Penelitian tesis yang dilakukan oleh Dewi Inalya Junita Sitorus, SH NIM: Penelitian tesis yang dilakukan oleh Hadi Susanto, SH NIM: 027011023,

22 khususnya pada Program Studi Magister Kenotariatan, diketahui ada beberapa peneliti yang pernah mengangkat topik yang fokus utamanya adalah nominee untuk dijadikan sebagai bahan penelitian, seperti misalnya:

1. Penelitian tesis yang dilakukan oleh Dewi Inalya Junita Sitorus, SH NIM:

057011017, dengan tesis yang berjudul “Perjanjian Pemberian Kuasa Hak atas Tanah oleh Indonesian Nominee kepada Warga Negara Asing”, yang dilakukan pada tahun 2006, dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan yang diberikan peraturan perundang- undangan dalam mengatur penguasaan Hak Atas Tanah di Indonesia terhadap Warga Negara Asing ? b. Bagaimanakah perjanjian Hak Pakai di atas tanah Hak Milik ? c. Bagaimanakah penerapan perjanjian penguasaan hak atas tanah bagi WNA di Indonesia ?

2. Penelitian tesis yang dilakukan oleh Hadi Susanto, SH NIM: 027011023,

dengan tesis yang berjudul “Pemegang Saham Nominee dalam Perseroan Terbatas”, yang dilakukan pada tahun 2004, dengan permasalahan yang dibahas: a. Mengapa terjadi penggunaan pemegang saham NomineeTrustee dalam Perseroan Terbatas ? b. Bagaimana kekuatan Akta Pernyataan maupun Akta Kuasa yang dibuat oleh pemegang saham NomineeTrustee menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ? Universitas Sumatera Utara 23 c. Sejauh mana akibat hukum yang timbul dalam penggunaan pemegang saham NomineeTrustee ? Namun apabila dilihat permasalahan yang diangkat pada masing-masing dari penelitian tersebut, mungkin pada awalnya akan dapat dijumpai kesamaan dari segi substansi dasar kajiannya, terutama menyangkut tentang nominee-nya atau PT-nya. Akan tetapi ide-idenya kemudian menjadi berbeda dalam pembahasan pada bab-bab selanjutnya diantara masing-masing penelitian tersebut dengan penelitian ini. Penelitian sebagaimana dituangkan di dalam tesis ini yang titik fokusnya mengenai tanggung jawab Direktur Nominee belumlah dijumpai. Pengecualian tentu semestinya dapat diberikan dalam hal terdapat hasil karya tulis pihak manapun juga yang ternyata di kemudian hari baru diketahui karena sebelumnya tidak pernah dipublikasikan pada saat dilakukannya penelitian ini. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian tesis ini, maka dapat disimpulkan bahwa tesis ini adalah murni penelitian dan hasil karya orisinil yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, serta bukan merupakan karya jiplakan sepanjang seluruh kutipan atau intisari yang dijadikan pengaya di dalam tesis telah mencantumkan dan menyebutkan sumber resmi yang dijadikan sebagai referensi. Hasil penelitian ini diperoleh melalui pemikiran yang diurai dan dikaji dari pendapat para pakar praktisi yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dari referensi buku, bahan seminar, makalah, putusan-putusan pengadilan, artikel dan karya tulis yang bersumber pada media cetak seperti surat kabar atau majalah, media elektronik Universitas Sumatera Utara 24 seperti televisi atau laman dunia maya, berdasarkan kepada azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori atau landasan teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujuinya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan. 59 Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. 60 Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya. 61 Menurut Bambang Sunggono sejalan dengan pendapat Muslan Abdurrahman, bahwa penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang, di tangan. 62 59 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Penerbit CV. Mandar Madju, 1994, hlm. 80. 60 Ibid. 61 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 6. 62 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 27. Lihat juga Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang: UMM Press, 2009, hlm. 91, sebagaimana dikutip dari Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1973, hlm. 5-7, dikatakan, “Penelitian research sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, Universitas Sumatera Utara 25 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.” 63 Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 64 Menurut Satjipto Rahardjo, teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan. 65 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah dapat direkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. 