst, setelah fase tersebut pertumbuhan anakan akan terhenti dan
masuk pada periodepemanjangan batang. b.
Komponen Hasil dan Hasil Hasil pengukuran terhadap jumlah gabah hampa, jumlah gabah hampa dan jumlah gabah total
permalai ketiga varietas yang diujikan di dua agroekosistem yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2 berikut
Tabel 2. Rata-rata pengukuran gabah hampa butir, gabah isi butir, dan jumlah gabah butir masing-masing perlakuan.
Perlakuan Gabah Hampa butir
Gabah Bernas butir Jumlah Gabah Butir
Rejang Lebong Seluma
Rejang Lebong
Seluma Rejang
Lebong Seluma
Inpari 16 22.3
b
17,62
bc
59,2
b
78,76
b
81.5
ab
89,82
b
Inpari 22 16.24
ab
16,18
b
70,63
a
81,63
ab
86,87
a
104,94
ab
Inpari 30 14.36
a
9,92
a
67,02
ab
97,42
a
81,34
ab
117,72
a
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji Duncan taraf 5
Pada Tabel 2. menunjukkan bahwa ketiga varietas inpari 16, 22 dan 30 yang diujikan di kabupaten Rejang Lebong jumlah gabah tertinggi varietas inpari 16 yaitu rata-tara 81,5 butirmalai
sedangkan di kabupaten Seluma inpari 30 yaitu 117,72 butirmalai. Sedangkan jumlah gabah terendah sebaliknya inpari 16 terendah di kabupaten Seluma yaitu 89,82 butirmalai, untuk kabupaten Rejang
Lebong inpari 30 yaitu 71 butirmalai.
Rendahnya jumlah gabah varietas inpari 30 di kabupaten rejang lebong dikarenakan persentase jumlah gabah hampanya tinggi yaitu 20,23 dibandingkan yang ditanam di kabupaten
seluma persentase jumlah gabah hampa lebih sedikit yaitu 8,43 . Jumlah gabah bernas per malai menentukan produktifitas akhir tanaman padi, gabah pada
satu malai dipilah antara yang hampa dan yang tidak kemudian dihitung untuk menentukan berapa banyak gabah yang penuh terisi. Jumlah gabah isi per malai akan menentukan produktifitas tanaman
273
tersebut apabila malai yang terbentuk banyak menghasilkan padi yang bernas, maka produktifitas tanaman padi tinggi. Jumlah gabah ditentukan oleh banyaknya jumlah anakan produktif dan umur
berbunga lebih awal, dimana penyerbukan akan berhasil dan menghasilkan banyak padi yang bernas. Tingkat kebernasan gabah juga ditentukan oleh faktor lingkungan seperti suhu disekitar
tanaman terutama pada fase pembungaan. Suhu dilokasi pengkajian masih dalam klasifikasi normal. Berdasarkan hasil pengukuran suhu di Kabupaten Seluma 26,24
o
C dan di Kabupaten Rejang Lebong 22,7
o
C . kondisi ini menunjukkan Suhu yang normal untuk pertumbuhan padi. Suhu dikatakan tidak normal atau suhu tinggi ekstrim apabila suhu sudah diatas 35
o
C. Suhu diatas 35
o
C ini akan mengganggu proses pembungaan. Menurut Osada et al. 1973, bahwa ekspose tanaman terhadap
suhu tinggi ekstrim pada stadia pembungaan dalam beberapa jam mengurangi viabilitas tepungsari, dan menyebabkan kehilangan hasil. Sterilitas gabah naik cepat pada suhu lebih dari 35
o
C. Selain itu juga jumlah gabah juga dipengaruhi oleh panjang malai, dimana nanti akan
berpengaruh terhadap produktivitas. Adapun hasil pengukuran panjang malai, berat 1000 butir dan produktivitas tertera pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Rata-ratahasil pengukuran panjang malai cm, berat 1000 butir g dan produktivitas tha
masing-masing perlakuan.
Perlakuan Panjang Malai cm
B-1000 Butir gr Produktivita tha
Rejang Lebong Seluma
Rejang Lebong
Seluma Rejang
Lebong Seluma
Inpari 16 39.5
b
44,24
b
20.91
b
26,43
b
5.2
b
6,28
b
Inpari 22 28.72
c
48,60
a
22.34
b
29,14
a
5.57
b
7,33
a
Inpari 30 43.19
a
41,39
c
28,08
a
28,18
ab
6.44
a
7,00
ab
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 5
Pada tabel 3. menunjukkan bahwa pada parameter rata-rata panjang malai ketiga varietas yang diuji di kabupaten rejang lebong varietas inpari 30 berbeda nyata degan inpari 16 dan inpari 22.
Sedangkan yang ditanam diseluma varietas inpari 22 juga menunjukan perbedaan yang nyata dengan varietas inpari 16 dan inpari 30. Rata-rata panjang malai varietas inpari 30 yang ditanam di kabupaten
Rejang Lebong merupakan panjang malai terpanjang, sedangkan jika ditanam di kabupaten Seluma panjang malai yang terbentuk lebih pendek. Untuk di kabupaten Seluma varietas inpari 22 panjang
malai terpanjang.
Pada parameter berat 1000 butir dan produktivitas hasil ketiga varietas yang ditanam di kabupaten rejang lebong varietas inpari 30 menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas inpari
16 dan inpari 22. Sedangkan yang ditanam di kabupaten seluma varietas inpari 22 tidak berbeda nyata dengan varietas inpari 30, namun berbeda nyata dengan varietas inpari 16 baik itu berat 100 butir
maupun produktivitas.
Ada dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan sifatperilaku tanaman itu
sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal memanfaatkan sarana
tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.
Rafaralahly 2002 menyatakan bahwa berat 1.000 biji gabah biasanya merupakan ciri yang stabil dari suatu varietas, besarnya butir juga ditentukan oleh ukuran kulit yang terdiri dari lemma dan
pallea, berat 1.000 biji gabah bernas ditentukan oleh ukuran butir, namun ukuran butir itu sendiri sudah ditentukan selama malai keluar, sehingga perkembangan karyopsis dalam mengisi butir sesuai
dengan ukuran butir yang telah ditentukan dan bobot 1.000 biji gabah bernas juga menggambarkan kualitas dan ukuran biji tergantung pada hasil asimilat yang bisa disimpan.
Sejalan dengan hal tersebut Bilman 2008, menegaskan bahwa bobot 1000 biji merupakan cerminan berat kering yang diakumulasikan ke gabah. Selain itu, berat 1000 biji juga mencerminkan
ukuran gabah padi yang tergantung pada ukuran kulitnya lemma dan pallea.
274
3. Perbandingan Hasil Pengujian dengan Deskripsi Varietas Perbandingan antara produktivitas hasil penelitian dengan deskripsi varietas padi Inpari 16,
22, 30 yang diintroduksi adalah sebagai berikut : Tabel 4. Perbandingan hasil pengujian dengan deskripsi varietas yang di introduksi oleh Balai
Besar Penelitian Padi
Uraian Produktivitas tha GKG
Pengujian Deskripsi
Rejang Lebong Seluma
Rata-rata hasil Potensi Hasil
Inpari 16 5.2
6.28 6,3
7,6 Inpari 22
5.57 7.33
5,8 7,9
Inpari 30 6.44
7 7,2
9,6 Data primer diolah 2015
Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi Jamil., dkk. 2015
Tabel 4 menunjukkan bahwa ketiga varietas yang ujikan inpari 16, 22 dan 30 yang dihasilkan di kabupaten rejang lebong masih dibawah rata-rata hasil di deskripsi varietas, sedangkan di kabupaten
Seluma sudah diatas rata-rata hasil deskripsi varietas. Ketiga varietas inpari 16, 22 dan 30 dalam deskripsi varietas memiliki potensi hasil hingga mencapai 7,6 tha, 7,9 th dan 9,6 tha.
Berdasarkan hasil produktivitas tersebut diatas masih ada peluang untuk meningkatkan produktivitas keempat varietas yang dikaji jika teknologi yang digunakan tepat guna. Tinggi dan
rendahnya produktivitas tergantung dengan teknologi yang diterapkan dan kesesuaian iklim di lahan setempat. Semakin baik teknologi yang diterapkan dengan kondisi iklim yang mendukung,
produktivitas yang dicapai akan lebih baik. Menurut Ikhwani, dkk 2013 bahwa cara tanam jajar legowo berpeluang menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam tegel melalui
populasi yang lebih banyak, varietas yang lebih adaptif pada kondisi pertanaman rapat, yang ditunjukkan oleh dengan rendahnya penurunan hasil akibat ditanam rapat dibandingkan cara tanam
biasategel.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa varietas yang adaptif di kabupaten rejang lebong varietas inpari 30 dengan rata-rata produktivitas 6,72 tha, sedangkan yang ditanam di kabupaten
seluma varietas yang adatif yaitu varietas inpari 22 dengan rata-rata produktivitas 7,33 tha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :Dr. Wahyu Wibawa, MP, yang telah memberi masukan dan saran pada penulisan makalah ini hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah Oryza Sativa. L. Varietas Inpari 13. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Produksi Tanaman Vol. 12. BadanLitbangPertanian.2007.Pengelolaan tanaman terpadu PTT padi sawah irigasi.
