Total Forgiveness No Forgiveness

c. Total Forgiveness

Dalam kombinasi ini, intrapsikis dan interpersonal pemaafan terjadi. Orang yang disakiti menghilangkan perasaan negatif seperti kekecewaan, benci, atau marah terhadap pelaku tentang peristiwa yang terjadi, dan pelaku dibebaskan secara lebih lanjut dari perasaan bersalah dan kewajibanya. Kemudian hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku kembali menjadi baik seperti sebelum peristiwa yang menyakiti terjadi Baumeister, Exline Sommer dalam Worthington, 1998

d. No Forgiveness

Dalam kombinasi ini intrapsikis dan interpersonal pemaafan tidak terjadi pada orang yang disakiti. Baumeister, Exline Sommer dalam Worthington, 1998 menyebut kombinasi ini sebagai total grudge combination. Dijelaskan lebih lanjut oleh Baumeister, Exline Sommer dalam Worthington, 1998 bahwa total grudge combination terjadi karena beberapa faktor, antara lain: 1. Claim on Reward and Benefit Orang yang disakiti tidak memberikan maaf kepada pelaku. Hal ini ia lakukan dengan harapan bahwa pelaku akan memberikan keuntungan praktis dan material bagi orang yang disakiti. Pelaku memiliki “hutang” kepada orang yang disakiti akibat dari perbuatan menyakitkan yang dilakukannya. Oleh sebab itu, seringkali pemaafan diberikan pada saat pelaku menampilkan tindakan yang memberikan keuntungan bagi korban yang disakiti. Keuntungan yang diperoleh tidak hanya bersifat material, keuntungan dapat bersifat non material. Universitas Sumatera Utara 2. To Prevent Reccurence Dengan memberikan maaf kepada pelaku, dianggap akan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa menyakitkan terulang kembali kepada orang yang disakiti di masa yang akan datang. Dengan tidak memaafkan pelaku, orang yang disakiti akan dapat terus mengingat peristiwa yang menyakitkan tersebut dan dengan demikian diharapkan pelaku tidak mudah untuk mengulang lagi peristiwa yang menyakiti tersebut. 3. Continued Suffering Perasaan atau emosi yang selalu dirasakan oleh orang yang disakiti sebagai korban dari peristiwa yang menyakitkan dan membuat ia menderita berkepanjangan oleh peristiwa tersebut akan mempengaruhinya dalam membuat keputusan untuk memaafkan pelaku. Konsekuensi dari peristiwa menyakitkan yang dialami korban di masa lalu berlanjut hingga hubungan mereka di masa akan datang, maka akan sulit bagi korban untuk memaafkan pelaku. 4. Pride and Revenge Peristiwa menyakitkan yang dialami orang yang disakiti berpengaruh terhadap harga diri. Jika orang yang disakiti memberikan pemaafan baik secara intrapsikis maupun interpersonal kepada pelaku dengan cepat maka orang disakiti merasa bahwa hal yang dilakukannya itu akan mempermalukan dirinya sendiri di depan pelaku dan tidak mempunyai harga diri. Selain hal itu jika orang yang disakiti dengan cepat memaafkan pelaku, maka orang yang disakiti akan cenderung dipersepsikan sebagai orang yang bodoh. Universitas Sumatera Utara 5. Principled Refusal Pemaafan tidak diberikan oleh orang yang disakiti, karena hal ini dianggap mengabaikan prinsip yang telah baku atau standar hukum yang ada. Pemaafan diidentikan dengan memberikan pengampunan hukum terhadap pelaku yang dinyatakan bersalah melalui sistem peradilan yang ada, oleh karena itu pemaafan dilihat sebagai perbuatan yang keliru Dimensi pemaafan yang peneliti cantumkan diatas digunakan untuk melihat dan menjadi acuan dimensi pemaafan apakah yang terbentuk dari proses memaafkan oleh korban perkosaan, dan kombinasi pemaafan apa yang terbentuk. Meskipun total forgiveness sulit dicapai, tetapi paling tidak dengan adanya 4 kombinasi pemaafan dapat dilihat seberapa dalam korban perkosaan memaafkan