66 Berbagai masalah penting mengenai perlakuan hukum atas pribadi badan hukum modern telah timbul di hampir semua negara, yang tidak hanya telah diterapkan tanpa kesadaran untuk mendukung teori-teori yang ada; hal tersebut akan ditunjukkan bahwa tidak satu pun darinya yang tampak mampu memberikan penjelasan yang memadai perihal perlakuan hukum atas setiap fenomena seperti perusahaan yang berada di tangan satu orang, sifat yang membahayakan dari suatu korporasi atau transaksi-transaksi antara perusahaan induk dengan perusahaan cabangnya. 67 Bagi orang yang mengkaji teori hukum, hal ini merupakan suatu teka-teki dan, pada pandangan pertama, mengecilkan arti fenomena. Alasan bagi ketidaksesuaian antara teori dan praktek adalah bukan tidak relevannya teori mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.” 63 Ibid., hlm. 27. 64 M. Solly Lubis, Op. cit., hlm. 27. 65 Lebih lanjut dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 224, dikatakan, “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga ditentukan oleh teori yang menjadi dasar. Demikian pula menurut Radbruch, bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.” 66 M. Solly Lubis, loc. cit. 67 W. Friedmann, Teori Filsafat Hukum, Hukum Masalah-Masalah Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 211. Universitas Sumatera Utara 26 hukum bagi masalah-masalah hukum praktis, tetapi adalah kenyataan bahwa teori-teori kepribadian badan hukum yang pokok terutama tidak membahas penyelesaian masalah-masalah hukum. Mereka pada umumnya berkaitan dengan penguasaan filosofis atas keberadaan kepribadian dalam makhluk daripada individu-individu manusia, atau dengan interpretasi politis atas kepribadian-kepribadian kelompok dari jenis-jenis yang berbeda. Tipe teori yang terakhir, khususnya, sangat berpengaruh atas teori dan praktek; tetapi hal tersebut sangat dibatasi penerapannya dalam memecahkan masalah-masalah perpajakan modern, transaksi-transaksi hak milik atau hukum perusahaan. 68 Dalam kaitannya dengan penelitian dalam tesis ini, yang singgungannya tentu tidak lepas daripada status badan hukum PT yang bersangkutan. Selain manusia alami, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum. Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban- kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. 69 Sebagaimana diungkapkan oleh W. Friedmann bahwa ada beberapa teori-teori terpenting mengenai badan hukum. 70 Namun, sebagai pedoman di dalam penelitian 68 Ibid. 69 Lihat Wibowo Tunardy, “Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum”, 26 Mei 2008, dapat diakses di http:www.jurnalhukum.combadan-hukum-sebagai-subyek-hukum, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Agustus 2012, sebagaimana dikutip dari P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, hlm. 28-29. 70 W. Friedmann, Op. cit., hlm. 212, dimana diuraikan beberapa teori penting mengenai badan hukum, seperti: 1 Teori Fiksi, dengan tokohnya yang paling terkenal adalah Savigny, dan orang Inggris yang merupakan pembelanya yang terpenting adalah Salmond, menganggap bahwa kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan lain daripada manusia adalah hasil khayalan. Kepribadian “yang sebenarnya” hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-olah badan itu manusia. 2 Teori Konsesi, walaupun lebih dekat dengan filsafat mengenai Negara nasional yang berdaulat, daripada teori fiksi, dalam beberapa hal, merupakan penyimpangan daripadanya, sebab teori ini menyatakan dengan tegas bahwa badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum kecuali kalau diperkenankan oleh “hukum”, dan ini berarti negara. Teori ini juga didukung oleh sebagian besar eksponen-eksponen dari Teori Fiksi, seperti Savigny, Salmond dan Dicey. 3 Teori Zweckvermogen menyatakan bahwa hak milik badan-badan hukum dapat diperuntukkan, dan mengikat secara sah pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi adalah milik tanpa subjek, tanpa pemilik. Teori ini juga menganggap hanya manusia yang dapat memiliki hak-hak. Universitas Sumatera Utara 27 ini, Teori Fiksi dan Teori Organik menjadi pilihan untuk menjelaskan lebih jauh mengenai kedudukan PT sebagai badan hukum dan hubungan antara PT sebagai badan hukum dengan Direksi PT sebagai organ pengurusnya. Teori Fiksi menganggap bahwa badan hukum semata-mata adalah buatan manusia. Sedangkan Teori Organik memperlakukan badan hukum sebagai suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum. Teori Fiksi dipelopori oleh seorang sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny 1779-1861, tokoh utama aliran sejarah pada permulaan abad ke-19. Menurut teori ini bahwa hanya manusia saja yang memiliki kehendak, sedangkan badan hukum adalah suatu abstraksi dan bukan merupakan suatu hal yang konkrit. 71 Lebih lanjut, dikemukakan bahwa meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia. Dalam pandangan penganut teori ini, badan hukum disamakan dengan manusia hanya sebagai perumpamaan fiksi saja. 72 4 Teori Ihering – secara filosofis sangat dekat dengan Teori Fiksi – berpendapat bahwa subjek- subjek hak-hak badan hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada di belakangnya – anggota-anggota badan hukum dan mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan stiftung yang diberi kepribadian hukum dalam hampir semua hukum Eropa, sedangkan dalam hukum Anglo-Amerika mereka, dengan adanya konsepsi tentang kepercayaan, diperlakukan tidak sama. 5 Teori Realis atau Organik, diasosiasikan, terutama dengan nama Gierke dan sampai batas-batas tertentu didukung oleh Mitland, bertentangan dengan semua teori yang disebut sebelumnya, sebab menekankan pada pribadi-pribadi hukum yang nyata sebagai sumber kepribadian hukumnya. Wadah badan hukum adalah Reale Verbandsperson; kepribadiannya tidak karena diakui oleh negara; bukan ciptaan menurut hukum yang tidak nyata, bukan pula kepribadian yang terletak dalam anggota-anggota yang merupakan unsur-unsurnya atau orang-orang yang berkepentingan. 71 Anonim, “Teori Badan Hukum”, 02 Juli 2008, dapat diakses di http:click- gtg.blogspot.com200807teori-badan-hukum.html, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 72 Wibowo Tunardy, loc. cit. Universitas Sumatera Utara 28 Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. 73 Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. 74 Teori Fiksi dari von Savigny tersebut diperkuat lagi oleh Teori Organ orgaan theory. 75 Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Freidrich von Gierke 1841-1962. Menurut beliau, badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu ‘verbandpersonlich-keit’, yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya. 76 Menurut teori ini, peraturan-peraturan hukum yang tidak berlaku dalam pandangan Teori Fiksi tetap berlaku karena badan hukum memiliki organ yang dipandang sebagai jiwa dari badan hukum tersebut. 77 73 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2005, hlm. 32. Lebih lanjut dalam Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007, II, hlm. 131, dikatakan, “Benar apa yang dikatakan Savigny bahwa badan hukum itu semata-mata buatan negara, karena keberadaan badan hukum itu diatur oleh suatu undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa ada syarat-syarat formal yang harus dipenuhi oleh badan hukum. Suatu badan atau lembaga harus diakui sebagai badan hukum oleh negara, setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari pemerintah. Di samping itu harus memenuhi asas publisitas, bahwa badan hukum harus diumumkan dalam Berita Negara.” 74 Ibid. 75 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia – Cetakan Keempat Revisi, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 103. 76 Anonim, “Teori Badan Hukum”, loc. cit. 77 Wibowo Tunardy, loc. cit. Universitas Sumatera Utara 29 Dengan demikian, menurut Teori Orgaan, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan hak yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. 78 Dalam arti kata, dikarenakan pengurus dianggap sebagai alat atau organ dari suatu badan hukum, maka perseroanlah yang dianggap berbuat dengan mempergunakan alat atau organ dari perseroan tersebut. Lebih lanjut di dalam kajian penelitian ini, PT akan diperlakukan selayaknya badan hukum yang di satu sisi adalah badan khayalan yang sesungguhnya tidak eksis imajiner, fiktif, namun di sisi lain PT itu juga merupakan organisme hidup yang nyata layaknya manusia biasa. Akan tetapi, perwujudan dari fiktif menjadi nyata tersebut tidak mungkin dilepaskan dari perantaraan pengurus sebagai wakilnya. Direksi PT bergerak dalam kapasitas sebagai organ pengurus yang akan menjalankan apa yang menjadi kehendak atau kemauan daripada badan hukum. Dengan demikian, sebagai badan hukum jelas bahwa PT merupakan pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum. 79 Badan hukum itu merupakan suatu realitas atau kenyataan yuridis yuridische realiteit, konkret dan riil, walaupun tidak dapat diraba. 80 Sedangkan yang dipertimbangkan cukup relevan dengan penelitian dalam tesis ini, khususnya dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban Direksi PT, adalah rujukan pada beberapa prinsip hukum yang lebih dikenal dalam sistem 78 Chidir Ali, Op. cit., hlm. 33. 79 Mulhadi, Op. cit., hlm. 82. 80 Ibid., hlm. 83. Universitas Sumatera Utara 30 common law. Adapun prinsip atau teori hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan, misalnya prinsip fiduciary duty prinsip pertanggungjawaban direktur 81 dan sebagai konsekuensinya adalah lahir atau munculnya teori business judgment rule. Fungsi utama direksi sebagaimana diatur Pasal 92 ayat 1 UUPT adalah menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 82 Tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut dalam sistem common law dikenal dengan prinsip fiduciary duties. 83 Menurut prinsip atau teori tersebut, dalam kepengurusan PT, Direksi PT sejauh mungkin harus bertindak sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan oleh PT, dan karenanya Direksi PT dibebankan tanggung jawab bahwa setiap keputusan yang diambil adalah semata-mata demi kepentingan dan keuntungan PT, yang dilandasi dengan itikad baik te goede trouw dan kehati-hatian serta 81 Lihat Bismar Nasution, “UU Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule”, Makalah disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: “Pengaruh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara, tanggal 24 November 2007, I, hlm. 6, dikatakan, “Prinsip ini meletakkan seorang Direktur itu sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang Direktur itu haruslah mempunyai kepedulian duty of care dan kemampuan untuk mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi duty of loyality, itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi high degree.” 82 Raffles, “Eksistensi dan Tanggung Jawab Direksi Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, tth., hlm. 68. 83 Diana Kusumasari, “Fiduciary Duty Direksi dan Dewan Komisaris PT”, 16 Juni 2011, I, dapat diakses di http:www.hukumonline.comklinikdetailcl4058fiduciary-duty-direksi-dan-dewan- komisaris-pt, terakhir diakses pada tanggal 25 November 2012. Universitas Sumatera Utara 31 keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan 84 , dan tidak memiliki benturan kepentingan conflict of duty and interest 85 . Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan, bukan kepada pemegang saham, baik secara individu maupun kelompok, 86 sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee di dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya duty of care. 87 Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut, seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan duty of loyalty. 88 Guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh Perseroan kepada Direksi sebagai organ Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan Perseroan, dan guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi oleh doktrin business judgment rule. 89 Sudah sepantasnya jika seorang Direktur Perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan mere errors of judgment tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. 90 Doktrin business judgment rule mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan 84 Adapun dalam UUPT telah menguraikan prinsip tersebut dalam ketentuan Pasal 92 dan Pasal 97 UUPT. 85 Diana Kusumasari, I, loc. cit. 86 Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi dalan Pengelolaan Perseroan”, 23 Desember 2009, II, dapat diakses di http:bismar.wordpress.com, terakhir diakses pada tanggal 25 November 2012, sebagaimana dikutip dari Janet Dine, Company Law: Sweet Maxwell’s Testbook Series, Sweet Maxwell, 2001, hlm. 217. 87 Ibid., sebagaimana dikutip dari Denis Keenan Josephine Biscare, Smith Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1999, hlm. 317. 88 Ibid., sebagaimana dikutip dari Joel Selgman, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company, 1995. 89 Try Widiyono, II, Op. cit., hlm 98. 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara 32 segala kekurangannya. 91 Dengan demikian, akan terdapat pembatasan yang dijamin oleh hukum bahwa anggota Direksi PT tidak menjadi bertanggung jawab secara pribadi atas keputusan yang telah diambil demi kepentingan PT yang dikelolanya, walaupun ternyata di kemudian hari terdapat suatu dampak negatif bahwa keputusan yang diambil menimbulkan kerugian bagi PT yang bersangkutan, sepanjang Direksi mampu membuktikan bahwa prinsip itikad baik senantiasa dikedepankan untuk melakukan segala perbuatan hukum dalam rangka mencapai maksud dan tujuan Perseroan. 92

2. Konsepsi