BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Perkosaan merupakan
peristiwa yang
mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Pada umumnya korban perkosaan akan
mengalami trauma psikis yang itensif dan berat setelah kejadian Harsono dkk dalam Fausiah, 2002. Efek yang segera terjadi dan berlangsung selama beberapa
waktu setelah kejadian adalah serangkaian reaksi fisik dan emosional. Korban akan dihinggapi berbagai rasa takut, antara lain takut akan reaksi keluarga dan
teman-teman, takut orang lain tidak mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh dokter, takut melapor pada aparat, atau takut pemerkosa melakukan balas
dendam jika ia melapor. Di samping itu korban juga mengalami serangkaian reaksi emosional seperti shok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri
sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris. Reaksi di atas dianggap reaksi wajar, karena korban baru mengalami
peristiwa traumatik. Bahkan sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa korban perkosaan adalah kelompok masyarakat terbesar yang mengalami
PTSD Post traumatic Stress Disorder Giller, 2000. Kejadian traumatis merupakan peristiwa yang menimbulkan stres yang
sangat besar dan menghambat kemampuan seseorang mengatasinya Giller, 2000. Menurut Ursano, Fullerton, McCaughey dalam Fausiah, 2002 secara
umum peristiwa traumatis adalah peristiwa yang berbahaya, berlebihan, dan mendesak. Hal ini ditandai dengan kekuatan yang ekstrim atau mendadak,
Universitas Sumatera Utara
biasanya menyebabkan ketakutan, kecemasan, penarikan diri, dan reaksi menghindar.
Sr 27 Tahun, korban perkosaan oleh pacarnya sendiri yang terjadi tujuh tahun lalu mengungkapkan bahwa ia mengalami trauma setelah kejadian perkosan
itu. Selama lebih kurang satu tahun setelah kejadian Sr susah tidur, selalu teringat akan kejadian bahkan merasa jijik dengan badannya sendiri, ia sering berlama-
lama ketika mandi, juga selalu menyiram badannya sampai merasa bersih. Hal yang lebih parah dilakukan Sr ketika teringat akan kejadian adalah ia sering
membenamkan kepalanya kedalam bak mandi. Reaksi traumatis ini terjadi bila tindakan apapun tidak mungkin dilakukan
oleh individu. Jika bertahan ataupun membebaskan diri tidak mungkin dilakukan, maka pertahanan diri seseorang akan dikuasai peristiwa tersebut dan menjadi
tidak terorganisir. Peristiwa traumatis menghasilkan perubahan mendalam dan berjangka waktu lama pada segi fisik, emosi, kognisi dan memori. Orang yang
mengalami peristiwa traumatis mungkin mengalami emosi yang intens, namun tanpa disertai memori yang jelas tentang peristiwa tersebut. Kemungkinan lainnya
orang tersebut mengingat segalanya namun tanpa emosi. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah korban menjadi sangat mudah tersinggung dan marah,
tanpa sebab Ursano, Fullerton, McCaughey dalam Fausiah, 2002. Kondisi traumatis yang dialami oleh korban perkosaan harus ditangani
agar korban dapat pulih dari beban fisik terutama beban psikologis yang mereka alami. Berbagai penelitian belakangan ini banyak mengulas cara yang dilakukan
dalam penanganan trauma korban perkosaan. Worthington, Sandage Berry
Universitas Sumatera Utara
dalam McCullought, Pargament Thoresen, 2000 melakukan sebuah penelitian mengenai pemaafan dan salah satu hasil diskusi penelitiannya mengemukakan
bahwa salah satu target kategori populasi yang berpotensi untuk mengurangi trauma dengan menggunakan intervensi pemaafan adalah victim of aggressive
trauma seperti, kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga dan korban perkosaan. Jadi berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa
untuk memulihkan korban pemerkosaan maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah menggunakan pendekatan pemaafan.
Sesuai dengan penjelasan di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu korban perkosaan adalah dengan pemaafan. Akan tetapi dilihat
dari kasus yang dialami yaitu perkosaan mungkin sangat sulit untuk mengetahui dan melihat bagaimana proses seorang korban perkosaan dapat memaafkan.
