Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

(1)

KEBERADAAN FUNGI SELULOLITIK PADA TANAH

BEKAS ERUPSI GUNUNG SINABUNG

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Dendi Parasian Pane 111201061

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

KEBERADAAN FUNGI SELULOLITIK PADA TANAH

BEKAS ERUPSI GUNUNG SINABUNG

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

DENDI PARASIAN PANE 111201061

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

(4)

ABSTRAK

DENDI PARASIAN PANE : Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Abu vulkanik yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi memiliki pH yang masam sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan keragaman dan populasi mikroorganisme tanah. Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk semua jenis tanah. Fungi selulolitik memiliki kemampuan untuk menghidrolisis selulosa alami melalui aktivitas selulase yang dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberaadaan fungi selulolitik yang terdapat pada tanah di bawah tegakan hutan bekas erupsi gunung Sinabung di Kabupaten Karo serta sifat kimia tanah yang mempengaruhi keberadaannya. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara diagonal komposit. Contoh tanah terkena erupsi terdiri dari dua sampel yaitu abu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm dan tanah bercampur abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm, sedangkan untuk contoh tanah kontrol terdiri dari satu sampel yaitu tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Fungi diisolasi dan diidentifikasi di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2015 sampai dengan Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis fungi selulolitik yang ditemukan pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik maupun yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol) yaitu Aspergillus sp., Penicillium sp., Trichoderma sp. dan Rhizopus sp.


(5)

ABSTRACT

The presence of selulolitic fungi in the former eruption land of Mount Sinabung eruption in Karo. Under guidance of DENI ELFIATI and DELVIAN.

Volcanic ash expelled in the wake of eruption has a sour potential of hydrogen and the result led to a decrease in the diversity various and microorganism population. The Fungi are important instrument in the process of decomposition of organic material for all types of soil. The fungi selulolitic have the ability to hydrolyze the cellulose naturally through its cellulose activity. This research aims to study the presence of selulolitic fungi contained on land under forest stands are former eruption of Sinabung Mount in Karo and soil chemical properties that

influence its existence. Soil sampling is done with diagonally composite. Soil

samples exposed to the eruption consisted of two samples that volcanic ash with a depth of 0-5 cm and mixed with volcanic ash soil to a depth of 5-20 cm, while for the control of soil samples consisted of a sample of the soil to a depth of 0-20 cm.

The isolated of fungi and identified in the laboratory of Soil Biology, Agroekotecnology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. This research was carried out start from March 2015 until May 2015. The results showed that there were several types of selulolitic fungi found in soil samples affected by volcanic ash and are not affected by volcanic ash (control), namely Aspergillus sp., Penicillium sp., Rhizopus sp. and Trichoderma sp.

Keywords : volcnic ash, former eruption land, chemical properties, selulolitic fungi


(6)

RIWAYAT HIDUP

Dendi Parasian Pane dilahirkan di Desa Petuaran Hulu, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai pada tanggal 23 Oktober 1991. Anak kedua dari dua bersaudara dari Ayahanda Herman Pane dan Ibunda Rosma Pasaribu. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 101945 Petuaran Hulu, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai. Pada tahun 2006 lulus dari SMP RK Serdang Murni Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. Pada tahun 2009 lulus dari SMK Negeri 1 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, dan pada tahun 2011 penulis diterima sebagai Mahasiswa Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, pada tahun 2013 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Hutan Pendidikan USU TAHURA, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Jambi pada bulan Januari sampai dengan Februari 2015.

Penulis melakukan penelitian pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Mei 2015 dengan judul “Keberadaan Fungi Selulolitik Pada Tanah Bekas Erupsi

Gunung Sinabung di Kabupaten Karo” di bawah bimbingan Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P. dan Dr. Delvian, S.P, M.P.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini :

1. Orang tua penulis yaitu bapak Herman Pane dan ibu Rosma Pasaribu serta kakak terkasih Maganlita Witness Pane yang telah memberi dukungan, semangat, dana, beserta doa.

2. Dr. Deni Elfiati, SP., MP dan Dr. Delvian, SP., MP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan membimbing penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Teman-teman selaku tim penelitian gunung Sinabung Puput Sarah, Suryanti Saragih, Ceriati Simanjuntak, dan Yudha Pranata beserta teman yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama melaksanakan penelitian di lapangan Janrahman Simarmata dan Vernando Temmy.

4. Teman-teman selaku tim PKL di TNKS Jambi Tarida Olivia, Monalia Hutauruk, Evan Sinulingga, Adiaman Purba, dan Martin Nababan atas semangat dan bantuannya.

5. Teman-teman di Program studi Kehutanan khususnya stambuk 2011 Reza Dimas, Bastian Simanjutak, Chamvion Marpaung, Samuel Sirait, Sabar


(8)

Hutasoit, Ridho Ompusunggu, Agus Naibaho, Jhonny Simatupang atas semangat dan bantuannya serta seluruh pegawai di Program Studi Kehutanan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Oktober 2015 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Tanah Bekas Letusan Gunung ... 4

Karakteristik Abu Vulkanik ... 7

Peranan Fungi Bagi Tanah ... 9

Fungi Selulolitik ... 11

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi ... 14

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 17

BAHAN DAN METODE Waktu danTempat ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Prosedur Penelitian ... 20

1.Lokasi Pengambilan Sampel Tanah ... 20

2.Pengambilan Sampel Tanah ... 20

3.Analisis Tanah ... 21

4. Fungi Selulolitik ... 23

5.Identifikasi Fungi Selulolitik ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Tanah Bekas Erupsi Gunung Sinabung ... 25

Fungi Selulolitik ... 28


(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 42 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Aspergillus sp. Koloni Umur 7 hari pada Media PDA ... 35

Gambar 2. Penicillium sp. Koloni Umur 7 hari pada Media PDA ... 36

Gambar 3. Trichoderma sp. Koloni Umur 7 hari pada Media PDA ... 37


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah ... 25 Tabel 2. Jumlah Sebaran Fungi Selulolitik Pada Sampel Tanah ... 29 Tabel 3. Jenis Fungi Selulolitik ... 31 Tabel 4. Penampakan Isolat Fungi Selulolitik Secara Makroskopik dan


(13)

ABSTRAK

DENDI PARASIAN PANE : Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Abu vulkanik yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi memiliki pH yang masam sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan keragaman dan populasi mikroorganisme tanah. Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk semua jenis tanah. Fungi selulolitik memiliki kemampuan untuk menghidrolisis selulosa alami melalui aktivitas selulase yang dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberaadaan fungi selulolitik yang terdapat pada tanah di bawah tegakan hutan bekas erupsi gunung Sinabung di Kabupaten Karo serta sifat kimia tanah yang mempengaruhi keberadaannya. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara diagonal komposit. Contoh tanah terkena erupsi terdiri dari dua sampel yaitu abu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm dan tanah bercampur abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm, sedangkan untuk contoh tanah kontrol terdiri dari satu sampel yaitu tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Fungi diisolasi dan diidentifikasi di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2015 sampai dengan Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis fungi selulolitik yang ditemukan pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik maupun yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol) yaitu Aspergillus sp., Penicillium sp., Trichoderma sp. dan Rhizopus sp.


(14)

ABSTRACT

The presence of selulolitic fungi in the former eruption land of Mount Sinabung eruption in Karo. Under guidance of DENI ELFIATI and DELVIAN.

Volcanic ash expelled in the wake of eruption has a sour potential of hydrogen and the result led to a decrease in the diversity various and microorganism population. The Fungi are important instrument in the process of decomposition of organic material for all types of soil. The fungi selulolitic have the ability to hydrolyze the cellulose naturally through its cellulose activity. This research aims to study the presence of selulolitic fungi contained on land under forest stands are former eruption of Sinabung Mount in Karo and soil chemical properties that

influence its existence. Soil sampling is done with diagonally composite. Soil

samples exposed to the eruption consisted of two samples that volcanic ash with a depth of 0-5 cm and mixed with volcanic ash soil to a depth of 5-20 cm, while for the control of soil samples consisted of a sample of the soil to a depth of 0-20 cm.

The isolated of fungi and identified in the laboratory of Soil Biology, Agroekotecnology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra. This research was carried out start from March 2015 until May 2015. The results showed that there were several types of selulolitic fungi found in soil samples affected by volcanic ash and are not affected by volcanic ash (control), namely Aspergillus sp., Penicillium sp., Rhizopus sp. and Trichoderma sp.

Keywords : volcnic ash, former eruption land, chemical properties, selulolitic fungi


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil dari letusan gunung merapi diantaranya adalah abu vulkanik. Abu vulkanik ini memiliki sifat fisik yang khas yaitu apabila jatuh ke permukaan tanah menyebabkan material abu vulkanik tersebut cepat mengeras dan sulit ditembus oleh air baik dari atas atau dari bawah permukaan tanah sehingga menyebabkan bulk density tanah cukup tinggi. Sedangkan ruang pori total aerasi tanah dan air tersedia pada lapisan tanah relatif baik karena banyak mengandung kadar air cukup tinggi (Resaman dkk, 2006).

Material-material yang dikeluarkan dari gunung merapi setelah meletus mengandung hara yang baik bagi tanah setelah melapuk. Debu dan pasir vulkanik yang disemburkan ke langit mulai dari berukuran halus sampai berukuran yang besar. Debu dan pasir vulkanik ini merupakan salah satu batuan induk tanah yang nantinya akan melapuk menjadi bahan induk tanah dan selanjutnya akan mempengaruhi sifat dan ciri tanah yang terbentuk (Fiantis, 2006).

Makhluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer, pengurai atau saprobe. Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Salah satunya adalah fungi. fungi memiliki peran penting dalam siklus hara dengan kemampuannya dalam menghancurkan dan digunakan dalam industri untuk menghasilkan beragam produk yang berguna. Fungi berkembang dalam tanah, pada bahan organik bersimbiosis dengan tumbuhan, hidup dalam tubuh binatang. Metabolisme makhluk hidup dan proses perubahan yang terjadi di alam banyak dipengaruhi oleh keberadaan, sehingga fungi merupakan organisme penting dalam ekosistem.


(16)

Bahan organik yang menumpuk sebagai serasah tidak menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan makhluk lain jika tidak ada peran fungi (Subandi, 2010).