Jakarta:BadanLitbangPertanian,Departemen Pertanian. 25 hlm. BadanLitbangPertanian.2015. Deskripsi varietas unggul baru padi sawah. Kementerian
Pertanian. BPS Provinsi Bengkulu. 2015. Bengkulu dalam angka. Provinsi Bengkulu.
Hardjowigeno,H.SdanRayes,M.L,2005. Tanah sawah karakteristik, kondisi, dan permasalahantanah sawahdiIndonesia. Penerbit Bayumedia Publishing. Jatim. 208 hal.
Ikhwani, GR. Pratiwi, E. Paturrohman dan A.K. Makarim. 2013. Peningkatan produktivitas padi melalui penerapan jarak tanam jajar legowo. Iptek Tanaman Pangan Vol. 8 2 : 72-79 p.
Hermawati,T.2009.KeragamanPadiVarietas indragiri
padaperbedaan umurbibit
dengan metodeSRISystemOfRiceIntensification.Percikan:Vol. 99EdisiApril2009.
275
Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980. Paper on International Crop
Science Congress. p. 1-24. Jamil. A, Satoto, Priyatna. S, Yuliantoro. B, Agus. G dan Suharna. 2015. Deskripsi varietas unggul
baru padi Inpari, Hipa, Inpago dan Inpara. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi.
Kasim,M.2004.Manajemen penggunaan air : meminimalkan penggunaanair untukmeningkatkan produksipadi sawahmelaluisistim intensifikasi padithesystem ofrice intensification-SRI.
Pidato Pengukuhan SebagaiGuruBesar Tetapdalam Bidang IlmuFisiologi Tumbuhan padaFakultasPertanian UniversitasAndalasPadang.42 hal.
Kecamatan Seluma. 2014. Profil Kelurahan Lubuk Kebur. Kantor Kelurahan Lubuk Kebur. Kabupaten Seluma.
Kecamatan Curup Timur. 2014. Profil Desa Tanjung Beringin. Kantor Desa Tanjung Beringin. Kabupaten Rejang Lebong.
Kustiyanto. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah Penelitian dan Koordinasi pemuliaan Partisipatif Shuttle Breeding dan Uji Multilokasi.
Sukamandi. Makarim, A.K. dan I. Las, 2004. Terobosan peningkatan produktivitas padi sawah irigasi melalui
pengembangan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu PTT. Seminar Kebijakan Padi pada Pekan Padi Nasional II, 15 Juli 2004, Sukamandi.
Manurung, S.O. dan M. Ismunadji. 1989. Morfologi padi. Dalam Padi Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor. Hal. 319
Muliadi A., R. Heru Pratama. 2008. Korelasi antara komponen hasil dan hasil galur harapan padi sawah tahan tungro. Prosd. Seminar Nasional Padi; Inovasi teknologi padi mengantisipasi
perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan 1:165-171. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Nuryanto, B.2011.Varietas,
kompos,dan cara
pengairansebagai komponen
pengendalipenyakithawar upih.
Disertasi. ProgramPascaSarjana,UniversitasGadjahMada.Yoyakarta.
Osada, A., V. Sasiprapa, M. Rahong, S. Dhammanuvong and H. Chakrabandhu. 1973. Abnormal occurrence of empty grains of indica rice plants in the dry hot
season in Thailand. Proc. Crop Sci. Soc. Japan. 42:103-109. Rafaralahy,S,2002.AnNGOPerspective onSRIandItsOrigins in Madagascar.Assessments ofThe
systemof Rice Intensification SRI :Proceeding of an International Conference held in Sanya, China, April 1-4 2002. IthacaNY:Cornell International
InstituteforFood,Agriculture and Development. Rubiyo, Suprapto, dan Aan Drajat. 2005. Evluasi beberapa galur harapan padi sawah di Bali. Buletin
Plasma Nutfah. Vol 11 1 : 6-10 p. Simanulang, Z.A. 2001.Kriteria seleksi untuk sifat agonomis dan mutu. Pelatihan dan Koordinasi
Progam Pemuliaan Partisipatif Shuttle Breeding dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9-14 April 2001. Balitpa. Sukamndi.
Sunadi. 2008. Modifikasi paket teknologi SRI The System or rice intensification untuk meningkatkan hasil padi Oryza sativa. L sawah. . Disertasi Doktor Ilmu Pertanian pada Program
Pascasarjanan Unand. Padang. Suprihatno,B.,A.A.Daradjat,Satoto,
S.E.Baehaki,N.Widiarta,A. Setyono,S.D.Indrasari,O.S.Lesmana,dan
H.Sembiring. 2007.Deskripsi
varietaspadi.BalaiBesarPenelitian Tanaman Padi. Sukamandi80p.
276
PENENTUAN KOMPOSISI BERAS ANALOG DARI TEPUNG LOKAL MENGGUNAKAN PENCETAK EKSTRUDER
DETERMINATION OF ARTIFICIAL RICE COMPOSITION FROM LOCAL FLOUR USING EKSTRUDER
Jonni Firdaus, Andi Dalapati dan Sumarni
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sulawesi Tengah Jl. Lasoso, 62, Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah
e-mail : jonni_firdausyahoo.com
ABSTRAK
Beras merupakan makanan pokok yang kebutuhannya terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan adanya dampak perubahan iklim, konsumsi pangan tidak dapat hanya
bergantung pada satu komoditas saja, melainkan juga harus melirik pada komoditas lain. Oleh karena itu, diversifikasi pangan mutlak dilakukan dengan mengutamakan bahan pangan lokal. Dalam
pencapaian diversifikasi pangan, teknologi pengolahan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi ketersediaan pangan. Beberapa kendala dalam mengkonsumsi bahan lokal sebagai bahan makanan
pokok adalah minimnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok, merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi, dan adanya anggapan belum
makan jika belum mengkonsumsi nasi. Oleh karena itu perlu dikembangkan alternatif pangan menyerupai beras yang disebut beras buatan. Penelitian ini bertujuan untuk menetukan komposisi
bahan yang tepat agar terbentuk beras analog menggunakan ekstruder. Penelitian dilakukan di workshop pasca panen BPTP Sulawesi Tengah pada Juli-November 2015. Bahan yang digunakan
adalah tepung mocaf, tepung Jagung Merah Sigi, tepung tapioka dan sagu. Mesin yang digunakan adalah pembentuk beras analog tipe ekstruder. Penentuan komposisi tepung terbaik dilakukan dengan
trial and error
dengan kriteria tidak melengket, terbentuk butiran berbentuk silinder, tidak hancur saat pencucian dan pemasakan, dan terbentuk butiran nasi setelah dikukus. Uji organoleptik beras analog
terbaik dilakukan terhadap 28 panelis yang telah terbiasa mengkonsumsi jagung dan ubi kayu sebagai pengganti makan pokok dengan cara skoring. Dari hasil penelitian diperoleh komposisi terbaik yaitu
28,5 tepung mocaf, 66,5 tepung jagung, 5 pati sagu. Pada proses pencampuran ditambahkan 50 air dan pengemulsi sp 2 dari berat campuran. Sebelum dibentuk dilakukan preglatinasi dengan
cara disangrai 5-10 menit. Hasil uji organoleptik menunjukan bahwa tingkatan kesukaan panelis dari segi rasa adalah suka skor 1,321, suka skor 1,333 untuk warna, suka skor 1,444 untuk tekstur
dancukup suka skor 1,885 untuk aroma. Kata kunci :
Berasanalog, ekstruder, tepung lokal, diversifikasi
ABSTRACT
Rice is the staple food that the needs increase along with population growth. Because of the climate change effects, food consumption not only depends on one commodity, but also must look for an
alternative commodities. Therefore, it is absolutely necessary diversification, with emphasis on local food. In achieving diversification, processing technology is one of the things that affect food
availability. Some of the obstacles in consuming local food as a staple food are the psychological condition of people who do not want to replace the staple food, bored to the consumption of tubers
which does not vary, and the assumption that has not eaten if not eat rice. Therefore, it is necessary to develop alternative food resembling rice called artificial rice. This study aimed to determine the
formulation of artificial rice using an extruder. This research was conducted in post-harvest workshop BPTP Central Sulawesi in July to November 2015. In this study, the materials used was mocaf flour,
flour of Sigi Red Corn, tapioca and sago and to form artificial rice was used an extruder. Determining the best flour composition was done by trial and error with the following criteria ai. not sticking, to
form cylindrical granules, not destroyed when washing and cooking, and formed rice granules after steaming. Organoleptic test of artificial rice was done using scoring method.The results showed that
the best composition of artificial rice was 28.5 mocaf flour, 66.5 corn starch, 5 sago starch with added 50 water and 2 emulsifier from the total weight of the mixture. Prior to making of artificial
rice, preglatination was done for 5-10 minutes. The results of the organoleptic test showed that the panelists liked the taste 1,321, color 1,333 and texture 1,444 of the artificial rice, but less like the
smell 1,885.
Keywords: Artificial rice , extruder, local flour, diversification
277
PENDAHULUAN
Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap beras semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap sektor pertanian terutama pada sub sektor tanaman pangan. Pengaruh dampak perubahan iklim salah satunya ditandai dengan perubahan cuaca
yang tidak menentu dan pergeseran musim hujan sehingga terjadi musim kering yang berkepanjangan yang berpengaruh pola dan waktu tanam Hosang, et al. 2012. Dalam kondisi ini konsumsi pangan
tidak dapat bergantung hanya pada satu komoditas saja, melainkan juga harus melirik pada komoditas lain oleh karena itu diversifikasi pangan mutlak dilakukan.
