Analisis Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong sebagai Bahan Bakar Alternatif Biobriket

(1)

An Analysis of Cassava Skin Processing as Biobriket

Purwita Wijaya and Aji Hermawan

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 Bogor, West Java,

Indonesia.

Email

ABSTRACT

Cassava skin is by-product of cassava processing such tapioca starch. In tapioca processing the skin waste accounts for approximately 15% of the total production input. The skin waste has a potential to be processed as biobriket in order to increase its added value. This study analyze the technical and economical dimension of the production.

The research tests six combinations of material composition and pre-treatment of the biobriket. The production cost of each combination is also calculated. The results show that the highest calorific value is resulted from the composition of 100 percent charcoal and material sortation before combustion. The calorific value is 6.117 cal/gram. Although this composition and treatment has the highest production cost, but its cost per calory is the lowest. The performance of the biobricket produced s also tested and it is proved fulfilling the quality requirements of a briket product.


(2)

Purwita Wijaya. F34080114. Analisis Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong sebagai Bahan Bakar Alternatif Biobriket. Di bawah bimbingan Aji Hermawan dan Djeni Hendra 2012.

RINGKASAN

Limbah kulit singkong merupakan limbah padat yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan singkong seperti pada industri tapioka ataupun turunannya dengan kuantitas yang mencapai 15% per tahun dari jumlah produksi olahan singkong. Melimpahnya limbah yang tidak termanfaatkan sangat erat kaitannya dengan potensi pencemaran lingkungan sehingga perlu dicari solusi dalam penanganan limbah tersebut.

Biobriket merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah guna meningkatkan nilai tambah limbah hasil pertanian, seperti limbah kulit singkong (manihot utilissima) sebagai bentuk biomasa. Pemanfaatan limbah kulit singkong kering sebagai bahan bakar padat alternatif briket guna menghasilkan energi panas sebagai sumber energi dalam proses pengeringan tapioka basah sehingga dapat mengurangi penggunaan Bahan Bakar batu bara oleh industri yang harganya semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Pada penelitian ini dilakukan beberapa perlakuan terhadap metode dan komposisi susunan bahan baku pembuatan biobriket dari kulit singkong. Nilai kalor tertinggi yang dihasilkan dari beberapa jenis perlakuan dan besar biaya produksi yang dihasilkan merupakan parameter dipilih atau tidaknya komposisi tersebut sebagai biobriket dengan komposisi terbaik. Dilakukan enam perlakuan berbeda terhadap metode dan komposisi bahan baku penyusun briket. Perlakuan satu dan perlakuan empat menggunakan metode briket kayu, yaitu pembuatan briket yang tanpa melalui proses karbonasi. Perlakuan dua dan seterusnya menggunakan metode briket arang, yaitu pembuatan briket yang melalui proses karbonasi terlebih dahulu. Pada perlakuan dua, komposisi bahan baku tersusun dari 100% arang. Perlakuan tiga komposisi bahan baku tersusun dari 50% arang dan 50% kulit. Perlakuan empat komposisi bahan baku yang telah disortasi terdiri dari 100% kulit. Perlakuan lima komposisi bahan baku yang telah disortasi terdiri dari 50% arang dan 50% kulit. Sedangkan pada perlakuan enam komposisi bahan baku terdiri dari 100% arang yang sebelumnya telah disortasi terlebih dahulu dari kotoran seperti tanah, pasir, dan batu. Produk briket dibuat dengan menggunakan perekat tapioka 5 %, kemudian dikeringkan dalam drying oven 60°C hingga kadar air briket mencapai ± 10 % atau pada kondisi layak bakar.

Parameter pengukuran kualitas bahan bakar biobriket dihitung dari nilai kalor yang dimilikinya. Berdasarkan perhitungan uji nilai kalor dari keenam perlakuan tersebut, nilai kalor tertinggi dihasilkan dari perlakuan nomor enam (6.117 kal/gram), yaitu susunan 100% arang yang sebelumnya telah disortasi terlebih dahulu dari kotoran seperti tanah, pasir, dan batu. Secara umum, produk briket ini telah memenuhi syarat kualitas briket. Hasil analisis kelayakan biobriket berbahan


(3)

baku kulit singkong ini menunjukkan bahwa briket biomasa ini dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar batu bara yang saat ini banyak digunakan oleh industri-industri sebagai bahan bakarnya.


(4)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun limbah. Selain digunakan untuk tujuan primer serat, pakan ternak, minyak nabati, dan bahan bangunan, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Kandungan energi yang ada dalam biomassa cukup tinggi, yaitu antara 4.000 – 5.000 kkal/kg. Oleh karena itu saat ini sumber energi alternatif dari biomassa sedang banyak diteliti dan dikembangkan karena sifatnya yang melimpah, mudah diperoleh, dapat diperbaharui secara cepat, dan kandungan energinya yang cukup tinggi. Pada umumnya biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar adalah biomassa yang memiliki nilai ekonomis rendah atau merupakan hasil ekstraksi produk primer. Saat ini diperkirakan Indonesia mempunyai potensi energi biomassa cukup besar yang bersumber dari berbagai limbah biomassa pertanian, seperti: produk samping kelapa sawit, penggilingan padi, pengolahan tapioka, pabrik gula aren, produk samping jarak pagar, pabrik tembakau, pabrik gula, kakao, dan limbah pertanian lainnya.

Pertumbuhan sektor agroindustri yang semakin meningkat dapat berpotensi meningkatkan limbah yang dihasilkan baik saat proses produksi bahan baku maupun proses pengolahannya. Melimpahnya limbah yang tidak termanfaatkan sangat erat kaitannya dengan potensi pencemaran lingkungan sehingga perlu dicari solusi dalam penanganan limbah tersebut.

Pada industri pengolahan tapioka, limbah padat terbesar yang dihasilkan pada proses pengolahan adalah limbah berupa bonggol dan kulit singkong. Setiap singkong dapat menghasilkan 10 – 15% limbah kulit singkong. Limbah kulit singkong dalam jumlah besar ini dapat menyebabkan penumpukkan yang berakibat pada perusakan lingkungan apabila tidak dimanfaatkan dengan baik. Jumlah kulit singkong yang berada dalam jumlah besar ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku energi terbarukan yang ramah lingkungan, karena berperan sebagai sumber energi terbarukan, pemanfaatan limbah kulit singkong yang dapat berdampak negatif pada lingkungan serta memberikan nilai tambah pada limbah. Selain itu, limbah kulit singkong berpotensi untuk menjadi sumber energi terbarukan karena perannya sebagai limbah biomassa yang dapat diolah menjadi biobriket sebagai alternatif bahan bakar.

Biobriket adalah briket yang dibuat dari bahan biomassa atau limbah biomassa. Biobriket banyak diterapkan di negara-negara Asia bagian selatan seperti Indonesia, India, dan Thailand. Biobriket merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah guna meningkatkan nilai tambah limbah hasil pertanian, seperti limbah kulit singkong (Mannihot utilissima) sebagai bentuk biomasa. Pemanfaatan limbah kulit singkong sebagai bahan bakar padat alternatif briket guna menghasilkan


(5)

energi panas sebagai sumber energi dalam proses pengeringan tapioka basah menjadi bentuk tepung sehingga dapat mengurangi penggunaan Bahan Bakar Migas (batu bara) yang harganya semakin meningkat dari waktu ke waktu.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) meningkatkan pemanfaatan limbah kulit singkong melalui pembuatan biobriket sebagai bahan bakar alternatif pengganti batubara. (2)mengetahui pengaruh komposisi kulit singkong danarang kulit singkong, pada nilai kalor pembakaran biobriket limbah kulit singkong.(3) menentukan formulasi bahan baku dan bahan tambahanyang menghasilkan nilai kalor pembakaran terbaik.(4) mengetahui perbandingan penggunaan energi selama proses pembuatan biobriket dengan energi yang dihasilkan oleh biobriket dengan formulasi terbaik dan untuk mengetahui kelayakan usaha dari pendirian industri biobriket.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan tentang pemanfaatan limbah kulit singkong hasil produksi produk olahan berbasis singkong dalam memproduksi biobriket dari limbah kulit singkong, dan mengetahui pengaruh penambahan berbagai konsentrasi bahan tambahan berupa arang kulit singkong, serbuk kulit singkong, dan perekat tapioka terhadap nilai kalor pembakaran. 2. Bagi peneliti lanjutan

Sebagai sumber informasi dan dapat dikembangkan ke peneliti selanjutnya. 3. Bagi industri

Sebagai sumber informasi untuk menambah pengetahuan tentang pemanfaatan limbah kulit singkong menjadi biobriket sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar batubara. 4. Bagi masyarakat

Sebagai sumber informasi untuk menambah pengetahuan tentang pemanfaatan limbah industri pengolahan singkong sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif terbarukan biobriket.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SINGKONG

Ubi kayu merupakan tanaman yang banyak terdapat di Indonesia. Ubi kayu dikenal di Indonesia dengan nama lain ketela pohon atau singkong (Gambar 1(a).). Ubi kayu memiliki nama botani Manihot esculenta Crantz tapi lebih dikenal dengan nama lain Manihot utilissima. Tanaman ubi kayu termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Rukmana, 1997).

Laporan United Nation Industrial Development Organizatin (UNIDO) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil ubi kayu terbesar kedua di Asia setelah Thailand, sementara di dunia menempati urutan kelima setelah Nigeria, Brazil, Thailand, dan Kongo (Deptan, 2005). Tabel 1 menunjukkan produksi hasil pertanian sekunder di Indonesia pada tahun 2004-2008 dalam satuan ton.

Tabel 1. Produksi hasil pertanian sekunder di Indonesia (Ton)( BPS, 2008) Tahun Jagung Kedelai Singkong Ubi jalar 2004 11.225.243 723.483 19.424.707 1.901.802 2005 12.523.894 808.353 19.321.183 1.856.969 2006 11.609.463 747.611 19.986.640 1.854.238 2007 13.287.527 592.534 19.988.058 1.886.852 2008 16.323.922 776.491 21.593.053 1.876.944

Umumnya, ubi kayu atau yang lebih dikenal dengan singkong ini dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pangan, misalnya untuk keripik, singkong goreng, industri tape dan industri tapioka. Dari seluruh pemanfaatan tersebut, terdapat limbah padat yang dihasilkan, yaitu onggok dari industri tapioka dan kulit singkong dari semua jenis penggunaan.

B. LIMBAH KULIT SINGKONG

Selama ini, kulit ubi kayu masih jarang dimanfaatkan secara optimal. Menurut Grace (1977), kulit ubi kayu pada umumnya hanya digunakan sebgai makanan ternak dan sebgai makanan ringan seperti keripik (dengan cara digoreng). Kulit ubi kayu dengan mudah dapat dipisahkan dari umbinya dengan ketebalan 2-3 mm (Gambar 1(b).). Menurut Grace (1977), persentase kulit ubi kayu yang dihasilkan berkisar antara 8-15% dari berat umbi yang dikupas, dengan kandungan karbohidrat sekitar 50% dari kandungan karbohidrat bagian umbinya. Menurut Hayati (2008), kulit singkong memiliki


(7)

rataan nilai kadar air sebesar 10.06-13.14%, rataan nilai daya serap air berkisar 82.49%-169.78%, rataan nilai pengembangan tebal sekitar 35.70-102.30%, dan rataan nilai kerapatannya berkisar 0.86-0.87g/cm3.

Gambar 1. (a) Singkong (b) Kulit singkong.

Kulit ubi kayu mempunyai komposisi yang terdiri dari karbohidrat dan serat. Menurut Djaeni (1989), kulit ubi kayu mengandung ikatan glikosida sianogenik yaitu suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun dalam jumlah 0.1% yang dikenal sebagai racun biru (linamarin). Oleh karena itu, pemanfaatan kulit ubi kayu belum terlalu luas. Namun sebenarnya racun tersebut dapat dihilangkan dengan cara menguapkannya atau mengeringkannya pada suhu tinggi.