Secara bermakna mungkin untuk menjelaskan proses pemaafan itu sendiri adalah dimulai dari ketika seseorang memaknai peristiwa yang terjadi pada dirinya
merupakan peristiwa yang menyakitkan dan menganggap bahwa ia adalah korban dalam kejadian tersebut. Individu yang merasa menjadi korban atau
mempersepsikan dirinya sebagai korban dari peristiwa yang menyakitkan akan bereaksi, biasanya mereka akan bereaksi marah. Seseorang yang marah akan
berusaha untuk melakukan pembalasan karena adanya dendam atau permusuhan yang berkepanjangan terhadap pelaku. Worthington 1999 mengemukakan
bahwa apabila individu merasakan suatu kejadian yang menyakitkan akan menimbulkan ketakutan. Ketakutan akan menghasilkan penghindaran atau jika
Universitas Sumatera Utara
gagal akan membuat pertahanan diri dan marah. Apabila penghindaran maupun marah tidak memperbaiki ancaman, orang mungkin menjadi depresi.
Keadaan psikologis seperti perasaan yang dikemukakan diatas dapat dikatakan sebagai kondisi tidak memaafkan. Warthington 1999 mendefinisikan
tidak memaafkan sebagai emosi negatif yang melibatkan kemarahan, kegetiran, dan kebencian, bersamaan dengan motivasi menghindar atau pembalasan terhadap
pelaku orang yang berbuat salah. Worthington juga mengemukakan untuk mengurangi tidak memaafkan adalah dengan menciptakan pemaafan. Jadi begitu
juga halnya dengan korban perkosaan, emosi-emosi negatif yang dimilikinya seperti kemarahan, kegetiran, penolakan diri bahkan trauma dapat dipulihkan
kembali dengan menciptakan pemaafan. Selama seseorang yang disakiti korban tidak memberi maaf, selama itu
pula pengalaman tersebut akan mengganggu pikiran dan kesejahteraan emosinya. Hal ini setidaknya telah terbukti dari hasil penelitian yang bersifat fenomenologis
dari Rowe Halling dalam Reza, 2004, mereka menemukan bahwa seseorang merasa lebih nyaman ketika memaafkan perbuatan orang lain. Senada dengan
pernyataan Rowe Halling di atas, berikut adalah pernyataan dari korban kekerasan seksual yang merupakan sampel dari penelitiannya:
“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa bebas”, subjek lain berkata, “saya menyadari bahwa memaafkan telah membuat saya
bebas, bebas untuk melanjutkan hidup saya, bebas tanpa rasa sakit dan marah dan bebas untuk mencintai lagi”
Masih banyak dampak yang bisa di dapatkan jika kita memaafkan orang yang berbuat salah terhadap kesehatan kita. Menurut Worthington dalam Elder,
2000 tindakan memaafkan mempunyai efek langsung ataupun tidak langsung
Universitas Sumatera Utara
terhadap pikiran dan tubuh. Memaafkan dapat meningkatkan kesehatan fisik, setiap kali kita tidak memaafkan, kita lebih mudah untuk terkena masalah
kesehatan Worthington dalam Lucia, 2005. Lucia 2005 menyatakan bahwa memaafkan juga meningkatkan kesehatan emosional. Ketika seseorang
memaafkan, mereka mengganti perasaan tidak memaafkan dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta, dimana emosi positif ini biasanya
dihubungkan dengan pemaafan. Enright Freedman 1996 melakukan penelitian pada 12 orang wanita
korban incest perkosaan dengan keluarga sedarah yang berumur dari 24 sampai 54 tahun dalam kurun waktu 14,3 bulan melakukan intervensi pada para korban
incest mengenai pemaafan di dapatkan hasil bahwa mereka mengalami perubahan dalam harga diri, dan pengurangan yang signifikan pada kecemasan dan depresi.
Dr. Robert Enright, profesor psikologi bidang pendidikan di Universitas Wiscosin di Madison dalam Anonymous, 1999, menyelenggarakan suatu studi yang
berjudul forgiveness boots health and self esteem, research shows, dimana ia mengukur emosi masyarakat sebelum dan sesudah memaafkan seseorang yang
telah menyakiti mereka. Studi menemukan bahwa mereka yang telah memaafkan tidak lagi merasa depresi dan cemas serta merasa lebih baik mengenai diri mereka
sendiri. Enright 2001 mengatakan bahwa pemaafan merupakan pilihan.