Diversifikasi pangan yakni peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang yang berbasis pada potensi sumber daya lokal UU Pangan No. 182012.
Salah satu yang perlu diperhatikan dalam upaya pencapaian diversifikasi pangan adalah ketersediaan teknologi pengolahan sehingga bahan pangan lokal dapat dinikmati dalam berbagai macam produk
olahan.
Ketergantungan terhadap beras menjadi masalah jika tingkat konsumsi beras yang tinggi namun tidak diimbangi dengan peningkatan produksi padi. Meskipun masyarakat di beberapa daerah
di Indonesia masih ada yang mengkonsumsi pangan non beras, namun makanan pokok pengganti beras masih didominasi dari bahan terigu yang saat ini ketersediaanya tergantung pasokan impor.
Padahal produk bahan lokal penghasil tepung dan pati sangat beragam jenisnya dan kandungan gizi tidak kalah dengan beras, diantaranya ubi kayu, sagu, dan jagung yang dapat dijadikan sebagai
pengganti beras berbasis lokal.
Beberapa kendala dalam mengkonsumsi bahan pangan lokal non beras sebagai bahan makanan pokok diantaranya kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, secara psikologis masyarakat
belum siap untuk mengganti makanan pokok, adanya anggapan bahwa belum makan jika belum mengkonsumsi nasi dan kurangnyaalternatif ketersediaan produk pangan. Masyarakat merasa bosan
dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras.Oleh karena ituperlu dikembangkan alternatif pangan menyerupai
beras namun tidak murni terbuat dari beras. Gultom, et al., 2014
Karbohidrat merupakan salah satu unsur utama yang harus dipenuhi untuk kecukupan gizi per hari. Pemanfaatan bahan pangan sumber karbohidrat non beras pada umumnya masih sebagai pangan
selingan. Bahan pangan sumber karbohidrat non beras dapat diolah menjadi tepung, yang dapat digunakan dalam pembuatan aneka pangan. Tepung tersebut dapat diolah menjadi aneka olahan
pangan seperti mie, kue, biscuit, dan es krim Suarni, 2001; Djaafar dkk. 2007; Richana dkk. 2008. Selain itu tepung dapa juga dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan beras tiruan beras analog yang
dapat digunakan pengganti beras Gultom, 2014.
Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan artificial rice. Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan
bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal atau padi Samad 2003; Deptan 2011 sementara itu Yuwono dan Arrida 2008 menyebutkan bahwa beras analog adalah
beras tiruan yang terbuat dari bahan baku selain beras dan terigu.
Pencetakan beras analog dapat digunakan melalui proses ekstrusi menggunakan alat yang disebut ekstruder. Prinsip proses ekstrusi adalah mengalirkan bahan secara paksa melalui suatu tabung
dengan variasi kondisi proses pencampuran, pemanasan, pengaliran dan melewatkan bahan pada plat pecetak yang didisain untuk membentukmengembangkan hasil ekstrusi. Penggunaan teknologi
ekstrusi dalam pembuatan beras analog memiliki kelebihan seperti kapasitas besar, terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan, pemanasan dan pembentukan Budi, et al. 2013.
Jenis bahan penyusun beras analog dan komposisi campuran bahan berpengaruh terhadap keberhasilan pembentukan beras analog sehingga perlu diketahui komposisi yang tepat agar tercipta
bentukan seperti beras. Penelitian ini bertujuan untuk menetukan komposisi bahan yang tepat agar terbentuk beras analog menggunakan ekstruder.
278
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di workshop pasca panen BPTP Sulawesi Tengah pada Juli-November 2015. Bahan yang digunakan adalah tepung dari bahan pangan lokal berupa tepung mocaf, tepung
Jagung Merah Sigi, tepung tapioka dan sagu. Alat yang digunakan adalah alat pencetak beras analog tipe ekstruder, kompor, wajan dan oven pengering.
Penentuan komposisi tepung dilakukan dengan metode trial and error. Penentuan komposisi terbaik dilakukan secara visual terhadap hasil beras analog yang terbentuk dengan kriteria tidak
melengket, terbentuk butiran beras dengan bentuk silinder, tidak hancur saat dilakukan persiapan pemasakan, dan terbentuk butiran nasi setelah dikukus.
Pada percobaan pertama, perbandingan komposisi bahan baku dalam porsi yang sama yaitu masing-masing 25. Selanjutnya penentuan komposisi pada percobaan berikutnya berdasarkan
pengamatan beras analog hasil percobaan sebelumnya. Demikian seterusnya hingga diperoleh beras analaog sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Setelah diperoleh beras analog dengan komposisi terbaik, selanjutnya dilakukan uji proksimat dan uji organoleptik. Parameter uji organoleptik berupa rasa, warna, tekstur dan aroma. Uji
organoleptik dilakukan terhadap 28 orang panelis yang telah terbiasa mengonsumsi jagung dan ubi sebagai pengganti makanan pokok dengan cara skoring. Nilai skor terdiri dari tiga tingkatan kesukaan
yaitu : 1= suka, 2= cukup suka, dan 3= tidak suka. Penilaian tingkat kesukaan panelis dilakukan berdasarkan kecendrungan nilai rata-rata skor melalui pembulatan. Uji organoleptik dilakukan di Desa
Labuan Kanggoma dan Desa Lumbu Mamara, Kabupaten Donggala.
Penelitian dimulai dengan pembuatan tepung mocaf dan tepung jagung sedangkan tepung tapioka dan pati sagu produk yang sudah ada di pasar. Pembuatan beras analog dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 1 Bagan alur pembuatan tepung mocaf dan tepung jagung
Pencucian Pengupasan
n
Perajangan dengan ketebalan 1-2 mm
Perendaman dengan Bimo-CF 1grKg
bhnliter air Selama 12 jam
Penjemuran Penepungan
Pengayakan 100 mesh
Tepung Ubi kayu termodivikasi
Mocaf
Ubi kayu
Penggilingan menjadi beras
jagung Perendaman dengan
Ragi 1grKg bhnliter air
Selama 2 hari Penjemuran
Penepungan
Pengayakan 100 mesh
Tepung Jagung Jagung Pipil Kering
279
Gambar 2 Bagan alur pembuatan beras analog Gambar 3Alat Pencetak beras analog tipe ekstruder
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan komposisi beras analog menggunakan ekstruder
Penbuatan beras analog dilakukan dengan cara trial and error. Pada percobaan ke 17 diperoleh beras analog yang diinginkan. Hasil pembuatan beras analog dengan berbagai komposisi
tepung bahan pangan lokal dapat dilihat pada Tabel 1 dan tampilan beras analog dengan komposisi terbaik terlihat pada Gambar 4.
Tabel 1. Percobaan penentuan komposisi beras analog
Run Komposis Bahan
Pra glatinasi Penampakan visual hasil beras
analog Mocaf
Jagung Tapioka
Sagu Air
1 25
25 25
25 70
2 25
25 28
22 70
X tidak terbentuk
3 25
25 28
22 70
X tidak terbentuk
4 26
23 28
23 70
X terbentuk, namun setelah
kering direndam hancur 5
60 -
20 20
50 √
hasil melengket dan menyatu 6
90 -
5 5
60 X
terbentuk, namun setelah kering direndam hancur
7 80
- 10
10 50
X jadi, namun setelah kering
direndam hancur 8
80 -
10 10
50 √
hasil melengket dan menyatu 9
100 -
- -
50 √
hasil melengket dan menyatu 10
60 40
- -
50 √
terbentuk,direndam tidak hancur, dimasak masih
melengket, bentuk nasi terbentuk tapi masih
memnyatu, seperti bubur
11 40
60 -
- 50
√ terbentuk, namun hasil
masakan nasi masih melengket
Formulasi beras analog dari kombinasi tepung bahan pangan
lokal Pencampuran dan pengadukan
Serta penambahan air Pra gelatinsai dengan cara
digongseng selama 5-10 menit
Pencetakan menggunakan ekstruder
Pengeringan Beras analog
Cara Masak : Direndam dalam air 2-3
menit,
280
Run Komposis Bahan
Pra glatinasi Penampakan visual hasil beras
analog Mocaf
Jagung Tapioka
Sagu Air
dan menyatu seperti bubur 12
38 57
- 5
50 √
terbentuk, sedikit melengket 13
30 40
- 30
58 √
Melengket dan menggabung 14
29 68
- 2
49 √
Melengket dan menggabung 15
27 63
- 10
50 √
awal terbentuk namun diakhir lengket, kondisi alat masih
basah 16
27 63
- 10
50 √
awal terbentuk namun diakhir lengket
17 28,5
66,5 -
5 50
√ Terbentuk, hasil cetakan tidak
lengket, penembahan 2 sp, dikukus, nasi jadi.
komposisi air terhadap total adonan; Praglatinasi : x tidak ; √ iya: disangrai 5-10 menit.
Sumber : Data Primer 2015
Beras analog Nasi beras analog
Gambar 4. Penampilan beras analog dan nasinya dengan komposisi terbaik
Dari beberapa percobaan diperoleh bahwa komposisi terbaik untuk pembuatan beras analog adalah 28,5 tepung mocaf, 66,5 tepung jagung, dan 5 pati sagu. Dengan komposisi tersebut
beras analog yang dihasilkan dapat terbentuk, tidak melengket dan tidak rapuh . Bentuknya berupa silinder dengan rata-rata diameter 1,87 mm dan rata-rata panjang 5,50 mm. Beras analog yang yang
dihasilkan bentuknya belum seperti beras. Walaupun demikian setelah dilakukan pemasakan dengan cara dikukus, bentuk nasi yang diperoleh mirip dengan nasi yang berasal dari beras menir.