C. DEFINISI BIOBRIKET

Biobriket adalah briket yang dibuat dari bahan biomassa atau limbah biomassa. Biobriket banyak diterapkan di negara-negara asia bagian selatan seperti Indonesia, India, dan Thailand (Bhattacharya et al., 1985). Briket merupakan suatu hasil pemanfaatan biomassa dengan metode densifikasi atau pengempaan (Lab. Energi dan Elektrifikasi Pertanian IPB, 2008).

Briket merupakan bahan bakar padat dengan dimensi tertentu yang seragam, diperoleh dari hasil pengempaan bahan berbentuk curah, serbuk, berukuran relatif kecil atau tidak beraturan sehingga sulit digunakan sebagai bahan bakar dalam bentuk aslinya (Agustina dan A. Syafrian, 2005). Kelebihan penggunaan briket limbah biomasa sebagai substitusi kerosene dan LPG antara lain :

1) Biaya bahan bakar lebih murah.

2) Tungku dapat digunakan untuk berbagai jenis briket. 3) Lebih ramah lingkungan (green energy).

4) Merupakan sumber energi terbarukan (renewable energy).

5) Membantu mengatasi masalah limbah dan menekan biaya pengelolaan limbah.

D. PEMBUATAN BIOBRIKET

Pembuatan biobriket kulit singkong melalui beberapa tahapan, diantaranya sortasi, pengarangan dan penggilingan kulit, pencampuran dengan perekat, pencetakan/pengempaan briket dan pengeringan.


(8)

1.) SORTASI

Sortasi bahan didahului dengan penghancuran bentuk serat menjadi struktur serasah (cacahan). Alat yang digunakan untuk membuat struktur serat menjadi bentuk cacahan antara lain hammer mill, cutting mill, ataupun slicer.

2.) KARBONASI

Karbonasi atau disebut juga sebagai Pirolisis merupakan proses penguraian biomassa karena panas (Hayati et al., 2008). Pirolisis dapat berlangsung melalui panas yang dihasilkan yaitu pada suhu lebih dari 150oC. Pirolisis mempunyai manfaat untuk meningkatkan nilai kalor, mengurangi asap saat pembakaran, menurunkan kadar air dan mempermudah pemyimpanan dan pendistribusian. Berdasarkan tingkatan proses pirolisa yang dilakukan, proses pirolisa dapat digolongkan menjadi pirolisa primer dan pirolisa sekunder. Pirolisa primer adalah proses yang terjadi secara langsung terhadap bahan bakunya. Pirolisa sekunder adalah proses yang terjadi pada bahan partikel yang merupakan kelanjutan dari hasil gas atau uap sebagai hasil dari pirolisa primer. Pirolisis juga dapat diartikan sebagai proses penguraian panas tanpa melibatkan gas oksigen dari udara secara langsung. Hasil pirolisis dikenal sebagai arang.

Karbonisasi merupakan suatu proses dengan memanaskan kayu atau bahan organik pada suhu tertentu dengan udara terbatas. Dimana pada tahap awal pemanasan bahan organik akan mengering. Jika suhu dinaikan, maka bahan organik akan membusuk, melepaskan beberapa bahan kimia organik, dan meninggalkan sisa yang terdiri dari karbon murni (Bhattacharya et al., 1985). Sedangkan Achmad (1991) menambahkan karbonisasi merupakan proses pembakaran biomassa menggunakan alat pirolisis dengan oksigen terbatas. Proses degradasi limbah dengan cara karbonisasi ini berlangsung dalam waktu yang relatif cepat.

Hasil penelitian oleh Sudrajat (1983) mengatakan bahwa karbonisasi pada sekam padi bertujuan untuk menguraikan kadar zat terbang penyebab asap dan meningkatkan nilai kalor pembakaran. Tidak adanya oksigen dalam proses karbonisasi akan menyebabkan hilangnya komponen zat terbang dari bahan. Sedangkan bagian karbon akan tetap tinggal di dalam bahan.

Palz (1985) menyatakan bahwa, proses pirolisis berlangsung secara bertingkat, molekul hemiselulosa terdegradasi pada suhu 200-260○ C, selulosa pada suhu 240-350○ C, dan lignin pada suhu 280-500○ C. Pada suhu di bawah suhu 170○ C hanya air murni yang dilepas. Di atas suhu tersebut, mulai terjadi proses karbonisasi dan pada suhu 250○ C dekomposisi atau pembusukan parsial mulai berlangsung. Di antara 250 – 270○ C suatu reaksi eksotermik berawal dan karbonisasi terjadi tanpa memerlukan bahan dari sumber luar.

Arang merupakan hasil dari proses karbonisasi yang mengandung karbon. Arang bermanfaat sebagai sumber energi terutama jika dikembangkan menjadi briket dengan teknologi pengepresan (Hayati 2008). Sudrajat dan Soleh (1994) menambahkan bahwa, arang memiliki bentuk padat dan


(9)

berpori, dimana sebagian besar porinya masih tertutup oleh hydrogen, ter, dan senyawa organic lain, seperti: abu, air, nitrogen, dan sulfur. Teknologi yang dapat digunakan untuk membuat arang kayu adalah genahar atau kiln. Karbonisasi kayu menjadi arang akan menghasilkan rendemen yang dapat mencapai kira-kira 30% (b/b).

Hasil penelitian Bergman (2004) menyatakan bahwa, pada proses karbonisasi bungkil jarak pagar, suhu karbonasasi berbanding terbalik dengan rendemen arang yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu karbonisasi, maka rendemen arang yang dihasilkan akan semakin kecil dan begitu pula sebaliknya. Suhu karbonisasi berbanding lurus dengan nilai kalor pembakaran. Semakin tinggi suhu karbonisasi, maka nilai kalor yang dihasilkan akan semakin tinggi pula. Sedangkan pada hasil penelitian Agustina (2005) menyatakan bahwa cangkang kelapa sawit yang dikarbonisasi akan menghasilkan arang dengan ukuran yang seragam dan berwarna hitam. Rendemen arang yang diperooleh rata-rata adalah 38,81% (w/w). Arang dengan tingkat kematangan yang lebih sempurna diperoleh pada proses pirolisis dengan suhu 385○ C dengan tingkat kematangan sekitar 86%. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka sebagian arang berubah menjadi abu dan gas-gas yang mudah menguap, sehingga rendemennya cenderung menurun. Akibat peningkatan suhu yang tinggi pada proses pirolisis, sebagian arang dapat berubah menjadi abu, gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon.

Pembuatan biobriket dapat menghasilkan produk biobriket dengan berbagai hasil. Perbedaan ini terlihat dari jenis bahan baku, kadar air bahan baku (Hayati., 2008), kekuatan tekanan dalam pemgempaan (Ooi dan Shiddiqui, 2000). Semakin tinggi kadar air, kekuatan dari biobriket semakin lemah (Tabel 2.). Semakin tinggi tekanan yang diberikan, maka kekuatan dari briket akan semakin besar dan nilai kalor serta densitas juga bertambah (Gambar 2 (a).), namun laju pembakaran berkurang (Gambar 2 (b)).


(10)

Gambar 2 (a) Hubungan tekanan dan densitas. (b) Hubungan tekanan dan laju pembakaran (Ooi dan Shiddiqui, 2000).

Sudrajat (1994) menyatakan bahwa arang yang berkualitas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Mempunyai kandungan arang (fix karbon) diatas 75%. 2. Cukup keras ditandai dengan tidak mudah patah dan hancur. 3. kadar abunya tidak lebih dari 5%

4. kadar zat menguapnya tidak lebih dari 8% 5. kadar air tidak lebih dari 15%

6. tidak tercemar oleh unsur-unsur yang membahayakan atau kotoran lainnya.

3.) PENGECILAN UKURAN

Menurut Nurhayati (1983), ukuran serbuk arang yang halus untuk bahan baku briket arang akan mempengaruhi keteguhan tekan dan kerapatan briket arang. Semakin halus maka kerapatannya akan semakin meningkat. Makin halus ukuran partikel, makin baik briket yang dihasilkan. Tetapi untuk menghasilkan briket yang lebih baik maka ukuran partikel sebaiknya seragam (uniform) (Boedjang, 1973). Ukuran partikel yang terlalu besar akan sukar pada waktu dilakukan perekatan, sehingga mengurangi keteguhan tekan briket yang dihasilkan. Sebaiknya partikel mempunyai ukuran 40-60 mesh (Mikrova, 1985).

Pengecilan ukuran adalah suatu bentuk proses penghancuran dari pemotongan bentuk padatan menjadi bentuk yang lebih kecil oleh gaya mekanik. Terdapat empat cara yang diterapkan pada mesin-mesin pengecilan ukuran, yaitu (1) kompresi, pengecilan ukuran dengan tekstur yang keras (2) impact atau pukulan, digunakan untuk bahan padatan dengan tekstur kasar (3) attrition, digunakan untuk menghasilkan produk dengan tekstur halus dan (4) cutting, digunakan untuk menghasilkan produk dengan ukuran dan bentuk, tekstur tertentu (Mc. Cabe et al., 1976).


(11)

Bahan baku untuk membuat briket harus cukup halus untuk dapat membentuk briket yang baik. Ukuran partikel yang terlalu besar akan sukar pada waktu melakukan perekatan sehingga mengurangi keteguhan tekan dari briket yang dihasilkan (Ramaswarmi, 1937). Perbedaan ukuran serbuk mempengaruhi keteguhan tekan dan kerapatan briket yang dihasilkan (Boejang, 1973).

4.) PENCAMPURAN DENGAN PEREKAT

Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak berasap (pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah tangga sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991). Sedangkan menurut Hayati (2008), ada beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai perekat yaitu pati, clay, molase, resin tumbuhan, pupuk hewan dan ter. Perekat yang digunakan sebaiknya mempunyai bau yang baik ketika dibakar, kemampuan merekat yang baik, harganya murah, dan mudah didapat.

Bahan perekat dari tumbuh-tumbuhan seperti pati (tapioka) memiliki keuntungan dimana jumlah perekat yang dibutuhkan untuk jenis ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan bahan perekat hidrokabon. Kelemahannya adalah briket yang dihasilkan kurang tahan terhadap kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Molase memiliki sifat relatif tahan terhadap kelembaban (Goutara dan Wijandi, 1975). Asap yang terjadi saat pembakaran disebabkan karena adanya komponen mudah menguap seperti air, bahan organik, dan lain-lain yang terkandung dalam perekat molase (Boedjang, 1973). Menurut Sudrajat (1983), jenis perekat yang digunakan dalam pembuatan briket arang berpengaruh terhadap kerapatan, keteguhan tekan, nilai kalor bakar, kadar air dan kadar abu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perekat pati menghasilkan briket dengan kerapatan dan kadar abu lebih tinggi daripada perekat molase, tetapi menghasilkan keteguhan tekan dan nilai kalor bakar lebih rendah.


(12)

Tabel 3. Komposisi Kimia ketela pohon, gaplek, dan tapioka

Komposisi Ketela Pohon Terkupas Gaplek Tapioka

Kalori (per 100 gram) 146 338 363

Karbohidrat (%) 34.7 81.3 88.2

Protein (%) 1.2 1.5 1.1

Lemak (%) 0.3 0.7 0.5

Air (%) 62.5 14.5 9.1

Calcium (mg/100 gr) 33.0 80.0 84.0

Phosphor (mg/100 gr) 40.0 60.0 125.0

Ferrum (mg/100 gr) 0.7 1.9 1.0

Vitamin B1 (mg/100 gr) 0.06 0.04 0.4

Vitamin C (mg/100 gr) 30.0 0 0

Sumber : Sudrajat (1994)

Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubikayu yang telah mengalami proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan pengeringan. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari pati. Ukuran 7 granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron. Pati ubi kayu terdiri dari molekul amilosa dan amilopektin yang jumlahnya berbeda-beda tergantung jenis patinya (Ma’arif et al., 1984).

Gaplek adalah umbi akar ketela pohon terkupas yang telah dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari (penjemuran) atau pengering buatan. Kandungan air gaplek antara 14-15% akan tahan disimpan selama 3-6 bulan (Makfoeld, 1982).