Fungi merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler. Umumnya membentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan seperti anyaman disebut miselium, dinding sel mengandung kitin, eukariotik, tidak berklorofil. Hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik), parasit dan simbiosis. Habitat fungi secara umum terdapat di darat dan tempat yang lembab. Fungi uniseluler dapat berkembangbiak dengan dua cara yaitu vegetatif dapat dilakukan dengan membentuk spora, membelah diri, kuncup. Secara generatif dengan cara membentuk spora askus. Sedangkan untuk fungi multiseluler reproduksi vegetatif dengan cara fragmentasi, konidium, zoospora (Rustono, 2009)

Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk semua jenis tanah. Faktor yang paling penting untuk aktivitas fungi adalah persediaan makanan. Fungi adalah mikroorganisme yang paling mudah menyesuaikan diri dan paling tahan dibandingkan dengan mikroorganisme yang lain, berdasarkan kemampuannya dalam mendekomposisi bahan organik. Selulosa, hemiselulosa, lignin maupun protein dan gula merupakan sumber makanan yang mudah didekomposisikan dan mudah tersedia untuk kehidupan dan aktivitas fungi (Buckman dan Nyle, 1982).

Fungi selulolitik memiliki kemampuan untuk menghidrolisis selulosa alami melalui aktivitas selulase yang dimilikinya. Perolehan fungi selulolitik yang mampu menghasilkan aktivitas selulase yang tinggi menjadi sangat penting untuk tujuan pengomposan limbah organik. Mengingat pentingnya peran


(17)

mikroorganisme tanah, khususnya fungi selulolitik dalam proses dekomposisi bahan organik dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas letusan gunung, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan fungi selulolitik tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik yang terdapat pada tanah di bawah tegakan hutan bekas erupsi gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

Manfaat Penelitian

Memberikan informasi mengenai keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Tanah Bekas Letusan Gunung

Gunung Sinabung merupakan salah satu gunung di dataran tinggi Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Koordinat puncak Gunung Sinabung adalah 03° 10’ LU dan 98° 23’ BT dengan puncak tertinggi gunung ini adalah 2.460 meter dari permukaan laut yang menjadi puncak tertinggi di Sumatera

Utara. Gunung ini belum pernah tercatat meletus sejak tahun 1600 (Global Volcanism Program, 2008)

Hasil dari erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan kabut asap yang tebal berwarna hitam disertai hujan pasir, dan debu vukanik yang menutupi ribuan hektar tanaman para petani yang berjarak dibawah radius 6 kilometer tertutup debu tersebut. Debu vulkanik mengakibatkan tanaman pertanian yang berada di lereng gunung banyak yang mati dan rusak. Diperkirakan seluas 15.341 hektar tanaman pertanian terancam gagal panen (Alexander, 2010).

Abu vulkanik atau pasir vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan. Abu maupun pasir vulkanik terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus, yang berukuran besar biasanya jatuh disekitar sampai radius 5-7 km dari kawah, sedangkan yang berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan hingga ribuan kilometer (Sudaryo dan Sucipto, 2009).

Abu dan pasir yang dikeluarkan gunung berapi saat erupsi setelah mengalami proses pelapukan secara sempurna, bahan tersebut menjadi tanah vulkanis yang subur. Tanah vukanis terbentuk dari material-material gunung api seperti pasir dan debu vulkanis. Material vulkanis tersebut mengalami pelapukan


(19)

dan membentuk tanah vulkanis yang sangat subur karena banyak mengandung mineral hara yang dibutuhkan tanaman (Utoyo, 2007).

Adanya debu dan pasir vulkanik yang masih segar akan melapisi permukaan tanah sehingga tanah mengalami proses peremajaan. Debu yang menutupi lapisan atas tanah lambat laun akan melapuk dan dimulai proses pembentukan (genesis) tanah yang baru. Debu vulkanik yang terdeposisi di atas permukaan tanah mengalami pelapukan kimiawi dengan bantuan air dan asam-asam organik yang terdapat di dalam tanah. Akan tetapi, proses pelapukan ini memakan waktu yang sangat lama yang dapat mencapai ribuan bahkan jutaan tahun bila terjadi secara alami di alam. Hasil pelapukan lanjut dari debu vulkanik mengakibatkan penambahan kadar kation-kation (Ca, Mg, K dan Na). di dalam tanah hamper 50% dari keadaan sebelumnya (Fiantis, 2006).

Abu vulkanik ini pada awalnya menutupi daerah pertanian dan merusak tanaman yang ada. Namun dalam jangka waktu setahun atau dua tahun saja, tanah ini menjadi jauh lebih subur. Kesuburan ini dapat bertahan lama bahkan bisa puluhan tahun. Selain itu tanah hancuran bahan vulkanik sangat banyak mengandung unsur hara yang menyuburkan tanah (Anwas, 1994).

Material vulkanik yang berasal dari letusan gunung merapi berpotensi meningkatkan kesuburan lahan pertanian dikemudian hari. Material ini merupakan bahan yang kaya akan unsur hara, sehingga dapat memperbaharui sumberdaya lahan. Meskipun demikian, timbunan material vulkanik dalam jumlah banyak juga dapat berdampak negatif dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman terutama terhadap tanah sebagai media tumbuhnya. Masalah yang ditimbulkan pada lahan yang baru terdampak material vulkanik untuk dijadikan sebagai media


(20)

tanam adalah sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal (Shoji dan Takahashi, 2002).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maira dkk., (2014) sebelum tertutup abu vulkanik dari Gunung Talang, pada tanah tersebut telah terdapat mikrobia alami tanah, akan tetapi dengan penambahan lapisan abu akan menyebabkan terjadinya penurunan populasi bakteri seiring dengan penurunan pH larutan tanah. Sedangkan pada lapisan abu saja tanpa adanya tanah, perkembangan mikrobia justru baik. Hal ini dapat disebabkan karena mikrobia menggunakan mineral dari abu vulkanik sebagai sumber karbonnya.

Menurut penelitian yang dilakukan Suriadikarta dkk., (2011) Kabupaten Magelang dan Boyolali merupakan daerah yang lebih banyak terkena awan panas sedangkan daerah Sleman lebih karena lahar panas. Dari keduanya terlihat bahwa pH daerah yang terkena awan panas bervariasi antara 4,8-5,9, sedangkan daerah yang terkena lahar panas berkisar antara 6,1-6,8. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkan >5 cm (daerah Turi, Sleman; Dukun, Magelang) tidak ada pengaruh material vulkan terhadap keanekaragaman dan populasi fauna tanah maupun mikroba tanah. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkanik 5 - 10 cm (daerah Balerante, Klaten, Selo, Boyolali) terlihat ada pengaruh material vulkanik terhadap populasi fauna tanah tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap keragaman fauna, selain itu tidak berpengaruh terhadap keragaman dan populasi mikroba tanah. Pada lahan yang tertutup oleh material vulkanik dengan ketebalan >10 cm (daerah Kopeng, Kepuh Harjo, Cangkringan) hasil analisis biologi memperlihatkan terjadi penurunan keragaman dan populasi mikroba tanah terutama pada tanah lapisan atas, sedangkan keragaman dan populasi mikroba


(21)

pada tanah lapisan bawah tidak terlalu terpengaruh. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkanik ≥ 5 cm (daerah Turi, Sleman; Dukun, Magelang) total bakteri dalam abu vulkanik 7,2 x 107 - 1,4 x 109 dan total fungi 1,3 x 103 - 7,4 x 107 cfu/g. Sedangkan pada lapisan tanah dibawahnya total bakteri mencapai 1,2 - 1,3 x 109 total fungi sebanyak 2,3 x 104 - 1,1 x 109 cfu/g.

B. Karakteristik Abu Vulkanik

Abu vulkanik merupakan bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara pada saat terjadi letusan. Secara umum komposisi abu vulkanik terdiri atas Silika. Bahan letusan gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik. Bahan padatan ini berdasarkan diameter partikelnya terbagi atas debu vulkan (< 0,26 mm) yang berupa bahan lepas dan halus, pasir (0,25 - 4 mm), lapili (4 - 32 cm) dan bom (> 32 mm) yang bertekstur kasar. Abu vulkanik mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman dengan komposisi total unsur tertinggi yaitu Ca, Na, K dan Mg, unsur makro lain berupa P dan S, sedangkan unsur mikro terdiri dari Fe, Mn, Zn, Cu. Mineral tersebut berpotensi sebagai penambah cadangan mineral tanah, memperkaya susunan kimia dan memperbaiki sifat fisik tanah sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tanah-tanah miskin hara atau tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut (Fiantis, 2006).

Debu vulkanik yang dikeluarkan saat erupsi Gunung Sinabung memiliki pH yang masam, hal ini terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2011), pH debu vulkanik hasil erupsi Gunung Sinabung sangat masam dengan pH 4,3. Menurut Soelaeman dan Abdullah (2014) sifat masam dari debu vulkanik dapat memasamkan tanah, sehingga mengubah sifat fisik, kimia dan


(22)

biologi tanah. Sifat fisik tanah yang berubah akibat debu vulkanik adalah Bulk Density yang relatif tinggi dan daya pegang air yang sangat rendah, sedangkan sifat kimia yang berubah akibat debu vulkanik adalah pH dan KTK tanah yang sangat rendah. Masamnya tanah akibat debu vulkanik yang mempengaruhi sifat biologi tanah yaitu kandungan dan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Suriadikarta dkk., (2011) debu vulkanik yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi gunung merapi mengakibatkan terjadinya penurunan keragaman dan populasi mikroba tanah terutama pada tanah yang berada pada lapisan atas, sedangkan keragaman dan populasi mikroba pada tanah yang berada pada lapisan bawah tidak terpengaruh.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Barasa dkk., (2013) debu vulkanik Gunung Sinabung dengan kedalaman 0,5-15 mm, memiliki kandungan logam tembaga sangat rendah dan kandungan logam timbal berada pada kisaran ambang batas. Umumnya kandungan logam boron lebih tinggi pada kedalaman tanah 0-15 cm daripada kedalaman tanah 0-5 cm. Lahan yang terkena dampak debu vulkanik karena kadar Cu, Pb, dan B masih berada dalam ambang batas yang tidak membahayakan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2011) debu vulkanik Gunung Sinabung dapat meningkatkan kadar unsur hara makro di dalam tanah karena tingginya kadar sulfur yang ada pada debu vulkanik. Debu vulkanik meningkatkan kadar Ca dan Mg, namun memiliki Kalium tanah yang lebih rendah, hal ini disebabkan karena rendahnya kadar kalium tanah yang ada di dalam debu vulkanik. Debu vulkanik juga meningkatkan kadar P-tersedia tanah, hal ini disebabkan tingginya kadar posfor tanah yang ada pada debu vulkanik,


(23)

namun debu vulkanik tidak mengandung unsur N-total tanah. Semakin tinggi kadar debu vulkanik yang ada akan meningkatkan kadar unsur hara makro tanah.

