Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah Di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit

(1)

Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah Di Kawasan Hutan Wisata

Alam Sibolangit

(Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara)

Rahmawaty Jurusan Kehutanan

Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara disebut “Mega Biodiversity” setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia, yang mana dari setiap jenis tersebut terdiri dari ribuan plasma nutfah dalam kombinasi yang cukup unik sehingga terdapat aneka gen dalam individu. Secara total keanekaragaman hayati di Indonesia adalah sebesar 325.350 jenis flora dan fauna. Keanekaragaman adalah variabilitas antar makhluk hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem-ekosistem perairan, dan komplek ekologis termasuk juga keanekaragaman dalam spesies di antara spesies dan ekosistemnya. Sepuluh persen dari ekosistem alam berupa suaka alam, suaka margasatwa,taman nasional, hutan lindung, dan sebagian lagi bagi kepentingan pembudidayaan plasma nutfah, dialokasikan sebagai kawasan yang dapat memberi perlindungan bagi keanekaragaman hayati (Arief, 2001).

Salah satu cagar alam yang terdapat di Sumatera adalah Cagar Alam Sibolangit yang terletak di kawasan Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Sebagian dari kawasan Taman Wisata Alam Sibolangit ini dialihfungsikan sebagai hutan wisata, yang dikenal dengan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Manfaat yang diperoleh dari kawasan ini sangat penting, bukan hanya dari keragaman tumbuhan yang dapat dijadikan koleksi saja, melainkan juga memberikan kontribusi yang sangat penting bagi keperluan pendidikan serta pengembangan pariwisata.

Pada saat ini, informasi mengenai keanekaragaman fauna tanah khususnya mesofauna tanah yang terdapat di kawasan TWA Sibolangit masih belum memadai. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan inventarisasi, sehingga dapat membantu dalam penyediaan data yang diperlukan untuk referensi bagi pihak pengelola. Mesofauna tanah adalah hewan tanah yang memiliki ukuran tubuh 0,16-10,4 mm. Menurut Setiadi (1989), peranan terpenting dari organisme tanah di dalam ekosistemnya adalah sebagai perombak bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuhan hijau. Nutrisi tanaman yang berasal dari berbagai residu tanaman akan mengalami proses dekomposisi sehingga terbentuk humus sebagai sumber nutrisi bagi tanah. Dapat dikatakan bahwa peranan ini sangat penting dalam mempertahankan dinamika ekosistem alam. Selain itu Suharjono (1997), menyebutkan beberapa jenis fauna permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk (indikator) terhadap kesuburan tanah atau keadaan tanah. Keberadaan mesofauna tanah


(2)

sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu udara, suhu tanah dan pH tanah, sehingga perlu diketahui seberapa besar faktor lingkungan mempengaruhi keberadaan mesofauna tanah di TWA Sibolangit.

Sebagai kawasan konservasi, Taman Wisata Alam Sibolangit diharapkan dapat menjadi kawasan pengawetan, pemeliharaan dan perlindungan bagi keanekaragaman hayati. Secara tidak langsung berarti dapat melestarikan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang terdapat di dalamnya, termasuk mesofauna tanah.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui keanekaragaman mesofauna tanah pada dua bentuk penutupan lahan (lahan hutan dan lahan berumput) di kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Tanah

Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994).

Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung. Bersamaan dengan suhu dan air, tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball, 1999).

Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 1997).

Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah., dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada


(3)

permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.

Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai fauna tanah. Suin (1997), menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan indifferen. Metode yang digunakan pada pengukuran pH tanah ada dua macam, yaitu secara kalorimeter dan pH meter.

Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo dkk., 1996).

B. Fauna Tanah

Fauna tanah adalah fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah (Suin,1997). Beberapa fauna tanah, seperti herbivora, sebenarnya memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, fauna-fauna tersebut memberikan masukan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun adapula sebagai kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu kelompok heterotrof (makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen) utama di dalam tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Keberadaan mesofauna tanah dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi biota tanah tampaknya sulit dihindarkan karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring-jaring makanan dalam tanah (Arief, 2001).

Burges dan Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), menjelaskan bahwa secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut : pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mokroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga


(4)

sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi. Dengan melihat proses aliran energi yang dikemukakan oleh Burges and Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), dapat dikatakan bahwa tanpa adanya keberadaan mesofauna tanah, proses perombakan materi (dekomposisi) tidak akan dapat berjalan dengan baik.

C. Peranan Fauna Tanah

Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Secara umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada tanah yang tidak terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinyu. Arief (2001), menyebutkan, terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%.

Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara :

1. Menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur,

2. Melakukan pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa dan sejenis lignin,

3. Merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus,

4. Menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas,

5. Membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah. (Barnes, 1997).

Meskipun fauna tanah khususnya mesofauna tanah sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar) mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Mesofauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief, 2001). Tarumingkeng (2000), menyebutkan bahwa dalam suatu habitat hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata.

Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo dkk., 1996).


(5)

Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Wallwork (1976), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Szujecki (1987) dalam Rahmawaty (2000), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya.

Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.

Keanekaragaman fauna tanah pada musim atau tipe permukaan tanah yang berbeda memiliki perbedaan. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian Suhardjono dkk. (1997), yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan keanekaragaman suku yang tertangkap pada musim dan lokasi yang berbeda. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Mercianto dkk. (1997), diketahui bahwa pada keanekaragaman tegakan yang berbeda terdapat perbedaan mengenai keanekaragaman jumlah suku dari serangga tanah (tegakan Dipterocarpaceae dan Palmae, tegakan Dipterocarpaceae, serta tegakan Dipterocarpaceae dan Rosaceae).

D. Keanekaragaman Fauna Tanah

Pengelompokan terhadap fauna tanah sangat beragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata. Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya. Berdasarkan kehadirannya, fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik dan permanen. Berdasarkan habitatnya fauna tanah digolongkan menjadi golongan epigeon, hemiedafon dan eudafon. Fauna epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah, dan yang eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan kegiatan makannya fauna tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungifora dan predator (Suin, 1997). Sedangkan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuhnya menurut Wallwork (1970), dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu; mikrofauna (20 µ - 200 µ), mesofauna (200 µ - 1 cm) dan makrofauna (lebih dari 1 cm). Menurut Suhardjono dan Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1). mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadium pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2). Mesofauna adalah


(6)

kelompok yang berukuran tubuh 0.16 – 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking, (3). Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh > 10.5 mm, sperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil.

Odum (1998), menyebutkan bahwa mesofauna tanah meliputi nematoda, cacing-cacing oligochaeta kecil enchytracid, larva serangga yang lebih kecil dan terutama apa yang secara bebas disebut mikroarthropoda; dari yang akhir, tungau-tungau tanah (Acarina) dan springtail (Collembola) seringkali merupakan bentuk-bentuk yang paling banyak tetap tinggal dalam tanah. Beberapa contoh organisme yang khas yang diambil dari tanah dengan menggunakan alat yang dikenal dengan corong Barlese atau corong Tullgren yang serupa, diantaranya : dua kutu oribatida (Elulomannia, Pelops); proturan (Mikroentoman); japygida (Japyx); thysanoptera; simpilan (Scolopendrella); pauropoda (Pauropus); kumbang pembajak (Staphylinidae); springtail atau collembola (Entomobrya); kalajengking semu (cheloneathid); miliped (diplopoda); centipede (chilopoda); larva kumbang scarabarida atau “grub”.

Menurut Hole (1981) dalam Rahmawaty (2000), fauna tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan caranya mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik (mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian besar tidak menghuni sistem tanah, meliputi Kelas Mammalia, Aves, Reptilia, dan Amphibia. (2). Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang (diameter < 1 cm), umumnya tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam, meliputi Kelas Hexapoda, Myriopoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychopora, Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda.

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik

Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit secara administratif terletak di Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Taman Wisata ini merupakan bagian dari kawasan Cagar Alam Sibolangit yang beralih fungsi sebagai hutan wisata. Luas TWA Sibolangit adalah 24, 85 Ha, sedangkan luas Cagar Alam (CA) Sibolangit saat ini adalah 95,15 Ha. Menurut administratif kehutanan kawasan ini dikelola oleh Unit Konservasi Sumber Daya Alam (UKSDA) I Sumatera Utara. Sedangkan secara geografis kawasan TWA berada diantara 3017’50” LU dan 98036’0”-98036’56” BT dengan ketinggian pada 550 m dpl. Analisa variasi kemiringan lahan pada TWA menunjukkan kemiringan lahan bervariasi antara 5%-10%.

Kawasan CA Sibolangit telah ditata batas sejak zaman Belanda dan kemudian direkonstruksi setelah adanya pengurangan luas yang digunakan sebagai kawasan wisata alam serta telah beberapa kali mengalami rekonstruksi batas. Lokasi yang berdampingan dengan Cagar Alam membuat TWA ini menjadi unik, dan dalam pengelolaannya tidak dapat dipisahkan atau setidaknya ikut mempertimbangkan keberadaan Cagar Alam tersebut.


(7)

Tanah di kawasan TWA Sibolangit ini rata-rata termasuk jenis andosol yang tertutup oleh humus tebal sehingga memudahkan air untuk meresap kedalamnya. Pada umumnya mempunyai top soil tebal hingga mencapai 30 cm. Tingkat kestabilan tanah di kawasan ini sangat rendah oleh karena itu sering terjadi longsor.

B. Kondisi Biologis

Ekosistem TWA Sibolangit sebenarnya bukanlah sebuah ekosistem alam yang asli, tetapi seperti sebuah ekosistem buatan hasil dari penanaman pohon yang dilakukan pada awal abad 20. Walaupun demikian TWA ini memiliki beragam jenis tumbuhan besar dan beragam spesies semak, dan ini kemungkinan merupakan dampak langsung yang ditinggalkan dalam beberapa dekade belakangan ini. TWA ini dibuat menjadi hutan dengan estetika yang indah seperti kebun raya (kebun botani) dan tidak seperti hutan pada umumnya. Oleh karena itu, nilai TWA sendiri dalam konteks konservasi ekosistem alam yang asli relatif kecil, akan tetapi hal ini pasti menarik bagi para ahli tumbuh-tumbuhan. Perlu diperhatikan juga bahwa nilai konservasi bagi atribut-atribut unik ini walaupun sifatnya secara langsung, tetapi dapat ditawarkan menjadi sumber daya yang sangat baik sekali bagi pendidikan lingkungan dan konservasi alam.

Flora yang tumbuh di kawasan ini sebagian merupakan jenis asli dan sebagian lagi berasal dari luar negeri sebagai hasil penanaman yang dilakukan oleh J.A. Lorzing. Tanaman dari luar pada umumnya terdiri dari pohon yang besar dengan diameter lebih dari 1 meter, diantaranya sono kembang (Dalbergia latifolia), angsana (Pterocarpus indicus), dan kelenjar (Samanea saman). Antara tahun 1914 dan 1924, J.A. Lorzing mencatat beberapa tanaman asli yang ada, seperti meranti (Shorea sp.), 30 jenis Ficus, 20 jenis kecing (Quercus sp.), kenanga, kulit manis, manggis dan Artocarpus sp.

Selain itu di kawasan ini juga terdapat tumbuhan semak seperti Philodendron sp. Tanaman ini merupakan anggota dari genus Arthurium (Famili Araceae). Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi (diperkirakan 3.000 sampai 4.000 mm per tahun). Jenis tumbuhan bawah lainnya yang dapat dijumpai dalam kawasan TWA Sibolangit ini adalah jenis paku-pakuan, talas hutan, berbagai jenis rumput, serta berbagai jenis jamur. Di kawasan ini juga terdapat berbagai jenis anggrek hutan, palma dan pinang.

Jenis fauna yang sering terlihat di kawasan TWA Sibolangit yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trachypithecus cristata), babi hutan (Sus scropa), napuh (Tragulus sp.) dan trenggiling (Manis javanica). Jenis burung yang hidup di kawasan ini diantaranya adalah rangkong (Famili Bucerotidae) dan srigunting (Dicrurus sp.) dan beberapa jenis lainnya. Jenis-jenis reptil yang hidup di kawasan ini diantaranya ular sanca (Phyto reticulates), kadal (Mabuya multifasciatus) dan biawak (Varanus salvator). Lokasi ini sangat dikenal karena banyak lintah dan pacet (Haemadipsa sp.).


(8)

IV. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit yang terletak di Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2003 sampai dengan bulan Mei 2004.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : corong Barlese, kompas, termometer, pH meter, alat-alat tulis, sekop, meteran, peralatan untuk identifikasi mesofauna tanah, parang/pisau, pita ukur, pinset, kamera dan alat-alat lain yang mendukung pelaksanaan penelitian.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : contoh tanah komposit (serasah, humus dan tanah), pancang kayu, kantung kain/blacu, kertas label, kertas koran, alkohol 70 % dan tali rafia.

C. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengetahui keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan Taman Wisata Sibolangit ini adalah dengan menggunakan metode Pencuplikan Contoh Tanah (PCT). Pemisahan mesofauna tanah dari tanah dan serasah adalah dengan menggunakan corong Barlese. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada masing-masing bentuk penutupan lahan. Pengumpulan mesofauna tanah dilakukan pada dua bentuk penutupan lahan yaitu pada penutupan lahan hutan dan penutupan lahan berumput.

D. Analisis Data

1. Keanekaragaman Mesofauna Tanah

Rumus indeks keanekaragaman dari Shannon and Wiener (1949) dalam Ludwig and Reynolds (1988) ; Odum (1998) ; Barnes et al (1997) adalah :

s

H’ = - ∑ (Pi ln Pi) i = 1

Keterangan : Pi : ni/N

ni : jumlah individu suku ke i N : total jumlah individu

S : total jumlah suku dalam sampel Nilai H’ berkisar antara 1,5 – 3,5

1,5 : keanekaragaman rendah 1,5-3,5 : keanekaragaman sedang 3,5 : keanekaragaman tinggi (Magurran, 1988 dalam Rahmawaty, 2000).


(9)

2. Rumus analisis vegetasi dengan menduga karapatan pohon menurut Ewusie (1990), adalah sebagai berikut :

Kerapatan (K) =

Contoh Petak

Seluruh Luas

Jenis Suatu Individu Jumlah

Untuk mengetahui jenis vegetasi di lahan berumput, rumput yang terdapat di semua petak diambil sampelnya dan diidentifikasi. Vegetasi di lahan berumput diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan yaitu : Sangat sedikit ditemukan (< 10 individu), Sedikit ditemukan (11-20 individu), Cukup banyak ditemukan (21-30 individu), Banyak Ditemukan (31-40 individu), Sangat Banyak Ditemukan (> 40 individu). Untuk herba di lahan hutan juga menggunakan pengklasifikasian yang sama dengan pengklasifikasian rumput.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

A. 1. Keanekaragaman Mesofauna Tanah

Keanekaragaman mesofauna tanah pada kedua bentuk penutupan lahan mencakup informasi mengenai filum, kelas, ordo, famili, indeks shannon dan jumlah total individu (Tabel 1).

Tabel 1. Keanekaragaman Mesofauna Tanah pada Lahan Hutan dan Lahan Berumput

Jumlah

No. Keterangan

Lahan Hutan Lahan Berumput

1 Jumlah Filum 3 3

2 Jumlah Kelas 6 6

3 Jumlah Ordo 15 13

4 Jumlah Famili 23 24

5 Indeks Shannon 1,598 2,066

6 Jumlah Total Individu (N) 775 1288

A. 2. Vegetasi

Vegetasi (pohon) yang mendominasi pada lahan hutan adalah jenis kayu ageng (Antidesma sp.) dan kupi-kupi (Lachnastoma densiflora). Kerapatan vegetasi total adalah 1780 individu/hektar (Tabel 2).

Tabel 2. Kerapatan Vegetasi pada Lahan Hutan

No. Tingkat Pertumbuhan Jumlah/Ha

1 Pohon 340

2 Tiang 1230

3 Pancang 210

Total 1780

Untuk tingkat herba pada lahan hutan didominasi oleh Famili Araceae dan Rubiaceae dan Euphorbiaceae (Tabel 3). Pada umumnya kondisi lantai hutan cukup


(10)

banyak dijumpai serasah, dan sangat banyak ditumbuhi oleh semai dari Famili Rubiaceae dan semai Euphorbiaceae.

Tabel 3. Vegetasi pada Lahan Hutan untuk Tingkat Herba

No. Nama Spesies Nama Umum Famili Keterangan

1 Selaginela duedomerii Paku Kuning Selaginelaceae ++

2 - Paku-pakuan Polypodiaceae ++

3 - - Phioglossaceae +

4 Lapotea sinuate Jelatang Urticaceae ++

5 Amorpophalus - - +

6 Philodendron matalica Bunga Keladi Araceae ++++ 7 Heliconia bihai L. Bunga Pisang Musaceae ++

8 - Keladi-keladian Araceae +++

9 SpathiFilum “Mauma Loa” Bunga Putih Anthuriaceae ++ 10 Coctus spesiosus Smith Bunga Kuping

Gajah

Zingeberaceae ++ 11 Andiatum cuneatum Pakis-pakisan Cycadaceae +

12 Ixora sp. Soka Rubiaceae +

13 Zebrina pendula Scheizl Zebra Commelinaceae ++ 14 Drymoglosum heterofilum

G. Chr.

Sisik Naga Popypodiaceae + 15 Lachnastoma densiflora Kupi-Kupi (semai) Rubiaceae +++

16 - Roda-Roda (semai) - ++

17

Antidesma sp.

Kayu Ageng

(semai) Euphorbiaceae

+++

18 - Salak-salakan -

19 Bischofia javanica Cingkam Euphorbiaceae +

20 - Palem-paleman Palmae +

Keterangan :

+ : Sangat sedikit ditemukan (< 10 individu) ++ : Sedikit ditemukan (11-20 individu)

+++ : Cukup banyak ditemukan (21-30 individu) ++++ : Banyak Ditemukan (31-40 individu) +++++ : Sangat Banyak Ditemukan (> 40 individu)

Vegetasi yang paling dominan ditemukan pada lahan berumput adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum Schamach), dan yang paling sedikit adalah brambangan (Aneilema malabaricum Merr) dan daun kunyit-kunyitan (Piperaceae) (Tabel 4).


(11)

Tabel 4. Vegetasi pada Lahan Berumput No.

Plot

Jenis Nama Daerah/

Umum

Keterangan 1 Aneilema malabaricum Merr Brambangan +

2 Aneilema spiratum Rampanaya +++

3 Centella asiatica Urban Pegagan +

4 Cyperus brevifolius Rottb Jakut Pendul ++

5 Cyperus rotundus L. Teki +++

6 Euphorbia hirta L. Patikan Kebo ++

7 Mimosa pudica L. Putri Malu ++

8 Pennisetum purpureum Schamach

Rumput Gajah +++++

9 Piperaceae Daun

Kunyit-kunyitan

+

Keterangan :

+ : Sangat sedikit ditemukan (< 10 individu) ++ : Sedikit ditemukan (11-20 individu)

+++ : Cukup banyak ditemukan (21-30 individu) ++++ : Banyak Ditemukan (31-40 individu) +++++ : Sangat Banyak Ditemukan (> 40 individu) A. 3. Faktor Abiotik dan Jumlah Mesofauna Tanah

Rata-rata suhu udara pada lahan hutan adalah 23,40 C, suhu tanah rata-rata adalah 25,90 C, dan pH tanah rata-ratanya adalah 6,6. Sedangkan jumlah mesofauna tanah yang diperoleh adalah sebanyak 775 individu. Rata-rata suhu udara pada lahan berumput adalah 29,6 0 C, suhu tanah rata-ratanya adalah 32,1 0 C. Jumlah mesofauna tanah yang diperoleh adalah sebanyak 1288 individu (Tabel 5).

Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan metode PCT (Pencuplikan Contoh Tanah), pada lahan berumput ditemukan 3 filum mesofauna tanah yaitu: Nematoda, Mollusca dan Arthropoda. Pada lahan hutan juga ditemukan 3 filum mesofauna tanah yang sama seperti pada tipe lahan berumput. Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan Indeks Shannon diperoleh hasil, bahwa pada tipe lahan berumput memiliki nilai keanekaragaman 2,066 sedangkan pada tipe lahan hutan diperoleh indeks Shannon sebesar 1,598. Berdasarkan Magurran (1988) dalam Rahmawaty (2000) nilai Indeks Shannon pada kedua tipe lahan ini masih berada dalam satu kategori yaitu keanekaragaman sedang, yang nilainya berkisar antara 1,5-3,5. Bila dilihat dari tingkat Famili, pada tipe lahan berumput memiliki 24 Famili (suku) sedangkan pada lahan hutan memiliki 23 Famili. Sedangkan untuk tingkat ordonya, pada lahan hutan dan lahan berumput berturut turut adalah 15 Ordo dan 13 Ordo.

Setelah dilakukan pengurutan persentase terbesar sampai tiga tingkatan, pada kedua tipe lahan didominasi oleh Acari. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Borror dkk. (1996), bahwa Acari banyak terdapat di dalam tanah dan reruntuhan organik, dan biasanya jumlahnya melebihi Arthropoda lainnya. Pada lahan hutan urutan pertama ditempati oleh Famili Termitidae (59,74 %), hal ini disebabkan karena pada saat pengambilan sampel dilakukan di dekat sarang dari Famili ini. Banyaknya individu yang


(12)

diperoleh juga disebabkan karena jenis ini merupakan jenis yang hidup berkoloni dan tersusun dalam kasta-kasta, sehingga jumlahnya sangat banyak. Hal ini terbukti dengan adanya kasta pekerja, prajurit dan calon raja (kalekatu) yang dimukan pada sampel tanah. Tarumingkeng (2000), menyebutkan bahwa serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), dalam siklus energi memiliki peran sampai 4 kali lipat bila dibandingkan dengan jenis-jenis vertebrata. Dalam Arief (2001), mengatakan kehidupan Termitidae pada hakekatnya merupakan kelompok yang sistem kehidupannya tertutup. Individu yang nampak tidak sehat ataupun yang mati akan dimakan oleh koloni mesofauna itu sendiri. Hasil dari pelumatan dan pengunyahan tersebut akan menambah kandungan bahan organik di tanah. Kelompok Termitidae juga membangun sarang dengan membuat bukui-bukit kecil, serta dilengkapi dengan saluran-saluran. Saluran yang terbentuk mempengaruhi porositas tanahnya. Lapisan tanah yang berada di sekitar sarang Termitidae juga mengandung lebih banyak bahan organik daripada tanah yang ada di sekitarnya. Selain itu, Termitidae juga merupakan perombak utama sumber daya hutan kayu hingga mencapai 80 % dalam waktu 8 bulan. Kelompok ini juga merupakan perombak primer dari serasah tanaman di permukaan tanah dan perombak humus di dalam tanah. Untuk urutan kedua dan ketiga pada lahan hutan ditempati oleh Famili Ixodidae dan Formicidae.

463

86 74

0 100 200 300 400 500

J

u

m

lah M

e

s

o

fauna

T

a

na

h

Termitidae Ixodidae Formicidae Famili Mesofauna Tanah

Gambar 4. Jumlah Mesofauna Tanah pada Lahan Hutan

357

282

234

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jumlah Mesofauna T

ana

h

Ixodidae Tetranychidae Formicidae

Famili Mesofauna Tanah


(13)

Untuk urutan pertama pada lahan berumput ditempati oleh Famili Ixodidae (27,72 %). Jenis ini merupakan laba-laba pemakan tumbuh-tumbuhan dan daun-daunan dan menyerang berbagai tumbuhan. Kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang sangat besar (Borror dkk., 1996). Famili Tetranychidae menempati urutan kedua pada lahan berumput yaitu sebanyak 282 individu atau 21,89 %. Sedangkan pada lahan hutan ditempati oleh Famili Ixodidae yaitu 86 individu atau 11,10 %. Urutan ketiga dari persentase jumlah individu pada penutupan lahan berumput serta penutupan lahan hutan ditempati oleh Famili Formicidae. Namun pada lahan berumput memiliki persentase yang lebih besar (234 individu atau 18,17 %) dibandingkan pada penutupan lahan hutan (74 individu atau 9,55 %). Hal ini diduga karena pada penutupan lahan berumput merupakan habitat yang tersedia makanan dan tempat untuk mencari makan bagi Formicidae. Arief (2001), menyebutkan keberadaan mesofauna dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan tersedianya energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah.

Famili Formicidae (semut) memiliki cara hidup yang sama dengan jenis Termitidae (rayap), yaitu hidup berkoloni dan tersusun atas kasta-kasta. Wallwork (1976), mengatakan bahwa Formicidae dapat mencapai 70 % dari populasi fauna tanah tropika, sehingga famili ini dapat dijumpai dalam jumlah yang banyak. Untuk Ordo Coleoptera, pada lahan berumput lebih banyak dijumpai yaitu terdapat 5 Ordo, sedangkan pada lahan hutan hanya dijumpai 3 Ordo.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nooryanto (1987), yaitu mengenai Keanekaragaman Fauna Tanah di Perkebunan Kopi Muda Tlogo, dengan menggunakan metode perangkap sumuran, Ordo Collembola merupakan fauna tanah yang menempati posisi tertinggi dibandingkan fauna tanah lainnya. Sedangkan pada penelitian ini jumlah Collembola yang diperoleh hanya 28 individu pada lahan berumput dan 9 individu pada lahan bervegetasi hutan. Hal ini diduga karena adanya perbedaan metode dalam pengambilan sampel tanah. Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.


(14)

Ixodidae 11,10% Formicidae

9,55%

Lain-lain 19,61%

Termitidae 59,74%

Gambar 6. Persentase Mesofauna Tanah pada Lahan hutan

Ixodidae 27,72% Lain-lain

32,22%

Formicidae 18,17%

Tetranychidae 21,89%

Gambar 7. Persentase Mesofauna Tanah pada Lahan Berumput

Mesofauna tanah merupakan penghuni lingkungan tanah yang memberikan sumbangan energi dari suatu ekosistem. Hal ini disebabkan karena kelompok fauna tanah dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan fauna yang telah mati. Dalam Wallwork (1976), menyebutkan serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu.

Pada kedua penutupan lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit, ditemukan 30 Famili dan 18 Ordo dari mesofauna tanah. Hal ini berarti kawasan hutan di TWA Sibolangit dapat menjadi habitat dan serta dapat dijadikan tempat untuk berkembangnya keanekaragaman mesofauna tanah. Mesofauna tanah berperan dalam pembentukan bahan organik. Bahan organik yang terbentuk dapat menjaga sirkulasi aliran air dan udara, penahan kelembaban, memperlambat proses pencucian nutrisi oleh air hujan dan menyediakan senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tanaman. Antara vegetasi dan fauna tanah terjadi hubungan yang dapat menstabilkan ekosistem hutan. Bila salah satu komponen terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen yang lainnya. Keberadaan mesofauna tanah sebagai salah satu komponen hutan sangat penting, terutama dalam hal membantu kesuburan tanah hutan. Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa serangga berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga kestabilan ekosistem hutan. Arief (2001),


(15)

mengatakan salah satu fungsi pokok dari kawasan suaka alam, dalam hal ini adalah TWA Sibolangit adalah sabagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya, dan juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan.

Permukaan tanah pada lahan berumput ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput, yaitu terdiri dari 9 jenis. Sedangkan pada permukaan lahan hutan ditumbuhi oleh pepohonan dan beberapa jenis herba. Pada lahan hutan banyak terdapat herba yang terdiri dari Famili Araceae. Selain itu permukaan tanah tipe lahan ini cukup banyak mengandung serasah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tarumingkeng (2000), yang mengatakan bahwa proses pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas berbagai spesies pohon, menghasilkan serasah dengan humifikasi yang cepat dan menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan bawah. Pada penutupan lahan berumput, didominasi oleh rumput gajah (Pennisetum purpureum Schamach), dan pada lahan hutan didominasi oleh kayu ageng (Antidesma sp.), sira-sira dan kupi-kupi (Lachnastoma densiflora Val.) untuk tingkat pohon, serta Famili Araceae, semai kupi-kupi dan semai kayu ageng untuk tingkat herba. Dengan adanya serasah yang berasal dari vegetasi ini, mesofauna tanah yang terdapat di tanah, melakukan kegiatan dekomposisi untuk mengurai bahan yang ada menjadi lebih sederhana. Sutedjo dkk. (1996), mengatakan keadaan vegetasi dari suatu kawasan berpengaruh terhadap penambahan akumulasi humus. Pada tanah berumput yang permukaan tanahnya tertutup oleh tanaman, penghancuran akar-akar tanaman dan sisa-sisa tanaman yang telah mati dilakukan oleh bantuan mesofauna tanah secara berangsur-angsur. Sedangkan vegetasi dalam hutan, akumulasi bahan-bahan organik akan diolah oleh cacing tanah, serangga dan hewan-hewan tanah lainnya, sehingga terbentuk humus yang menjadi nutrisi bagi tanaman yang terdapat di hutan.

VI. KESIMPULAN

Keanekaragaman mesofauna tanah pada hutan wisata bahorok memiliki nilai keanekaragaman sedang

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta. 179 hal.

Barnes, B. V., Donald R. Z., Shirley R. D. and Stephen H. S. 1997. Forest Ecology. 4th Edition. John Wiley and Sons Inc. New York. 349-588 p.

Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1997. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1083 hal.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I. 2001. Draft Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Hal : 1-11.

Elzinga, R.J. 1981. Fundamentals of Entomology. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Amerika. 9-20 p.


(16)

Evans, H. E. 1984. Insect Biology. Addison-Wesley Publishing Company. Kanada. 40-60 p.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung. 369 hal. Kimball, J. W. 1999. Biologi. Jilid Tiga. Erlangga. Jakarta. Hal : 997-999.

Ludwig J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : Primer Methods and Computing. John Wiley and Sons Inc. new York. 337 p.

Magurran, A. E. 1987. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London. 179 p.

Mercianto, Y., Yayuk R. S. dan Dedy D. 1997. Perbandingan Populasi Serangga Tanah pada Tiga Keanekaragaman Tegakan Dipterocarpaceae. Prosiding Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Jakarta. Depok. Hal : 86-89.

Nooryanto. 1987. Keanekaragaman Fauna Tanah di Perkebunan Kopi Tlogo Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang JawaTengah. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. 54 hal.

Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Terjemahan Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.

Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas Rhizophora spp. Dan Komunitas Ceriops tagal di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hal.

Rao, N. S. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 353 hal.

Ross. H. H., C. A. Ross and JR. P. Ross. 1982. A Textbook of Entomology. John Wiley and Sons. New York-Chichestes-Brisbane-Toronto-Singapore. 27-56 p.

Schaller, F. 1972. Soil Animals. Arbor The University of Michigan Press. Michigan. 144 p.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikro Organisme dalam Kehutanan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antara Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. 103 hal.


(17)

Suhardjono, Y. R., Pudji A. dan Erniwati. 1997. Keanekaragaman Takson Arthropoda Tanah pada Lahan Terdegradasi di Jampang Jawa Barat. Prosiding Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang Jakarta. Depok. Hal : 290-293.

Suhardjono, Y. R. dan Adisoemarto. 1997. Arthopoda Tanah : Artinya Bagi Tanah Makalah pada Kongres dan Simposium Entomologi V, Bandung 24 –26 Juni 1997. Hal : 10.

Suhardjono, Y. R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah. Prosiding Seminar Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang Lampung dan Universitas Lampung. Lampung. Hal : 283.

Suhardjono, Y. R. 2000. Collembola Tanah : Peran dan Pengelolaannya. Lokakarya Sehari Peran Taksonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Depok. Hal : 3.

Suin, N. M. 1997. Ekologi Fauna tanah. Bumi Aksara. Jakarta. 189 hal.

Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Alumni. Bandung. 238 hal. Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra dan RD. S. Sastroatmodjo. 1996. Mikrobiologi

Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 447 hal.

Tarumingkeng, R. C. 2000. Serangga dan Lingkungan. www.tumoutou.net/serangga. 20 Juni 2004. Hal : 1-5.

Waksman, S. A. 1952. Soil Microbiology. John Willey and Sons Inc. New York. 356 p. Wallwork, J. A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc Graw Hill. London. 283 p.

Wallwork, J. A. 1976. The Diversity and Distribution of Soil Fauna. Acad Press. London. 337 p.


(1)

diperoleh juga disebabkan karena jenis ini merupakan jenis yang hidup berkoloni dan tersusun dalam kasta-kasta, sehingga jumlahnya sangat banyak. Hal ini terbukti dengan adanya kasta pekerja, prajurit dan calon raja (kalekatu) yang dimukan pada sampel tanah. Tarumingkeng (2000), menyebutkan bahwa serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), dalam siklus energi memiliki peran sampai 4 kali lipat bila dibandingkan dengan jenis-jenis vertebrata. Dalam Arief (2001), mengatakan kehidupan Termitidae pada hakekatnya merupakan kelompok yang sistem kehidupannya tertutup. Individu yang nampak tidak sehat ataupun yang mati akan dimakan oleh koloni mesofauna itu sendiri. Hasil dari pelumatan dan pengunyahan tersebut akan menambah kandungan bahan organik di tanah. Kelompok Termitidae juga membangun sarang dengan membuat bukui-bukit kecil, serta dilengkapi dengan saluran-saluran. Saluran yang terbentuk mempengaruhi porositas tanahnya. Lapisan tanah yang berada di sekitar sarang Termitidae juga mengandung lebih banyak bahan organik daripada tanah yang ada di sekitarnya. Selain itu, Termitidae juga merupakan perombak utama sumber daya hutan kayu hingga mencapai 80 % dalam waktu 8 bulan. Kelompok ini juga merupakan perombak primer dari serasah tanaman di permukaan tanah dan perombak humus di dalam tanah. Untuk urutan kedua dan ketiga pada lahan hutan ditempati oleh Famili Ixodidae dan Formicidae.

463 86 74 0 100 200 300 400 500 J u m lah M e s o fauna T a na h

Termitidae Ixodidae Formicidae Famili Mesofauna Tanah

Gambar 4. Jumlah Mesofauna Tanah pada Lahan Hutan

357 282 234 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jumlah Mesofauna T

ana

h

Ixodidae Tetranychidae Formicidae Famili Mesofauna Tanah


(2)

Untuk urutan pertama pada lahan berumput ditempati oleh Famili Ixodidae (27,72 %). Jenis ini merupakan laba-laba pemakan tumbuh-tumbuhan dan daun-daunan dan menyerang berbagai tumbuhan. Kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang sangat besar (Borror dkk., 1996). Famili Tetranychidae menempati urutan kedua pada lahan berumput yaitu sebanyak 282 individu atau 21,89 %. Sedangkan pada lahan hutan ditempati oleh Famili Ixodidae yaitu 86 individu atau 11,10 %. Urutan ketiga dari persentase jumlah individu pada penutupan lahan berumput serta penutupan lahan hutan ditempati oleh Famili Formicidae. Namun pada lahan berumput memiliki persentase yang lebih besar (234 individu atau 18,17 %) dibandingkan pada penutupan lahan hutan (74 individu atau 9,55 %). Hal ini diduga karena pada penutupan lahan berumput merupakan habitat yang tersedia makanan dan tempat untuk mencari makan bagi Formicidae. Arief (2001), menyebutkan keberadaan mesofauna dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan tersedianya energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah.

Famili Formicidae (semut) memiliki cara hidup yang sama dengan jenis Termitidae (rayap), yaitu hidup berkoloni dan tersusun atas kasta-kasta. Wallwork (1976), mengatakan bahwa Formicidae dapat mencapai 70 % dari populasi fauna tanah tropika, sehingga famili ini dapat dijumpai dalam jumlah yang banyak. Untuk Ordo Coleoptera, pada lahan berumput lebih banyak dijumpai yaitu terdapat 5 Ordo, sedangkan pada lahan hutan hanya dijumpai 3 Ordo.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nooryanto (1987), yaitu mengenai Keanekaragaman Fauna Tanah di Perkebunan Kopi Muda Tlogo, dengan menggunakan metode perangkap sumuran, Ordo Collembola merupakan fauna tanah yang menempati posisi tertinggi dibandingkan fauna tanah lainnya. Sedangkan pada penelitian ini jumlah Collembola yang diperoleh hanya 28 individu pada lahan berumput dan 9 individu pada lahan bervegetasi hutan. Hal ini diduga karena adanya perbedaan metode dalam pengambilan sampel tanah. Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.


(3)

Ixodidae 11,10% Formicidae

9,55%

Lain-lain 19,61%

Termitidae 59,74%

Gambar 6. Persentase Mesofauna Tanah pada Lahan hutan

Ixodidae 27,72% Lain-lain

32,22%

Formicidae 18,17%

Tetranychidae 21,89%

Gambar 7. Persentase Mesofauna Tanah pada Lahan Berumput

Mesofauna tanah merupakan penghuni lingkungan tanah yang memberikan sumbangan energi dari suatu ekosistem. Hal ini disebabkan karena kelompok fauna tanah dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan fauna yang telah mati. Dalam Wallwork (1976), menyebutkan serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu.

Pada kedua penutupan lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit, ditemukan 30 Famili dan 18 Ordo dari mesofauna tanah. Hal ini berarti kawasan hutan di TWA Sibolangit dapat menjadi habitat dan serta dapat dijadikan tempat untuk berkembangnya keanekaragaman mesofauna tanah. Mesofauna tanah berperan dalam pembentukan bahan organik. Bahan organik yang terbentuk dapat menjaga sirkulasi aliran air dan udara, penahan kelembaban, memperlambat proses pencucian nutrisi oleh air hujan dan menyediakan senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tanaman. Antara vegetasi dan fauna tanah terjadi hubungan yang dapat menstabilkan ekosistem hutan. Bila salah satu komponen terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen yang lainnya. Keberadaan mesofauna tanah sebagai salah satu komponen hutan sangat penting, terutama dalam hal membantu kesuburan tanah hutan. Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa serangga berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga kestabilan ekosistem hutan. Arief (2001),


(4)

mengatakan salah satu fungsi pokok dari kawasan suaka alam, dalam hal ini adalah TWA Sibolangit adalah sabagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya, dan juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan.