Perekat adalah suatu bahan yang mampu menggabungkan bahan dengan cara perpautan antara permukaan yang dapat diterangkan dengan prinsip kohesi dan adhesi (Brawn et al., 1952). Tujuan pemberian perekat (bahan pengikat) adalah untuk memberikan lapisan tipis dari perekat pada permukaan briket sebagai upaya memperbaiki konsistensi atau kerapatan dari briket yang dihasilkan. Dengan pemakaian perekat maka tekanan yang diperlukan akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan briket tanpa memakai bahan pengikat (Boedjang, 1973).


(13)

Hartoyo (1978) membagi cara mengerasnya perekat ke dalam lima cara, yaitu : 1. Kehilangan air, seperti perekat tapioka

2. Kehilangan air yang diikuti oleh reaksi kimia seperti perekat casein dan kedelai

3. Pendinginan sehingga terbentuknya gelatin yang diikuti oleh kehilangan air seperti perekat-perekat hewan

4. pemanasan hingga suhu tertentu seperti perekat dari darah

5. Reaksi kimia pada suhu kamar atau suhu tinggi seperti perekat-perekat sintetis.

Hartoyo (1978) mengajukan komposisi untuk 40 gram arang dibutuhkan 2 gram tapioka yang ditambahkan air ke dalamnya dengan suhu 70 oC sampai terbentuk kanji. Achmad (1991) menyatakan bahwa untuk setiap 1 kg serbuk arang cukup dicampurkan dengan perekat yang terdiri dari 30 gram tepung tapioka (3 % dari berat serbuk arang) dan air sebanyak 1 liter. Kadar perekat dalam briket tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan penurunan mutu briket arang yang sering menimbulkan banyak asap. Kadar perekat yang digunakan umumnya tidak lebih dari 5 %.

Hasil penelitian Sudrajat dan Soleh (1994) menunjukkan bahwa briket arang dengan tepung kanji sebagai bahan perekat akan sedikit menurunkan nilai kalornya bila dibandingkan dengan nilai kalor kayu dalam bentuk aslinya.

5.) PENCETAKAN / PENGEMPAAN

Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa densifikasi atau pengempaan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sifat fisik suatu bahan agar mudah dalam penggunaan dan pemanfaatannya selanjutnya diperoleh peningkatan efisiensi nilai dari bahan yang digunakan. Densifikasi diterapkan pada bahan curah atau dengan sifat fisik yang tidak beraturan. Hasil dari proses pengempaan ini disebut dengan briket.

Limbah biomasa sebagai bahan baku dapat diubah dalam bentuk briket sebagai hasil pengempaan. Pengempaan ini dilakukan dengan tekanan tertentu untuk memperoleh bentuk briket dengan kepadatan yang dikehendaki. Pada pembuatan briket, sebelum dikempa bahan baku yang akan dijadikan briket dicampur terlebih dahulu dengan bahan perekat. Setelah pengempaan, dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air briket.

Sebelum dilakukan pengempaan, perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu : kondisi bahan, perekat, tekanan pengempaan, alat dan mesin pengempa, karbonisasi (bila diperlukan) dan mutu briket yang dihasilkan. Perlakuan bahan sebelum pengempaan antara lain adalah sortasi untuk memisahkan bahan baku dari benda asing, penggilingan untuk menyeragamkan ukuran bahan dan proses pengeringan untuk mengurangi kadar air pada bahan. Mutu briket sebagai bahan bakar dipengaruhi oleh jenis bahan baku, jumlah perekat dan kadar air briket. Faktor lain yang berpengaruh adalah tekanan pengempaan itu sendiri (Abdullah et al., 1991).


(14)

Besarnya tekanan pengempaan akan berpengaruh juga terhadap densitas dan porositas briket yang dihasilkan dan lebih lanjut akan berpengaruh terhadap efisiensi pembakaran briket sebagai bahan bakar. Pengempaan dengan tekanan tinggi tidak selalu menghasilkan mutu briket yang lebih baik karena dapat menurunkan efisiensi pembakaran dan menyulitkan dalam penggunaannya. Prosedur pembuatan briket biomasa dijelaskan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Proses pembuatan briket biomasa (Agustina, 2006)

Alat dan mesin pengempa briket yang telah ada dan digunakan di masyarakat yaitu alat kempa tuas biasa, alat kempa tipe ulir, alat kempa hidrolik (hydraulic). Alat kempa tuas biasa (alat kempa manual) berupa batang yang tegak, lurus dan bekerja dengan prinsip kempa (press) secara manual. Briket yang dihasilkan biasanya berbentuk silinder dengan garis tengah dan ketebalan briket yang terbatas. Alat kempa jenis ini digunakan untuk membuat briket dengan bahan dari berbagai jenis limbah pertanian dan limbah pengolahan hasil pertanian atau pangan.

Gambar 5 (a) Gambar 5 (b)

Gambar 5 (a) dan 5 (b). Alat kempa briket tuas biasa di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Fateta, IPB


(15)

Alat pengempa briket tipe ulir berupa silinder panjang, di dalamnya terdapat ruang-ruang kempa (press chamber). Di dalam ruang kempa terdapat sumbu berbentuk konus yang dapat berputar. Prinsip kerja alat ini menyerupai prinsip kerja ekstruder. Mesin kempa briket jenis ulir (screw pressing) telah dikembangkan di Asian Institute of Technology (AIT), Thailand dengan menggunakan sumber tenaga motor listrik dan motor diesel.

Gambar 6. Alat kempa briket jenis ulir (screw pressing), dikembangkan di Fateta, IPB Menurut Mawarti (2006), pengempa hidrolik umumnya digunakan untuk pengempaan penuh. Pengempa hidrolik ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian pompa hidrolik (hydroulic pump) dan ruang kempa (chamber press). Pengempaan dapat dilakukan dengan beban 30 ton untuk pembuatan 16 contoh uji briket.

Gambar 7. Sketsa alat kempa briket hidrolik di Laboratorium Kimia Kayu dan Kimia Kayu dan Energi, Pusat Penelitian Hasil Hutan Bogor.


(16)

Pengempaan dilakukan untuk menciptakan kontak antara permukaan bahan yang direkat dengan bahan perekat. Setelah perekat dicampurkan dan tekanan mulai diberikan, maka perekat yang masih dalam keadaan cair akan mulai mengalir ke segala arah permukaan bahan. Pada saat bersamaan dengan terjadinya aliran, perekat juga mengalami perpindahan dari permukaan yang diberi perekat ke permukaan yang belum terkena perekat (Mikrova, 1995).

Sudrajat (1983) menyatakan bahwa tekanan pengempaan dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkatkan. Disamping itu tekanan diperlukan supaya perekat dapat menyebar secara sempurna ke dalam celah-celah dan keseluruhan permukaan arang. Dengan demikian pemberian tekanan yang lebih besar akan mengakibatkan ikatan antara molekul-molekul arang akan semakin kuat. Karena dengan memberi tekanan yang lebih besar, jarak ikatan antara atom-atom penyusun arang akan lebih diperpendek, selain itu akan memberikan kecenderungan perekat mengalir keseluruh permukaan serbuk arang semakin sempurna.

Pada umumnya, semakin tinggi tekanan yang diberikan akan memberikan kecenderungan menghasilkan briket dengan kerapatan dan keteguhan tekan yang semakin tinggi pula. Menurut Boedjang (1973), penambahan tekanan melebihi batas tertentu akan menyebabkan kekuatan briket arang menurun kembali karena bahan perekat ikut terbuang keluar. Namun menurut Sudrajat (1984), semakin tinggi tekanan pengempaan, maka semakin tinggi kerapatan briket dengan mengikuti persamaan garis linier. Besarnya tekanan pengempaan akan berpengaruh terhadap kerapatan dan porositas briket arang yang dihasilkan. Briket yang terlalu padat akan sulit terbakar, sedangkan briket yang kurang padat dapat mengakibatkan terurainya briket pada saat pembakaran sehingga menimbulkan kesan tidak bersih meskipun laju pembakarannya cepat (Kamaruddin dan Irwanto, 1989).

6) PENGERINGAN

Briket yang dihasilkan setelah pengempaan masih mengandung air yang cukup tinggi (sekitar 50%). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengeringan yang dapat dilakukan dengan berbagai macam alat pengering seperti klin, oven, atau penjemuran dengan menggunakan sinar matahari. Suhu dan waktu pengeringan yang digunakan dalam pembuatan briket tergantung dari jumlah kadar air campuran dan macam pengering. Suhu pengeringan yang umum dilkukan adalah 60 oC selama 24 jam dengan menggunakan oven.

Hasil penelitian Achmad (1991) menunjukkan lama penjemuran briket adalah tiga hari. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air dalam briket sehingga memudahkan pembakaran briket dan sesuai dengan ketentuan kadar air briket yang berlaku.


(17)

E. SIFAT FISIKO KIMIA BIOBRIKET

1) NILAI KALOR PEMBAKARAN BIOBRIKET

Pembakaran adalah proses oksidasi eksotermal yang berlangsung cepat dan terjadi terutama pada fase gas, kecuali pembakaran karbon terikat pada fase padatan. Untuk bahan bakar padat, komposisi utama bahan bakar harus diubah menjadi fase gas dengan kontak tertutup dalam udara yang mengandung molekul oksigen. Agar berlangsung cepat dan sempurna, temperatur harus cukup tinggi untuk memudahkan penyalaan dan menghasilkan putaran. Kelebihan udara dibutuhkan untuk memperbanyak oksigen yang kontak dengan molekul bahan bakar (Ramsay 1982).

White dan Paskett (1981) menyatakan bahwa bahan bakar memiliki senyawa kimia yang bereaksi dengan sumber panas. Pada umumnya, bahan bakar mengandung karbon dan hidrogen yang bereaksi dengan oksigen menghasilkan oksigen dan uap air. Karbon dan hidrogen memiliki kandungan panas yang berbeda, kalor bakar karbon adalah 34,4 GJ/ton sedangkan kalor bakar hidrogen adalah 141,9 GJ/ton.

Menurut Grover et al. (2002), parameter utama pengukuran kualitas bahan bakar biomassa dihitung dari nilai kalor yang dimilikinya. Palz (1985). menambahkan bahwa nilai kalor suatu bahan bakar menandakan energi yang secara kimia terikat di bahan bakar dengan lingkungan standar. Standar tersebut berupa temperatur, keadaan air (uap atau cair) dan hasil pembakaran (CO2, H2O dan lain-lain).

Nilai kalor komponen tanaman sangat bervariasi dan akan meningkat dengan meningkatnya kandungan karbon di dalamnya. Energi yang tersimpan ini dapat tersedia dengan proses densifikasi bahan bakar, hal ini selain memudahkan transportasi juga dapat menghasilkan panas yang baik (Ramsay 1982).

Menurut Leach dan Gowen (1987), nilai kalor bahan bakar dihitung dengan dua basis yang berbeda yaitu :

1. Nilai kalor bruto (Gross Heating Value = GHV) adalah energi total yang dilepaskan selama pembakaran didasarkan pada bobot bahan bakar. Nilai ini digunakan di UK, USA dan banyak negara berkembang.

2. Nilai kalor bersih (Net Heating Value = NHV) adalah energi yang tersedia secara nyata selama pembakaran setelah dikurangi energi yang hilang akibat penguapan air. Nilai ini digunakan oleh penghitungan energi internasional.