Worthington 1999 juga menjelaskan bahwa pemaafan merupakan suatu pilihan internal korban baik sengaja maupun tidak untuk melepaskan rasa tidak
memaafkan dan mencari perdamaianrekonsiliasi dengan pelaku jika aman,
Universitas Sumatera Utara
bijaksana, dan mungkin untuk dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan sebuah pilihan, apakah seseorang memilih memafkan atau tidak
memaafkan, jadi tidak semua orang mau memaafkan dan mampu melakukan pemaafan setelah melalui peristiwa yang menyakitkan. Ada beberapa alasan yang
mendasari mengapa seseorang tidak mau atau enggan untuk memaafkan. Menurut Baumeister, Exline sommer dalam Worthington, 1998, faktor yang
mempengaruhi untuk memilih memaafkan adalah banyaknya pengorbanan yang harus dilakukan, kecenderungan munculnya kembali peristiwa yang menyakitkan,
penderitaan diri yang masih dirasakan, harga diri dan dendam. Penjelasan di atas akan dapat diketahui bahwa ketika seseorang disakiti
maka ia akan memilih apakah akan memaafkan atau tidak memaafkan. Menurut McCullought Worthington 1999, terdapat dua kemungkinan respon dari
seorang korban yang terluka, pertama ia akan menghindar, dalam arti menjauhkan diri dari si pelaku kejahatan, dan kedua ia akan membalas pelaku dengan
kejahatan setimpal. Berikut merupakan salah satu kasus yang dikutip dari buku yang berjudul
Sexual Violence Fortune, 2005: Seorang wanita yang sudah tidak bertemu ayahnya selama tujuh tahun
sejak ayahnya meninggalkan rumah memutuskan untuk mengirim surat dan meminta bertemu dengan ayahnya untuk membicarakan kekerasan
seksual yang pernah ayahnya lakukan ketika ia kanak-kanak hingga remaja. Sang ayah membalasnya dan mengajaknya untuk bertemu.
Sang wanita setuju dan akhirnya mereka bertemu, pada perjumpaan mereka sang ayah mengakui bahwa ia telah melakukan kekerasan seksual
terhadap wanita tersebut dan menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sang wanita melepaskan kemarahanya dan menyatakan bahwa
ia masih mengalami trauma psikologis akibat perlakuan sang ayah, dan hingga saat ini ia masih melakukan terapi untuk mengurangi efek
psikologis yang dialaminya. Ia juga mengalami ketidaknyamanan fisik
Universitas Sumatera Utara
akibat infeksi saluran urine. Sang ayah merasa bertanggung jawab dan menawarkan untuk membiayai pengobatan dan konselingnya. Sang ayah
juga berbicara kepada pastor sebagai terapisnya dan pastor tersebut menyuruhnya untuk meminta maaf kepada sang wanita. Meskipun sang
ayah telah meminta maaf, sang wanita masih merasa terikat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh sang ayah terhadap dia, ia masih
merasa dendam dengan sang ayah dan masih memiliki motivasi untuk balas dendam. Namun kemarahannya telah berkurang karena ayahnya
sendiri juga menderita dengan perilakunya tersebut, sehingga ia mengatakan telah memaafkan ayahnya dan menerima kembali ayahnya
kedalam kehidupannya. Sang wanita masih berharap ayahnya untuk melakukan terapi karena ia tidak bisa membatu ayahnya untuk pulih.
Mereka sepakat untuk saling berkunjung, ia membiarkan ayahnya bertemu dengan anak-anaknya, yang merupakan cucu yang tidak pernah ia temui,
meskipun demikian ia masih mengawasi anaknya ketika bertemu dengan kakek mereka. Dan juga memberikan penjelasan agar segera memberi
tahunya jika ada orang dewasa menyentuhnya secara seksual. Sang ayah juga menekankan pada sang wanita untuk tidak akan melukai
atau menyakiti anaknya. Ia berkunjung pada hari libur. Saat ini mereka telah memiliki hubungan yang sangat memuaskan. Namun dilain sisi saat
ini sang wanita tidak pernah melupakan apa yang terjadi padanya dan juga tidak pernah mendiskusikan peristiwa yang telah terjadi diantara mereka
dikutip dari: “Sexual Violence” hal 169-170, oleh Fortune 2005
Begitulah salah satu gambaran pemaafan pada korban incest, bahwa ia bisa memilih untuk berempati dan memaafkan ayahnya sebagai orang yang
menyakitinya. Membutuhkan waktu baginya untuk memaafkan ayahnya, banyak faktor yang bisa mempengaruhinya untuk memaafkan dan sangat sulit baginya
untuk melupakan kejadian tersebut walaupun ia telah memaafkan ayahnya. Berdasarkan hasil pengamatan pralapangan penelitian oleh peneliti tidak
semua korban kekerasan seksual bisa memaafkan pelakunya, berikut salah satu korban perkosaan yang saat ini didampingi oleh PKPA dalam menangani
kasusnya, mengatakan bahwa ia tidak bisa memaafkan pelakunya, berikut kutipan wawancara tersebut:
“...Adek ga terima Kak, apa yang udah ia bikin ama Adek sampai
sekarang Adek belum bisa terima, Kakak bayangkan aja ia tu teman
Universitas Sumatera Utara
Abang Adek sendiri, setiap hari ia datang kerumah, Adek ngormati dia, tapi cobak apa yang udah terjadi..., dan Kakak bayangkan aja sendiri Ia tu
cuma dipenjara tiga tahun, padahal ia udah merebut......., sampai sekarang adek belum terima..., makanya Adek ama PKPA masih mau ingin naik
banding...”Komunikasi Personal, 7 Mei 2007.
