Protes Wisatawan Akibat Pemberlakuan Tarif Fiskal Luar

Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 penerbangan akan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja PHK karyawan dan itu membahayakan pemerintah dengan bertambahnya jumlah pengangguran. Selain itu, kebijakan fiskal berdampak juga terhadap kedatangan wisatawan yang akan berkunjung ke Indonesia misalnya kunjungan wisatawan asing dari Malaysia dan Thailand, atau dari negara lain yang menyebabkan berkurangnya frekuensi penerbangan.

BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL LUAR NEGERI

TERHADAP PENURUNAN PENUMPANG PADA MASKAPAI PENERBANGAN

4.1 Protes Wisatawan Akibat Pemberlakuan Tarif Fiskal Luar

Negeri Sebagai sebuah instrumen pajak, maka pungutan ini harus memenuhi kriteria dan prinsip perpajakan yang baik. Tetapi, pajak ini tidak memenuhi kriteria kelayakan pajak yang baik. Adapun beberapa kriteria perpajakan yang baik antara lain sebagai berikut: Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009

1. Progresifitas

Pajak ini sifat sangat regresif. Artinya, instrumen pajak penghasilan ini sama sekali tidak memenuhi kriteria adil. Disebabkan karena dalam satu pesawat banyak terdapat bermacam-macam tipe profesi penumpang dengan penghasilan yang berbeda-beda pula, tetapi diwajibkan membayar Pajak Penghasilan sebesar Rp 1 juta. Sebagai contoh adalah Gaji TKI pembantu rumah tangga perbulannya kira-kira US 150. TKI yang bekerja sebagai pekerja teknis kelas menengah kebawah. Gajinya kira-kira US 600. Ada juga pramugari maskapai asing. Gajinya kira-kira US 750-1000. Ada pelajar SMA dan mahasiswa yang tidak punya penghasilan, ada juga orang tua yang lanjut usia yang hanya mempunyai gaji pensiun yang sangat kecil, ada seorang ekonom profesional, dan ada juga pengusaha kelas atas yang sangat kaya raya. Prinsip perpajakan mengatakan bahwa pajak penghasilan seharusnya bersifat progresif adil. Artinya, pajak penghasilan yang dibebankan haruslah proporsional dengan tingkat pendapatannya. Beban pajak orang kaya seharusnya lebih besar daripada beban pajak orang miskin. Dimana letak keadilan dari pajak fiskal luar negeri ini? Karena pajak ini sifatnya sangat regresif, maka pajak ini adalah pajak yang sangat buruk.

2. Kesederhanaan

Pajak fiskal ini jauh dari kesan sederhana. Pajak ini memiliki banyak pengecualian atau dikenal dengan istilah “tax exemption”. Pajak ini begitu Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 kompleksnya pajak ini sehingga aparat pemungut pajak di bandara ikut mengeluh bahwa mereka kerap tidak paham. Salah seorang wisatawan yang selama 10 tahun terakhir penumpang kerap melakukan perjalanan luar negeri. Dan setiap kali mengurus pajak, ia selalu bertanya kepada petugas yang melayani, Apakah Anda paham semua aturan yang melandasi pajak ini? Jawaban mereka adalah kebingungan, hampir semua mengatakan mereka agak bingung. Ada beberapa pengecualian yang terdapat didalam pajak ini antara lain: 1. Warga negara yang tinggal di luar negeri mendapat keringanan sampai empat kali. Hal ini dibuktikan oleh pengesahan alamat di luar negeri oleh Kantor Perwakilan Indonesia di luar negeri. Yang menjadi pertanyaa ialah mengapa 4 kali? Mengapa tidak 2? Atau 6? Atau 9? Atau mengapa tidak dibebaskan saja? Apa dasarnya? 2. Namun demikian, orang yang tercatat tinggal di luar negeri tersebut hanya boleh berada di Indonesia tidak lebih dari enam bulan 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. 3. Tarif Fiskal Luar Negeri untuk perjalanan udara sebesar Rp 1 juta, sementara pajak fiskal untuk perjalanan laut sebesar Rp 500 ribu. Ini adalah diskriminasi yang tidak jelas, dengan dasar argumennya: “Apakah dengan naik kapal laut artinya orang tersebut lebih miskin dari penumpang pesawat?” Perlu diingat, pengenaan pajak pendapatan harus punya dasar konseptual, karena pembebanan pajak bukanlah urusan inferensi statistik. 4. Anak-anak usia dibawah 12 tahun dibebaskan. Apa dasar penetapan usia 12 tahun? Mengapa tidak 15, 17, 18 atau 20 tahun? Lalu mengapa anak-anak Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 yang bahkan berusia 20 tahun yang tidak punya penghasilan dibebankan pajak penghasilan? Ini sama sekali tidak masuk akal. 5. Orang-orang ber-KTP Batam dan beberapa wilayah perbatasan lainnya dibebaskan dari pembayaran fiskal. Mengapa pemberlakuan diskriminasi pajak penghasilan didasarkan pada faktor geografis? 6. Pegawai negara yang bertugas luar negeri, bila mendapat surat pengesahan dari sekretariat negara akan dibebaskan dari pajak Fiskal Luar Negeri. Mengapa pemberlakuan diskriminasi pajak penghasilan didasarkan pada sektor kerja dan bukan pada faktor pendapatan? 7. Pemegang paspor berwarna biru dinas ataupun hitam diplomatik dibebaskan dari pembayaran pajak fiskal ini. Mengapa memberlakukan diskriminasi terhadap orang yang bekerja di sektor non-pemerintah? Apa hebatnya seorang pegawai negeri sehingga dia layak mendapatkan pengecualian? Karena begitu banyaknya pengecualian yang diciptakan maka diperlukan begitu banyak mekanisme cek dan kontrol, yang kesemuanya menimbulkan implikasi biaya administrasi pemungutan. Keseluruhan pengecualian itu masih saja memunculkan celah-celah korupsi. Sebagai contoh, seorang ibu mengaku pernah ditawari struk pembayaran oleh calo dengan harga Rp 300 ribu. Seorang lainnya, yang sudah lama kembali dari luar negeri namun tidak melaporkan statusnya ke KBRI sehingga tetap beralamat luar negeri, berhasil mendapatkan fasilitas gratis sehingga bisa tidak membayar empat kali dalam setahun. Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 Dalam kasus lain, seseorang berhasil mendapatkan KTP Medan atau Batam sehingga bebas mondar-mandir ke Thailand atau Malaysia tanpa membayar pajak penghasilan. Contoh ini bisa kita perpanjang, tetapi esensinya ialah semua pengecualian itu memunculkan perilaku arbitrase dan pengindaran pajak atau dikenal dengan istilah tax evasion. Padahal, prinsip pajak menghendaki agar instrumen pajak bersifat sederhana sehingga arbitrase dan penghindaran pajak tidak terjadi. Bila diusut lebih lanjut, teoritis pajak bisa mengajukan lebih banyak lagi pertanyaan mendasar terhadap semua contoh pengecualian diatas. Tidak satupun pegawai Departemen Keuangan, bahkan Menteri Keuangan sekalipun, akan mampu memberikan jawaban yang masuk akal. Didasarkan semua pengecualian di atas tidaklah memiliki landasan konseptual yang memadai.

3. Elastisitas penerimaan pajak

Pajak ini tidak elastis terhadap kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga. Karena ini adalah pajak pendapatan, maka elastisitas penerimaannya harus diukur dari pendapatan objek pajaknya. Artinya, penerimaan pajak pendapatan ini haruslah elastis terhadap basis pajak yang objektif, yaitu rata-rata kenaikan pendapatan dari orang yang bepergian ke luar negeri. Penerimaan pajak ini tidak ada hubungannya dengan kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga ataupun orang yang pergi ke luar negeri. Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 Penerimaan pajak ini hanya berhubungan dengan jumlah penumpang pesawat ke luar negeri, maka nama pajak ini seharusnya bukan pajak penghasilan, tetapi pajak kepala atau di Inggris pernah dikenal dengan nama poll tax.

4. Efisiensi administrasi perpajakan

Kriteria ini berdimensi dua. Pertama, pajak ini nampaknya tidak efisien dilihat dari potensi kebocoran sebagai akibat banyaknya celah-celah pajak. Harian Suara Pembaharuan pernah menulisan bahwa total penerimaan dari pajak fiskal luar negeri ini diperkirakan sebesar Rp 2 triliun. Sementara itu, kebocorannya disinyalir sebesar Rp 500 miliar, maka tingkat kebocoran pajak ini adalah 25. Ini angka yang fantastis. Dengan asumsi jumlah penumpang ke luar negeri sebanyak 7 juta setahun, ada yang mensinyalir potensi penerimaan pajak ini berkisar pada angka Rp 7 triliun. Mari kita asumsikan angka ini benar, asumsikan besarnya kebocoran pajak ini tetap sama yaitu Rp 500 miliar. Artinya, tingkat kebocoran pajak ini adalah 7. Ini angka yang fantastis. Jadi, jika tingkat kebocorannya bila penerimaan pajak fiskal hanya Rp 5 triliun, atau kurang dari itu, hanya aparat Dirjen Pajak yang bisa membantah atau mengkonfirmasi sinyalemen ini. Dimensi kedua, dilihat dari rasio antara biaya administrasi pemungutan collection cost dan penerimaan pajaknya revenue. Jumlah loket pembayaran pajak ini cukup banyak karena pajak ini dipungut di titik-titik keberangkatan luar negeri. Bila dihitung biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan semua loket itu misalnya, sewa ruangan, listrik, air, komputer, kertas, gaji karyawan, biaya Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 transportasi, dan lain-lain. Pemungutan pajak ini juga bekerja sama dengan beberapa bank misalnya Bank Mandiri dan BCA yang harus dibayar pemerintah kepada bank-bank tersebut. Jumlahkan semua biaya itu, lalu hitung rasio antara semua biaya administrasi diatas dengan total penerimaan pajaknya. Dapat dikatakan bahwa rasionya stabil dan tidak pernah turun. Rasionya pun mungkin bisa mencapai 5. Bila rasionya stabil pada angka tertentu, itu artinya collection cost nya tidak efisien. Bila rasionya berkisar 5, maka itu artinya collection cost-nya terlalu tinggi untuk pajak sekecil ini.

5. Kecukupan adequacy

Perhitungan rasio antara penerimaan pajak fiskal luar negeri dengan total penerimaan pajak PPh adalah hanya 2,5. Artinya, penerimaan pajak fiskal luar negeri ini hanya 2,5 dari total penerimaan pajak penghasilan PPh. Apabila kita hitung rasio pajak ini dengan total penerimaan pajak, angkanya menjadi 1,5.

6. Efisiensi ekonomi

Pajak ini tidak netral dilihat dari sudut pandang efisiensi alokasi. Artinya, pajak fiskal ini memiliki dampak negatif terhadap alokasi sumberdaya. Pajak fiskal ini, secara de facto, adalah pajak terhadap mobilitas faktor produksi tenaga kerja. Di era globalisasi, hambatan pergerakan barang dan jasa turun drastis. Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 Akibatnya, barang dan jasa atau dalam bahasa ekonominya: output, bergerak bebas antar negara. Di era globalisasi, hambatan pergerakan modal dihilangkan sehingga modal bebas bergerak antar negara. Tarif ekspor dan impor diturunkan. Biaya melakukan transfer uang semakin rendah. Upaya untuk menciptakan simetri ekonomi, pergerakan manusia justru dihambat. Padahal, tenaga kerja dan manusia adalah faktor produksi Indonesia yang terpenting, dan mobilitasnya perlu ditingkatkan. Selain itu, bepergian ke luar negeri akan menambah wawasan dan pembelajaran. Jadi, dilihat dari sudut pandang analisa pertumbuhan ekonomi, pajak fiskal ini justru distortif. Kesimpulannya jelas, dilihat dari sudut pandang manapun, pajak ini tidak layak dipertahankan. Jumlah penerimaannya tidak seberapa, bocornya banyak, efeknya distortif, dan yang terpenting pajak ini sangat regresif karena tidak ada unsur keadilan didalamnya. Jadi pajak ini adalah pajak busuk dan harus segera dicabut. Sungguh mengherankan bila ada orang yang berusaha mempertahankan pajak ini. Di sebuah surat kabar mengatakan bahwa Menteri Pariwisata pernah berkeras agar Indonesia mempertahankan pajak ini dengan dalih agar turis Indonesia tidak lari ke luar negeri. Argumen seperti itu adalah argumen salah kaprah. Bila ingin menjaring wisatawan domestik, benahilah infrastruktur dan insentif pariwisata dalam negeri. Jangan pakai instrumen fiskal. Ada juga pejabat yang berdalih bahwa pajak ini perlu tetap dipertahankan agar penduduk Indonesia tidak belanja di luar negeri. Sebaiknya, tingkatkan mutu Oktri Pratiwi Barus : Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan, 2009. USU Repository © 2009 dan kualitas tempat perbelanjaan di dalam negeri. Tingkatkan juga kualitas regulasi pasar sehingga harga-harga barang di Indonesia menjadi kompetitif. Jangan pakai instrumen fiskal. Selain itu, pemerintah tidak berhak untuk membatasi kebebasan orang untuk berbelanja. Kebijakan yang menghambat orang untuk bepergian itu adalah kebijakan otoriter. Hanya negara-negara represif yang menghalangi perjalanan warganya ke luar negeri. Selain semua hal di atas, protes wisatawan ini juga disebabkan karena ruangan yang digunakan sebagai tempat pemungutan fiskal berukuran kecil sehingga para penumpang harus mengantri hingga antriannya sampai ke luar konter. Protes atas penarikan fiskal bagi warga yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak juga dilakukan masyarakat yang akan ke luar negeri melalui Pelabuhan Internasional Tanjung Balai Karimun TBK.

4.2 Dampak Pemberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri terhadap