Biomasa mengandung air dalam jumlah yang signifikan sehingga dapat menurunkan kandungan panas di dalamnya. Hal ini disebabkan adanya senyawa oksigen. Biomassa mengandung oksigen yang dapat berikatan dengan karbon dan hidrogen. Bahan yang sudah sebagian teroksidasi


(18)

atau ”terbakar” mengakibatkan berkurangnya sumber bahan bakar dalam bentuk karbon dan hidrogen (White dan Paskett 1981). Skema proses pembakaran biomassa dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Proses pembakaran biomassa. Sumber: Leach dan Gowen (1987)

Nilai kalor bruto berbanding terbalik dengan kadar abu suatu bahan, karena abu merupakan bahan yang tidak menghasilkan energi (El Bassam dan Maegaard 2004). Sedangkan menurut Ramsay (1982), nilai kalor bersih (NHV) adalah energi potensial yang terkandung dalam suatu bahan bakar. NHV diperoleh dari pengurangan energi bruto dengan energi yang hilang akibat penguapan air dan pemanasan lanjutan uap yang dihasilkan. Rumus umum perhitungan NHV adalah

NHV = GHV (1-MCT/100) – (Qv x MCT/100)

QV adalah panas yang dibutuhkan untuk penguapan dan pemanasan lanjut sejumlah air dan MCT adalah kadar air bahan tersebut pada suhu T. Ketika bahan bakar digunakan, energi bahan bakar tersebut dipindahkan ke tujuan akhir penggunaan dalam beberapa tahap. Kehilangan energi terjadi pada saat penggunaan dalam beberapa bentuk. Pengukuran efisiensi dan energi yang dipergunakan sangat tergantung pada tahap aliran panas tersebut diukur (Leach dan Gowen 1987). Efisiensi pembakaran adalah efisiensi yang diperoleh dari pengubahan energi kimia dari bahan bakar menjadi panas. Efisiensi ini dihitung hanya dari pembakaran yang sempurna pada ruang pembakaran (Bergman dan Zerbe 2004).

Kriteria sederhana suatu bahan dapat menjadi bahan bakar adalah : 1) Memiliki nilai kalor tinggi yang mencukupi standar.

2) Jumlah ketersediaan bahannya yang cukup. 3) Mudah terbakar.


(19)

Arang yang baik untuk bahan bakar adalah sebagai berikut (Wardi, 1969) : 1) Warna hitam dengan nyala kebiru-biruan.

2) Mengkilap pada pecahannya. 3) Tidak mengotori tangan.

4) Terbakar tanpa berasap, tidak memercik dan tidak berbau. 5) Dapat menyala terus tanpa dikipas.

6) Berdenting seperti logam.

Menurut Nurhayati (1983), briket dikatakan memiliki mutu yang baik dan berkualitas apabila hasil pembakarannya memiliki ciri-ciri :

1) Tidak berwarna hitam dan apabila dibakar api yang dihasilkannya berwarna kebiru-biruan. 2) Briket terbakar tanpa berasap, tidak memercikkan api dan tidak berbau.

3) Tidak terlalu cepat terbakar.

4) Berdenting seperti logam ketika dipukul.

Bila ditinjau dari nilai kalornya, briket arang dengan nilai kalor 6.000 – 8.000 kal/g merupakan bahan bakar yang cukup baik dibandingkan dengan bahan bakar lainnya. Sedangkan nilai kalor LPG yang juga banyak digunakan sebagai bahan bakar industri sebesar 11.220 kal/gram (anonim, 2012). Perbandingan nilai kalor dari berbagai unit bahan bakar dan briket biomasa dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Perbandingan nilai kalor unit bahan bakar. Jenis Bahan Nilai Kalor (kal/g)

Sekam padi 3.570

Tempurung kelapa 4.707

Kayu Bakar 3.500

Minyak Tanah 10.500 – 10.700

Solar 10.500 – 10.700

Batubara 6.865 – 8.277

Arang kayu 7.433

Briket kayu 4.700 – 4.800

Briket Arang 6.000 – 8.000


(20)

Tabel 5. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis briket biomasa.

Sumber : Agustina, 2005

Kualitas briket yang baik adalah briket yang memenuhi standar mutu agar dapat digunakan sesuai dengan keperluannya. Kualitas briket umumnya ditentukan berdasarkan sifat fisik dan kimianya antara lain ditentukan oleh kadar air, kadar abu, kadar zat mudah menguap, kadar karbon terikat, kerapatan, ketahanan tekan, dan nilai kalor. Kadar zat mudah menguap erat hubungannya dengan kecepatan bakar, waktu pembakaran, dan kecenderungan mengeluarkan asap dari briket tersebut, sedangkan kadar abu dan kelembaban mempengaruhi nilai bakar (Agustina, 2005).

2) KADAR AIR

Air yang terkandung di dalam bahan bersifat sebagai pelarut dari beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi. Selain itu air juga bertindak sebagai bahan pengikat (binding agent) dan pelumas (lubricant) (Kaliyan dan Morey 2006a).

3) KADAR ABU

Kadar abu pada bahan (biomassa) akan berdampak negatif pada proses pembakaran. Selain itu kadar abu pada bahan yang tinggi tidak diharapkan dalam karena dapat mempengaruhi kualitas bahan bakar. Hal ini dikarenakan abu dapat menyebabkan timbulnya kerak atau slag dalam alat pembakaran yang disebabkan oleh mencairnya abu (Ohman 2009). Abu merupakan senyawa yang tersisa setelah proses pembakaran pada suhu antara 600 – 950 ○C selama 5 hingga 6 jam. Komponen yang terdapat

No Jenis briket dan biomass Nilai Kalor (kJ/Kg)

1 Briket bagasse 17.638

2 Briket ampas jarak (B2TE-BPPT) 16.399 3 Briket ampas jarak (Tracon Ind) 16.624

4 Briket arang ampas jarak 19.724

5 Briket serbuk gergaji 18.709

6 Kayu bakar (jenis akasia) 17.270

7 Arang batok kelapa 18.428

8 Bonggol jagung 15.455

9 Briket arang bonggol jagung 20.174

10 Briket limbah lumpur sawit 10.896

11 Getah jarak (gum) 23.668


(21)

dalam abu diantaranya adalah K2O, MgO, CaO, Na2O, dan Si (Pasaribu et al. 2007). Peningkatan nilai kadar abu dapat menurunkan nilai kalor pembakaran (Lehtikanges 2001).

4) KADAR ZAT TERBANG

Kadar zat terbang erat kaitannya dengan kecepatan pembakaran, waktu pembakaran, dan banyaknya asap yang ditimbulkan pada saat pembakaran. Semakin banyak kandungan zat terbang pada bahan, maka ketika berlangsungnya pembakaran akan menimbulkan asap yang banyak (Hansen 2009).

5) KADAR KARBON TERIKAT

Karbon terikat adalah bahan bakar padat yang tersisa saat proses pembakaran setelah zat terbang menguap. Karbon terikat terdiri dari sebagian besar karbon, tetapi juga terdiri dari beberapa hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen. Kadar karbon terikat merupakan penentu kualitas pembakaran biopelet. Semakin tinggi kadar karbon terikat bahan, maka pembakaran biopelet akan semakin baik (Anonim 2005). Semakin banyak unsur karbon dalam suatu bahan, maka semakin banyak pula karbon yang bereaksi dengan oksigen dan menghasilkan pembakaran yang semakin baik. Jumlah karbon yang dimiliki oleh suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar zat terbang dan kadar abu yang dimilikinya. Semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu yang dimiliki bahan, maka semakin kecil kadar karbon teriktnya dan menyebabkan pembakaran yang kurang baik.

F. ANALISIS PEMANFAATAN

1. Analisis Teknis

Aspek teknik dan teknologi merupakan salah satu aspek penting dalam proyek dan berkenaan dengan proses pembangunan industri secara teknis dan operasi setelah industri tersebut dibangun (Husnan dan Suwarsono, 2000). Analisis teknik secara spesifik mencakup analisis terhadap ketersediaan bahan baku, proses produksi, mesin, dan peralatan, jumlah mesin dan peralatan, keperluan tenaga kerja, dan penentuan luas pabrik (Husnan dan Suwarsono, 2000). Studi aspek teknik dan teknologi menurut Umar (2001) meliputi rencana pengendalian persediaan bahan baku, penentuan kapasitas produksi, serta proses pemilihan teknologi untuk produksi.

2. Analisis Biaya

Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu (Mulyadi, 1993). Milton dan Lawrence (1994) menggunakan istilah biaya sebagai suatu nilai tukar prasyarat (dinyatakan dalam pengurangan kas atau aktiva lainnya pada saat ini atau di masa mendatang) atau pengorbanan yang dilakukan guna memperoleh manfaat.

Adanya sifat bisnis yang dinamis menyebabkan perusahaan dihadapkan pada kebutuhan untuk mengubah tingkat kegiatan bisnisnya, sehingga manajemen dapat merencanakan dan mengendalikan biaya secara efektif untuk menghadapi perusahaan tersebut. Hal utama yang harus dilakukan adalah penggolongan biaya sesuai dengan kegiatannya, yaitu biaya tetap, biaya variabel, dan biaya semivariabel (Milton dan Lawrence, 1994).


(22)

Biaya digolongkan dengan berbagai macam cara. Umumnya penggolongan biaya ini ditentukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai dengan penggolongan tersebut. Biaya dapat digolongkan menurut beberapa hal (Mulyadi, 1993) yaitu :

1. Penggolongan biaya menurut objek pengeluaran Dalam cara penggolongan ini, nama obyek pengeluaran merupakan dasar penggolongan biaya, misalnya nama obyek pengeluaran adalah bahan bakar. Maka, semua pengeluaran yang berhubungan dengan bahan bakar disebut biaya bahan bakar.

2. Penggolongan biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan Biaya dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (a) Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual, (b) Biaya pemasaran adalah biaya-biaya yang terjadi untuk melaksanakan pemasaran produk, (c) Biaya administrasi dan umum adalah biaya-biaya untuk mengkoordinasikan kegiatan produksi dan pemasaran produk.

3.Penggolongan biaya menurut hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai Biaya dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (a) Biaya langsung adalah biaya yang terjadi, yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai, (b) Biaya tidak langsung adalah biaya yang terjadinya tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai.

4. Penggolongan biaya menurut perilakunya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan Biaya digolongkan menjadi empat, yaitu (a) Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan, (b) Biaya semivariabel adalah biaya yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan, (c) Biaya semifixed adalah biaya yang tetap untuk tingkat volume kegiatan tertentu dan berubah dengan jumlah yang konstan pada volume produksi tertentu, (d) Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisar volume kegiatan tertentu.

5. Penggolongan biaya atas dasar jangka waktu manfaatnya Biaya dibagi menjadi dua, yaitu : (a) Pengeluaran modal (capital expenditure) adalah biaya yang mempunyai manfaat lebih dari satu periode akuntasi, (b) Pengeluaran pendapatan (income expenditure) adalah biaya yang hanya mempunyai manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluaran tersebut.


(23)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalahkulit singkong kering, arang kulit singkong, air, dan tepung tapioka. Tepung tapioka digunakan sebagai bahan perekat briket agar mempunyai daya rekat yang tinggi. Beberapa bahan baku penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

B. ALAT

Alat yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah alat pengempabriket bentuk kotak (hydraulic press), alat pirolisis (karbonisasi), dish mill, alat penyaring ukuran 80 mesh, oven, dan alat uji nilai kalor (bomb calorimeter). Beberapa alat-alat penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

C. METODE PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian ini meliputi pembuatan briket dengan enam perlakuan berbeda, kemudian dilanjutkan dengan pengujian nilai kalor pada masing-masing perlakuan serta pengukuran karakteristik sifat fisik yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar karbon terikat, keteguhan tekan, dan kerapatan pada formulasi biobriket yang dipilih. Setelah itu dilakukan perhitungan analisa finansial terhadap perlakuan yang mempunyai nilai kalor tertinggi untuk mengetahui kelayakan industri biobriket dari limbah kulit singkong.

1. PEMBUATAN BIOBRIKET

Briket kulit singkong yang akan dibuat terdiri dari jenis briket kayu dan briket arang. Briket kayu merupakan briket yang bahan bakunya tanpa melalu proses karbonasi (pengarangan) terlebih dahulu. Sedangkan briket arang merupakan briket yang bahan bakunya melalui proses karbonasi. Perbedaan briket kayu dan briket arang dapat dilihat pada skema diagram alir proses pembuatan briket pada Gambar 9 di bawah ini.