Linda Hollies dalam Fortune, 2005 seorang incest yang kini aktif bergabung dalam perkumpulan pastor United Methodist, menyatakan bahwa jika
seorang korban pelecehan seksual mengaku telah memaafkan dan melupakan pelecehan yang dialaminya, hal tersebut adalah bohong besar, karena pada
hakikatnya memaafkan adalah menyerahkan secara utuh permasalahan yang dialami kepada Tuhan. Hal ini berarti kita telah mengahapus semua rasa sakit
yang dilakukan oleh pelaku dan kita juga tidak berharap bahwa ia akan datang dan meminta maaf, membuat pengakuan dan merasa bersalah dan meminta kita untuk
memaafkannya. Memaafkan berarti menghilangkan semua rasa sakit dari diri kita, meyakinkan bahwa yang terjadi adalah masa lalu dan yakin bahwa hari ini dan
esok Tuhan tidak akan menimpakan rasa sakit itu lagi. Ketika seseorang memaafkan hakekatnya adalah ia telah memberikan semua rasa sakitnya hanya
kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk menyimpan rasa sakit tersebut, sehingga rasa sakit yang ia rasakan telah hilang. Seseorang yang telah mampu memaafkan
pelecehan seksual yang dialami tidak akan berkata “aku tidak ingin mengingat kejadian itu lagi”.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah seorang korban perkosaan oleh pacarnya sendiri, adapun wawancara tersebut:
“...ya, kalau memaafkan, gimana ya toh saya sudah menikah denganya, saya bisa menerima dia sebagai bapak anak saya, namun saya belum bisa
terima karena kejadian ini saya harus kehilangan masa depan, harus sudah mengurus anak pada umur saya yang segini, dan apa lagi ia meninggalkan
Universitas Sumatera Utara
saya begitu saja sekarang, yang buat saya kadang belum bisa memaafkan dia...”Komunikasi Personal, 26 April
Harsanti 2004 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa korban yang mengalami kekerasan seksual akan sulit memaafkan pelakunya apalagi sampai
kepada tahapan benar-benar untuk melupakan kejadian tersebut. Senada dengan hasil penelitian diatas Baumeister, Exline sommer 1998 menyatakan bahwa
pada korban kekerasan pada anak, penyiksaan dan pembantaian menjadikan pengalaman masa lalunya sebagai alasan yang kuat untuk menolak memberi
pemaafan. Dasar dari penolakan ini, lahir dari pemahaman bahwa kejadian menyakitkan berupa kekerasan pada anak, penyiksaan dan pembantaian termasuk
dalam tindakan pelanggaran moral, jadi demi tegaknya prinsip moral maka korban dapat menolak memberi maaf.
Mc.Cullough, Rachal Worthington 1997 mendefinisikan pemaafan sebagai suatu perubahan motivasi, yaitu motivasi untuk melakukan pembalasan
dan motivasi untuk menghindar. Penurunan kedua motivasi tersebut mendorong seseorang untuk mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang
telah menyakiti atau melukainya dan berperilaku lebih konstruktif terhadap pihak tersebut. Kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan, kadar penderitaan yang
dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik kembalirekonsiliasi merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang untuk memaafkan McCullough,
Sandage, Brown, Rachal, Worthington Hight, 1998. Enright 1998 melihat pemberian maaf bukanlah hal yang sederhana
karena dibutuhkan suatu proses untuk seseorang berhenti melihat dirinya sebagai
Universitas Sumatera Utara
korban. Dalam proses waktu seorang korban diharapkan dapat melakukan perenungan dan menyusun kembali kerangka berfikirnya reframing untuk
memahami sebab timbulnya suatu tindakan kejahatan transgression. Jadi Enright 1998 memandang pemaafan sebagai suatu proses. Akan tetapi dalam
kenyataannya, terdapat dua kemungkinan respon dari seorang korban yang terluka. Pertama, ia akan menghindar dalam arti kata menjauhkan diri dari si
pelaku kejahatan dan kedua, ia akan membalas pelaku dengan kejahatan setimpal Mc. Cullought Worthington, 1999. Kedua kemungkinan diatas mungkin bisa
menjawab respon dari korban pemerkosaan yang belum bisa memaafkan yang padahal respon yang mereka berikan sudah termasuk dalam ranah pemaafan.