pelakunya. II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang Untuk Memaafkan Telah digambarkan bahwa memaafkan merupakan tindakan yang sangat sulit dilakukan. Ada berbagai kondisi yang mempengaruhi terjadinya tindakan memaafkan ini. Kondisi-kondisi itu antara lain bisa merupakan penghambat ataupun penunjang terwujudnya pemaafan. Kondisi-kondisi itu antara lain adalah: a. Respon pelanggar Studi Exline dkk dalam Worthington, 1998 menemukan bahwa respon pelaku merupakan prediktor tunggal terbesar dari memaafkan seseorang. Permintaan maaf pelaku berkorelasi positif dengan kecenderungan korban untuk memafkan. Tindakan pelaku dalam proses meminta maaf seperti Universitas Sumatera Utara pengakuan akan kesalahannya lalu berjanji akan mengubah tindakannya akan sangat membantu korban untuk memaafkan pelaku b. Karakteristik serangan Faktor yang berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan atau kepahitan yang dialami oleh korban serta konsekuensi yang menyertai serangan tersebut. Girard Mullet, Ohbucci, Kameda Agarie dalam McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington Hight, 1998 berpendapat bahwa semakin intens serangan yang dilakukan, maka akan sulit pelaku dimaafkan oleh korban. c. Kualitas hubungan interpersonal Faktor-faktor hubungan seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan juga merupakan faktor yang menentukan dalam memaafkan. Orang-orang yang cenderung lebih bisa memaafkan dalam suatu hubungan dikarakteristikan dengan adanya kedekatan, komitmen dan kepuasan. Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan terhadap 100 pasangan, baik itu sebagai orang yang memaafkan maupun sebagai orang yang sudah menyakiti pasangan. Kedua-duanya melaporkan adanya tingkatan kedekatan, komitmen maupun kepuasan yang dihubungkan dengan tingkatan memaafkan. d. Faktor kepribadian Bila korban merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pelaku karena merasa dipihak yang benar, maka perilaku memaafkan tidak akan dapat dilakukan oleh korban Exline, Baumesiter Sommer, 1998. Universitas Sumatera Utara e. Nilai-nilai agama Studi yang menunjukkan bahwa nilai dan praktek keagamaan berhubungan positif dengan sikap yang mendukung tindakan memaafkan Gorsuch Hou; Poloma Gallup; DiBlasio dalam Pertiwi 2004. Studi yang dilakukan Wuthnow dalam Pertiwi, 2004 menunjukan bahwa kegiatan kelompok agama yang bersifat emosional seperti sharing dan doa bersama, terbukti membantu individu memaafkan orang lain. f. Lamanya waktu setelah peristiwa yang menyakitkan tersebut terjadi Jika kejadian menyakitkan itu baru terjadi, tindakan memaafkan amat sulit dilakukan Nort dalam Pertiwi, 2004. Waktu memiliki pengaruh pada kemampuan korban untuk memaafkan; makin panjang waktu berlalu sejak terjadinya peristiwa yang menyakitkan tersebut, maka makin mudah korban melupakan pelaku kekerasan. g. Proses emosional dan kognitif Adapun hal yang termasuk dalam proses emosional dan kognitif adalah empati, perspektif saling menerima, ruminasi dan supresi. Empati dan perspektif saling menerima cukup berperan dalam kualitas prososial seseorang seperti keinginan untuk meneolong orang lain, hal ini akan tampak jelas dalam memaafkan. Perasaan empati yang berdampak kepada orang yang telah menyakiti kita dan memahami perspektif kognitifnya mempunyai korelasi yang tinggi dalam pengukuran memaafkan yang dilakukan oleh McCullough 2000 secara umum. Ruminasi diartikan sebagai sulitnya untuk melupakan orang yang telah menyakiti. Karena pikiran, perasaan dan gambaran buruk Universitas Sumatera Utara tentangnya selalu muncul dan mengganggu diri individu. Hal-hal tersebut muncul karena peristiwa buruk yang