Abu vulkanik mengandung beberapa unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sehingga dalam jangka panjang mampu memperbaiki kesuburan tanah. Abu erupsi gunung berapi mengandung belerang, dan mengandung unsur-unsur hara tanaman yang belum tersedia atau rendah ketersediaannya bagi tanaman dan

tidak berkonstribusi yang signifikan bagi pasokan hara tanaman (Suntoro, 2014 ). C. Peranan Fungi Bagi Tanah

Fungi adalah organisme yang sel-selnya berinti sejati (eucariotic) biasanya berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil, dinding selnya mengandung kitin, selulosa atau keduanya. Fungi atau jamur adalah organisme heterotrof absobtif, dan membentuk beberapa macam spora. Bagian vegetatif pada jamur umumnya berupa benang-benang halus memanjang, bersekat (septa) atau tidak, dinamakan dengan hifa. Kumpulan benang-benang hifa tersebut dinamakan dengan miselium. Miselium dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Yang pertama mempunyai hifa senositik yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan tidak mempunya sekat melintang, jadi hifa berbentuk tabung halus yang mengandung protoplas dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh pembelahan sel. Yang kedua mempunyai satu dua inti (Semangun, 1996).

Fungi mempunyai peranan penting dalam pembentukan tanah karena ternyata berbagai jenis fungi dapat melapukkan atau mempunyai daya lapuk yang kuat terhadap sisa-sisa tanaman yang mengandung karbohidrat dan ternyata tidak mudah dilapukkan atau dihancurkan oleh bakteri. Bagi berbagai jenis fungi walaupun secara agak lambat bahan-bahan seperti selulosa atau lignin akan dapat


(24)

dilapukkan dan dimanfaatkannya. Apabila fungi-fungi itu telah sampai pada siklus hidupnya yang terakhir maka bahan-bahan yang dikandungnya akan sangat bermanfaat dalam memperkaya tanah dengan bahan-bahan organik yang bermanfaat bagi tanaman (Kartasapoetra dan Sutedjo, 2005).

Peranan fungi tanah sangat beragam, diantaranya adalah sebagai dekomposer, bersimbiosis dengan akar tanaman, bahkan sebagian bersifat sebagai patogen atau parasit. Fungi dekomposer atau disebut juga saprofit mendapatkan energi dengan merombak bahan organik menjadi CO2 dan molekul sederhana

seperti asam organik. Asam organik yang dihasilkan fungi dari dekomposisi material akan meningkatkan akumulasi asam humat (humid acid) yang bersifat resisten sehingga dapat bertahan di tanah dalam waktu yang lama sebagai sumber bahan organik (Widjayatnika, 2009).

Fungi ditemukan di dalam tanah. Mereka aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik, berperan penting dalam agregasi tanah. Ada petunjuk bahwa fungi bersifat saprofik mempengaruhi kehidupan dan tingkat penyakit yang disebabkan oleh penyakit yang berasal dari tanah melalui kompetisi, antagonisme atau parasit.Oleh karena itu gambaran populasi fungi dalam tanah sangat penting (Anas, 1989).

Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk semua jenis tanah. Fungi toleran pada kondisi tanah yang asam, yang membuatnya penting pada tanah-tanah hutan masam. Sisa-sisa pohon di hutan merupakan sumber bahan makanan yang berlimpah bagi fungi. Fungi tertentu mempunyai peranan dalam perombakan lignin (Foth, 1991).


(25)

Secara umum berdasarkan sifat hubungan antara fungi dengan akar tanaman, maka fungi tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Parasitik, yaitu: yaitu fungi tanah yang sebagian atau seluruh hidupnya dapat menyebabkan penyakit pada akar tanaman, seperti penyakit bercak akar kapas. 2. Saprophitik, yaitu: fungi tanah yang semasa hidupnya mendapatkan makanan (energi) dari dekomposisi bahan organik tanah. Fungi kelompok ini tidak menyebabkan penyakit pada akar tanaman.

3. Simbiotik, yaitu: fungi tanah yang semasa hidupnya berada pada akar-akar tanaman dan hubungannya dengan akar tanaman membentuk hubungan yang saling menguntungkan.

(Sumarsih, 2003). D. Fungi Selulolitik

Fungi tumbuh dari spora dengan struktur menyerupai benang, ada yang mempunyai dinding pemisah, dan ada yang tidak. Benang secara individu disebut hifa dan massa benang yang luas disebut miselium. Miselium adalah struktur yang berpengaruh dalam absorbs nutrisi secara terus menerus untuk fungi dapat tumbuh, dan pada akhirnya menghasilkan hifa khusus yang memproduksi spora reproduktif (Foth, 1991).

Fungi selulolitik menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling nyata, yang dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana, yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan hara di sekitar tanaman (Erikson dkk, 1989).

Aktivitas fungi selulolitik tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga berperan aktif dalam mendekomposisi serasah dan bahkan secara


(26)

bertahap dapat memperbaiki karakter struktur tanah. Rendahnya populasi dan aktivitas fungi tanah potensial pada lahan-lahan kritis, maka diperlukan usaha untuk memanipulasi ketersediaan populasi fungi potensial tersebut (Anas, 1989).

Selulosa merupakan salah satu biopolimer melimpah di alam dan merupakan limbah pertanian yang dominan. Namun pemanfaatan selulosa masih sangat terbatas. Shaikh dkk., (2013) menerangkan enzim selulase merupakan kompleks enzim yang merupakan sistem sinergis dan secara bertahap mampu mengubah selulosa menjadi sumber energi dan glukosa tersedia sehingga berperan penting dalam pemanfaatan biomassa. Menurut Rao (1994), selulosa adalah komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dibangun oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan glukosida 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah dihidrolisir disebut dengan amorf selulosa. Secara alami selulosa dapat didegradasi oleh enzim-enzim selulase. Selulosa merupakan substansi dalam proses enzimatis.

Selulosa dirombak oleh mikroba selulolitik dengan bantuan enzim selulase, salah satu mikroba perombak selulosa adalah jamur selulolitik. Selulosa dari sisa tumbuhan dan organisme lain diurai oleh mikroba menjadi senyawa sederhana berupa glukosa, CO2 dan hidrogen yang sangat berguna sebagai zat

hara bagi tumbuhan dan organisme tanah lainnya (Oramahi dkk., 2003).

Di dalam ekosistem, organisme perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4

maupun CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Adanya


(27)

keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Akhir-akhir ini mikroorganisme perombak bahan organik digunakan sebagai strategi untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa. Selain untuk meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah juga dapat mengurangi bibit penyakit, larva insek, volume bahan bangunan, sehingga pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang pada gilirannya merupakan kebutuhan pokok untuk meningkatkan kadungan bahan organik dalam tanah (Saraswati dkk, 2008).

Beberapa senyawa organik seperti bentuk-bentuk gula sederhana yang larut dalam air dapat dengan mudah dirombak dan digunakan oleh mikroba sebagai sumber makanan dan sumber energi, demikian juga protein.Sedangkan bahan organik lainnya seperti hemiselulosa dan selulosa perombakannya melalui hidolisis enzimatik dengan enzim selulosa sebagai katalis (Alexander, 1977).

Bahan organik di lantai hutan sebagian besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pelapukan bahan organik tersebut terjadi secara fisik, kimiawi dan biologi. Degradasi selulosa oleh mikrobia secara enzimatis merupakan proses penguraian bahan organik secara biologi. Pelapukan akibat enzim kompleks selulase yang dominan terjadi pada lapisan humus lantai hutan. Bakteri, kapang, khamir, dan Actinomycetes dapat memproduksi enzim selulolitik pada lingkup masing-masing keberadaanya dalam membentuk sistem degradasi ketika mempercepat peluruhan bahan organik yang berada di lantai hutan (Sudiana dan Rahmansyah, 2002).

Populasi fungi selulolitik di lantai hutan bukit Bangkirai kepadatannya mencapai sekitar 4 juta dalam setiap gram serasah (Widyastuti, 2001). Hasil


(28)

degradasi selulosa oleh enzim selulase berbentuk senyawa karbon yang lebih sederhana, selanjutnya terlarutkan ke kompartemen tanah di bawahnya. Pada lapisan tanah ini bekerja berbagai sistem enzim lainnya sehingga berbagai bahan organik kompleks (polimer) akan terurai menjadi senyawa organik sederhana (monomer) yang siap diasimilasikan.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi

Pada umumnya, pertumbuhan fungi atau jamur dipengaruhi oleh faktor

substrat, cahaya, kelembaban, suhu, derajat keasaman (pH) substrat (Gandjar dkk, 2006).

a. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi jamur. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah jamur mengeksresi enzim-enzim ekstra seluler yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, banyak jamur memiliki kemampuan mengeksresi beberapa jenis enzim ke lingkungan yang menguraikan karbohidrat kompleks, antara lain cellulase, amilase, pectinase, chitinase, dextranase, xylanase. Sebab selulosa adalah polisakarida utama didalam jaringan tumbuhan yang menjadi sumber karbon potensial bagi jamur (Garraway dan Robert, 1984). b. Cahaya

Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 380-720 nm relatif berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur juga berpengaruh terhadap sporulasi (Deacon, 1988). Pengaruh cahaya terhadap reproduksi jamur cukup kompleks. Tingkat perkembangan yang berbeda membutuhkan sinar yang berbeda.


(29)

Intensitas, durasi, kualitas cahaya menentukan besarnya kualitas cahaya terhadap jamur.

c. Kelembaban

Pada umumnya jamur tingkat rendah memerlukan kelembaban nisbi 90%, dan dari jenis hyphomycetes dapat hidup pada kelembaban pyang lebih rendah yaitu 80%. Menurut Deacon (1988) pertumbuhan jamur dapat berlangsung dengan kelembaban minimal 70%, walaupun beberapa jamur dapat tumbuh dengan sangat lambat pada kelembaban 65%.

d. Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan,

jamur dikelompokkan sebagai jamur psikofil, mesofil, dan termofil (Gandjar dkk, 2006). Menurut Deacon (1988) sebagian besar jamur atau fungi

bersifat mesofilik, tumbuh pada temperatur sedang pada rentang 10 – 40 ºC, optimum pada suhu 25 – 35 ºC.

e. Derajat Keasaman Lingkungan (pH)

Derajat keasaman substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya menyenangi pH dibawah 7,0. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH cukup rendah yaitu pH 4,5 – 5,5 (Gandjar dkk, 2006). Menurut Deacon (1988) dalam pengamatan di laboratorium jamur tumbuh pada rentang 4,5 – 8,0 dengan pH optimum berkisar 5,5 – 7,5.

Faktor yang mempengaruhi jumlah fungi dalam tanah antara lain : kadar bahan organik, potential of hydrogen (pH), pemupukan, regim kelembaban, aerasi, suhu, dan komposisi vegetasi. Fungi mapu berkembang pada kisaran pH


(30)

sangat masam (dibawah 3) sampai alkalin (diatas 9). Keberadaan fungi yang dominan pada tanah-tanah masam disebabkan oleh toleransi fungi yang lebih tinggi terhadap kemasaman dibandingkan bakteri dan aktinomicetes. Oleh karena itu proses dekomposisi material pada tanah-tanah masam lebih didominasi oleh aktivitas fungi. Sebagian besar fungi tergolong mesofilik dengan kisaran suhu optimum 25-35 oC (Widjayatnika, 2009).

Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan fungi.Fungi dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70-90 %. Kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat dikelompokkan menjadi: (a) fungi psikofil (suhu minimum di bawah 0 oC, dan suhu optimum berkisar 0oC – 17 oC), (b) fungi mesofil (suhu minimum di atas 0 oC dan suhu optimum 15oC – 40 oC) dan (c) fungi termofil (suhu minimum di atas 20 oC dan optimum berkisar 35 oC atau lebih). Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat sesuai dengan aktivitas pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup pada pH di bawah 7 (Gandjar dkk, 2006).

Fungi akan berkembang baik di tanah-tanah asam, netral atau alkali, beberapa diantaranya menyukai lebih dari keadaan lain akan pH rendah. Akibatnya di tanah masam jumlahnya banyak. Fungi benang terdapat di seluruh horizon tanah, di mana jumlah terbanyak di lapisan permukaan tempat bahan organik tersedia dan tercukupi aerasinya. Empat jenis genus yang paling terkenal

dan banyak ditemukan adalah Penicillium, Mucor, Trichoderma, dan Aspergillus (Buckman dan Nyle, 1982).


(31)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2006), jumlah isolat fungi yang ditemukan lebih banyak daripada bakteri dan aktinomisetes, hal ini disebabkan pengaruh faktor lingkungan diantaranya kadar air, aerasi, pH, suhu dan lain-lain. Menurut Alexander (1977), mikroorganisme selulolitik memerlukan temperatur yang optimum untuk pertumbuhannya yaitu 25-35°C. Faktor pH memiliki pengaruh yang penting dalam populasi mikroba yang berperan dalam proses dekomposisi selulosa. Dimana pH optimum bagi bakteri adalah mendekati netral, yaitu 6,5 - 7,5 sedangkan bagi fungi kisaran pHnya lebih lebar daripada bakteri yaitu 2,0 – 11,0 yang artinya fungi lebih toleran pada tempat yang masam daripada bakteri.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Samosir (2009) bahwa fungi yang tumbuh dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, derajat keasaman (pH) dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya. Pada lahan gambut fungi dapat tumbuh karena adanya substrat yang dihasilkan oleh kayu-kayu yang memiliki lignin dan selulosa. Dimana kayu tersebut terbentuk oleh lignin dan selulosa. Suhu yang yang terdapat di lahan gambut tersebut berkisar 28°C yang memungkinkan tumbuhnya fungi termofil.

F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Hutan pegunungan Sinabung merupakan hutan lindung berupa hutan alam pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan. Gunung Sinabung ini mempunyai ketinggian mencapai 2.451 mdpl dan dikenal secara lokal, nasional bahkan Internasional. Penelitian ini dilaksanakan pada areal yang terkena debu vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Desa Sukanalu berjarak 3 km dari Puncak Gunung Sinabung. Erupsi pertama kali terjadi di Desa


(32)

Sukanalu pada 23 November 2013 yang ditandai dengan jatuhan lapili atau batu kecil seukuran 0.5-1 cm (Saputra, 2013). Untuk areal yang tidak terkena debu dilaksanakan di Desa Kutagugung Kecamatan Nemanteran Kebupaten Karo. Desa Kutagugung berjarak 5 km dari puncak Gunung Sinabung. Tanah di daerah hutan di desa Kutagugung tidak terkena debu vulkanik (Daulay, 2014).

Schmidt dan Ferguson dalam Guslim (2009) menyatakan bahwa bulan basah terjadi jika curah hujan > 100 mm dan bulan kering terjadi jika curah hujan < 60 mm. Berdasarkan data iklim curah hujan yang merujuk pada lampiran 1, diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki rata-rata bulan kering 1,67 bulan dan bulan basah 10,3 bulan, nilai Q adalah 0,1621 sehingga iklim pada wilayah ini tergolong iklim B yaitu beriklim basah. Hal ini didukung oleh Saragih (2010) pada penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa daerah Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo mempunyai zona iklim B (Basah) dimana rata-rata bulan basah mencapai 7-9 bulan dalam setahun sehingga diperoleh curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2598,8 mm.

Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat, kemudian timbul masalah keracunan Al. Pada umumnya konsentrasi Al di lapisan bawah lebih tinggi dari pada di lapisan tanah atas, sehingga akar tanaman cenderung menghindari Al yang beracun tersebut dengan membentuk perakaran yang hanya menyebar di lapisan atas. Akibat berikutnya, akar tanaman semusim yang menderita keracunan Al tersebut tidak dapat menyerap unsur hara secara optimal, juga tidak dapat menyerap unsur hara yang berada di lapisan bawah (Hairiah, 2000).


(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai dengan Mei 2015. Pengambilan sampel tanah dilakukan di areal tanah bekas letusan Gunung Sinabung di Desa Sukanalu, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo, dan sebagai pembanding (kontrol) di Desa Kutagugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo. Analisis tanah dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara serta Isolasi dan Identifikasi Fungi Selulolitik dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah contoh tanah bekas erupsi gunung sinabung, K2Cr2O7, H2SO4, H3PO4 85%, FeSO4 0,5 N, NH4OAC pH 7, NH4+,

NaOH 50%, H2SO4 0,1 N, NaOH 0,1 N, difenilamin, alkohol 80 %, paraffin cair,

indikator conwai, media Nutrien Agar (NA), media Asparagine, dan larutan fisiologis (8,5 g NaCl per liter akuades).

Alat yang digunakan adalah plastik wrap dan kawat persegi, cawan petri, beaker glass dan tabung reaksi, parang dan pisau, sendok pengaduk, jarum ose, timbangan analisis, bunsen, oven dan autoklaf, inkubator, gelas ukur, mikroskop cahaya, kaca objek, gelas penutup dan kamera.


(34)

Prosedur Penelitian

1. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah

Lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung yang terkena abu vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Sebagai sampel tanah pembanding (kontrol) yaitu tanah di sekitar yang tidak terkena abu vulkanik Gunung Sinabung di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran.

2. Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah ini dilakukan dengan menggunakan bor tanah, dimana sebelumnya dilakukan pembersihan tanah dari penutupan tumbuhan bawah dan serasah-serasah. Pengambilan sampel tanah yang terkena erupsi dibagi atas dua kedalaman yaitu contoh tanah dengan kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm. Hal ini disebabkan pada kedalaman 0-5 cm merupakan bagian permukaan tanah yang terdiri dari abu vulkanik. Sedangkan sampel tanah pada kedalaman 5-20 cm merupakan tanah yang telah bercampur dengan abu vulkanik. Pengambilan sampel tanah pada tanah yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol) dilakukan pada kedalaman 0-20 cm. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara diagonal kemudian dikompositkan. Selanjutnya membuat petak pengambilan sampel dengan ukuran 20 x 20 meter dan titik pengambilan sampel tiap petak ada 5 titik. Tanah yang diambil pada setiap titik kemudian dicampurkan pada suatu tempat hingga homogen untuk mewakili suatu petak. Tiap petak sampel tanah yang diambil adalah sebanyak 1 kg. Penentuan petak pertama pada pengambilan sampel tanah dilakukan secara acak. Untuk petak yang kedua berjarak 200 sampai 300 meter dari petak yang pertama, sesuai dengan luas daerahnya. Begitu juga


(35)

pada petak yang ketiga pengambilan sampel tanah bekas letusan berjarak 200 sampai 300 meter dari petak yang kedua.

3. Analisis Tanah

Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan analisis awal terhadap kondisi tanah meliputi :

a. Derajat Keasaman Tanah (pH)

1. Dimasukkan 10 gr tanah ke dalam botol kocok, sebanyak 3 botol. 2. Ditambahkan aquades sebanyak 25 ml.

3. Dikocok dengan menggunakan shaker selama 10 menit. 4. Diukur pH-nya dengan mengggunakan pH meter. b. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml.

2. Ditambahkan 20 ml larutan NH4OAc. Diaduk dengan pengaduk gelas

sampai merata dan dibiarkan selama 24 jam.

3. Diaduk kembali lalu disentrifuse selama 10 menit sampai 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm.

4. Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan hasil filtrasi ditampung di dalam labu ukur 100 ml.

5. Penambahan NH4OAc diulangi sampai 4 kali. Setiap kali penambahan diaduk merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml.

6. Ditambahkan 20 ml alkohol 80% ke dalam larutan dan kemudian diaduk dan disentrifuse kembali.

7. Ditambahkan pereaksi nessler dan 5-6 tetes indikator Conwai.

8. Dibuat blanko dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai larutan berwarna hijau.

9. Dihitung:

KTK (me/gr)=ml blanko−ml contoh tanah x N NaOH x 100 Bobot Tanah


(36)

c. Bahan Organik (C-Organik)

1. Ditimbang 0,5 gr tanah kering udara yang telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml.

2. Ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 (menggunakan pipet), goncang dengan tangan.

3. Ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat, kemudian goncang selama 2-3 menit,

selanjutnya didiamkan selama 30 menit.

4. Ditambahkan 100 ml air 5 ml H3PO4 85%, ditambahkan 5 tetes

difenilamin, kemudian digoncang hingga larutan berwarna biru tua.

5. Dititrasi dengan FeSO4 0,5 N dari buret hingga warna berubah menjadi

hijau. Kemudian dibuat juga blanko dan titrasi. 6. Dihitung:

% C = 5 (1-T/S) x 0,78 (untuk tanah 0,5 gr) Dimana: T = titrasi

S = blanko

% Bahan Organik = 1,72 x %C d. Sulfur (S)

1. Larutan standar 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 ppm dipipet sebanyak 20 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.

2. Reagen kondisi ditambahkan sebanyak 1 mL lalu campuran distirer hingga homogen.

3. Kristal BaCl2.2H2O sebanyak 0,08 g ditambahkan lalu distirer kembali

selama 1 menit.

4. Larutan dibiarkan hingga tercapai waktu kestabilan warna.

5. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang optimum dengan spektrofotometer.

6. Kurva kalibrasi dari data-data yang diperoleh dibuat sehingga diperoleh persamaan regesi linier.


(37)

e. Al-dd

1. Ditimbang 5 g tanah kering angin dan memasukkannya kedalam labu Erlenmeyer.

2. Ditambahkan 50 ml1N KCl, dan megocoknya selama 15 menit dengan menggunakan mesin pengocok (shaker), sesudah dikocok mendiamkannya selama (20-30) menit.

3. Disaring dengan kertas saring whatman dan menampungnya ditabung plastik sebanyak 150 ml.

4. Dipipet hasil saringan 25 ml ke Erlenmeyer 100 ml dan menambahkan 5 tetes indicator Fp ( Fenoplatein).

5. Dititrasikan dengan0,1 N (0,009002 N) sampai timbul warna merah muda kemudian mencatat jumlah NaOH yang terpakai.

6. Ditambahkan 0,1 N (0,009554 N) kira-kira satu tetes, sehingga warna merahnya hilang lagi.

7. Ditambahkan 10 ml 4% NaF untuk menguji kandungan Aluminium (jika warna merah timbul kembali maka tanah tersebut mengandung Aluminium).

8. Dititrasikannya dengan 0,009554 N HCl sampai warna merah hilang. 9. Dihitung dengan rumus:

me Aldd/100 g = (ml HCl x N HCl) x 40 4. Fungi Selulolitik

Diambil tanah sebanyak 50 gr untuk setiap contoh tanah. Kemudian dimasukkan ke dalam media selulosa dengan bubuk Alang-alang, sebagai pengganti bahan selulosa untuk memancing perkembangbiakan mikroba lalu


(38)

diinkubasi selama 2 minggu. Diambil sebanyak 1 ml bahan dari masing-masing media selulosa, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air steril dan disentrifugasi. Diambil ose dari masing-masing media untuk digoreskan pada media Asparagine, lalu diinkubasi selama 2 minggu. Koloni yang terbentuk pada goresan tadi menandakan adanya aktifitas mikroba selulolitik yang terlihat dari adanya zona transparan pada goresan.

5. Identifikasi Fungi Selulolitik

Identifikasi fungi dilakukan dengan dua tahap pengamatan yaitu : pengamatan secara makroskopis dan pengamatan secara mikroskopis. Pengamatan makroskopis adalah identifikasi fungi berdasarkan sifat-sifat morfologinya. Hal-hal yang diamati yaitu warna koloni, bentuk koloni, dan diameter koloninya. Pengamatan secara mikroskopis adalah identifikasi fungi di bawah mikroskop untuk melihat miselium, konidia atau spora, bentuk konidia, ukuran konidia dan warna konidia. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan cara, dimana fungi yang tumbuh pada media potato dextrose agar (PDA) diinkubasi selama 7 hari kemudian dipindahkan dengan ukuran 3 x 3 mm ke dalam kaca objek. Biakan pada kaca objek ditempatkan dalam cawan petri yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Biakan dibiarkan pada kaca diinkubasi selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai fungi tumbuh cukup berkembang. Setelah masa inkubasi, fungi yang tumbuh pada kaca preparat diamati ciri mikroskopisnya.Ciri yang ditemukan dari masing-masing fungi kemudian dideskripsikan dan dicocokkan dengan buku identifikasi (Gilman, 1971).


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sampel Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung

Hasil analisis sifat kimia tanah pada penelitian ini disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah Analisis

Kimia

Satuan Sampel Tanah

(Terkena Abu Vulkanik)

Sampel Tanah (Kontrol)

0-5 cm Kriteria 5-20 cm Kriteria 0-20 cm Kriteria

pH* H2O 4,54 Masam 4,43 Sangat

Masam

5,14 Masam

KTK* me/100g 13,14 Rendah 24,88 Sedang 3,65 Sangat

Rendah

C-Organik* % 0,91 Sangat

Rendah

3,01 Tinggi 7,19 Sangat

Tinggi

S** Ppm 480,44 Sedang 646,43 Sedang 89,39 Rendah

Al-dd** me/100g 0,17 Sangat

Rendah

1,08 Sangat

Rendah

Tidak Terdeteksi

-

[

Kriteria: * Menurut Staf Pusat Penelitian (1983) dan BPP Medan (1982). ** Menurut Winarso (2005).

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa contoh tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm memiiki pH yang masam dengan KTK yang rendah dan C-Organik yang sangat rendah. Contoh tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 5-20 cm memiliki kriteria pH yang sangat masam dengan KTK sedang dan C-Organik yang tinggi. Sedangkan pada contoh tanah kontrol (tidak terkena abu vulkanik) memiliki pH yang masam dengan KTK sangat rendah dan C-Organik yang sangat tinggi.

Pada Tabel 1 di atas diketahui bahwa sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm memiliki pH lebih rendah bila dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalam 0-5 cm dan sampel tanah yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol). Hal ini disebabkan karena sulfur atau belerang yang lebih tinggi pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm sehingga dapat menurunkan pH tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudirja dan Supriatna (2000) yang menyatakan


(40)

bahwa belerang di dalam tanah secara perlahan akan diubah menjadi asam sulfit dan secara bertahap akan menurunkan pH tanah.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa KTK tanah tergolong sangat rendah hingga hingga sedang. Hal ini disebabkan oleh jenis mineral Gunung Sinabung yaitu mineral lempung atau liat. Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2003) yang menyatakan bahwa efek dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air. Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah.

Nilai KTK tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai KTK tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 5-20 cm, hal ini disebabkan karena tanah tersebut telah bercampur dengan debu vulkanik yang kemudian dapat merubah sifat kimia tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soelaeman dan Abdullah (2014) yang menyatakan bahwa sifat masam dari debu vulkanik dapat memasamkan tanah, sehingga mengubah sifat kimia tanah yaitu pH dan KTK tanah yang sangat rendah.

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai C-organik pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm adalah 3,01% lebih tinggi bila dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm yaitu sebesar 0,91%. Hal tersebut dikarenakan nilai KTK pada sampel


(41)

tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 5-20 cm lebih tinggi dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarso (2005) yang menyatakan bahwa tanah-tanah yang mempunyai kadar liat/koloid yang lebih tinggi atau kadar bahan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi dibandingkan dengan tanah yang mempunyai kadar liat rendah dan bahan organik rendah.

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 diketahui bahwa sampel tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm memiliki kandungan sulfur sedang, sedangkan pada sampel tanah yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol) pada kedalaman 0-20 cm memiliki kandungan sulfur rendah.Hal ini disebabkan karena kandungan belerang yang tinggi dalam abu vulkanik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sudaryo dan Sucipto (2009) menyatakan bahwa tanah andisol yaitu tanah yang terbentuk dari bahan vulkanik yang berasal dari wilayah dan aktivitas vulkanik memiliki kandungan sulfur yang tinggi.

Pada Tabel 1 di atas diketahui bahwa pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm. Hal ini disebabkan karena curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut mengakibatkan terjadinya pencucian hara, dimana unsur sulfur yang banyak terkandung pada abu vulkanik tercuci kelapisan tanah dibawahnya sehingga mengakibatkan unsur sulfur pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm lebih tinggi bila dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm. Hal ini sesuai


(42)

dengan pernyataan Hairiah (2000) yang menyatakan bahwa curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat.

Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa sampel tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm memiliki kandungan Al-dd yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena sifat masam yang dimiliki abu vulkanik yang dapat membentuk kompleks Al-humus.Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikeukakan oleh Huang dan Schnitzer (1997) yang menyatakan bahwa rendahnya nilai Al-dd disebabkan karena sebagian besar aluminium hasil hidrolisis terikat pada lignin-lignin organik dan membentuk komplek Al-humus.

B. Fungi Selulolitik

Pengisolasian dengan menggunakan media Asparagineditambahkan senyawa antibakteri, bertujuan untuk mengganggu pertumbuhan bakteri bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu proses metabolismenya. Dengan menggunakan antibakteri maka pertumbuhan bakteri bisa ditekan, sehingga fungi bisa tumbuh dan diisolasi. Penggunaan media dengan pH mendekati netral bertujuan untuk memberikan kondisi yang optimum bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckle dkk., (1987) yang menyatakan bahwa pada umumnya mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,6 – 8,0. Pada pengisolasian fungi selulolitik digunakan pH 6,2 atau termasuk dalam kategori masam, karena fungi selulolitik dapat tumbuh pada kisaran pH sangat masam sampai dengan agak masam. Menurut Deacon (1988) dalam pengamatan di laboratorium jamur tumbuh pada rentang 4,5 – 8,0 dengan pH optimum berkisar 5,5 – 7,5.


(43)

Tabel 2. Jumlah Sebaran Fungi Selulolitik pada Sampel Tanah

Sampel Tanah Jumlah Fungi Selulolitik

Terkena Abu Vulkanik (0-5 cm) 5

Terkena Abu Vulkanik (5-20 cm) 2

Tidak Terkena Abu Vulkanik (0-20 cm) 9

Dari Tabel 2terlihat bahwa jumlah koloni terbanyak terdapat pada sampel tanah yang tidak terkena abu vulkanik (0-20 cm) yaitu sebanyak 9 isolat, lalu diikuti pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik (0-5 cm) sebanyak 5 isolat dan jumlah koloni yang paling sedikit terdapat pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik (5-20 cm) yaitu sebanyak 2 isolat.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa jumlah koloni pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik lebih sedikit daripada jumlah koloni pada sampel tanah yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol). Hal ini disebabkan karena sifat fisik abu yang dapat mempengaruhi keberadaan fungi di dalam tanah seperti kandungan kadar air yang tinggi pada abu vulkanik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suriadikarta dkk., (2011) yang menyatakan bahwa abu merapi memiliki kadar air yang cukup tinggi. Kadar air yang tinggi akan mempengaruhi jumlah fungi yang terdapat di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadi dkk., (2005) yang menyatakan bahwa tingginya kadar air juga sangat mempengaruhi keberadaan dan jumlah fungi tanah, namun jika kadar air tersebut terlalu tinggi (tanah tergenang) kelimpahan dan jenis-jenis fungi akan menjadi sangat rendah, karena fungi bersifat aerobik (Oyne, 1999).

Pada tanah yang tidak terkena debu vulkanik (kontrol) lebih banyak ditemukan fungi selulolitik dibandingkan jumlah koloni pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik. Hal ini disebabkan karena dampak dari meletusnya gunung Sinabung akan mempengaruhi sifat biologi tanah, seperti aktivitas


(44)

mikroorgganisme yang akan berkurang karena berkurangnya jumlah populasi mikroorganisme di dalam tanah. Berkurangnya mikroorganisme tanah disebabkan perubahan lingkungan karena adanya debu vulkanik yang menutupi lapisan tanah.

Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa jumlah koloni pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm lebih banyak daripada jumlah koloni pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik pada kedalaman 5-20 cm. Hal ini dikarenakan kedalaman tanah juga mempengaruhi jumlah mikroorganisme di dalam tanah, semakin dalam kedalaman tanah maka jumlah mikroorganisme akan semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan penelitian Ardi (2009) bahwa semakin dalam kedalaman tanah maka jumlah mikroorganisme tanah akan semakin berkurang, dan begitu juga sebaliknya. Hal itu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Maira, dkk (2014) bahwa pada lapisan abu saja tanpa adanya tanah, perkembangan mikrobia justru baik. Hal ini dapat disebabkan karena mikrobia menggunakan mineral dari abu vulkanik sebagai sumber karbonnya.

Kandungan sulfur dan Al-dd yang tinggi pada debu vulkanik mempengaruhi jumlah fungi dalam tanah. Semakin tinggi kadar Sulfur dan Al-dd di dalam tanah maka jumlah fungi akan semakin sedikit, dikarenakan oleh kadar sulfur yang tinggi dapat menurunkan pH tanah dan kemudian berpengaruh terhadap jumlah fungi di dalam tanah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andreita (2011), yang menyatakan bahwa pemberian debu vulkanik setelah 4 minggu inkubasi berpengaruh nyata meningkatkan kemasaman tanah, meningkatkan Al-dd dan H-dd, meningkatkan kejenuhan H, meningkatkan basa basa tukar, meningkatkan kejenuhan basah, meningkatkan S-tersedia tanah.


(45)

C. Identifikasi Fungi Selulolitik

Berdasarkan hasil isolasi didapatkan 16 isolat yang terdiri atas 4 genus fungi selulolitik yang terdapat pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik maupun yang tidak terkena abu vulkanik (kontrol). Jenis-jenis fungi selulolitik yang berhasil diisolasi yaitu Aspergillus sp. dengan jumlah jenis sebanyak 8, Penicillium sp. dengan jumlah jenis sebanyak 5, Trichoderma sp. dengan jumlah jenis sebanyak 2, Rhizopus sp. dengan jumlah jenis sebanyak 1. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Fungi Selulolitik

Jenis Fungi Selulolitik Tanah Terkena Abu Vulkanik Tanah Tidak Terkena Abu Vulkanik

0-5 cm 5-20 cm 0-20

Aspergillus sp.1 - - 1

Aspergillus sp.2 - - 1

Aspergillus sp.3 - 1 -

Aspergillus sp.4 1 - -

Aspergillus sp.5 - - 1

Aspergillus sp.6 1 - -

Aspergillus sp.7 - - 1

Aspergillus sp.8 - - 1

Penicillium sp.1 1 - -

Penicillium sp.2 - 1 -

Penicillium sp.3 - - 1

Penicillium sp.4 1 - -

Penicillium sp.5 - - 1

Trichoderma sp.1 - - 1

Trichoderma sp.2 - - 1

Rhizopus sp.1 1 - -

Jumlah Isolat 5 2 9

Hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa sampel tanah yang terkena abu vulkanik (0-5 cm dan 5-20 cm) dan sampel tanah yang tidak terkena debu vulkanik (0-20 cm) memiliki keanekaragaman genus fungi yang cukup beragam. Dari hasil penelitian terdapat 4 genus fungi yang ada


(46)

pada sampel tanah.Keempat genus tersebut adalah Aspergillus sp., Penicillium sp., Trichoderma sp., Rhizopus sp. Dari keempat genus fungi yang teridentifikasi tidak terdapat pada satu sampel tanah saja. Menurut Gandjar dkk., (2006) secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat yang merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi, kelembaban dimana fungi dapt hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %, suhu, derajat keasaman substrat (pH) dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.

Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa Aspergillus dan Penicillium merupakan genus yang ditemukan pada ketiga titik pengambilan sampel tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua genus fungi ini merupakan fungi yang bersifat kosmopolitan, sehingga fungi ini umum ditemukan. Menurut Ilyas (2007), adanya dominasi marga-marga fungi tersebut diantaranya karena taksa fungi-fungi tersebut memiliki sebaran kosmopolit, dapat menghasilkan spora vegetatif (konidia) dalam jumlah besar. Menurut Domsch dkk., (1993), Penicillium adalah spesies yang tersebar luas di seluruh dunia, hampir pada semua jenis tanah dan fungi Aspergillus terdapat dimana-mana baik di daerah kutub maupun di daerah tropik.

Genus Penicillium dan Aspergillus paling banyak ditemukan pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Azaz (2003) yang mengatakan bahwa Penicillium dan Aspergillus merupakan fungi yang paling dominan pada tanah. Hal ini menjelaskan bahwa keberadaan Penicillium dan Aspergillus di tanah membantu menyediakan unsur hara bagi tanaman dengan cara mendekomposisikan sisa-sisa bahan oganik seperti lignin dan selulosa. Hal tersebut sesusai dengan pernyataan Saragih (2009) yang mengatakan bahwa


(47)

sisa-sisa tanaman yang memiliki kandungan lignin dan salulosa yang tinggi merupakan sumber makanan bagi sebagian fungi termasuk Penicillium dan Aspergillus.

Aspergillus sp. dapat ditemukan pada tanah, buah-buah dan juga pada serasah dan kayu mati. Banyak jenis fungi Aspergillus ini digunakan untuk industri makanan dan minuman. Namun peran penting yang lainnya adalah dalam proses dekomposisi bahan organik tanah dan membantu pertumbuhan tanaman. Sehingga fungi ini juga sangat bermanfaat dalam merehabilitasi lahan bekas tambang karena fungi ini mampu menghasilkan bahan organik bagi tanaman. Fungi ini sangat mudah untuk didapat karena seperti diketahui bahwa sisa-sisa tanaman memiliki kandungan selulosa dan lignin yang tinggi yang merupakan sumber makanan bagi sebagian fungi termasuk didalamnya Aspergillus, hal ini sesuai dengan pernyataan Rao (1994) yang menyatakan bahwa beberapa mikroba seperti Trichoderma, Aspergillus, dan Penicillium mampu merubah selulosa menjadi bahan senyawa-senyawa monosakarida, alkohol, CO2 dan asam-asam

organik lainnya dengan mengeluarkan enzim selulase.

Dari hasil penelitian juga didapat fungi Penicillium sp. fungi ini dapat disebarkan oleh angin. Pada tanah fungi Penicillium sp. dapat berperan dalam proses dekomposisi terutama dalam mendekomposisikan serasah. Dengan demikian fungi ini dapat memberikan unsur hara pada tanaman kritis seperti tanah bekas tambang, fungi ini juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Herman dan Goenadi (1999) yang menyatakan bahwa mikroorganisme seperti Penicillium sp. dan Aspergillus sp. mampu menghasilkan polisakarida yang berguna dalam perekat partikel tanah. Jadi fungi ini dapat meningkatkan agregat-agregat tanah sehingga aerasi tanah lebih baik.


(48)

Trichoderma sp. merupakan salah satu fungi yang dapat menjadi agen biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat patogen.Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan, parasitisme, predasi atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Potensi fungi Trichoderma sebagai agensi pengendali hayati tidak terbantahkan lagi. Beberapa penyakit tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma ini. Diantara penyakit tanaman yang dapat dikendalikan dengan fungi ini adalah busuk pangkal batang pada tanaman vanili dan beberapa penyakit tanaman yang terbawa oleh tanah. Menurut penelitian Tjandrawati (2003) bahwa Trichoderma sp. banyak mengandung enzim kitinase yang berpengaruh membunuh patogen. Sehingga fungi ini sangat menguntungkan bagi pengelola lahan bekas tambang untuk kembali melestarikannya.

Fungi Penicillium, Rhizopus, dan Aspergillus memiliki potensi sebagai penghasil glukosa oksidase dengan aktivitas yang cukup tinggi. Semakin banyak karbohidrat yang dihasilkan dan tersedia di dalam tanah akan meningkatkan laju pertumbuhan sel-sel baru yang terbentuk terutama pertambahan diameter pada batang tanaman (Firman dan Aryantha, 2003).

Aspergillus sp.

Koloni pada medium PDA diameternya mencapai 4-5 cm dalam 3 hari, pada umur 7 hari diameter koloni mencapai 8 cmdan terdiri lapisan basal yang bersporulasi lebat dan pada awal pertumbuhannya membentuk lapisan padat yang terbentuk oleh konidiofor-konidiofor berwarna coklat kekuningan yang cepat


(49)

berubah menjadi coklat kehijauan. Pengamatan mikroskopis menunjukkan hifa yang muncul di atas permukaan merupakan hifa fertil , koloninya berkelompok. Konidia berbentuk bulat dan berwarna hitam. Memiliki tangkai konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman.Setelah dicocokkan dengan buku identifikasi jamur (Gilman, 1971), isolat yang didapat termasuk genus Aspergillus.

Gambar 1. .Aspergillus sp koloni umur 7 hari pada media PDA, Spora (a), Tangkai Konidia (b)

Aspergillus sp merupakan jenis fungi yang kosmopolit dalam tanah hal ini sesuai dengan yang dikatakan Gandjar (1999), Aspergillus merupakan fungi yang berserabut, kosmopolit dan dapat ditemukan dimana-mana, antara lain dari isolasi tanah, sisa-sisa tanaman, dan lingkungan udara serta dalam ruangan.Fungi Aspergillus sp. merupakan jenis fungi yang bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Yulianto (1989) bahwa Aspergillus sp mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melarutkan P dan K.

a


(50)

Penicillium sp

Bentuk koloni pada media PDA pada hari ke 3 hari mencapai diameter 4,6 cm dan berdiameter 6,5 dalam 7 hari. Miselia berwarna putih, konidia lebat dan berwarna hijau keabu-abuan hingga hijau tua, berbentuk elips hingga semibulat, berdinding tebal, memiliki permukaaan halus hingga sedikit kasardan membentuk kolom yang tidak teratur. Konidiafor muncul dari miselia yang tegak lurus. Menurut Gandjar (1999) konidiofor Penicillium sp bercabang tidak teratur dan berdinding halus. Bentuk mikroskopik Penicillium sp. dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Penicillium sp koloni umur 7 hari pada media PDA, Spora (a), Tangkai Konidia (b)

Menurut Gilman (1971), genus Penicillium sp memiliki hifa vegetatif yang menjalar, bersekat, dan bercabang. Konidiofor tegak lurus, biasanya tidak memiliki percabangan, bersekat, dan pada bagian apeks memiliki vertisilia yang muncul dari percabangan primer yang tegak lurus, dan masing-masing memiliki vertisilia sekunder dan terkadang memiliki percabangan tersier. Konidia berbentuk globose, bulat telur (oval) atau elips, halus ataupun kasar.

a b


(51)

Trichoderma sp

Pengamatan pertama diperoleh warna putih keabu-abuan yang ada pada bagian tengahnya terdapat warna hijau. Sementara diameter koloni pada hari ke 3 diperoleh sekitar 5,1 cm. Hari-hari berikutnya perubahan warna koloni terjadi warna hijau terbentuk dan terdapat warna seperti tepung-tepung putih. Pada hari ke 7 keseluruhan cawan tertutup warna hijau. Konidiofornya memiliki percabangan seperti piramida, yaitu pada bagian bawah lateral yang berulang-ulang, konidia yang terbentuk semi bulat hingga oval dan berdinding halus. Bentuk koloni dan mikroskopik Trichoderma sp. dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Trichoderma sp koloni umur 7 hari pada media PDA, Spora (a), Tangkai Konidia (b)

Fungi Trichoderma sp. merupakan salah satu fungi yang mampu memacu pertumbuhan tanaman dan bersifat antagonis bagi fungi lain yang bersifat parasit bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Trianto dan Gunawan (2003) yang menyatakan bahwa beberapa kapang antagonis Trichoderma sp. adalah fungi saprofit tanah yang secara alami merupakan farasit yang menyerang banyak jenis fungi penyebab penyakit tanaman yang mempunyai spectrum pengendali

a


(52)

luas.Pertumbuhan fungi Trichoderma sp. sangat cepat dan mampu menghasilkan hormon tumbuh sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman.

Rhizopus sp

Menurut Gandjar (1999), Rhizopus sp semula berwarna keputihan kemudian berubah menjadi coklat keabu-abuan hal ini disebabkan karena warna coklat dari sporangiofor dan coklat kehitaman dari sporangia Rhizopus sp. Pada umur 3 hari koloni memiliki diameter 4,2 cm dan koloni memiliki diameter 6,4 pada hari ke 7, pertumbuhan koloni Rhizopus sp sangat cepat. Sporangianya berbentuk bulat hingga semi bulat, dan berwarna coklat kehitaman saat matang.Betuk sporangiospora Rhizopus sp pada umumnya tidak teratur, bulat, elips, dan memiliki garis pada permukaannya. Sporangiofornya tidak berwarna hingga berwarna coklat gelap dan berdinding halus.

Gambar 4. Rhizopus sp koloni umur 7 hari pada media PDA, Spora (a), Tangkai Konidia (b)

a b


(53)

Tabel 4. Penampakan isolat fungi selulolitik secara makroskopik dan mikroskopik serta karakteristik Jenis Pengamatan Makroskopis Pengamatan Mikroskopis Karakteristik

Aspergillus sp.1 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Aspergillus sp.2 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Aspergillus sp.3 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Aspergillus sp.4 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Aspergillus sp.5 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Aspergillus sp.6 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman


(54)

Aspergillus sp.7 Memiliki tangkai konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Aspergillus sp.8 Memiliki tangkai

konidiafor yang agak panjang dan tegak lurus dengan sel kaki dan spora berbentuk semi bulat berwarna coklat kehitaman

Penicillium sp.1 Memiliki hifa vegetatif

menjalar, bersekat, dan bercabang. Konidiofor tegak lurus, bersekat.

Konidia berbentuk

globose, bulat telur

atau elips, halus

ataupun kasar.

Penicillium sp.2 Memiliki hifa vegetatif

menjalar, bersekat, dan bercabang.Konidiofor tegak lurus, bersekat. Konidia berbentuk globose, bulat telur

atau elips, halus

ataupun kasar.

Penicillium sp.3 Memiliki hifa vegetatif

menjalar, bersekat, dan bercabang. Konidiofor tegak lurus, bersekat. Konidia berbentuk globose, bulat telur

atau elips, halus

ataupun kasar.

Penicillium sp.4 Memiliki hifa vegetatif

menjalar, bersekat, dan bercabang. Konidiofor tegak lurus, bersekat. Konidia berbentuk globose, bulat telur

atau elips, halus


(55)

Penicillium sp.5 Memiliki hifa vegetatif menjalar,bersekat,dan bercabang. Konidiofor tegak lurus, bersekat. Konidia berbentuk globose, bulat telur

atau elips, halus

ataupun kasar.

Trichoderma sp.1 Konidiofornya

memiliki percabangan seperti piramida, yaitu pada bagian bawah lateral yang berulang-ulang, konidia yang terbentuk semi bulat hingga oval dan berdinding halus.

Trichoderma sp.2 Konidiofornya

memiliki percabangan seperti piramida, yaitu pada bagian bawah lateral yang berulang-ulang, konidia yang terbentuk semi bulat

hingga oval dan

berdinding halus.

Rhizopus sp.1 Sporangianya

berbentuk bulat semi bulat, dan berwarna coklat kehitaman saat matang.

Sporangiospora pada

umumnya berbentuk

tidak teratur, bulat, elips, dan memiliki garis di permukaan.


(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Aspergillus sp. dan Penicillium sp. merupakan genus fungi selulolitik yang ditemukan pada ketiga titik pengambilan sampel tanah.

2. Rhizopus sp. hanya ditemukan pada sampel tanah yang terkena abu vulkanik dengan kedalaman 0-5 cm sedangkan Trichoderma sp. hanya ditemukan pada sampel tanah yang tidak terkena abu vulkanik dengan kedalaman 0-20 cm. 3. Sifat kimia tanah khususnya pH sangat mempengaruhi jumlah fungi

selulolitik.

Saran

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kemampuan fungi dalam melakukan proses dekomposisi selulosa.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1997. Introduction to Soil Mycrobiology. 2nd Ed. John Wiley and Sons. New York.

Alexander, M. 2010. Waspada Gunung Sinabung. Diakses dari

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Andreita, R.R. 2011 Dampak Debu Vulkanik Gunung Sinabung Terhadap Perubahan Sifat Kimia Tanah Inceptisol. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan

Anwas, O. M. 1994. Bentuk Muka Bumi.Geografi Kelas Satu. http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1 /materi/Geografi/BENTUK%20MUKA%20BUMI.pdf.[08 September 2015]

Ardi, R. 2009. Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah pada Berbagai Kelerengan dan Kedalaman Hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian. Medan.

Azaz, A.D. 2003. Isolation and identification of soilborne fungi in fields irrigate by GAP in Harran plant using two isolation methods. Turk Journal 27:83-92.

Barasa, R.F. , Rauf. A., Sembiring. M. 2013. Dampak Debu Vulkanik Letusan Gunung Sinabung Terhadap Kadar Cu, Pb, dan B Tanah di Kabupaten Karo. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1(4):1288-1297.

Buckle, K.A., R.A. Edward., G.H Fleet., dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Buckman, H.O. dan N.C.Brady. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Penerbit Bhrata Karya Aksara. Jakarta.

Daulay. 2014. Sinabung Mengamuk. Diakses dari [08 September 2015].

Deacon, J. W. 1988. Introduction to Modern Mycologi. Blackwell Scientific Publictions. California, USA.

Domsch, K.H., W. Gams dan T.H. Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi. Vol 1. London: Academic Press. Hlm 86.


(58)

Ebo, A.G.A. 2010. Gunung Sinabung Meletus. Diakses dari

Erikson, K.E.L., R.A. Blanchette., dan P. Ander. 1989. Microbial and enzymatic degradation of wood an wood components. Springer-Verlag Heildeberg. New York.

Fiantis, D. 2006. Laju Pelapukan Kimia Debu Vulkanis Gunung Talang dan Pengaruhnya Terhadap Proses Pembentukan Mineral Liat Non-Kristalin.Skripsi.Universitas Andalas, Padang.

Firman, A. P. dan Aryantha.2003 Eksplorasi dan Isolasi Enzim Glukosa Oksidase dari Fungi Inperfekti (Genus Penicillium dan Aspergillus Indi Genus). KKP Ilmu Hayati LPPM ITB. Bogor.

Foth, H. D. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Edisi Ketujuh.Gajah Mada University Press.Yogyakarat.

Gandjar, I.R.A., Samson. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gandjar, I., Sjamsuridzal, W., dan Oetari, A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Garrawey, M. D., dan Robert, C. E. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Gilman, J. C. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press. USA.

Global Volcanism Program, 2008. Sinabung. Diakses dari

Guslim. 2009. Agroklimatologi. USU Press. Medan.

Hadi, A., H.S. Nur dan W. Imaningsih. 2005. Biologi Tanah Basah Tropika. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hairiah, K. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara.SMT Grafika Desa Putera. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.


(59)

Herman dan D.H. Goenadi. 1999. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri Pupuk Hayati di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.http://pustaka.bogor.net/pulp/jp3/html/jpl183993.htm.

[09 September 2015]

Huang , P.M. dan Schnitzer, M. 1997. Interaction of Soil Minerals with Natural Organik and Microbes.SSSA Special Publication Number 17.Soil Science Society of America.Inc. 920 pp.

Ilyas. M. 2007. Isolasi dan Identifikai Mikroflora Kapang Pada Sampel Serasah Daun Tumbuhan Di Kawasan Gunung Lawu, Surakarta, Jawah Tengah. Jurnal Biodiversitas Vol 8, nomor 2.

Jaradat, Z., Dawagreh A., Ababneh, Q., and Saadoun, I. 2008. Influence of culture Conditions on Cellulase production by Streptomyces sp (Strain J2). Jordan J Biol Sci, 1: 141-146

Kartasapoetra, A.G. dan Sutedjo, M.M. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Maira, L., Fiantis, D., dan Azman A. 2014. Hubungan Antara Mikrobia dengan Proses Pelapukan Abu Vulkanik. Lembaga Penelitian Unand. Bandung.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.

Oramahi H.A., Darmadji P., Haryadi. 2003. Optimasi Kadar Asam dalam Asap Cair dari Kayu Karet dengan RSM. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Oyne, D. 1999. Soil Microbiology and Explanatory Approach. Delmar Publisher, Washington.

Rao, N.S.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.

Resaman, S. A., Siradzdan B. H. Sunarminto. 2006. Kajian Beberapa Sifat Kimia dan Fisika pada Lereng Selatan Gunung Merapi Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Bandung.

Rustono. 2009. Jamur

Samosir, R. 2009. Identifikasi Fungi Dekomposer Jaringan Kayu Mati Yang Berasal Dari Tegakan Di Lahan Gambut. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Saputra. 2013. Penduduk Sinabung Mengungsi.Diakses dari


(60)

Saragih. SD. 2009. Jenis-Jenis Fungi Pada Berbagai Tingkat Kematangan Gambut (Skripsi). Medan: Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Saragih, J. 2010. Klasifikasi Tanah Di Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo Menurut Keys to Soil Taxonomy 2006. [Skripsi] Universitas Sumatera Utara. Medan.

Saraswati, S.E., Santoso, dan E. Yuniarti. 2008. Organisme Perombak Bahan Organik. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 211-230. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University.

Press. Yogyakarta.

Shaikh, N.M., Patel .A.A., Mehta, S.A. dan Patel, N.D. 2013. Isolation and Screening of Cellulolytic Bacteria Inhibiting Different Environment and Optimization of Cellulase Production. Universal Journal of Environmental Research and Technology 3 (1): 39-49

Sitepu, E.B. 2011. Dampak Debu Vulkanik Letusan Gunung Sinabung Terhadap Unsur Hara Makro Tanah di Kabupaten Karo. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soelaeman, Y, dan Abdullah, A.I. 2014. Rehabilitasi Sifat Fisika Tanah Pertanian Pasca Erupsi Merapi. Balai Peneliti Tanah.

Subandi. 2010. Mikrobiologi. PT. Remaja Rosdokarya. Bandung.

Sudaryo dan Sucipto, 2009. Identifikasi dan penentuan logam berat pada tanah vulkanik di daerah Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan metode Analisis Aktivasi Neutron Cepat, Seminar Nasional V SDM Teknologi, Yogyakarta.

Sudiana, I.M. dan Rahmansyah, M., 2002. Aktivitas amilase dan selulase jamur tiram putih yang ditumbuhkan pada medium ampas aren dan serbuk gergaji kayu. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 7:7-10.

Sudirja, R dan Supriatna, D. 2000. Remediasi Logam Berat Pb, Cd dan Cr pada Tanah Tercemar Industri Tekstil Menggunakan Bahan Organik dan Belerang dengan Indikator Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa Linn). 1 SoilRens (1): 29-36

Sumardi dan Widyastuti, S.M. 2002. Bahan Ajar Pengantar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(61)

Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Fakultas PertanianUPN Veteran.Yogyakarta.

Suntoro.2014. Dampak Abu Vulkanik Erupsi Gunung Kelud Dan Pupuk Kandang Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Magnesium Tanaman Jagung Di Tanah Alfisol. Program Studi Ilmu Tanah, Fak. Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Suriadikarta, D.A., Abdullah A. I., Sutono, Dedi.E , Edi.S , dan A. Kasno. 2011. Identifikasi Sifat Kimia Debu Volkan, Tanah dan Air di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Susanti, U. 2006. Isolasi dan Uji Potensi Mikroorganisme Selulolitik Dalam

Mendegradasi Sisa Tanaman Tembakau Deli PTPN II Kebun Sampali. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sutedjo,M.M., A.G. Kartasapoetra, dan R.D.S. Sastroatmodjo. 1996. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Tjandrawati. 2003. Isolasi dan Karakteristik Sebagai Kitinasse Trichoderma Viride, TNJ 63. Jurnal Natural Indonesia.ISSN 1410-9379.

Utoyo, B. Geografi 1 Membuka Cakrawala Dunia. 2007. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Widyastuti, S.M., 2001. Decomposing Fungal Activities in Soil of Tropical Rain Forest as Affected by Fire. Oneday Seminary on Biodiversity of Bukit Bangkirai Areas, East Kalimantan After ForestFires. Bogor.

Widjayatnika, B. 2009.Isolasi dan Seleksi Mikrob Tanah yang Menguntungkan Serta Pengaruhnya Terhadap Tanaman Caisin (Brassica parachinensis).Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.

Yulianto. 1989. Pengenalan Vesikular-Arbuskular dan Peranannya pada Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.


(62)

(63)

Lampiran 2. Bahan-bahan yang dipergunakan pada media 1. Media Selulosa Agar (g/l)

Nama Bahan Jumlah

Tepung Selulosa NaNO3

K2HPO4

KCL

MgSO47H2O

Yeast Extract Casein Hydrolysat Agar Aquades pH 5,0 0,5 0,5 0,5 0,9 0,5 0,5 10,0 1000,0 6,8 Sumber : Aaronson, 1970

2. Media Asparagine (g/l)

Nama Bahan Jumlah

(NH4)2SO4

L-Asparagine K2HPO4

KCL

MgSO47H2O

CaCl2 Yeast Extract Selulosa Agar Aquades pH 0,5 0,5 1,0 0,5 0,1 0,1 0,5 10,0 20,0 1000,0 6,2 Sumber : Rao, 1994


(64)

Lampiran 3. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah

No Jenis Analisis Erupsi

(0-5cm)

Erupsi (5-20cm)

Kontrol (0-20cm)

1 pH (H2O) 4.54 4.43 5.14

2 C-Organik (%) 0.91 3.01 7.19

3 N-Total (%) 0,04 0.20 0.61

4 P-Tersedia (ppm) 19,23 27.80 0.41

5 P2O2 Total (mg/100g) 103,59 309.11 68.91

6 K-dd (me/100g) 0,39 0.58 0.47

7 Mg (me/100g) 0,17 0.24 1.11

8 Fe (ppm) 204.02 170.87 63.02

9 KTK (me/100g) 13.14 24.88 3.65

10 S (ppm) 480.44 646.43 89.39

11 Al-dd (me/100g) 0.17 1.08 Td*


(1)

Lampiran 2. Bahan-bahan yang dipergunakan pada media

1.

Media Selulosa Agar (g/l)

Nama Bahan

Jumlah

Tepung Selulosa

NaNO

3

K2HPO4

KCL

MgSO

4

7H

2

O

Yeast Extract

Casein Hydrolysat

Agar

Aquades

pH

5,0

0,5

0,5

0,5

0,9

0,5

0,5

10,0

1000,0

6,8

Sumber : Aaronson, 1970

2.

Media

Asparagine

(g/l)

Nama Bahan

Jumlah

(NH4)2SO4

L-

Asparagine

K2HPO4

KCL

MgSO

4

7H

2

O

CaCl2

Yeast Extract

Selulosa

Agar

Aquades

pH

0,5

0,5

1,0

0,5

0,1

0,1

0,5

10,0

20,0

1000,0

6,2

Sumber : Rao, 1994


(2)

Lampiran 3. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah

No Jenis Analisis Erupsi

(0-5cm)

Erupsi (5-20cm)

Kontrol (0-20cm)

1 pH (H2O) 4.54 4.43 5.14

2 C-Organik (%) 0.91 3.01 7.19

3 N-Total (%) 0,04 0.20 0.61

4 P-Tersedia (ppm) 19,23 27.80 0.41

5 P2O2 Total (mg/100g) 103,59 309.11 68.91

6 K-dd (me/100g) 0,39 0.58 0.47

7 Mg (me/100g) 0,17 0.24 1.11

8 Fe (ppm) 204.02 170.87 63.02

9 KTK (me/100g) 13.14 24.88 3.65

10 S (ppm) 480.44 646.43 89.39

11 Al-dd (me/100g) 0.17 1.08 Td*


(3)

Lampiran 3.Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Satuan Sangat

Rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat

Tinggi

C-Organik* % <1 1– 2 2,01-3 3,01- 5 >5

KTK* me/100g <5 5- 16 17 - 24 25 -40 >40

S** ppm <10 10- 100 100-2000

Al-dd** me/100g <5 5-10 10-20 20,01-40 >40

pH (H2O) Sangat

Masam

Masam Agak

Masam

Netral Agak Basa Basa

< 4,5 4,5 - 5,5 5,6 - 6,5 6,6 - 7,5 7,6 - 8-5 >8,5

Sumber : * Derajat Kemasaman Tanah Menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) **Winarso (2005)


(4)

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Abu vulkanik Pada Kedalaman 0-5 cmAbu Vulkanik Pada Kedalaman 5-20 cm


(5)

Lampiran 4. Lanjutan

Inkubasi dengan Media Selulosa


(6)