Pada proses pembuatan beras analog ditambahkan air. Penambahan air dilakukan sebanyak 50 dari berat total campuran bahan. Air merupakan faktor penting dalam pembentukkan beras
analog karena air berperan dalam proses gelatinisasi Widara, 2012. Selain itu air juga berfungsi untuk menurunkan viskositas dan energi mekanik, menghasilkan produk yang lebih padat dan
menghambat timbulnya gelembung Budi et al., 2013.
Pada pembuatan beras analog ditambahkan bahan pengikat. Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk mempertahankan bentuk beras analog Budi et al, 2013 sehingga tidak rapuh. Jenis
bahan pengikat yang digunakan adalah pengemulsi SP sebanyak 2 dari berat total adonan. Pemberian pengemulsi SP dilarutkan dalam air saat pencampuran adonan.
Sebelum dilakukan proses pencetakan terlebih dahulu dilakukan proses praglatinasi. Praglatinasi bertujuan untuk memecah struktur pati sehingga adonan dapat saling mengikat pada
kandungan air yang sesuai. Proses praglatinasi dilakukan dengan cara menyangrai adonan selama 5-10 menit.
Untuk mendapatkan nasi dari beras analog dilakukan pemasakan dengan cara dikukus hingga matang. Sebelum dilakukan pengukusan, beras analog direndam dengan air selama lebih kurang 5
menit dengan tujuan untuk membasahi beras. Proses perendaman ini juga bertujuan untuk mencuci beras analog, hanya saja dalam perendaman ini tidak dilakukan pengadukan seperti pada pencucian
281
beras padi. Pengadukan pada proses perendaman beras analog dapat menyebabkan beras menjadi hancur.
Kandungan gizi beras analog
Untuk melihat kandungan gizi beras analog maka dilakukan uji proksimat. Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan karbohidrat merupakan kandungan zat gizi terbesar yaitu 82,49. Nilai ini
lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan karbohidrat dari beras Varietas Mekongga 80,27. Tabel 2 Perbandingan kandungan gizi beras analog dengan beras padi
Parameter Pengamatan Beras analog
Beras Mekongga Karbohidrat
82,49 80,27
Protein 5,62
10,11 Lemak
0,73 0,43
Abu 1,23
0,20 Air
9,93 8,14
Energi Kkal100g 359,01
365,39 Sumber : Data Primer 2015, Purwani et al. 2007
Sementara itu nilai kandungan protein beras analog lebih rendah dibandingkan dengan beras Varietas Mekongga. Hal ini disebabkan karena bahan penyusun beras analog merupakan bahan pangan sumber
karbohidarat. Agar kandungan protein beras analog dapat menyerupai beras padi, maka disarankan dalam komposisi beras analog ditambahkan tepung yang berasal dari bahan pangan dengan kandungan
protein tinggi seperti kacang kacangan. Kemudian untuk kandungan lemak, beras analog lebih tinggi bila dibandingkan dengan beras yang berasal dari padi.
Energi yang terkandung dalam beras analog lebih kecil bila dibandingkan dengan beras Varietas Mekongga. Walaupun kandungan karbohidrat beras analog lebih besar dibandingkan dengan
beras Varietas Mekongga, namun kandungan proteinnya jauh lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan energi yang terkandung pada berass analog lebih kecil dari beras Varietas Mekongga
Uji Organoleptik
Untuk melihat tingkat preferensi beras analog maka dilakukan uji organoleptikterhadap 28 panelis yang telah terbiasa mengkonsumsi ubi dan jagung sebagai makanan kedua selain beras. Hasil
uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Uji Organoleptik beras analog
Parameter Rataan Skor
Pembulatan Nilai Skor
Tingkat Kesukaan Rasa
1,321 1
Suka Warna
1,333 1
Suka Tekstur
1,444 1
Suka Aroma
1,885 2
Cukup suka Sumber : Data Primer 2015; 1=suka, 2=cukup suka, 3=tidak suka
Hasil uji organoleptik memperlihatkanbahwa dari segi rasa beras analog yang dihasilkan disukai oleh para panelis dengan skor 1,321, hal ini terjadi karena di masyarakat tempat tinggal panelis
telah terbiasa mengkonsumsi jagung dan ubi kayu sebagai makanan selingan maupun makanan pokok kedua selain beras beras dalam bentuk beras jagung dan ubi rebus. Hasil wawancara 57,1 panelis
mengungkapkan bahwa rasanya enak bahkan sebanyak 7,14 panelis mengungkapkan rasanya sudah seperti nasi beras putih namun agak sedikit kenyal. Rasa kenyal tersebut dimungkinkan timbul karena
penggunaan pengemulsi Sp. Pada pengkajian ini tujuan penggunaan pengemulsi Sp adalah sebagai perekat adonan sebagai pengganti gliserin monosterat yang banyak digunakan pada pembuatan beras
analog.
Demikian juga dari segi warna, panelis menyukai warna beras analog dengan skor 1,333, karena warna beras analog yang dihasilkan kuning menyerupai beras jagung yang biasa mereka
konsumsi. Dari segi tekstur para panelis juga meyukai beras analog dengan skor 1,444, hal ini karena tekstur beras analog terasa lembut dan pulen berbeda dengan nasi jagung yang terasa keras.
282
Dari segi aroma rata rata panelis menilai cukup suka dan ada 10,7 responden menyatakan tidak suka. Hal ini terjadi karena aorma jagung terlalu dominan, terlebih
–lebih pada saat nasi beras analog dalam keadaan panashangat. Namun aroma jagung yang sangat menyengat tersebut akan
berangsur hilang bila nasi beras analog tersebut menjadi dingin. Beberapa panelisresponden menyarankan agar pada beras analog diberi tambahan bumbu-
bumbu penyedap ataupun garam sehingga rasanya menjadi lebih enak. Rodianawati et al .2014 menyebutkan penambahan tepung ikan pada beras analog dapat meningkatkan nilai organoleptik
menjadi lebih disukai demikian juga dengan Wahjuningsih dan Kunarto 2013 menyebutkan bahwa beras analog dengan penambahan tepug kacang-kacangan menghasilkan sifat organoleptik yang sangat
disukai. Beberapa responden juga menyarankan bahwa penyajian beras analog sangat enak bila dikombinasi dengan sayur kelor yang merupakan sayur khas di lokasi penelitian.
KESIMPULAN Kesimpulan
1. Komposisi beras analog terbaik adalah 28,5 tepung mocaf, 66,5 tepung jagung, 5 pati
sagu. Pada proses pencampuran ditambahkan 50 air dan pengemulsi Sp 2 dari berat campuran. Sebelum dibentuk dilakukan preglatinasi dengan cara disangrai 5-10 menit.
2. Beras analog yang dihasilkan berbentuk silinder dan belum menyerupai beras namun
penampakan setelah pemasakan bentuknya menyerupai nasi yang berasal dari beras menir. 3.
Kandungan gizi beras analog hampir mendekati kandungan gizi beras padi kecuali kandungan proteinnya masih lebih rendah.
4. Hasil uji organoleptik menunjukan bahwa tingkatan kesukaan panelis dari segi rasa adalah suka
skor 1,321, suka skor 1,333 untuk warna, suka skor 1,444 untuk tekstur dancukup suka skor 1,885 untuk aroma
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki bentuk beras analog yang masih belum menyerupai beras padi, sehingga secara psikologis dapat lebih meningkatkan minat masyarakat untuk
mengkonsumsi beras analaog
DAFTAR PUSTAKA
Budi, FS., P. Haryadi, S. Budijanto, dan D. Syah, 2013. Teknologi Proses Ekstrusi untuk Beras Analog, Jurnal Pangan, 223:263-274.
[DEPTAN] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum gerakan penganekaragaman konsumsi pangan 2011. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Deptan
Djaafar TF, Gardjito M, Suherman RDM, Dalapati A. 2007. Karakteristik Fisiko-Kimia Dari Dua varietas Ubijalar Ungu Ipomea batas L.. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan
Inovasi Pertanian Lahan Marginal. Sulawesi Tengah: Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.
Gultom, RJ., Sutrisno, S. Budijanto, 2014. Optimasi proses gelatinisasi berdasarkan respon surface methodology pada pencetakan beras analog dengan mesin twin roll, Jurnal Penelitian
Pascapanen Pertanian, 112 2014 : 67 - 79 .Hosang, PR, J. Tatuh, dan Johannes EXR. 2012. Analisis dampak perubahan iklim terhadap
produksi beras Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013 – 2030. Eugenia Volume 18, No. 3 :
255-249. Rodianawati I., H. Rasulu, ERM. Saleh, M. Assagaf, dan Marliani, 2014. Kajian sifat organoleptik
pada beras analog dengan fortifikasi tepung ikan cakalang Katsuwonus pelamis. L. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-33 : Optimalisasi Sumberdaya
Lokal Melalui Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Hal. 814-832
Purwani, EY., S. Yuliani, SD. Indrasari, S. Nugraha dan R. Thahir, 2007. Sifat fisiko kimia beras dan indeks glikemiknya, Jurnal Teknol dan Industri Pangan, Vol. XVIII 1: 59-66.