pernah dialami karena kesalahan orang lain tersebut ditekan, dan dalam hal ini individu melakukan supresi. Faktor-faktor diatas sangat menentukan dalam memilih untuk memaafkan atau tidak pelaku oleh koban perkosaan. Oleh sebab itu peneliti memasukan faktor-faktor ini sebagai acuan dalam penelitian di lapangan nantinya walaupun sebenarnya masih banyak faktor lain yang akan mempengaruhi bahkan bisa saja peneliti menemukan faktor-faktor baru dalam proses pemaafan pada korban perkosaan. II.A.4. Proses dalam Pemaafan Enright Coyle 1998 mengembangkan suatu model proses dari pemaafan. Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang terjadi dalam proses memaafkan. Proses tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu: fase membuka kembali uncovering phase, fase memutuskan decision phase, fase bekerja work phase, dan fase pendalaman deepening phase. Secara rinci Enrigh Coyle 1998 menjelaskan dalam bentuk tabel: Universitas Sumatera Utara Table 2. Proses Pemaafan UNIT COGNITIVE, BEHAVIORAL, AND AFFECTIVE PHASES 1 2 3 4 5 6 7 8 Fase Membuka Kembali Pemeriksaan terhadap mekanisme pertahanan diri Konfrontasi dengan kemarahan; intinya adalah bukan menyembunyikannya melainkan disalurkan Menerima rasa malu Menyadari adanya katarsis Kesadaran bahwa korban berulangkali memikirkan peristiwa yang menyakitkan Korban membandingkan dirinya dengan pelaku atau pihak yang menyakitinya Menyadari akan adanya perubahan yang permanen akibat dari perbuatan menyakitkan tersebut Korban menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah 9 10 11 Fase Memutuskan Perubahan dalam hati, adanya insight baru bahwa strategi yang lama untuk mengatasi masalahnya tidak membawa hasil yang diharapkan. Keinginan untuk mempertimbangkan pemaafan sebagai suatu pilihan Komitmen untuk memaafkan pelaku 12 13 14 15 Fase Bekerja dalam Pemaafan Reframing, mulai mengambil peran, dengan pemaknaan terhadap peristiwa menyakitkan yang dialami dengan memposisikan dirinya yang telah menyakiti Mengembangkan empati terhadap pelaku Penerimaan terhadap luka peristiwa yang menyakitkan yang dialami Pemaafan sebagai hadiah moral bagi pelaku 16 17 18 19 20 Fase Pendalaman Menemukan makna baru dalam diri dengan melakukan pemaafan Menyadari bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk dimaafkan pada masa yang lalu Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri Penemuan tujuan hidup yang baru karena peristiwa ini Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki digantikan dengan perasaan positif, perasaan positif tersebut membebaskan, menguntungkan bagi korban Universitas Sumatera Utara II.B. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekeran SeksualPerkosaan II.B.1. Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bahkan bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur anak-anak. Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di lingkungan perusahaan, perkantoran atau tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga. PBB tahun 1993, mendefinisikan tentang kekerasan terhadap perempuan yaitu: “...kekerasan terhadap peempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin gender-based violence yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi” pasal 1 Deklerasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan PBB tahun 1993, dalam Luhulima, 2000. Poerwandari dalam Luhulima, 2000 menjelaskan kekerasan terhadap perempuan dapat digolongkan dalam 3 bentuk: a. Kekerasan dalam area domestikhubungan intim-personal. Yaitu berbagai bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluargahubungan kedekatan lain. Termasuk di sini penganiayaan terhadap istri, penganiayaan