(24)

Proses Pembuatan BioBriket Tanpa Karbonasi (Briket Kayu)

Gambar 9. Pembuatan briket kayu

Pada perlakuan pertama, 200 gram limbah kulit singkong yang akan dibuat menjadi briket dikeringkan tanpa ada proses sortasi dari kotoran seperti pasir, batu, tanah, dan kotoran lainnya, kemudian digiling untuk memperkecil ukuran partikelnya. Dalam penelitian kali ini digunakan mesin giling ukuran 80 mesh. Kulit singkong halus yang lolos 80 mesh dengan yang tidak lolos 80 mesh digabung, hasil penggilingan dicampur dengan perekat yang telah disiapkan sebelumnya dan diaduk sampai merata. Perekat yang digunakan adalah tepung tapioka dengan konsentrasi 5% dari bobot kulit yang telah digiling. Setelah pencampuran selesai kemudian dikempa dengan mesin pengempa briket hidrolik. Setelah dikempa briket kemudian di keringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air briket sehingga mempermudah briket

Kulit Singkong

Pengeringan

Penggilingan

Pencampuran

Pengeringan

BRIKET

Penjemuran matahari

> 80 mesh 80 mesh

Densifikasi

Perekat tapioka

Kadar air < 11% + 4800 Psi


(25)

ketika akan dibakar. Proses pembuatan biobriket dengan metode briket arang dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.

Proses pembuatan briket arang

Gambar 10. Pembuatan briket arang

Pada perlakuan kedua, 100 gram limbah kulit singkong yang akan dibuat menjadi briket dikeringkan tanpa ada proses sortasi dari kotoran seperti pasir, batu, tanah, dan kotoran lainnya.Sedangkan kulit singkong kering lainnya dikarbonasi pada suhu + 400 0C. Setelah itu digiling untuk memperkecil ukuran partikelnya. Hasil penggilingan 100 gram kulit singkong kering dengan 100 gram arang kulit singkong dicampur dengan perekat yang telah disiapkan

Kulit Singkong

Pengeringan

Penggilingan

Pencampuran

Pengeringan

BRIKET

Pirolisis

Penjemuran matahari

+ 400 0C

Perekat tapioka

Densifikasi

Kadar air < 11% + 4800 Psi


(26)

sebelumnya dan diaduk sampai merata. Perekat yang digunakan adalah tepung tapioka dengan konsentrasi 5% dari bobot kulit dan arang yang telah dicampur. Setelah pencampuran selesai kemudian dikempa dengan mesin pengempa briket hidrolik. Setelah dikempa briket kemudian di keringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air briket sehingga mempermudah briket ketika akan dibakar.

Pada perlakuan ketiga, limbah kulit singkong yang akan dibuat menjadi briket dikeringkan tanpa ada proses sortasi dari kotoran seperti pasir, batu, tanah, dan kotoran lainnya. kemudian dikarbonasi pada suhu + 400 0C. Setelah itu digiling untuk memperkecil ukuran partikelnya. Hasil penggilingan arang sebesar 200 gram dicampur dengan perekat yang telah disiapkan sebelumnya dan diaduk sampai merata. Perekat yang digunakan adalah tepung tapioka dengan konsentrasi 5% dari bobot kulit yang telah digiling. Setelah pencampuran selesai kemudian dikempa dengan mesin pengempa briket hidrolik. Setelah dikempa briket kemudian di keringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air briket sehingga mempermudah briket ketika akan dibakar.

Pada perlakuan keempat, limbah kulit singkong yang akan dibuat menjadi briket dikeringkan dan disertai dengan proses sortasi dari kotoran seperti pasir, batu, tanah, dan kotoran lainnya. Setelah itu kulit singkong kering digiling untuk memperkecil ukuran partikelnya. Hasil penggilingan 200 gram kulit singkong kering dicampur dengan perekat yang telah disiapkan sebelumnya dan diaduk sampai merata. Perekat yang digunakan adalah tepung tapioka dengan konsentrasi 5% dari bobot kulit yang telah digiling. Setelah pencampuran selesai kemudian dikempa dengan mesin pengempa briket hidrolik. Setelah dikempa briket kemudian di keringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air briket sehingga mempermudah briket ketika akan dibakar.

Pada perlakuan kelima, 100 gram limbah kulit singkong yang akan dibuat menjadi briket dikeringkan dan disertai dengan proses sortasi dari kotoran seperti pasir, batu, tanah, dan kotoran lainnya.Sedangkan kulit singkong kering lainnya dikarbonasi pada suhu + 400 0C. Setelah itu digiling untuk memperkecil ukuran partikelnya. Hasil penggilingan 100 gram kulit singkong kering dengan 100 gram arang kulit singkong dicampur dengan perekat yang telah disiapkan sebelumnya dan diaduk sampai merata. Perekat yang digunakan adalah tepung tapioka dengan konsentrasi 5% dari bobot kulit dan arang yang telah dicampur. Setelah pencampuran selesai kemudian dikempa dengan mesin pengempa briket hidrolik. Setelah dikempa briket kemudian di keringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air briket sehingga mempermudah briket ketika akan dibakar.

Pada perlakuan keenam, limbah kulit singkong yang akan dibuat menjadi briket dikeringkan dan disertai dengan proses sortasi dari kotoran seperti pasir, batu, tanah, dan kotoran lainnya. Kemudian dikarbonasi pada suhu + 400 0C. Setelah itu digiling untuk memperkecil


(27)

ukuran partikelnya. Hasil penggilingan arang sebesar 200 gram dicampur dengan perekat yang telah disiapkan sebelumnya dan diaduk sampai merata. Perekat yang digunakan adalah tepung tapioka dengan konsentrasi 5% dari bobot kulit yang telah digiling. Setelah pencampuran selesai kemudian dikempa dengan mesin pengempa briket hidrolik. Setelah dikempa briket kemudian di keringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air briket sehingga mempermudah briket ketika akan dibakar.

Dalam penelitian ini, segmen pengguna briket merupakan industri-industri skala menengah dan besar yang membutuhkan banyak bahan bakar pada proses produksinya. Sebagian besar bahan bakar yang digunakan pada industri-industri menengah dan besar menggunakan bahan bakar migas seperti minyak tanah, solar, dan batu bara. Biobriket dari kulit singkong ini diharapkan mampu menjadi bahan bakar alternatif pengganti ataupun sebagai bahan bakar subtitusi batu bara sehingga dapat mengurangi biaya penggunaan bahan bakar batu bara yang dari tahun ketahun semakin meningkat. Jenis perekat yang digunakan dalam pembuatan briket adalah perekat tapioka. Pemilihan jenis perekat ini berdasarkan atas tingkat kemudahan untuk diperoleh serta harga yang murah sehingga sesuai dengan segmen pengguna (industri menengah dan besar). Dalam penelitian ini digunakan perekat 5 % dalam komposisi bahan.

2. ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA BIOBRIKET

1) Nilai Kalor

Nilai kalor suatu bahan bakar biomasa adalah jumlah energi panas yang dapat dilepaskan pada setiap satu satuan massa bahan bakar tersebut apabila terbakar habis dengan sempurna (dalam satuan kkal/kg). Prinsip penentuan nilai kalor adalah mengukur energi yang ditimbulkan pada pembakaran satu gram arang dengan mengukur perubahan suhu fluida pada volume tetap, dimana pembakaran terjadi dalam bejana tertutup. Pengukuran nilai kalor dilakukan dengan alat Adiabatic Bomb Calorimeter.

Besarnya nilai kalor dihitung dengan persamaan Nilai ekuivalent air NA = (Hs x Ms / ∆t) – ma Nilai kalor bahan Hb = ∆t (Na + ma) / mb x 4.186 Dimana NA = nilai ekivalen air

Hs = nilai kalor sampel (kal/gr) Hb = nilai kalor bahan (kal/gr) Ms = massa sampel (gram) mb = massa bahan (gram)

ma = massa air pada bejana dalam (gram) 1t = kenaikan suhu pada bejana dalam (°C)


(28)

2) Kadar Air

Kadar air briket dihitung dari massa kering briket, dan massa briket sebelum dikeringkan. Alat yang digunakan untuk memperoleh kadar air briket adalah timbangan elektronik (untuk menimbang massa briket) dan drying oven (untuk mengeringkan briket).Sebanyak satu gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin yang bobotnya sudah diketahui. Kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105 oC sampai beratnya konstan. Kemudian didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang. Kadar air dihitung menggunakan persamaan :

KA = (X1 – X2)/X1 x 100% Dimana : KA = Kadar Air (%)

X1 = Bobot Awal (gr) X2 = Bobot Akhir (gr)

3) Kadar Abu

Kadar abu briket diperoleh langsung dari hasil pengujian di Balai Kehutanan. Cawan porselin yang berisi sampel dari penentuan kadar air digunakan untuk menetapkan kadar abu. Cawan dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 950 oC selama 10 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan persamaan :

Kb = Ya/Yc x 100% Dimana : Ya = Bobot Abu (gr)

Yc = Bobot Sampel (gr) 4) Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang briket diperoleh langsung dari hasil pengujian di Balai Kehutanan. Cawan porselen yang berisi sampel dari penentuan kadar air ditutup dan diikat dengan kawat nichrome. Cawan dimasukkan tanur suhu 950 oC selama 6 menit. Setelah penguapan selesai, cawan didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang. Penentuan kadar zat menguap dihitung dengan persamaan :

Kadar zat menguap = Z1 – Z2/Z1 x 100%, Dimana : Z1 = Bobot awal (gr)

Z2 = Bobot Akhir (gr) 5) Kadar Karbon Terikat

Kadar karbon terikat briket diperoleh langsung dari hasil pengujian di Balai Kehutanan 6) Kerapatan Briket

Kerapatan briket adalah perhitungan massa briket setelah pengeringan, panjang dan lebar briket setelah pengeringan, dan tinggi briket setelah pengeringan. Alat-alat yang dibutuhkan untuk memperoleh data kerapatan briket adalah timbangan elektronik (untuk menimbang massa briket) dan jangka sorong (untuk mengukur panjang, lebar, dan tinggi briket).

7) Keteguhan Tekan

Data kekuatan tekan briket diperoleh langsung dari hasil pengujian di Balai Kehutanan. Prinsip yang dilakukan dalam mengukur keteguhan tekan adalah menentukan kekuatan briket yang


(29)

dihasilkan dalam menahan beban yang diterima hingga briket pecah. Keteguhan tekan briket dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :

P = Mb/A , Dimana :

P = Keteguhan tekan briket (Kg/cm2) Mb = Beban yang diterima briket (Kg) A = Luas permukaan briket (cm2)

3. ANALISIS PEMANFAATAN

a. Analisis Teknis pada pendirian industri biobriket ini meliputi analisis terhadap ketersediaan bahan baku, proses produksi, mesin, dan peralatan, serta kebutuhan tenaga kerja.

(1.)Ketersediaan Bahan Baku

PT Sartitanam Pratama Ponorogo memproduksi tepung tapioka dari singkong segar antara 500 – 700 ton dalam setiap minggunya (data produksi tahun 2010). Jika banyaknya kulit singkong yang dihasilkan dalam proses produksinya sebesar 8-15% (Grace, 1977) maka asumsi limbah kulit singkong yang dihasilkan sebagai bahan baku biobriket adalah sebesar 40 ton/minggu atau 170 ton/bulan.

(2.) Proses Produksi

Urutan proses pembuatan biobriket dari limbah kulit singkong ini meliputi proses sortasi, penjemuran sinar matahari, karbonasi, pengecilan ukuran, pencampuran dengan bahan perekat, pengempaan, dan pengeringan. Urutan proses produksi yang dilakukan akan berbeda dalam setiap perlakuan yang akan dipilih, untuk perlakuan dengan metode briket kayu, maka pembuatan biobriket dilakukan tanpa melalui proses pirolisis. Pada perlakuan dengan metode briket arang, maka pembuatan biobriket dilakukan dengan proses pirolisis.

(3.) Mesin dan Peralatan

Mesin dan peralatan yang digunakan pada pembuatan biobriket ini diantaranya adalah : alat timbang dengan kapasitas 250 Kg, peralatan pengayak yang terbuat dari saringan baja dengan kapasitas 50 Kg, Tungku pirolisis bentuk drum dengan kapasitas 420 Kg, mesin penggiling dish mill kapasitas 50 kg/jam, mesin pengempa briket tipe ulir (screw) dengan kapasitas cetak 100 Kg/jam, dan satu paket peralatan pembantu lainnya. Penggunaan mesin dan peralatan ini tergantung pada metode pembuatan biobriket yang akan dipilih, metode briket kayu atau metode briket arang.


(30)

(4.) Tenaga Kerja

Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pendirian industri biobriket ini tergantung pada jenis perlakuan dan metode pembuatan biobriket yang akan dipilih. Tenaga kerja tersebut akan di tempatkan pada setiap lini produksi. Tenaga kerja yang akan direkrut berasal dari warga yang tinggal disekitar area pabrik.

b. Analisis Biaya

Analisis biaya pada pendirian industri biobriket ini meliputi biaya investasi, biaya bahan baku, biaya perawatan, gaji pegawai, dan perhitungan biaya operasional. Biaya produksi yang dihasilkan berbeda-beda pada setiap perlakuan yang diuji sehingga dari berbagai alternatif besarnya biaya produksi akan dibandingkan dengan nilai kalor yang dihasilkan dan dapat ditentukan jenis perlakuan yang paling optimal.

c. Analisis Perbandingan

Dari total biaya pada setiap formulasi tersebut kemudian akan dibandingkan dengan nilai kalor pada setiap masing-masing formulasi dan bahan bakar lainnya yang umum digunakan pada industri seperti minyak tanah, batu bara,dan LPG.


(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Pada pembuatan biobriket perlakuan pertama, metode yang digunakan adalah metode briket kayu, yaitu pembuatan briket tanpa melalui proses pengarangan. Kulit singkong kering tanpa proses sortasi digiling dengan mesin penggiling dish mill dengan ukuran 80 mesh, hasil penggilingan kemudian dicampur dengan perekat tapioka 5%. Setelah dicampur dengan perekat, kemudian dikempa dengan pengempa hidrolik. Hasil pembuatan biobriket pada perlakuan pertama dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.

Gambar 11. Biobriket perlakuan 1

Setelah dikempa, biobriket kemudian dikeringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket sehingga memudahkan dalam proses pembakaran. Biobriket pada perlakuan 1 berwarna coklat terang.

Pada pembuatan biobriket perlakuan kedua, metode yang digunakan adalah gabungan metode briket kayu dan metode briket arang. Kulit singkong kering tanpa melalui proses sortasi digiling dengan mesin penggiling dish mill dengan ukuran 80 mesh, digabung dengan kulit singkong yang dipirolisis dan digiling dengan mesin penggiling dish mill. hasil penggabungan kemudian dicampur dengan perekat tapioka 5%. Setelah dicampur dengan perekat, kemudian dikempa dengan pengempa hidrolik. Hasil pembuatan biobriket pada perlakuan kedua dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini.


(32)

Setelah dikempa, biobriket kemudian dikeringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket sehingga memudahkan dalam proses pembakaran. Biobriket pada perlakuan 2 berwarna coklat gelap.

Pada pembuatan biobriket perlakuan ketiga, metode yang digunakan adalah metode briket arang, yaitu pembuatan briket yang melalui proses pengarangan. Kulit singkong kering dipirolisis dalam tungku dengan suhu + 3500C tanpa proses sortasi. Setelah itu digiling dengan mesin penggiling dish mill dengan ukuran 80 mesh, hasil penggilingan kemudian dicampur dengan perekat tapioka 5%. Setelah dicampur dengan perekat, kemudian dikempa dengan pengempa hidrolik. Hasil pembuatan biobriket pada perlakuan ketiga dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.

Gambar 13. Biobriket perlakuan 3

Setelah dikempa, biobriket kemudian dikeringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket sehingga memudahkan dalam proses pembakaran. Biobriket pada perlakuan 3 berwarna hitam arang.

Pada pembuatan biobriket perlakuan keempat, metode yang digunakan adalah metode briket kayu, yaitu pembuatan briket tanpa melalui proses pengarangan. Kulit singkong kering yang telah disortasi digiling dengan mesin penggiling dish mill dengan ukuran 80 mesh, hasil penggilingan kemudian dicampur dengan perekat tapioka 5%. Setelah dicampur dengan perekat, kemudian dikempa dengan pengempa hidrolik. Hasil pembuatan biobriket pada perlakuan keempat dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.


(33)

Setelah dikempa, biobriket kemudian dikeringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket sehingga memudahkan dalam proses pembakaran. Biobriket pada perlakuan 4 berwarna coklat.

Pada pembuatan biobriket perlakuan kelima, metode yang digunakan adalah gabungan metode briket kayu dan metode briket arang. Kulit singkong kering yang telah disortasi digiling dengan mesin penggiling dish mill dengan ukuran 80 mesh, digabung dengan kulit singkong yang dipirolisis dan digiling dengan mesin penggiling dish mill. hasil penggabungan kemudian dicampur dengan perekat tapioka 5%. Setelah dicampur dengan perekat, kemudian dikempa dengan pengempa hidrolik. Hasil pembuatan biobriket pada perlakuan kelima dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.

Gambar 15. Biobriket perlakuan 5

Setelah dikempa, biobriket kemudian dikeringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket sehingga memudahkan dalam proses pembakaran. Biobriket pada perlakuan 5 berwarna coklat gelap.

Pada pembuatan biobriket perlakuan keenam, metode yang digunakan adalah metode briket arang, yaitu pembuatan briket yang melalui proses pengarangan. Kulit singkong kering yang telah disortasi dipirolisis dalam tungku dengan suhu + 3500C. Setelah itu digiling dengan mesin penggiling dish mill dengan ukuran 80 mesh, hasil penggilingan kemudian dicampur dengan perekat tapioka 5%. Setelah dicampur dengan perekat, kemudian dikempa dengan pengempa hidrolik. Hasil pembuatan biobriket pada perlakuan keenam dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah ini.


(34)

Setelah dikempa, biobriket kemudian dikeringkan dalam oven suhu 600C. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket sehingga memudahkan dalam proses pembakaran. Biobriket pada perlakuan 6 berwarna hitam arang.

B. SIFAT FISIKO KIMIA BIOBRIKET

Analisis sifat fisiko kimia diperlukan untuk mengetahui kualitas biobriket dari limbah kulit singkong dengan lebih spesifik, sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap kelemahan dan keunggulan dari biobriket yang diuji. Parameter uji sifat fisiko kimia yang diuji pada penelitian ini adalah kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon terikat, nilai kalor, dan densitas kamba. Data hasil uji sifat fisiko kimia biobriket dari limbah kulit singkong dapat dilihat pada Tabel 6. dibawah ini.

Tabel 6. Data hasil uji sifat fisiko kimia biobriket perlakuan 6

Komponen Satuan Biobrket Perlakuan 6

Kadar air %bb 5.89

Kadar abu %bb 9.03

Kadar zat terbang %bb 26.91

Kadar karbon terikat %bb 64.06

Densitas kamba Kg/m3 408.85

Keteguhan tekan Kg/cm2 40.88

Nilai kalor Kkal/Kg 6,113

1. NILAI KALOR BIOBRIKET HASIL PENELITIAN

Tujuan penetapan nilai kalor adalah untuk mengetahui nilai panas pembakaran yang dapat dihasilkan briket. Seperti yang diutarakan oleh Grover (2002), bahwa nilai kalor menjadi parameter mutu paling penting bagi briket sebagai bahan bakar sehingga nilai kalor akan menentukan kualitas briket. Semakin tinggi nilai kalor bahan bakar briket, maka akan semakin baik pula kualitasnya.

Pada penelitian ini, perekat yang digunakan adalah perekat tapioka 5%. Penggunaan perekat tapioka berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah : kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, harga lebih murah dibandingkan perekat lain, mempunyai daya rekat tinggi, tidak berbau, beracun, dan berbahaya ketika dibakar, dan tidak menimbulkan asap ketika dibakar (Sudrajat, 1983). Nilai kalor biobriket hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. dibawah ini


(35)

Tabel 7. Data nilai kalor biobriket Komposisi Berat Sampel

(Gram)

Suhu Awal Kalorimeter

Suhu Akhir Kalorimeter

Nilai Constanta Air

Nilai Kalor (cal/gram)

100% K 1,369 26,22 27,55 2.358 2291

50% K : 50% A 1,093 26,22 27,48 2.358 2750

100% A 0,964 26,08 27,49 2.358 3599

100% KS 0.980 25,95 27,45 2.358 3609

50% KS: 50% AS 0.902 25,71 27.36 2.358 4313

100% AS 1.107 26,36 29,23 2.358 6113

Pada perlakuan 1, nilai kalor yang dihasilkan sebesar 2.291 cal/gram. Pada perlakuan 2, nilai kalor yang dihasilkan sebesar 2.750 cal/gram. Pada perlakuan 3, nilai kalor yang dihasilkan sebesar 3.599 cal/gram. Pada perlakuan 4, nilai kalor yang dihasilkan sebesar 3.609 cal/gram. Sedangkan pada perlakuan 5, nilai kalor yang dihasilkan sebesar 4.313 cal/gram. Pada perlakuan 6, nilai kalor yang dihasilkan sebesar 6.113 cal/gram. Nilai kalor beberapa bahan bakar dan briket biomassa lainnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Perbandingan nilai kalor unit bahan bakar. Jenis Bahan Nilai Kalor (kal/g)

Sekam padi 3.570

Tempurung kelapa 4.707

Kayu Bakar 3.500

Minyak Tanah 10.500 – 10.700

Solar 10.500 – 10.700

Batubara 6.865 – 8.277

Arang kayu 7.433

Briket kayu 4.700 – 4.800

Briket Arang 6.000 – 8.000

Sumber : Agustina (2005)

Nilai kalor biobriket hasil penelitian ini Jika dibandingkan dengan briket arang komersial yang mempunyai nilai kalor sebesar 6000-8000 kal/gram, maka nilai ini sedikit lebih


(36)

rendah, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan briket kayu, sekam padi, tempurung kelapa, atau kayu bakar. Hal ini wajar mengingat kadar karbon terikat pada briket arang lebih besar dan kadar zat menguapnya jauh lebih kecil, sehingga nilai kalor yang dihasilkan briket arang pun lebih tinggi (Nurhayati, 1983). Nilai kalor pada briket kayu kulit singkong dan briket arang kulit singkong juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya proses sortasi bahan baku. Kecilnya nilai kalor dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ikut tercampur dalam limbah kulit singkong, seperti tanah, pasir, kerikil, dan kotoran lainnya.

2. KADAR AIR

Air yang terkandung di dalam bahan bersifat sebagai pelarut dari beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi. Selain itu air juga bertindak sebagai bahan pengikat (binding agent) dan pelumas (lubricant) (Kaliyan dan Morey 2006).Kadar air merupakan rasio kandungan air dalam bahan yang hilang selama proses pengeringan dibanding dengan berat bahan awal. Metode yang digunakan untuk pengujian kadar air biobriket adalah dengan menggunakan metode pengeringan oven. Air merupakan salah satu komponen terpenting yang menentukan kualitas biobriket. Terutama berpengaruh pada kemudahan pembakaran awal, nilai kalor pembakaran, dan jumlah asap yang dihasilkan selama pembakaran. Semakin tinggi kandungan air dalam biobriket, maka nilai kalor pembakaran biobriket semakin rendah dan asap yang dihasilkan akan semakin banyak. Selain itu efisiensi pembakaran akan menurun, yaitu saat proses penyalaan biobriket akan semakin sulit karena api terlebih dahulu menguapkan air yang terkandung dalam biobriket. biobriket memiliki kadar air yang rendah, sehingga dapat lebih meningkatkan efektivitas pembakaran (Hansen et al. 2009).Kadar air biobriket pada perlakuan 6 sebesar 5.89%. Kadar air erat kaitannya dengan nilai kalor yang dihasilkan dari pembakaran biobriket. Biobriket dengan kadar air yang tinggi akan menurunkan nilai kalor biobriket tersebut. Hal ini disebabkan karena energi yang dihasilkan banyak digunakan untuk menguapkan air.