Richana N, Widaningrum, Widowati S. 2008. Potensi Komoditas Harapan Aneka Umbi Lokal Dalam Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Di dalam: Broto W, Prabawati S.,
penyunting. Teknologi Pengolahan untuk Konsumsi Pangan. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
283
Samad MY. 2003. Pembuatan Beras Tiruan Artificial Rice dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu, Jurnal Saint dan Teknologi ,BPPT VII.IB.0
Suarni dan IGP Sarasutha, 2001. Teknologi Pengolahan Jagung untuk Meningkatkan Nilai Tambah dan Pengembangan Agroindustri. Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi di Sulawesi Tengah. Wahjuningsih, SB. dan B. Kunarto, 2013. Pembuatan tepung mocaf dengan penambahan biang
fermentasi alami untuk beras analog. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, Vol.112:221-230.
Widara, SS., 2012. Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Yuwono, SS dan Arrida AZ, 2015, Formulasi Beras Analog Berbasis Tepung Mocaf dan Maizena dengan Penambahan CMC dan Tepung Ampas Tahu, Jurnal Pangan dan Agroindustri
Vol. 34 : 1465-1472.
284
PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN MENIR DI KABUPATEN SELUMA PROVINSI BENGKULU
IMPROVEMENT OF KNOWLEDGE ABOUT GROATS FARMERS PROCESSING TECHNOLOGY IN THE PROVINCE SELUMA BENGKULU
Wilda Mikasari, Evi Silviyani,dan Engkos Kosmana
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 Telp. 0736 23030
email : evisilviyaniyahoo.com
ABSTRAK
Menir merupakan produk samping dari proses penggilingan beras. Pemanfaatan menir belum dilakukan secara optimal. Sebagai beras patah, menir dianggap memiliki mutu yang rendah. Nilai
tambah menir dapat ditingkatkan melalui teknologi pengolahan menjadi tepung beras dan produk turunannya. Informasi teknologi pengolahan menir di tingkat petani masih terbatas dan tergolong baru.
Penyampaian inovasi teknologi pengolahan menir perlu dilakukan guna meningkatkan pengetahuan petani terhadap pemanfaatan hasil samping padi. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui
perubahan pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2016 dengan melibatkan Kelompok Wanita Tani KWT dan kelompok pengolah
hasil pertanian di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Pre test dan post test design adalah wawancara terstruktur dengan daftar pertanyaan
kuesioner. Metode penyuluhan yang digunakan adalah pelatihan. Data yang diambil berupa data primer yang meliputi karakteristik dan tingkat pengetahuan petani. Analisis data dilakukan secara
deskriptif dan menggunakan interval kelas. Hasil kajian menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan petani dari 3,82 menjadi 7,19 atau sebesar 37,44.
Kata kunci:
menir, pengetahuan, Pengolahan, Petani, teknologi
ABSTRACT
Groats is a by-product of rice milling. Groats utilization is not optimal. As broken rice, brewers are considered to have low-quality. Groats added value can be increased through processing technology
into rice flour and its derivatives. Groats information procession technology at the farm level is still limited and relatively new. Delivery of technological innovation groats processing needs to be done in
order to improve the knowledge offarmers on the use of a by-product of rice. The purpose of the assessment is to assess changesin their knowledge of farmers about groats processing technology.
Assessment conducted in May2016 involving a group of women farmers and processors of agricultural product in village Rimbo Kedui Seluma southern province Bengkulu. Pre-test and post-
test design is structured interview with a list of questions questionnaire. Extension method used is training. Data taken in the form of primary data include characteristic and knowledge level of
farmers. Before and after the data analysis performed descriptively and using class intervals The result of the study showed an increasing farmers knowledge from3,82 to 7,19 or by 37,44
.
Keywords: groats, farmer, Knowledge, Processing, Technology
285
PENDAHULUAN
Komoditas padi memiliki arti strategis dan mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian. Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan dan berperan penting
terhadap pencapaian ketahanan pangan secara nasional. Padi memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto PDB nasional Wibawa, 2010. Menir merupakan salah satu bentuk hasil
samping dari penggilingan padi yang dapat dimanfaatkan dan diolah lebih lanjut menjadi produk olahan pangan baik untuk produk antara seperti tepung maupun produk akhir seperti bihun dan
kerupuk legendar. Dengan proses lebih lanjut diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan sosial ekonomi menir karena selama ini masyarakat beranggapan bahwa menir merupakan beras bermutu
rendah sehingga hanya dikonsumsi oleh masyarakat strata sosial rendah Widowati, 2001.
Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah sentra padi di Provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki lahan sawah seluas 20.150 ha BPS Bengkulu, 2013. Menurut Pendampingan
Program Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Desa P3MD Kabupaten Seluma tahun 2016, jumlah produksi padi pada tahun 2014 adalah mencapai 63.439 ton dengan luas panen 21.545 Ha.
Adanya potensi serta dukungan program yang digalakan pemerintah melalui upaya khusus swasembada beras, diharapkan dapat meningkatkan produksi padi beserta hasil samping penggilingan
padi khususnya menir. Berdasarkan hasil observasi RMU di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan, diperoleh informasi bahwa dalam penggilingan padi mampu menghasilkan produk
samping berupa dedak sebesar 15 dan menir sebesar 0,1. Jika gabah yang diproses mencapai 1.975 tonth maka diperkirakan dedak dan menir yang dihasilkan sebanyak 296,25 tonth dan 2,0 tonth.
Dedak saat ini sudah dimanfaatkan sebagai pakan ternak, khususnya sapi sedangkan untuk menir pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal Wibawa, et.all 2015.
Peningkatan pengetahuan petani dapat ditempuh melalui penyuluhan. Hafsah 2009, menyatakan bahwa penyuluhan pertanian harus mampu memberdayakan masyarakat pedesaan yang
dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, agar semakin maju efisien dan tangguh, melalui strategi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian secara terpadu.
Secara konseptual, peranan penyuluh adalah:1 menyebarkan informasi yang bermanfaat, 2 mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai bidangnya, 3 memberikan rekomendasi
yang menguntungkan, 4 mengusahakan berbagai fasilitas usahatani dan menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan Padmanegara dalam Slamet, 1978.
Di Kabupaten Seluma, inovasi teknologi pengolahan menir menjadi tepung beras masih tergolong baru sehingga belum banyak diketahui petani. Untuk itu diperlukan adanya penyampaian
informasi tersebut melalui kegiatan pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu kegiatan penyuluhan untuk memberdayakan masyarakat tani. Susilo 2014, menambahkan bahwa pelatihan merupakan
kegiatan alih pengetahuan dan keterampilan baik berupa teori dan praktek dari fasilitator kepada pesertapenerima melalui pendekatan partisipatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian
mengenai tingkat pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir.
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei tahun 2016 di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi
merupakan salah satu daerah sentra padi di Provinsi Bengkulu. Metode penyuluhan yang digunakan adalah pelatihan dengan peserta Kelompok Wanita Tani KWT dan kelompok pengolah hasil
pertanian sebanyak 21 orang. Pelaksanaan pelatihan dilakukan secara partisipatif dengan metode ceramah, diskusi dan demonstrasi.Untuk menunjang kegiatan ini digunakan media berupa bahan
informasi tercetak dalam bentuk folder.
Metode kajian yang digunakan adalah pre test dan pos testdesign dengan teknik wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan kuesioner. Pengetahuan petani tentang teknologi
pengolahan menir diukur dari 10 indikator yang meliputi: 1. definisi menir, 2. manfaat menir, 3. peningkatan nilai tambah menir menjadi tepung beras dan produk turunannya, 4. kandungan tepung
menir dengan tepung dari beras utuh, 5. bahan-bahan dalam pembuatan tepung beras menir, 6. tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras, 7. lama perendaman dalam pembuatan tepung beras
menir, 8. tahapan pembuatan keripik pegagan, 9. tahapan pembuatan keripik pare, serta 10. tahapan pembuatan kue lapis.
Data primer yang diambil meliputi: karakteristik petani dan pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir baik sebelum pelaksanaan pelatihan pre test dan sesudah pelaksanaan
286
pelatihan pos test. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan menggunakan interval kelas. Menurut Rentha, 2007, penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator
adalah: NR = NST
– NSR dan PI = NR : JIK
Keterangan: NR
: Nilai Range PI
: Panjang Interval NST
: Nilai Skor Tertinggi JIK
: Jumlah Interval Kelas NSR
: Nilai Skor Terendah
Secara rinci nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator
No Nilai interval kelas
Kriteria nilai 1
0,00 x 0,20 Sangat rendah
2 0,20 x 0,40
Rendah 3
0,40 x 0,60 Cukup
4 0,60 x 0,80
Tinggi 5
0,80 x 1,00 Sangat Tinggi
Sumber: Data primer terolah 2016
Menurut Padmowihardjo 1999, untuk mengetahui tingkat perubahan pengetahuan digunakan indikator penilaian dengan rumus :
N = Nilai pos test – Nilai pre test x 100
Nilai Maksimal Indikator keberhasilan penyuluhan tersebut terdiri dari 4 kategori, yaitu: 1 25 = Kurang berhasil,
2 26 – 50 = Cukup berhasil, 3 51 – 75 = Berhasil, serta 76 = Sangat berhasil.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani
Karakteristik petani adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang petani yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan terhadap lingkungannya Mislini, 2006.
Karakteristik petani yang diamati meliputi : umur, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga.Berdasarkan umurnya, mayoritas petani berumur 36
– 45 tahun atau sebesar 52,38. Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi empat kelompok yaitu Sekolah Dasar SD, Sekolah Menengah
Pertama SMP, Sekolah Menengah Atas SMA, dan Sarjana SI dengan tingkat pendidikan mayoritas adalah SMP yaitu sebesar 38,10. Pengelompokan responden berdasarkan jumlah
tanggungan keluarga dibagi menjadi 3 kelompok. Mayoritas petani memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 3
–4 orang atau sebesar 47,62.Secara rinci karakteristik petaniterhadap teknologi pengolahan menir di Kecamatan Seluma Selatan disajikan pada Tabel 2.
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa usia petani tergolong produktif. Menurut Tjiptoherijanto 2001,struktur umum penduduk dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1 kelompok umur muda
dibawah 15 tahun, 2 kelompok umur produktif 1 5 − 64 tahun dan3 kelompok umur tidak
produktif diatas 65 tahun. kemajuan fisik dan berpikir seseorang secara alamiah akan dipengaruhi oleh umur. Umur juga menggambarkan pengalaman seseorang dalam menjalankan kehidupannya,
sehingga akan berdampak pada pengetahuan dan keterampilan yang didapat. Umur muda bisanya memiliki semangat ingin tahu lebih tinggi, sedangkan yang semakin tua akan lebih lambat dalam
menerima hal-hal baru dan cenderung mengikuti kebiasaan Mardikanto, 1993. Mappiare 1983menambahkan bahwa ada kecenderungan bagi seseorang yang berusia 35 tahun ke atas untuk
lebih memantapkan dirinya dalam bekerja, berkenaan dengan semakin tingginya biaya hidup yang dikeluarkan.
287
Tabel 2. Karakteristik petani responden di Kecamatan Seluma Selatan
No. Karakteristik Petani
Kelompok Jumlah orang
1. Umur
25 – 35
36 – 45
46 – 55
5 11
5 23,81
52,38 23,81
Jumlah 21
100,00 2.
Pendidikan SD
SMP SMA
Sarjana 4
8 7
1 19,05
38,10 33,33
9,52
Jumlah 21
100,00 3.
Jumlah tanggungan 1-2
3-4 5-6
6 10
5 28,57
47,62 23,81
Jumlah 21
100,00
Sumber : Data primer terolah 2016
Anwar 1997, menyatakan bahwa pendidikan akan berpengaruh terhadap wawasan, pengetahuan, keterampilan, pilihan bidang usaha dan penguasaan teknologi yang diterapkan.
Coirutunnisa, et.all. 2008, menambahkan bahwa berbagai macam target produksi pertanian akan berhasil baik apabila ketersediaan dan keterampilan para petani untuk berproduksi bisa ditingkatkan.
Mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan
cepat.
Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Teknologi Pengolahan Menir
Pengetahuan menurut Notoadmodjo 2003, merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk
tindakan seseorang.
Dalam teknologi pengolahan menir menjadi tepung beras dan produk turunannya, pengukuran meliputi: 1. definisi menir, 2. manfaat menir, 3. peningkatan nilai tambah menir menjadi tepung
beras dan produk turunannya, 4. kandungan tepung menir dengan tepung dari beras utuh, 5. bahan- bahan dalam pembuatan tepung beras menir, 6. tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras, 7.
lama perendaman dalam pembuatan tepung beras menir, 8. tahapan pembuatan keripik pegagan, 9. tahapan pembuatan kue lapis. Pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir di Kecamatan
Seluma Selatan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir di Kecamatan Seluma Selatan
Teknologi Pengolahan Menir Sebelum
Sesudah Skor
Kriteria Skor
Kriteria Definisi Menir
0,62 Tinggi
0,81 Sangat Tinggi
Manfaat Menir 0,57
Sedang 0,95
Sangat Tinggi Peningkatan nilai tambah menir menjadi tepung
beras dan produk turunannya 0,29
Sangat Rendah 0,48
Rendah Kandungan Menir dengan Beras Utuh
0,29 Sangat Rendah
0,76 Tinggi
Bahan-bahan dalam pembuatan tepung beras menir 0,81
Sangat Tinggi 0,86
Sangat Tinggi Tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras
0,10 Sangat Rendah
1,00 Sangat Tinggi
Lama perendaman dalam pembuatan tepung beras menir
0,33 Sangat Rendah
0,71 Tinggi
Tahapan pembuatan keripik pegagan 0,43
Rendah 0,86
Sangat Tinggi Tahapan pembuatan kue lapis
0,38 Sangat Rendah
0,76 Tinggi
Jumlah 3,82
Rendah 7,19
Tinggi Sumber:Data primer 2016
Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan yang paling tinggi terdapat pada materi tentang tahapan pengolahan menir menjadi tepung beras, yaitu dari sangat rendah 0,10menjadi
sangat tinggi 1,00 atau terjadi peningkatan sebesar 90. Sedangkan peningkatan paling rendahterjadi pada materi tentang bahan-bahan dalam pembuatan menir menjadi tepung beras dari
288
nilai 0,81 sangat tinggi menjadi 0,86 sangat tinggi atau meningkat sebesar 5. Skor pada pre test sudah berada pada level sangat tinggi sehingga peningkatan yang terjadi tidak terlalu besar. Pelatihan
teknologi pengolahan menir menjadi tepung beras dan produk turunannya dapat meningkatkan pengetahuan petanisebesar 37,44 dari 3,82 sebelum pelatihan menjadi7,19sesudah pelatihan atau
dapat dikategorikan bahwa kegiatan pelatihan cukup berhasil namun belum optimal.
Peningkatan pengetahuan petani ini menunjukkan bahwa pelatihan merupakan salah satu metode yangefektif dalam menyampaikan inovasi teknologi kepada petani. Pelatihan bertujuan untuk
memberdayakan petani agar mampu berpartisipasi aktif pada proses perubahan lingkungan usahataninya. Melalui pelatihan petani diharapkan mampu merubah kebiasaannya menjadi lebih
positif guna memajukan usahataninya. Hal ini senada dengan Sudirman 2006, yang menyatakan bahwa kegiatan pemberdayaan melalui pelatihan diperlukan apabila seseorang atau masyarakat
menyadari perlunya mengembangkan potensi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan maupun kepuasan hidupnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan petani sebagai bagian dari perilaku penerapan inovasi. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor dari dalam diri petani seperti
umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis sistem kepercayaan tertutup dan faktor lingkungan seperti
kosmopolitan, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti pelatihan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi BPTP Bengkulu, 2015.
KESIMPULAN
Peningkatan pengetahuan petani tentang teknologi pengolahan menir sebesar 37,4 , Kondisi ini masih perlu ditingkatkan melalui pendekatan metode yang lain atau kombinasi dengan metode
lain.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala BPTP Bengkulu yang telah memberikan dukungan moril dan materi melalui DIPA kegiatan tahun 2016, rekan-rekan tim pengkajian dan semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. 1997. Sanitasi makanan dan minuman pada institusi pendidikan tenaga sanitasi. pusat pendidikan tenaga sanitasi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
BPS Bengkulu. 2013. Bengkulu dalam angka tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. 2015. Kumpulan hasil penelitian pengkajian pengembangan dan penerapan inovasi teknologi pertanian BPTP Bengkulu tahun 2015.
Coirutunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan model pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di Desa Joho
Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Agritext No. 24 Desember, 2008. Hafsah, MJ. 2009. Penyuluhan Pertanian di era otonomi daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Mappiere. 1983. Psikologi orang dewasa. Surabaya:Usaha Nasional. Mardikato, T. 1993. Penyuluhan pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Hal 121.
Mislini. 2006. Analisis jaringan komunikasi pada kelompok swadaya masyarakat. kasus KSM di Desa
Taman Sari Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat [Tesis], Bogor: Program Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor.
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Padmowihardjo S. 1999. Evaluasi penyuluhan pertanian. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rentha, T. 2007. Identifikasi perilaku, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah irigasi teknis
sebelum dan sesudah kenaikan harga pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur [Skripsi]. Universitas Sriwijaya Palembang.
Salikin KA. 2003. Sistem pertanian berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.
289
Saragih, B. 2001. Pembangunan sistem agribisnis di Indonesia dan peranan public relation. Makalah seminar peranan publik relation dalam pembangunan pertanian, Bogor, 19 April 2001.
Sudirman. 2006. Model pelatihan keterampilan terpadu bagi petani sebagai upaya alih komoditas Studi terhadap petani penggarap lahan perhutani di Desa Suntenjaya Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung [disertasi]. Program pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta.
Susilo Astuti,
H. 2014.
Penyelenggaraan pelatihan
dalam sistem
LAKU. httpcybex.deptan.go.idpenyuluhanpenyelenggaraan-pelatihan-dalam
sistem-laku. BPPSDMP Kementan.
Tjiptoherijanto, Prijono. 2001. Proyeksi penduduk, angkatan kerja, tenaga kerja, dan peran serikat pekerja dalam peningkatan kesejahteraan. Majalah Perencanaan Pembangunan.
Wibawa W. 2010. Petunjuk pelaksanaan pendampingan SL-PTT padi dan jagung di Provinsi Bengkulu. BPTP Bengkulu. Bengkulu.