Melengkapi kedua pilihan diatas, Baumeister, Exline Sommer dalam Worthington, 1998 menawarkan pemaafan sebagai pilihan ketiga dalam rangka
memulihkan kondisi psikologis yang perlu disembuhkan. Menurut Baumeister, Exline Sommer 1998 mengatakan bahwa ada dua dimensi utama mayor
dalam pemaafan yaitu terdapat dimensi interpersonal dan dimensi intrapsikis. Pada dimensi interpersonal seorang korban memaafkan pelaku yang telah
melukainya bukan semata-mata demi kepentingan diri korban melainkan justru demi menolong pelaku, pelaku tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai
pelaku kejahatan offender. Pada dimensi kedua yaitu intrapsikis intrapychic pemaafan pada dimensi ini ditandai dengan korban berhenti merasa marah atau
benci terhadap pelaku kejahatan dan mulai memahami peristiwa dari sudut pandang pelaku kejahatan tersebut. Kedua dimensi utama pemaafan ini
selanjutnya kemudian akan membentuk 4 macam kombinasi pemaafan yaitu
Universitas Sumatera Utara
hollow forgiveness korban dapat memaafkan secara interpersonal, namun tidak memaafkan secara intrapsikis, silent forgiveness korban secara intrapsikis
mampu memaafkan pelaku, namun tidak mampu memaafkan secara interpersonal, total forgiveness korban dapat memaafkan pelaku pelanggaran
baik secara intrapsikis maupun intrapersonal dan no forgiveness dalam kombinasi ini korban baik secara interpersonal ataupun intrapsikis tidak dapat
memaafkan pelaku. Berbagai tinjauan dan problematika yang sudah peneliti kemukakan
sebelumnya seperti pemaafan bisa membantu korban perkosaan dalam pemulihan traumanya dan sangat bermanfaat bagi kesehatan psikologisnya namun pemaafan
adalah sebuah pilihan dan membutuhkan proses. Berbagai perbedaan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa ada korban perkosaan yang bisa
memaafkan dan ada juga tidak bisa memaafkan pelakunya membuat peneliti juga bermaksud untuk melihat bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan
khususnya yang berada dikota Medan walaupun korban perkosaan belum memaafkan namun dengan adanya proses pemafan maka penelitian ini bisa
melihat ditahapan proses pemaafan manakah korban dan selanjutnya dalam penelitian ini peneliti juga melihat kombinasi pemaafan apa yang terbentuk dari
dua dimensi utama pemaafan yang dimunculkan oleh Baumeister, Exline sommer 1998.
Hal ini peneliti lakukan mengingat sulitnya tahapan pemaafan total dicapai oleh korban. Dengan adanya 4 kombinasi pemaafan tersebut, dapat dilihat
seberapa dalam korban perkosaan memaafkan pelakunya. Dengan memperhatikan
Universitas Sumatera Utara
tujuan dari penelitian ini, peneliti memilih metode kualitatif, karena fokus penelitiannya adalah manusia sebagai makhluk sosial yang bersifat subjektif dan
berbagai kemungkinan interaksinya.
I.B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah
penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut bagaimana dinamika pemaafan pada korban perkosaan, yang mencakup:
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan pada korban
perkosaan? 2.
Apa saja langkah-langkah yang dilalui dalam pemaafan pada korban perkosaan?
3. Kombinasi pemaafan apa yang terbentuk dari dua dimensi utama
pemaafan yang dimunculkan korban perkosaan?
I.C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah
ilmu pada bidang psikologi klinis mengenai pemaafan forgiveness pada korban perkosaan..
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat dari penelitian ini adalah selain untuk memberikan
wacanapengetahuan ataupun data empiris mengenai perkosaan yang sekarang ini semakin sering terjadi, diharapkan dari hasil
penelitian ini juga akan dapat memberikan masukan bagi para konselor dalam menangani kasus-kasus perkosaan.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada korban
perkosaan khususnya yang berkaitan dengan pemaafan. c.
Kedepannya hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya.
I.E. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan
Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian
serta sistematika penulisan. Bab II
: Landasan Teori
Universitas Sumatera Utara
Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.
Bab III :
Metode Penelitian Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang
digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, responden
dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data. Selain itu juga
memuat teknik pengambilan subjekresponden yang akan digunakan dalam penelitian.
Bab IV :
Analisis Data dan Interpretasi Bab ini berisikan analisis dan interpretasi data hasil
wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian rekonstruksi data, dan selanjutnya
membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.
Bab V :
Kesimpulan, diskusi dan saran. Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan,
dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak.dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena
merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran
metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II LANDASAN TEORI