3. KADAR ABU

Abu merupakan senyawa yang tersisa setelah proses pembakaran pada suhu antara 600 – 950 ○C selama 5 hingga 6 jam. Komponen yang terdapat dalam abu diantaranya adalah K2O, MgO, CaO, Na2O, dan Si (Pasaribu et al. 2007). Kadar abu pada bahan (biomassa) akan berdampak negatif pada proses pembakaran. Selain itu kadar abu pada bahan yang tinggi tidak diharapkan dalam pembuatan biobriket karena dapat mempengaruhi kualitas bahan bakar. Hal ini dikarenakan abu dapat menyebabkan timbulnya kerak atau slag dalam tungku pembakaran yang disebabkan oleh mencairnya abu (Ohman 2009). Peningkatan nilai kadar abu dapat menurunkan nilai kalor pembakaran (Lehtikanges 2001). Kadar abu juga erat kaitannya dengan jumlah silika yang terkandung di dalamnya. Semakin tinggi kandungan silika dalam bahan (biomassa), maka semakin tinggi pula kandungan abunya. Berdasarkan hasil analisa diperoleh bahwa kadar abu biobriket pada perlakuan 6 adalah 9.03 % (bb). Jumlah tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan kadar abu pada sekam padi, yaitu 17.07 % (bb) (Rahman 2011).

4. KADAR ZAT TERBANG

Kadar zat terbang erat kaitannya dengan kecepatan pembakaran, waktu pembakaran, dan banyaknya asap yang ditimbulkan pada saat pembakaran (Hansen 2009). Semakin banyak


(37)

kandungan zat terbang pada bahan, maka ketika pembakaran biobriket akan menimbulkan asap yang banyak. Oleh karena itu sebaiknya kandungan zat terbang yang dimiliki suatu bahan tidak terlalu tinggi untuk mencegah timbulnya asap yang banyak saat pembakaran. Berdasarkan hasil analisa diperoleh kadar zat terbang pada biobriket perlakuan 6 adalah 26.91 % (bb). Hasil ini menunjukkan nilai yang tergolong rendah. Perbedaan bahan tentunya akan memberikan perbedaan kandungan kadar zat terbang yang dimilikinya. Seperti pada sekam padi yang memiliki kadar zat terbang 78.96 % (bb) (Rahman 2011) dan pada bungkil jarak pagar 62.29 % (bb) (Liliana 2010).

5. KADAR KARBON TERIKAT

Karbon terikat adalah bahan bakar padat yang tersisa saat proses pembakaran setelah zat terbang menguap. Karbon terikat terdiri dari sebagian besar karbon, tetapi juga terdiri dari beberapa hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen. Kadar karbon terikat merupakan penentu kualitas pembakaran biobriket. Semakin tinggi kadar karbon terikat bahan, maka pembakaran biobriket akan semakin baik (Anonim 2005). Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa kadar karbon terikat pada biobriket perlakuan 6 adalah 64.06 % (bb). Semakin banyak unsur karbon dalam suatu bahan, maka semakin banyak pula karbon yang bereaksi dengan oksigen dan menghasilkan pembakaran yang semakin baik. Jumlah karbon yang dimiliki oleh suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar zat terbang dan kadar abu yang dimilikinya. Semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu yang dimiliki bahan, maka semakin kecil kadar karbon teriktnya dan menyebabkan pembakaran yang kurang baik.

6. KERAPATAN BRIKET

Densitas kamba akan berpengaruh pada kualitas bahan bakar padat yang dihasilkan; seperti pada proses trasportasi, penanganan, dan penyimpanan. Semakin tinggi nilai densitas kamba, maka akan semakin efisien penanganan bahan bakar tersebut. Berdasarkan hasil analisa diperoleh nilai densitas kamba biobriket perlakuan 6 sebesar 408.85 kg/m3. Nilai densitas kamba biobriket ini tergolong tinggi untuk standar nilai densitas kamba. Nilai densitas kamba dapat ditingkatkan dengan peningkatan densifikasi dan penambahan perekat dalam pembuatan biobriket (Pastre 2002).

7. KETEGUHAN TEKAN

Keteguhan tekan menunjukkan daya tahan atau kekompakan suatu bahan terhadap tekanan luar yang mengakibatkan bahan tersebut pecah atau hancur. Uji keteguhan tekan pada biobriket bertujuan sebagai penentu daya tahan biobriket saat proses transportasi. Semakin tinggi nilai keteguhan tekan biobriket, maka semakin kuat daya tahan biobriket terhadap benda yang menekannya saat proses transportasi dan penyimpanan berlangsung, sehingga tidak akan menambah biaya transportasi. Hasil analisa keteguhan tekan biobriket perlakuan 6 sebesar 40.88 kg/cm2. Keteguhan tekan biobriket perlakuan 6 ini jika dibandingkan dengan keteguhan tekan sekam padi (7.59 kg/cm2 – 8.99 kg/cm2) hasil penelitian Rahman (2011), memiliki keteguhan tekan yang lebih besar. Nilai keteguhan tekan dipengaruhi oleh ukuran partikel serbuk bahan yang digunakan. Semakin kecil ukuran serbuk bahan, maka semakin tinggi nilai keteguhan tekan biobriket. Rongga udara yang terdapat pada biobriket sebaiknya dipenuhi dengan serbuk bahan yang berukuran lebih kecil, sehingga seluruh rongga udara pada biobriket dapat tertutupi dan tentunya akan menghasilkan keteguhan tekan yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap sifat fisiko kimia biobriket dari limbah kulit singkong, maka dapat disimpulkan bahwa biobriket terbaik adalah yang memiliki nilai kalor


(38)

tertinggi, kadar air rendah, kadar abu rendah, kadar zat terbang rendah, densitas tinggi, dan keteguhan tekan tinggikomposisi bahan baku arang kulit singkong yang telah disortasi sebesar 100% dan menggunakan perekat tapioka 5% merupakan formulasi terbaik karena menghasilkan nilai kalor tertinggi, yaitu sebesar 6113 cal/gram. Penentuan formulasi terbaik ini didapatkan dengan metode perbandingan ekuivalensi nilai kalor dan biaya operasional yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan.

C. ANALISIS PEMANFAATAN

1. ANALISIS TEKNIS

a. Ketersediaan Bahan Baku

PT Sartitanam Pratama Ponorogo memproduksi tepung tapioka dari singkong segar antara 500 – 700 ton dalam setiap minggunya (data produksi tahun 2010). Jika banyaknya kulit singkong yang dihasilkan dalam proses produksinya sebesar 8-15% (Grace, 1977) maka asumsi limbah kulit singkong kering yang telah disortasi dari kotoran yang dijadikan sebagai bahan baku biobriket adalah sebesar 5.4 ton/hari, 40 ton/minggu atau 160 ton/bulan. kulit singkong yang dibutuhkan sebagai bahan baku biobriket adalah kulit singkong kering yang telah disortasi dan dijemur dengan sinar matahari.

b. Proses Produksi

Urutan proses pembuatan biobriket dari limbah kulit singkong ini meliputi proses sortasi, penjemuran sinar matahari, pirolisis, pengecilan ukuran, pencampuran dengan bahan perekat, pengempaan, dan pengeringan. Urutan proses produksi yang dilakukan akan berbeda dalam setiap perlakuan yang akan dipilih, untuk perlakuan dengan metode briket kayu, maka pembuatan biobriket dilakukan tanpa melalui proses pirolisis. Pada perlakuan dengan metode briket arang, maka pembuatan biobriket dilakukan dengan proses pirolisis. Formulasi biobriket terbaik yang dipilih adalah formulasi pada perlakuan 6, yaitu metode briket arang 100% dengan proses sortasi pada bahan bakunya. Urutan proses produksinya dapat dilihat pada Neraca massa pembuatan biobriket di bawah ini.


(39)

Gambar 17. Neraca Massa pembuatan biobriket perlakuan 6

Untuk pendirian industri biobriket ini, dibutuhkan karyawan sebanyak 10 orang. Limbah kulit singkong yang telah disortasi dari kotoran dijemur dengan menggunakan panas matahari. Setelah itu sebanyak 420Kg kulit singkong kering dimasukkan dalam tungku karbonasi berukuran 1.2m x 1.2m x 1.5m. proses karbonasi pada tungku ini berlangsung selama kurang lebihempat jam. Setelah karbonasi selesai arang hasil karbonasi didinginkan selama tiga jam. Arang yang telah didinginkan kemudian digiling dengan mesin penggiling dish mill. Serbuk arang yang dihasilkan dari mesin penggiling kemudian dicampur dengan adonan perekat tapioka dan dikempa dengan mesin pengempa briket. Hasil kempa briket berupa briket basah kemudian dikeringkan dengan mesin pengering (oven). Setelah dikeringkan briket kemudian dikemas dalam dus yang dilapisi plastik untuk kemudian disimpan.

c. Mesin dan Peralatan

Mesin dan peralatan yang digunakan pada pembuatan biobriket ini diantaranya adalah : alat timbang dengan kapasitas 250 Kg, peralatan pengayak yang terbuat dari saringan baja dengan kapasitas 50 Kg, Tungku pirolisis bentuk silinder dengan kapasitas 420 Kg, mesin penggiling dish mill kapasitas 50 kg/jam, mesin pengempa briket tipe screw press(tipe ulir) dengan kapasitas cetak 50 Kg/jam, mesin pengering dengan kapasitas 50 Kg/Jam, dan satu


(40)

paket peralatan pembantu lainnya. Penggunaan mesin dan peralatan ini tergantung pada metode pembuatan biobriket yang akan dipilih, metode briket kayu atau metode briket arang.

Formulasi biobriket terbaik yang dipilih adalah formulasi pada perlakuan 6, yaitu metode pembuatan briket arang dengan proses sortasi pada bahan baku. Dengan asumsi bahan baku kulit singkong kering yang dibutuhkan adalah 160 ton/bulan, maka dibutuhkan alat pengayak pada proses sortasi bahan baku sebanyak empat unit, tungku pirolisis sebanyak 12 unit, mesin penggiling dish mill sebanyak empat unit, mesin pengempa briket tipe screw press sebanyak empat unit, loyang aluminium sebanyak 30 unit, mesin pengering briket dengan kapasitas 50 kg/jam, dan satu paket peralatan pembantu lainnya. Rincian mesin dan peralatan yang digunakan dapat dilihat pada (Lampiran 3).

d. Tenaga Kerja

Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pendirian industri biobriket ini tergantung pada jenis perlakuan dan metode pembuatan biobriket yang akan dipilih. Tenaga kerja tersebut akan di tempatkan pada setiap lini produksi. Tenaga kerja yang akan direkrut berasal dari warga yang tinggal disekitar area pabrik.

Formulasi biobriket terbaik yang dipilih adalah formulasi pada perlakuan 6, yaitu metode pembuatan briket arang dengan proses sortasi pada bahan baku. Tenaga kerja yang dibutuhkan pada industri biobriket ini sebanyak 10 orang yang akan ditempatkan pada setiap lini produksi.

2. ANALISIS BIAYA

Analisis biaya pada pendirian industri biobriket ini meliputi biaya investasi, biaya bahan baku, biaya perawatan, gaji pegawai, dan perhitungan biaya operasional. Biaya produksi yang dihasilkan berbeda-beda pada setiap perlakuan yang diuji sehingga dari berbagai alternatif besarnya biaya produksi akan dibandingkan dengan nilai kalor yang dihasilkan dan dapat ditentukan jenis perlakuan yang paling optimal. Rincian biaya investasi dan biaya operasional dalam setahun pada setiap formulasi yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.


(41)

Tabel 9. Biaya investasi dan Biaya operasional pada setiap formulasi biobriket dalam setahun.

No Jenis

Biaya Kategori Uraian Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Perlakuan 5 Perlakuan 6

I Biaya Investas i Lahan dan Bangunan

Sewa Lahan 30.000.000 30.000.000 30.000.000 30.000.000 30.000.000 30.000.000

Sewa Bangunan 70.000.000 70.000.000 70.000.000 70.000.000 70.000.000 70.000.000

Mesin dan Peralatan

Pengayak Kotoran - - - 20.000.000 10.000.000 10.000.000

Tungku karbonasi - 45.000.000 60.000.000 - 30.000.000 60.000.000

Timbangan 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000

Mesin Penggiling 24.000.000 18.000.000 12.000.000 24.000.000 18.000.000 12.000.000

Mesin pengempa 32.000.000 24.000.000 16.000.000 32.000.000 20.000.000 16.000.000

Loyang aluminium 7.200.000 5.400.000 3.600.000 7.200.000 4.800.000 3.600.000

Peralatan Penunjang 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000

II Depresiasi 20.251.000 20.193.000 18.427.000 22.051.000 22.255.000 20.227.000

III

Biaya Operasi onal

Bahan Baku

Kulit singkong 21.600.000 18.360.000 16.200.000 19.200.000 16.320.000 14.400.000

Perekat tapioka 388.800.000 220.320.000 138.672.000 432.000.000 195.840.000 123.264.000

Air - - - -

Kemasan Dus 38.880.000 22.080.000 13.872.000 34.560.000 19.584.000 28.800.000

Bahan Bakar

Kulit singkong 0 3.240.000 450.000 0 2.880.000 12.330.000

Minyak tanah 0 864.000 864.000 0 864.000 864.000

Utilitas Listrik 115.200.000 86.400.000 72.000.000 115.200.000 79.200.000 72.000.000

Perawatan

Pengempa briket 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000

Pengayak kotoran 0 0 0 120.000 120.000 120.000

Loyang aluminium 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000

Tungku karbonasi 0 75.000 240.000 0 75.000 75.000

Mesin penggiling 240.000 240.000 15.000 240.000 240.000 240.000

Timbangan 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000

Peralatan penunjang 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000

Karyawan Gaji 86.400.000 86.400.000 72.000.000 86.400.000 79.200.000 72.000.000


(42)

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa total biaya pada perlakuan 1 sebesar Rp

672.151.000, pada perlakuan 2 sebesar Rp 459.717.000, pada perlakuan 3 sebesar Rp 338.695.000, pada perlakuan 4 sebesar 624.091.000, pada perlakuan 5 sebesar 417.523.000, dan pada perlakuan 6 sebesar 328.465.000. Rincian perhitungan lengkap masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran .

3. ANALISIS PERBANDINGAN

Dari total biaya pada setiap formulasi tersebut kemudian akan dibandingkan dengan nilai kalor pada setiap masing-masing formulasi dan bahan bakar lainnya yang umum digunakan pada industri seperti minyak tanah, batu bara dan LPG. Tujuan perbandingan ini adalah untuk menentukan formulasi terbaik dengan biaya operasional yang paling rendah. Perbandingan antara biaya dan nilai kalor pada setiap masing-masing formulasi dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini.

Tabel 10. Perbandingan nilai kalor dan biaya pada formulasi briket dan bahan bakar lainnya.

Parameter pembanding nilai kalor yang digunakan adalah nilai kalor minyak tanah yang memiliki nilai kalor 10.000 kcal/ltr. Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa biaya untuk 1 liter minyak tanah (non subsidi) sebesar Rp 10.000, 1 Kg LPG (non subsidi) sebesar Rp 4.456, 1 Kg Briket batubara sebesar 4.625, 1 Kg biobriket pada perlakuan 1 sebesar Rp 1.674,98, 1 Kg biobriket pada perlakuan 2 sebesar Rp 1.509,64, 1 Kg biobriket pada perlakuan 3 sebesar Rp 1.357,97, 1 Kg biobriket pada perlakuan 4 sebesar Rp 1.111,57, 1 Kg biobriket pada perlakuan

Parameter

Nilai Kalori

Ekivalen Harga/Kg

Harga

Minyak Tanah

10.000 kcal/ltr 1 10.000 10.000

Gas LPG

11.220 kcal/Kg 0,89 5.000 4.456

Briket Batubara

5.400 Kcal/Kg 1,85 2.500 4.625

Biobriket Kulit Singkong 100%

2.291 Kcal/Kg 4,36 384.17 1.674,98

Biobriket arang kulit singkong 100%

3.599 Kcal/Kg 2,78 488.48 1.357,97

Biobriket arang : kulit 50% : 50%

2.750 Kcal/Kg 3,64 417,32 1.519,04

Biobriket kulit singkong 100% BS

3.609 Kcal/Kg 2.77 401.29 1.111,57

Biobriket Arang kulit singkong 100% BS

6.113 Kcal/Kg 1,51 532.95 804,75


(43)

5 sebesar Rp 989,23, dan 1 Kg biobriket pada perlakuan 6 sebesar Rp 804,75. Dari perbandingan biaya diatas, maka dapat ditentukan bahwa formulasi biobriket terbaik adalah formulasi biobriket pada perlakuan 6, yaitu metode pembuatan briket arang dengan proses sortasi pada bahan baku.


(1)

No Uraian Jumlah Unit Harga/unit Umur (th) Harga Nilai sisa Depresiasi A Mesin dan Peralatan

a.pengempa briket 1 buah 12.000.000 10 12.000.000 1.200.000 1.080.000

b.loyang aluminium 30 buah 120.000 5 3.600.000 720.000 576.000

c.timbangan 1 buah 1.000.000 3 1.000.000 333.000 222.000

d.tungku pirolisis 4 buah 8.000.000 10 32.000.000 3.200.000 2.880.000

e.mesin penggiling 1 buah 10.000.000 5 10.000.000 600.000 480.000

f.alat pengayak 4 buah 900.000 5 3.600.000 720.000 576.000

g. peralatan lain 1 paket 100.000 3 100.000 33.000 22.000

B Lahan dan Bangunan 1 -

a. lahan 1 - 50.000.000 25 50.000.000 2.000.000 1.920.000

b.Bangunan 70.000.000 15 70.000.000 4.660.000 4.349.000

Total Investasi 171.700.000 12.105.000

 Pengempa briket yang digunakan adalah pengempa briket hydraulic dengan kapasitas cetak 25 Kg / cetak

 Loyang aluminium yang digunakan berbentuk persegi dengan kapasitas tampung 15 Kg briket

 Timbangan yang digunakan adalah timbangan kapasitas 250 Kg

 Tungku pirolisis yang digunakan adalah tungku pirolisis bentuk Drum dengan kapasitas 500 Kg

 Alat pengayak yang digunakan adalah saringan baja dengan kapasitas 50 Kg  Mesin penggiling yang digunakan adalah mesin penggiling dish mill dengan

kapasitas 50 kg / jam

 Perhitungan Depresiasi dihitung dengan menggunakan rumus : (Nilai sisa – (nilai sisa/Umur ekonomis))


(2)

No Uraian Jumlah Satuan Harga/satuan Harga total(Rp) A Bahan Baku

1.Kulit Singkong 117.000 Kg/Bulan Rp 10/kg 1.170.000

2.Perekat Tapioka 3.400 Kg/Bulan Rp 4000/kg 13.600.000

3.Air - - - -

Sub Total 14.770.000

B Kemasan

1. Dus 2720 Bungkus/Bulan Rp 1500/dus 4.080.000

Sub Total 4.080.000

C Bahan Bakar

1. Kulit singkong 83.000 Kg/Bulan Rp 10/kg 830.000

2. Minyak Tanah 12 Liter/bulan Rp 6.000 72.000

Sub Total 902.000

D Utilitas

1. listrik 4.000 KWH/Bulan Rp 600 2.400.000

Sub Total 2.400.000

 Basis : 200 ton kulit singkong kering/bulan  Asumsi Rendemen kulit singkong : 60%  Dus dengan kapasitas 25 Kg

 Minyak tanah hanya digunakan sebagai starter pembakaran saja

Biaya Perawatan Perlakuan 5

No Fasilitas Nilai

Investasi Perawatan / tahun Biaya / bulan Biaya / tahun

1 Pengempa briket 8.000.000 6 20.000 120.000

2 Pengayak kotoran 2.000.000 12 10.000 120.000

3 Loyang aluminium besar

3.600.000 12 10.000 120.000

4 Tungku pirolisis 32.000.000 3 25.000 75.000

5 Mesin penggiling 6.000.000 12 20.000 240.000

6 Timbangan 1.000.000 3 5.000 15.000

7 Peralatan lain 500.000 12 5.000 60.000

total 95.000 1.140.000

Biaya untuk gaji pegawai Perlakuan 5

No Klasifikasi Jumlah Gaji/Bulan Gaji/Tahun 1 Karyawan 7 600.000 50.400.000 Total 4.200.000 50.400.000  Standar gaji yang dipakai adalah standar gaji UMR daerah ponorogo


(3)

Lampiran 8a. Kebutuhan investasi industri biobriket kulit singkong

Perlakuan 6


(4)

No Uraian Jumlah Unit Harga/unit Umur (th) Harga Nilai sisa Depresiasi A Mesin dan Peralatan

a.pengempa briket 1 buah 12.000.000 10 12.000.000 1.200.000 1.080.000

b.loyang aluminium 30 buah 120.000 5 3.600.000 720.000 576.000

c.timbangan 1 buah 1.000.000 3 1.000.000 333.000 222.000

d.tungku pirolisis 4 buah 8.000.000 10 32.000.000 3.200.000 2.880.000

e.mesin penggiling 1 buah 10.000.000 5 10.000.000 600.000 480.000

f.alat pengayak 4 buah 900.000 5 3.600.000 720.000 576.000

g. peralatan lain 1 paket 100.000 3 100.000 33.000 22.000

B Lahan dan Bangunan

a. lahan 1 - 50.000.000 25 50.000.000 2.000.000 1.920.000

b.Bangunan 1 - 70.000.000 15 70.000.000 4.660.000 4.349.000

Total Investasi 175.300.000 12.105.000

 Pengempa briket yang digunakan adalah pengempa briket hydraulic dengan kapasitas cetak 25 Kg / cetak

 Loyang aluminium yang digunakan berbentuk persegi dengan kapasitas tampung 15 Kg briket

 Timbangan yang digunakan adalah timbangan kapasitas 250 Kg

 Tungku pirolisis yang digunakan adalah tungku pirolisis bentuk Drum dengan kapasitas 500 Kg

 Alat pengayak yang digunakan adalah saringan baja dengan kapasitas 50 Kg  Mesin penggiling yang digunakan adalah mesin penggiling dish mill dengan

kapasitas 50 kg / jam

 Perhitungan Depresiasi dihitung dengan menggunakan rumus : (Nilai sisa – (nilai sisa/Umur ekonomis))


(5)

No Uraian Jumlah Satuan Harga/satuan Harga total(Rp) A Bahan Baku

1.Kulit Singkong 100.000 Kg/Bulan Rp 10/kg 1.000.000

2.Perekat Tapioka 2.000 Kg/Bulan Rp 4000/kg 8.000.000

3.Air - - - -

Sub Total 9.000.000

B Kemasan

1. Dus 1600 Bungkus/Bulan Rp 1500/dus 2.400.000

Sub Total 2.400.000

C Bahan Bakar

1. Kulit singkong 100.000 Kg/Bulan Rp 10/kg 1.000.000

2. Minyak Tanah 12 Liter/bulan Rp 6.000 72.000

Sub Total 1.072.000

D Utilitas

1. listrik 4.000 KWH/Bulan Rp 600 2.400.000

Sub Total 2.400.000

 Basis : 200 ton kulit singkong kering/bulan  Asumsi Rendemen kulit singkong : 40%  Dus dengan kapasitas 25 Kg

 Minyak tanah hanya digunakan sebagai starter pembakaran saja

Biaya Perawatan Perlakuan 6

No Fasilitas Nilai

Investasi Perawatan / tahun Biaya / bulan Biaya / tahun

1 Pengempa briket 8.000.000 6 20.000 120.000

2 Pengayak kotoran 2.000.000 12 10.000 120.000

3 Loyang aluminium besar

3.600.000 12 10.000 120.000

4 Tungku pirolisis 32.000.000 3 25.000 75.000

5 Mesin penggiling 6.000.000 12 20.000 240.000

6 Timbangan 1.000.000 3 5.000 15.000

7 Peralatan lain 500.000 12 5.000 60.000

total 95.000 1.140.000

Biaya untuk gaji pegawai Perlakuan 6

No Klasifikasi Jumlah Gaji/Bulan Gaji/Tahun 1 Karyawan 7 600.000 50.400.000 Total 2.400.000 50.400.000  Standar gaji yang dipakai adalah standar gaji UMR daerah ponorogo


(6)