terhadap pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga. Universitas Sumatera Utara b. Kekerasan dalam area publik. Yaitu berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain. Termasuk berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas cakupannya, baik yang terjadi di tempat kerja dalam semua tempat kerja, juga untuk pekerjaan domestik, seperti baby sitter, pembantu rumah tangga, perawat orang sakit, di tempat umum kendaraan umum, pasar, restoran dan tempat-tempat umum lain; di lembaga-lembaga pendidikan; dalam bentuk publikasi atau produk dan praktik ekonomis yang meluas distribusinya minsalnya pornografi, perdagangan perempuan-pelacuran paksa maupun bentuk-bentuk lain. c. Kekerasan yang dilakukan olehdalam lingkup negara. Kekerasan secara fisik, seksual, danatau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, atau didiamkandibiarkan terjadi oleh negara dimanapun terjadinya. Termasuk bagian ini adalah pelanggaran-pelanggaran hak asasi perempuan dalam pertentangan antar kelompok, situasi konflik bersenjata, berkaitan dengan antara lain pembunuhan, perkosaan sistematis, perbudakan seksual dan kehamilan paksa. Menurut Poerwandari dalam Luhulima, 2000, adapun hubungan pelaku dalam kaitan dengan korban tindak kekerasan terhadap perempuan adalah: a. Pelaku, dapat merupakan orang asingsalaing tidak kenal ataupun orang yang dikenal suami, keluarga, pacar, tunangan, bekas pacar, temankenalan, atau rekan kerja. Universitas Sumatera Utara b. Orang dengan posisi otoritas atasan, pengajar, atau pemberi jasa tertentu. c. Negara danatau wakilnya militer, pejabat,lebih dari satu individu, atau lebih dari satu kelompok. Kekerasan terhadap perempuan berdasarkan dimensi atau bentuk- bentuknya dapat dibagi menjadi beberapa macam Peorwandari, 2004: a. Kekerasan fisik: Pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai; penyiksaan, penggunaan obat untuk menyakitri, penghancuran fisik, pembunuhan, dalam banyak manifestasinya. b. Kekerasan seksualreproduksi: serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksualreproduksi; ataupun serangan psikologis kegiatan merendahkan, menghina yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek, minsalnya: manipulasi seksual pada anak-anak atau pihak yang tidak memiliki posisi tawar setara, pemaksaan hubungan seksualperkosaan, pemaksaan bentuk- bentuk hubungan seksual, sadisme dalam relasi seksual, mutilasi alat seksual, pemaksaan aborsi, penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain. c. Kekerasan psikologis: penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam banyak manifestasinya. Misal: makian kata-kata kasar, ancaman, pengutitan, penghinaan; dan banyak bentuk kekerasan fisikseksual yang berdampak psikologis, misal: penelanjangan, pemerkosaan. d. Kekerasan deprivasi: penelantaran misal anak; penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar makan, minum,buang air, udara, ber-sosialisasi, bekerja Universitas Sumatera Utara dalam berbagai bentuknya. Misal: pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit serius. Kekerasan terhadap perempuan yang peneliti kemukan di atas digunakan sebagai pemamaparan dari bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dan kaitannya dalam penelitian ini adalah bahwa perkosaan merupakan salah satu kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan seksual, fisik bahkan sampai pada psikologis. II.B.2. Definisi Perkosaan Menurut Foley Davies dalam Fausiah, 2002, “perkosaan” yang dalam bahasa Inggris disebut “rape” berasal dari kata “rapere” bahasa latin yang berarti “to steal”, “seize” atau “carry away”. Adapun definisi perkosaan sendiri disebutkan: the use of threat, physical force, or intimidation in obtaining sexual relation with another person against his or her own will. Beberapa definisi lain misalnya: “...an individual who forces another person to submit to or commit a sexual act against that person’s will though intimidation, threat, or physical force and without person’s consent” Groth dalam Fausiah, 2002 “...hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehenak bersama, dipaksakan oleh satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada di bawah ancaman fisik danatau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya” Poerwandari dalam Luhulima, 2000 Universitas Sumatera Utara Matlin dalam Fausiah, 2002 menekankan bahwa perkosaan adalah tindak kriminal dan tidak hanya sekedar nafsu. Dalam perkosaan, korban dipermalukan dan direndahkan lebih dari sekedar perampokan atau kekerasan fisik belaka. Hal senada juga dikemukakan oleh Poerwandari dalam Luhulima, 2002 yang menyatakan bahwa perkosaan merupakan tindakan pseudo-seksual, yang tidak hanya sekedar dimotivasi dorongan seksual sebagai motivasi primer, namun berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada pihak korban oleh pelaku. II.B.3. Jenis-jenis Perkosaan Hasbianto Triningtyasasih dalam Fausiah, 2002 menggolongkan perkosaan berdasarkan pelaku dan cara melakukannya: a. Berdasarkan pelakunya 1. Perkosaan oleh orang yang dikenal. Perkosaan jenis ini dilakukan oleh teman atau anggota keluarga ayah, paman, atau saudara 2. Perkosaan oleh pacar dating rape. Yaitu perkosaan yang terjadi ketika korban berkencan dengan pacarnya. Keanyakan karena dikondisikan berkencan ditempat yang sepi. Seringkali diawali dengan cumbuan, dan diakhiri dengan pemaksaan hubungan seksual. 3. Perkosaan dalam perkawinan marital rape. Biasanya terjadi pada istri yang memiliki ketergantungan kepada suami, atau karena adanya anggapan bahwa istri merupakan obyek seksual suami. Bentuknya adalah Universitas Sumatera Utara pemaksaan hubungan pada waktu atau dengan cara yang tidak dikehendaki oleh istri. 4. Perkosaan oleh orang asingtidak dikenal. Perkosaan jenis ini sering disertai tindakan kejahatan lain, seperti pencurian, perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. b. Berdasarkan cara melakukannya 1. Perkosaan dengan janji-janji atau penipuan. Misalnya dengan janji korban akan dinikahi, tidak akan ditinggalkan. 2. Perkosaan dengan ancaman halus. Biasanya terjadi pada korban yang memiliki ketergantungan sosialekonomi pada pelaku, seperti majikan pada pembantu atau guru pada murid. 3. Perkosaan dengan paksaan fisik, yang dilakukan dengan ancaman menggunakan senjata, ataupun dengan kekuatan fisik. 4. Perkosaan dengan memakai pengaruh tertentu penggunaan obat-obatan, hipnotis. Perkosaan jenis ini dilakukan dengan cara menghilangkan kesadaran korban terlebih dahulu, baik dengan memakai obat, hipnotis. Foley Davies dalam Fausiah, 2002 mengemukakan pembagian lain dari perkosaan, yang meliputi: 1. Percobaan perkosaan attempted rape, dimana pelaku sudah melakukan usaha penetrasi kepada korban, namun tidak dapat melakukannya sepenuhnya karena sesuatu hal. Misalnya adanya interupsi dari polisi atau orang lain. Universitas Sumatera Utara 2. Statutory rape, yaitu hubungan seksual antara orang yang usianya 18 tahun atau lebih dewasa dengan seseorang yang berusia kurang dari 14 tahun, dan bukan merupakan pasangannya. Pada perkosaan jenis ini pembatasan hanya dari segi umur. Sehingga hubungan seksual atas dasar suka-sama suka yang dilakukan di luar persetujuan orang tua dapat masuk dalam kategori ini. 3. Incest, adalah hubungan seksual, pernikahan, atau kohabitasi dengan keluarga sedarah tanpa memandang legitimasi dari tindakan tersebut. Defenisi incest kemudian berkembang dengan memasukkan hubungan seksual antara anak angkat dengan orang tua anggkatnya. 