Wibawa, W et.all. 2015. Rancangan diseminasi hasil penelitian model sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi padi sapi di Provinsi Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bengkulu. Bengkulu. Widowati, Sri. Pemanfaatan hasil samping penggilingan padi dalam menunjang sistem agroindustri di
Pedesaan. Buletin AgroBio 41: 33 – 38.
290
ANALISIS EKONOMI PENGOLAHAN BERAS DAN PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS AROMATIK
KASUS PADA GAPOKTAN RIMBO JAYA, KABUPATEN SELUMA - BENGKULU ECONOMIC ANALYSIS OF RICE PRCESSING AND CONSUMER PREFERENCE ON
AROMATIC RICE CASE IN GAPOKTAN RIMBO JAYA, SELUMA DISTRICT – BENGKULU
Wawan Eka Putra dan Andi Ishak
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kelurahan Semarang, Kota Bengkulu
e-mail : wawan_ekaputraymail.com
ABSTRAK
Usaha penggilingan padi umum ditemui di daerah pedesaan yang berbasis padi, namun belum banyak hasil penelitian yang menunjukkan efisiensi ekonomi usaha pengolahan beras aromatik dan non
aromatik serta preferensi konsumen terhadap kedua jenis beras tersebut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai tambah dan keuntungan usaha pengolahan beras aromatik dan
non aromatik, sekaligus menganalis perbandingan preferensi konsumen terhadap kedua jenis beras tersebut. Pengumpulan data tentang pengolahan beras dilakukan melalui wawancara dan pengamatan
pada unit usaha penggilingan padi pada Gapoktan Rimbo Jaya, Kelurahan Rimbo Kedui, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu untuk memperoleh data input dan output
usaha pengolahan beras. Selain itu juga dilakukan survei preferensi konsumen terhadap beras aromatik dan non aromatik yang melibatkan 30 orang responden. Keuntungan ekonomi dianalisis dengan
menggunakan analisis nilai tambah dan RC ratio. Sementara itu preferensi konsumen dianalisis secara dekriptif dan statistik dengan menggunakan uji chi-square
χ
2
. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tambah usaha pengolahan beras aromatik sedikit lebih tinggi daripada usaha pengolahan beras
non aromatik yaitu sebesar Rp. 6.596kg berbanding Rp. 6.396kg. Sebaliknya, RC ratio pengolahan beras aromatik sedikit lebih rendah yaitu sebesar 1,25 berbanding 1,26. Selain itu preferensi konsumen
terhadap beras aromatik dan beras non aromatik relatif sama. Kata Kunci:
nilai tambah, keuntungan, preferensi, beras aromatik.
ABSTRACT
Rice milling unit RMU are commonly in rice-based rural area, but has not been a lot of research demonstrating the economic efficiency of business processing of aromatic and non-aromatic rice and
consumer preferences towards both types of rice. Therefore, this study aimed to compare the added value and benefits processing business aromatic and non-aromatic rice, as well as analyzing the ratio
of consumer preferences towards them. The collection of data about the processing of rice is done through interviews and observations on the RMU that operated by Gapoktan Rimbo Jaya, Rimbo
Kedui Village, South Seluma Subdistrict, Seluma District, Bengkulu Province to obtain data input and output of rice processing. It also conducted a survey of consumer preferences of the aromatic and
non-aromatic rice involving 30 respondents. Economic advantages were analyzed using analysis of value added and RC ratio. Meanwhile, consumer preferences were analyzed by descriptive and
statistics using chi-
square test χ
2
. The results showed that the value added aromatic rice processing is slightly higher than the non-aromatic Rp. 6596kg compared to Rp. 6396kg. Instead, the RC ratio
of aromatic rice processing slightly lower at 1.25 versus 1.26. In addition, consumer preferences to aromatic and non-aromatic rice is relatively the same.
Keywords: value added, benefit, preference, aromatic rice.
291
PENDAHULUAN
Kegiatan pengolahan hasil pertanian skala kecil di pedesaan merupakan salah satu subsistem agribisnis yang menunjang usaha pertanian pada komunitas petani. Usaha penggilingan padi atau
pengolahan gabah menjadi beras adalah pengolahan hasil yang umum ditemui pada daerah pedesaaan berbasis sawah. Julianto 2013 mencatat bahwa terdapat sekitar 182 ribu penggilingan padi pada
tahun 2012. Jumlah penggilingan padi skala kecil sangat dominan yaitu mencapai 94 diantaranya. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi usaha penggilingan padi skala kecil akan besar pengaruhnya
terhadap perekonomian di pedesaan.
Usaha penggilingan padi tentu saja ditujukan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menentukan berapa besar keuntungan ekonomi
tersebut, diantaranya adalah dengan menghitung nilai tambah dan keuntungan usaha. Nilai tambah didefinisikan sebagai pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan,
pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu siklus produksi Suprapto, 1999. Sementara itu keuntungan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Keuntungan usaha dapat
dihitung dengan RC ratio Revenue Cost Ratio, yaitu perbandingan antara penerimaan dengan biaya Soekartawi, 2006. Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara volume produksi dengan harga
jual produk, sedangkan biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan oleh produsen dalam mengelola usahanya. Nilai R-C ratio = 1 artinya usaha tidak untungrugi, nilai R-C ratio 1 berarti
usaha menguntungkanefisien, sedangkan nilai R-C ratio 1 berarti usaha merugikantidak efisien.
Usaha penggilingan padi masih menguntungkan. Hasil penelitian Putri et al. 2013, misalnya, menunjukkan bahwa RC ratio usaha penggilingan padi per ton beras di Cianjur
– Jawa Barat mencapai 1,29 sampai 3,71. Demikian juga Mauliddar et al. 2014 menyatakan bahwa RC ratio
usaha penggilingan beras di Deli Serdang – Sumatera Utara antara 1,01 – 1,13.
Mutu beras yang dihasilkan merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha pengolahan beras karena hal ini akan mempengaruhi preferensi konsumen. Jenis beras
aromatik adalah beras khusus yang memiliki keunggulan mutu karena aromanya yang spesifik. Beberapa jenis beras aromatik yang terkenal di dunia adalah beras Basmati dari India dan
Jasmin Khao Daok Mali dari Thailand Chaudary, 2003 dalam Suhartini dan Wardana, 2011. Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian juga telah menghasilkan sejumlah varietas padi aromatik
seperti Gilirang, Batang Gadis, Sintanur, Situ Patenggang, dan Inpari 23 Bantul BB Padi, 2015. Hasil-hasil penelitian tentang beras aromatik telah ditemukan dalam berbagai literatur. Elsera
et al . 2014 menyatakan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi aroma beras aromatik. Mutu beras
giling padi aromatik terbaik diperolehdari padi aromatik yang ditanam pada ketinggian 500-800 m dpl Suhartini dan Wardana, 2011.Jumali et al. 2011 membuktikan bahwa umur simpan beras aromatik
ditentukan oleh jenis bahan pengemas. Namun demikian, penelitian tentang preferensi konsumen tentang beras aromatik masih jarang ditemukan. Oleh karen itu penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan nilai tambah dan keuntungan usaha pengolahan beras aromatik dan non aromatik, sekaligus membandingkan preferensi konsumen terhadap kedua jenis beras tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2016. Data dikumpulkan dengan cara wawancara, pengamatan dan survei. Wawancara dan pengamatan proses pengolahan beras dilakukan pada unit
usaha pengolahan beras Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Rimbo Jaya di Kelurahan Rimbo Kedui, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Lokasi penelitian dipilih
secara sengaja, karena Gapoktan Rimbo Jaya telah melakukan usaha pengolahan beras aromatik di Provinsi Bengkulu. Survei dilakukan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap beras aromatik
dengan melibatkan 30 orang responden. Responden adalah anggota KPN Agri-Teknologi BPTP Bengkulu yang menjadi konsumen beras hasil produksi Gapoktan Rimbo Jaya. Jumlah responden
dianggap telah memadai sesuai dengan pendapat Rescoe 1982 dalam Sugiyono, 2012, yang menyebutkan bahwa ukuran sampel yang layak untuk penelitian adalah antara 30-500 sampel. Data
yang dikumpulkan meliputi input, output dan harga jual produk usaha pengolahan beras, serta preferensi konsumen terhadap beras aromatik.
Analisis ekononomi pengolahan beras dilakukan dengan menggunakan analisis nilai tambah dan keuntungan. Analisis nilai tambah mengikuti metode Hayami Hayami et al., 1987 dalam Slamet,
292
2005, sebagaimana pada Tabel 1. Sementara itu analisis keuntungan menggunakan RC ratio dengan rumus sebagai berikut:
Preferensi konsumen terhadap beras aromatik dianalisis secara deskriptif dan statistik dengan menggunakan uji kebaikan goodness of fit menggunakan chi-square
χ
2
. Uji chi-square berguna untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel nominal atau lebih dan mengukur kuatnya
hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya Usman dan Akbar, 2000. Pengujian hipotesis uji chi-square adalah sebagai berikut:
df = 1
χ
2 0,05;1
= 3,84; H
diterima jika : χ
2
3,84; ditolak χ
2
3,84 Untuk menghitung nilai
χ
2
digunakan rumus:
k
n
ij
– e
ij 2
χ
2
= Σ
1=i
e
ij
dimana: n
ij
= frekuensi yang diamati e
ij
= frekuensi yang diharapkan Tabel 1. Cara perhitungan nilai tambah mengikuti Metode Hayami Hayami et al., 1987 dalam
Slamet, 2005.