Permukaan tanah pada lahan berumput ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput, yaitu terdiri dari 9 jenis. Sedangkan pada permukaan lahan hutan ditumbuhi oleh pepohonan dan beberapa jenis herba. Pada lahan hutan banyak terdapat herba yang terdiri dari Famili Araceae. Selain itu permukaan tanah tipe lahan ini cukup banyak mengandung serasah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tarumingkeng (2000), yang mengatakan bahwa proses pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas berbagai spesies pohon, menghasilkan serasah dengan humifikasi yang cepat dan menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan bawah. Pada penutupan lahan berumput, didominasi oleh rumput gajah (Pennisetum purpureum Schamach), dan pada lahan hutan didominasi oleh kayu ageng (Antidesma sp.), sira-sira dan kupi-kupi (Lachnastoma

densiflora Val.) untuk tingkat pohon, serta Famili Araceae, semai kupi-kupi dan semai

kayu ageng untuk tingkat herba. Dengan adanya serasah yang berasal dari vegetasi ini, mesofauna tanah yang terdapat di tanah, melakukan kegiatan dekomposisi untuk mengurai bahan yang ada menjadi lebih sederhana. Sutedjo dkk. (1996), mengatakan keadaan vegetasi dari suatu kawasan berpengaruh terhadap penambahan akumulasi humus. Pada tanah berumput yang permukaan tanahnya tertutup oleh tanaman, penghancuran akar-akar tanaman dan sisa-sisa tanaman yang telah mati dilakukan oleh bantuan mesofauna tanah secara berangsur-angsur. Sedangkan vegetasi dalam hutan, akumulasi bahan-bahan organik akan diolah oleh cacing tanah, serangga dan hewan-hewan tanah lainnya, sehingga terbentuk humus yang menjadi nutrisi bagi tanaman yang terdapat di hutan.

VI. KESIMPULAN

Keanekaragaman mesofauna tanah pada hutan wisata bahorok memiliki nilai keanekaragaman sedang

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta. 179 hal.

Barnes, B. V., Donald R. Z., Shirley R. D. and Stephen H. S. 1997. Forest Ecology. 4th Edition. John Wiley and Sons Inc. New York. 349-588 p.

Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1997. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1083 hal.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I. 2001. Draft Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Hal : 1-11.

Elzinga, R.J. 1981. Fundamentals of Entomology. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Amerika. 9-20 p.


(5)

Evans, H. E. 1984. Insect Biology. Addison-Wesley Publishing Company. Kanada. 40-60 p.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung. 369 hal. Kimball, J. W. 1999. Biologi. Jilid Tiga. Erlangga. Jakarta. Hal : 997-999.

Ludwig J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : Primer Methods and Computing. John Wiley and Sons Inc. new York. 337 p.

Magurran, A. E. 1987. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London. 179 p.

Mercianto, Y., Yayuk R. S. dan Dedy D. 1997. Perbandingan Populasi Serangga Tanah pada Tiga Keanekaragaman Tegakan Dipterocarpaceae. Prosiding Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Jakarta. Depok. Hal : 86-89.

Nooryanto. 1987. Keanekaragaman Fauna Tanah di Perkebunan Kopi Tlogo Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang JawaTengah. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. 54 hal.

Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Terjemahan Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.

Rahmawaty. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas

Rhizophora spp. Dan Komunitas Ceriops tagal di Taman Nasional Rawa Aopa

Watumohai, Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hal.

Rao, N. S. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 353 hal.

Ross. H. H., C. A. Ross and JR. P. Ross. 1982. A Textbook of Entomology. John Wiley and Sons. New York-Chichestes-Brisbane-Toronto-Singapore. 27-56 p.

Schaller, F. 1972. Soil Animals. Arbor The University of Michigan Press. Michigan. 144 p.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikro Organisme dalam Kehutanan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antara Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. 103 hal.


(6)

Suhardjono, Y. R., Pudji A. dan Erniwati. 1997. Keanekaragaman Takson Arthropoda Tanah pada Lahan Terdegradasi di Jampang Jawa Barat. Prosiding Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang Jakarta. Depok. Hal : 290-293.

Suhardjono, Y. R. dan Adisoemarto. 1997. Arthopoda Tanah : Artinya Bagi Tanah Makalah pada Kongres dan Simposium Entomologi V, Bandung 24 –26 Juni 1997. Hal : 10.

Suhardjono, Y. R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah. Prosiding Seminar Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang Lampung dan Universitas Lampung. Lampung. Hal : 283.

Suhardjono, Y. R. 2000. Collembola Tanah : Peran dan Pengelolaannya. Lokakarya Sehari Peran Taksonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Depok. Hal : 3.

Suin, N. M. 1997. Ekologi Fauna tanah. Bumi Aksara. Jakarta. 189 hal.

Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Alumni. Bandung. 238 hal. Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra dan RD. S. Sastroatmodjo. 1996. Mikrobiologi

Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 447 hal.

Tarumingkeng, R. C. 2000. Serangga dan Lingkungan. www.tumoutou.net/serangga. 20 Juni 2004. Hal : 1-5.

Waksman, S. A. 1952. Soil Microbiology. John Willey and Sons Inc. New York. 356 p. Wallwork, J. A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc Graw Hill. London. 283 p.

Wallwork, J. A. 1976. The Diversity and Distribution of Soil Fauna. Acad Press. London. 337 p.