4. Indecent assault, yang meliputi tindakan memegang “daerah pribadi” pada tubuh seseorang daerah kelamin, payudara, atau pantat yang bukan pasangannya, dalam keadaan di mana korban mengetahui bahwa tindakan semacam itu berbahaya atau tidak menyenangkan. 5. Involuntary deviate sexual intercouse, yaitu intercousse secara oral maupun anal dengan seseorang tanpa persetujuannya, baik dengan ancaman atau paksaan, pada kondisi korban yang tidak sadar, terbelakang mental, atau di bawah usia 14 tahun. 6. Kekerasan seksual pada anak, adalah hubungan seksual yang dipaksakan pada anak-anak oleh orang lain. Berbagai jenis perkosaan yang telah peneliti kemukan di atas digunakan untuk batasan acuan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Jadi dapat dikatakan korban perkosaan yang akan digunakan menjadi sampel bisa dalam Universitas Sumatera Utara berbagai jenis kasus perkosaan asalkan sampel tersebut sudah memenuhi kriteria dari jenis-jenis perkosaan yang ada diatas. II.B.4. Reaksi Korban Perkosan a. Reaksi Selama Perkosaan Menurut Matlin dalam Fausiah, 2002 tidak ada reaksi tunggal yang dilakukan oleh korban selama mengalami perkosaan. Respon korban tergantung pada persepsinya, antara lain apakah perkosaan itu sesuatu yang tiba-tiba atau dilakukan pada saat kencan, tahapan perkembangan korban, apakah ia mengenal pelaku. Akan tetapi kebanyakan perempuan yang mengalami perkosaan menyebutkan bahwa mereka sangat gelisah, ketakutan, khawatir, merasa ngeri, dan bingung, dengan barbagai pikiran muncul di kepala mereka Killpatrick, Resick, Veronen dalam Fausiah, 2002. Respons “fright-panic” semacam ini terutama terjadi pada korban yang menganggap hidup mereka dalam bahaya besar. Persepsi dan daya nilai mereka sangat terganggu, karena segala daya upaya mereka kerahkan untuk bertahan hidup Katz Mazur dalam Fausiah, 2002. Selanjutnya mereka menambahkan, bahwa dari sudut pandang korban, kekerasan seksual terjadi tanpa diperkirakan. Maka ketika serangan terjadi, mereka mengalami shock, tidak dapat melakukan suatu tindakan dan berpikir jernih. Akibatnya korban tidak dapat bereaksi secara efektif. Timbul kontroversi di masyarakat tentang perlu atau tidaknya korban memberikan perlawanan. Sebenarnya, hampir seluruh korban melawan, baik Universitas Sumatera Utara secara fisik maupun verbal, yang derajatnya tergantung dari beberapa faktor Fausiah, 2002. Penelitian menunjukan remaja dan orang dewasa lebih mungkin melakukan perlawanan dari pada korban yang lebih muda. Perempuan dari tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah lebih mungkin menunjukan perlawanan secara fisik, jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi. Juga perempuan lebih mungkin melawan jika pelaku tidak melakukan kejahatan lain dan tanpa senjata Kartz Mazur dalam Fausiah, 2002. b Reaksi Setelah Perkosaan Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban, beban semakin berat dengan adanya masalah psikologis yang dialami korban sesudah adanya peristiwa perkosaan. Korban mengalami apa yang disebut sebagai Rape Trauma Syndrome dalam Wrightsman, 2000 . Ada 2 jenis tahapan dalam Rape Trauma Syndrome yaitu: acute crisis phase dan long term reaction, berikut ciri-ciri dari kedua phase tersebut: 1. Acute Crisis Phase Acute crisis phase ditandai dengan perubahan yang menjadi kacau, shock, pengalaman diserang berulang dalam pikiran, mimpi buruk, insomnia, terhina, merasa buruk, bersalah, malu, dan dorongan menyalahkan diri, marah, serta