Variabel Nilai
Cara perhitungan Output, Input dan Harga
Hasil produksi kg 1
Bahan baku kg 2
Tenaga kerja org 3
Faktor konversi 4
=12 Koofisien tenaga kerja
5 =32
Harga produk Rpkg 6
Upah tenaga kerja Rporg 7
Penerimaan dan Keuntungan Harga produk Rpkg
8 Sumbangan input lain Rpkg
9 Nilai produksi Rpkg
10 =4x6
Nilai tambah Rpkg 11a
=10-9-8 Rasio nilai tambah
11b =11a10x100
Imbalan tenaga kerja Rpkg 12a
=5x7 Pangsa tenaga kerja
12b =12a11ax100
Keuntungan Rpkg 13a
=11a-12a Tingkat keuntungan
13b =13a11ax100
Balas jasa faktor produksi Marjin Rpkg
14 =10-8
Imbalan tenaga kerja 14a
=12a14x100 Sumb.angan input lain
14b =914x100
Keuntungan pemilik modal 14c
=13a14x100
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Usaha Pengolahan Beras Gapoktan Rimbo Jaya
Gapoktan Rimbo Jaya didirikan pada tahun 2008, terdiri atas 17 kelompok tani, diantaranya 7 kelompok tani sawah. Luas lahan sawah anggota gapoktan adalah 156,5 ha yang diusahakan oleh 204
keluarga petani. Salah satu usaha gapoktan adalah unit usaha penggilingan padi dan pemasaran beras. Usaha penggilingan padi dan pemasaran beras dimulai ketika gapoktan mendapatkan bantuan
1 unit mesin penggilingan padi dari Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu pada tahun 2015. Gapoktan R-C ratio =
Penerimaan Usaha Biaya
293
Rimbo Jaya mengolah gabah dari berbagai jenis varietas padi non aromatik, misalnya IR-64, Ciherang, Cigeulis, dan jenis-jenis padi Inpari. Usaha pengolahan beras aromatik dimulai gapoktan sejak awal
tahun 2016 dengan mengolah hasil panen dua varietas padi aromatik Sintanur dan Inpari 23 Bantul pada tahun 2015 hasil penelitian BPTP Bengkulu di lahan petani anggota gapoktan.
Gapoktan Rimbo Jaya saat ini telah menghasilkan dua jenis produk beras dalam kemasan yang dinamai dengan RASSE, kependekan dari Beras Seluma non aromatik dan Beras Aromatik.
Gapoktan telah menjual sekitar 30 ton beras yang diproduksi sejak awal sampai dengan pertengahan tahun 2016. Kendala yang dihadapi gapoktan dalam produksi beras adalah keterbatasan modal
pembelian gabah dan kekurangan lantai jemur. Produksi beras aromatik juga masih belum kontinyu karena petani yang menanam beras aromatik masih terbatas.
Proses pengolahan beras pada unit pengolahan beras di Gapoktan Rimbo Jaya membutuhkan waktu beberapa hari. Gabah kering panen dibeli dari petani dengan kadar air sekitar 24. Selanjutnya
dilakukan penjemuran gabah di atas alas terpal dengan ketebalan tumpukan 3-6 cm. Gabah dibalik setiap 2-3 jam selama penjemuran agar gabah kering merata. Proses penjemuran dilakukan selama 1-2
hari untuk mendapatkan gabah kering giling GKG dengan kadar air sekitar 14. Gabah kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik dan dan disimpan di tempat penggilingan padi. Penggilingan
gabah dilakukan dengan menggunakan 2 unit mesin yaitu mesin pemecah kulit memisahkan sekam dengan beras dan mesin pemoles beras mengelupaskan kulit ari beras sehingga membuat beras lebih
bersih dan lebih putih. Waktu yang dibutuhkan untuk proses penggilingan padi dan pemolesan beras adalah sekitar 1 jam 15 menit untuk menghasilkan 1-1,5 ton beras. Beras selanjutnya dikemas dalam
karung plastik dengan ukuran 20 kg per karung dan disimpan sebelum dipasarkan. Proses penjemuran gabah sampai dengan pengemasan beras membutuhkan tenaga kerja 2 orang per ton beras. Alur proses
usaha pengolahan dan pemasaran beras yang dilakukan oleh Gapoktan Rimbo Jaya ditampilkan pada Gambar 1.
Pembelian GKP Kadar air + 24
Penjemuran GKP menjadi GKG Selama 1-2 hari sehingga kadar
air menjadi + 14
Penggilingan GKG dan pemolesan beras
Mesin 2 phase kapasitas 1-1,5 ton per jam
Pengemasan beras Kemasan karung plastik 20 kg
Pemasaran beras Ke wilayah Kab. Seluma dan
Kota Bengkulu Gambar 1. Alur proses usaha pengolahan dan pemasaran beras.
Sumber: Data Primer 2016 Harga jual beras bervariasi tergantung dengan jenis beras yang dijual. Beras aromatik dijual
sedikit lebih mahal yaitu Rp. 11.000kg dibandingkan dengan beras non aromatik yaitu Rp. 10.600kg. Kedua jenis beras ini telah dipasarkan di dalam wilayah Kabupaten Seluma hingga ke Kota Bengkulu.
Pemasaran beras disesuaikan dengan pesanan konsumen. Pemasaran beras di Kabupaten Seluma umumnya dilakukan untuk memenuhi pesanan pegawai di kantor-kantor pemerintah. Sementara itu
pemasaran beras di Kota Bengkulu dilakukan dengan cara menitipkan beras kepada para pedagang pengecer dan kantor-kantor sesuai dengan pesanan langganan. Pemasaran beras ke Kota Bengkulu
dilakukan oleh Gapoktan Rimbo Jaya 2 kali dalam seminggu. Jumlah beras yang dipasarkan dalam sekali pengiriman minimal 800 kg. Pembayaran umumnya dilakukan secara tunai oleh para pengecer
atau pelanggan.
294
Analisis Ekonomi Usaha Pengolahan Beras 1.
Nilai Tambah
Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produk dengan biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja Kustiari, 2011. Perbandingan nilai tambah antara pengolahan
beras aromatik dan non aromatik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis perbandingan nilai tambah pengolahan beras aromatik dan non aromatik di
Gapoktan Rimbo Jaya tahun 2016.
Variabel Nilai
Beras aromatik Beras non aromatik
Output, Input dan Harga Hasil produksi beras
1.000 kg 1.000 kg
Bahan baku GKG 2.000 kg
2.000 kg Tenaga kerja
4 HOK 4 HOK
Faktor konversi 0,5
0,5 Koofisien tenaga kerja
0,002 0,002
Harga beras Rp. 11.000kg
Rp. 10.600kg Upah tenaga kerja
Rp. 100.000HOK Rp. 100.000HOK
Penerimaan dan Keuntungan Harga GKP
Rp. 4.000kg Rp. 3.800kg
Sumbangan input lain Rp. 404kg
Rp. 404kg Nilai produksi beras
Rp. 11.000kg Rp. 10.600kg
Nilai tambah Rp. 6.596kg
Rp. 6.396kg Rasio nilai tambah
60,00 60,30
Imbalan tenaga kerja Rp. 200kg
Rp. 200kg Pangsa tenaga kerja
30,3 31,3
Keuntungan Rp. 6.396kg
Rp. 6.196kg Tingkat keuntungan
97,0 96,9
Balas jasa faktor produksi Marjin
Rp. 7.000kg Rp. 6.800kg
Imbalan tenaga kerja 2,90
2,90 Sumbangan input lain
5,77 5,94
Keuntungan pemilik modal 91,37
91,18 Sumber: Data primer 2016. Diasumsikan dalam 1 kali proses produksi dihasilkan 1.000 kg beras.
Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha pengolahan beras aromatik memiliki nilai tambah yang lebih tinggi yaitu Rp. 6.596kg dibandingkan dengan beras non aromatik yaitu Rp. 6.396kg. Terdapat
selisih Rp. 200kg yang berasal dari selisih marjin antara kedua jenis beras ini. Marjin yang diperoleh dalam pengolahan beras aromatik adalah Rp. 7.000kg, sedangkan beras non aromatik Rp. 6.800kg.
Perbedaan marjin yang diterima berasal dari nilai jual output beras dan harga input GKP. Harga jual beras aromatik adalah Rp. 11.000kg dengan harga GKP Rp. 4.000kg. Sedangkan harga jual beras
non aromatik adalah Rp. 10.600kg dengan harga GKP Rp. 3.800kg.
Sumbangan input lain yang dibutuhkan dalam satu kali proses pengolahan beras untuk menghasilkan 1 ton beras yang dipasarkan antara kedua jenis beras ini adalah sama yaitu Rp. 404kg
beras. Sumbangan input lain tersebut berasal dari biaya-biaya sebagaimana tercantum pada Tabel 3.
295
Tabel 3. Sumbangan input lain dalam proses pengolahan beras.
Biayainput lain Jumlah satuan
Harga Rp. Harga total
Solar 6 liter
6.500 39.000
Karung plastic 50 lembar
3.000 150.000
Listrik RMU 1 kali
2.000 2.000
Benang jahit karung 1 gulung
10.000 10.000
Oli mesin 0,1 liter
30.000 3.000
Transportasi penjualan 1.000 kg`
200 200.000
Jumlah total 404.000
Jumlah rata-rata biaya input lain per kg beras 404
Sumber: Data primer 2016.