keinginan untuk balas dendam. Seringkali, korban menyadari bahwa perasaan- perasaan negatif ini muncul dalam situasi yang tidak seharusnya. Misalnya marah Universitas Sumatera Utara berlebihan, terlalu mendisiplinkan anak, terlalu sensitif terhadap pembicaraan mengenai perkosaan. Reaksi fisik seperti : Gemetaran, detak jantung cepat, sakit, otot-otot menjadi tegang, nafas memburu, mati rasa. Bahkan ada yang sampai depresi, bunuh diri, harga-diri menurun. Terganggu pola makan dan tidur, untuk tingkat tertentu kepribadian menjadi tidak menentu seperti : bingung dan disorientasi, mematung dan mati rasa sehingga mereka tidak berespon dengan lingkungannya. 2. Long-Term Reaction Perkosaan akan merusak kehidupan seseorang, tidak hanya dalam hitungan hari atau minggu namun bahkan bulan atau tahun. Dalam keseharian, setelah peristwa perkosaan berlalu relatif lama, korban mungkin terlihat telah menjalani kehidupan dengan wajar. Akan tetapi, jika kita memperhatikan dan mendengarkan pembicaraannya dengan sungguh-sungguh, akan tampak adanya luka psikologis yang sebelumnya tersembunyi. Pada long–term reaction bentuk yang terjadi berupa: cemas, bersalah, malu, fantasi menakutkan, merasa kotor, tidak berdaya atau isolasi, dan simtom fisik berupa: perkembangan kognisi terganggu ”selalu dihantui” secara jelas oleh memori yang traumatik, phobia, masalah seksual, perubahan gaya hidup Berbagai reaksi selama dan setelah terjadi perkosaan akan menjadi acuan bagaimana sesungguhnya reaksi selama dan setelah perkosaan terjadi pada korban, bentuk dari reaksi ini akan mempengaruhi bagaimana proses pemaafan yang akan mereka lewati karena reaksi ini adalah bentuk dari emosi-emosi negatif Universitas Sumatera Utara yang merupakan manifestasi dari rasa tidak memaafkan unforgiveness yang akan bisa berubah menjadi pemaafan. II.C. Dinamika Pemaafan pada Korban Perkosaan Sulit untuk membatasi pengertian dari perkosaan hal ini dikarenakan kasus itu sendiri yang sangat sensitif. Berbagai macam jenis dan bentuk perkosaan yaitu berupa cara melakukannya dan berdasarkan pelakunya Hasbianto Triningtyasasih dalam Fausiah, 2002. Foley Davies dalam Fausiah, 2002 mengemukakan pembagian lain dari perkosaan, yang meliputi: percobaan perkosaan, statutory rape, incest, indecent assault, involuntary deviate sexual intercouse, kekerasan seksual pada anak. Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Berbagai respon akan dimunculkan oleh korban perkosaan, respon yang muncul biasanya berupa reaksi perilaku dan reaksi emosional. Reaksi tersebut akan ditunjukan mulai dari selama perkosaan sampai reaksi setelah perkosaan. Menurut Matlin dalam Fausiah, 2002 tidak ada reaksi tunggal yang dilakukan oleh korban selama mengalami pekorsaan. Respon korban tergantung pada persepsinya, antara lain apakah perkosaan itu sesuatu yang tiba-tiba atau dilakukan pada saat kencan, tahapan perkembangan korban, apakah ia mengenal pelaku. Sedangkan reaksi yang muncul setelah perkosaan berupa: korban akan dihinggapi berbagai rasa takut, antara lain takut akan reaksi keluarga dan teman- teman, takut orang lain tidak mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh Universitas Sumatera Utara dokter, takut melapor pada aparat, atau takut pemerkosa melakukan balas dendam jika ia melapor. Di samping itu korban juga mengalami serangkaian reaksi emosional seperti syok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris. Reaksi yang ditunjukan oleh diatas dapat dikatakan sebagai kondisi tidak memaafkan. Warthington 1999 mendefinisikan tidak memaafkan sebagai emosi negatif yang melibatkan kemarahan, kegetiran, dan kebencian, bersamaan dengan motivasi menghindar atau pembalasan terhadap pelaku orang yang berbuat salah. Worthington juga mengemukakan untuk mengurangi tidak memaafkan adalah dengan menciptakan pemaafan. Jadi begitu juga halnya dengan korban perkosaan emosi-emosi negatif yang dimilikinya seperti kemarahan, kegetiran, penolakan diri bahkan trauma dapat dipulihkan kembali dengan menciptakan pemaafan. Terdapat 4 fase dalam pemaafan, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman. Enright 2001 mengatakan bahwa pemaafan forgiveness merupakan pilihan choice apakah seseorang memilih memafkan atau tidak memaafkan, jadi tidak semua orang mau memaafkan dan mampu melakukan pemaafan setelah melalui peristiwa yang menyakitkan. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa seseorang tidak mau atau enggan untuk memaafkan. Menurut Baumeister, Exline sommer dalam Worthington, 1998, faktor yang mempengaruhi untuk memilih memaafkan adalah banyaknya pengorbanan yang harus dilakukan, kecenderungan munculnya kembali peristiwa yang menyakitkan, penderitaan diri yang masih dirasakan, harga diri dan dendam. Faktor lain yang Universitas Sumatera Utara juga mempengaruhi adalah respon pelanggar, karakteristik serangan, kualitas hubungan interpersonal, faktor kepribadian, nilai-nilai agama, proses emosional dan kognitif, lamanya waktu setelah peristiwa yang menyakitkan tersebut terjadi. Peneliti juga berasumsi bahwa faktor usia, perkawinan jika pelaku menikahi korban, pendidikan, suku bangsa, juga mempengaruhi korban untuk memilih memaafkan pelaku. Baumeister, Exline Sommer dalam Worthington, 1998, mengatakan bahwa ada dua dimensi utama mayor dalam pemaafan yaitu: terdapat dimensi interpersonal dan dimensi intrapsikis. Pada dimensi interpersonal seorang korban memaafkan pelaku yang telah melukainya bukan semata-mata demi kepentingan diri korban melainkan justru demi menolong pelaku, pelaku tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai pelaku kejahatan offender. Pada dimensi kedua yaitu intrapsikis intrapychic pemaafan pada dimensi ini ditandai dengan korban berhenti merasa marah atau benci terhadap pelaku kejahatan dan mulai memahami peristiwa dari sudut pandang pelaku kejahatan tersebut. Kedua dimensi utama pemaafan forgiveness ini selanjutnya kemudian akan membentuk 4 macam kombinasi pemaafan forgiveness yaitu : hollow forgiveness korban dapat memaafkan secara interpersonal, namun tidak memaafkan secara intrapsikis, silent forgiveness korban secara intrapsikis mampu memaafkan transgressor, namun tidak mampu memaafkan secara interpersonal, total forgiveness korban dapat memaafkan pelaku pelanggaran baik secara intrapsikis maupun intrapersonal dan no forgiveness dalam kombinasi ini korban baik secara interpersonal ataupun intrapsikis tidak dapat memaafkan pelaku. Universitas Sumatera Utara Gambar 1 Dinamika pemaafan pada korban perkosaan Hasbianto Triningtyasasih  Berdasarkan pelakunya  Berdasarkan cara melakukanya Foley Davies  Attempted rape  Statutory rape  Incest  Indecent assault  Involuntary deviate sexual intercause  pedophilia Reaksi selama perkosaan Pemaafan  Respon pelanggar  Karakteristik serangan  Kualitas hubungan interpersonal  Faktor kepribadian  Nilai-nilai agama  Lamanya waktu yang sudah dilewati setelah kejadian  Proses emosional dan kognitif Interpersonal Intrapsikis  Hollow forgiveness  Silent forgiveness  Total forgiveness  No forgiveness Reaksi setelah perkosaan KORBAN PERKOSAAN Proses pemaafan  Usia  Pendidikan  Suku  Status perkawinan Universitas Sumatera Utara Keterangan : : dibahas dalam penelitian : Responden : Korelasi : yang ingin diteliti Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN