Pandangan Ulama Tentang Wakaf Produktif

35 Nazhir badan hukum dapat diberhentikan apabila dakal kurun waktu 1 satu tahun sejak Akta Ikrar Wakaf AIW tidak melaksanakan tugasnya, artinya nazhir itu tidak mengurus dan mengelola harta wakaf yang diserahkan wakif, maka kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian nazhir. 34 Nazhir profesional harus membuat laporan secara berkala kepada Menteri yang bersangkutan dan BWI mengenai kegiatan perwakafan yang dilakukannya. Adapun masa bakti nazhir adalah 5 lima tahun dan dapat diangkat kembali. Untuk pengangkatan kembali nazhir itu dilakukan oleh BWI, dengan ketentuan adalah apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai dengan ketetntuan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

C. Pandangan Ulama Tentang Wakaf Produktif

Secara tekstual, penjelasan tentang wakaf tidak terdapat dalam Al Quran dan as-Sunnah, namun makna dan kandungan wakaf terdapat dalam dua sumber hukum Islam tersebut. Di dalam Al Quran sering menyatakan konsep wakaf dengan ungkapan yang menyatakan tentang derma harta infaq demi kepentingan 34 Ibid, h. 69. 36 umum. Sedangkan dalam hadits sering kita temui ungkapan wakaf dengan ungkapan habs tahan. Semua ungkapan yang ada di Al Quran dan al Hadits senada dengan arti wakaf ialah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Benda yang diwakafkan harus bersifat tahan lama dan tidak mudah musnah. Harta yang diwakafkan kemudian menjadi milik Allah, dan berhenti dari peredaran transaksi dengan tidak boleh diperjual belikan, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh dihibahkan. 35 Wakaf menurut para Ulama Imam Mazhab merupakan suatu perbuatan sunnat untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan segi material maupun untuk pembangunan spiritual. Sebagiamana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan. Sebagai contoh Mesir telah berhasil memprogram wakaf sejak seribu tahun yang lalu. Bagi ulama Imam Mazhab, persoalan wakaf mereka sepakat mengatakan bahwa itu termasuk amal jariyah. 36 Namun yang menjadi polemik mereka dan pengikutnya adalah permasalahan pemahaman terhadap wakaf itu sendiri. Apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih menjadi miliknya atau lepas 35 Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Departemen Agama RI Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf , Jakarta 2006. H.31-32 36 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat Press, Ciputat: 2005, h. 74. 37 seketika saat ia menyerahkan kepada mauquf ‘alaih penerima wakaf? Seperti permasalahan ini, kita coba melihat pokok-pokok yang menjadi sisi perbedaan bagi mereka dari pendapat masing-masing mereka ini. Sebagai bahan komperatif, perlu dikemukakan pendapat masing-masing Imam Mazhab sekitar persoalan wakaf, sehingga memperjelas prinsip yang mereka pakai. Berikut ini diuraikan masing-masing pendapat imam mazhab : 1. Mazhab Hanafi Menurut pendapat Abu Hanifah maka harta yang telah diwakafkan menurut mazhab ini tetap berada pada milik wakif dan boleh ditarik kembali oleh si wakif. Jadi harta itu tidak berpindah hak milik, hanya hasil manfaatnya yang diperuntukkan pada tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan keputusan Pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal tersebut yang dilepaskan hanya hasil manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. 37 Terhadap wakaf masjid, yaitu apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk kepentingan masjid, atau seseorang membuat pembangunan dan diwakafkan untuk masjid, maka status wakaf di dalam masalah ini ada. Karena diwakafkan seseorang untuk masjid, maka secara spontan itu berpindah menjadi milik Allah dan tanggallah kekuasaan si wakif dalam kasus ini. 37 Ibid, h. 75 38 Wakaf yang ditentukan keputusan pengadilan, yaitu bila terjadi suatu sengketa tentang harta wakaf yang tak dapat ditarik lagi oleh orang yang mewakafkannya atau ahli warisnya. Kalau pengadilan memutuskan bahwa harta itu menjadi harta wakaf. Terangkatlah khilafiyah setelah adanya putusan hakim. Abu Hanifah menjelaskan, dengan diwakafkannya suatu harta bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk lepasnya pemilikan wakif, oleh sebab itu bolehlah rujuk dan mengambil kembali wakaf itu. Boleh pula menjualnya, karena menurut Abu Hanifah bahwa wakaf sama halnya dengan barang pinjaman dan sebagiamana halnya dalam soal pinjam-meminjam, si pemilik tetap memiliki, boleh menjual dan memintanya kembali, seperti ‘ariyah. 38 Argumentasi lain yang dijadikan Abu Hanifah sebagai alasan bahwa harta wakaf yang telah diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan menganalogikan dan menyamakannya dengan Sa’ibah seperti yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 103, dan ini sangat dilarang Allah SWT. Kedua argumen inilah menurut Abu Hanifah bahwa wakaf sebagai akad tabarru’. 2. Mazhab Maliki Mazhab Malik berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta 38 Ibid, h. 76 39 tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. 39 Menurut interpretasi Malikiyah, tidak terputus hak si wakif terhadap harta yang diwakafkannya. Yang terputus itu hanyalah dalam hal bertasarruf. 3. Mazhab Syafi’i Menurut Syafi’i, harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif atau menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Menurutnya juga, wakaf tidak boleh ditentukan jangka waktunya, sebagaimana yang dibolehkan Maliki. Disyaratkan benda yang tahan lama dan tidak cepat habisnya. Alasannya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang tanah di Khaibar. Imam Syafi’i memahami tidakan Umar mensedeqahkan hartanya dengan tidak menjual, mewariskan dan menghibahkan, juga sebagai Hadits karena Nabi melihat tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai hadis taqriry, walaupun telah didahului oleh hadis qauly. Syafi’i juga tidak membolehkan harta wakaf itu untuk di sedekahkan, dijual, diwariskan dan dihibahkan. 40 4. Mazhab Hambali Menurut Ahmad bin Hanbal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif. Wakif tidak boleh melakukan apa saja 39 Fiqif Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, jakarta: 2006, h. 2. 40 Ibid, h. 77 40 terhadap harta yang diwakafkan. Harta wakaf tidak dapat diwariskan dan wakif tidak dapat melarang mauquf ‘alaih dalam hal penyaluran hasil wakaf selama disalurkan sesuai tujuannya. Selanjutnya Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa wakaf terjadi karena dua hal. Pertama, karena kebiasaan perbuatan bahwa dia itu dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Seperti seseorang mendirikan mesjid, kemudian mengizinkan orang shalat di dalamnya secara spontanitas bahwa ia telah mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan ‘urf. Walaupun secara lisan ia tidak menyebutkannya, dapat dikatakan wakaf karena sudah kebiasaan. Kedua , dengan lisan baik dengan jelas sarih atau tidak. Atau ia memakai kata-kata habastu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, harramtu. Bila menggunakan kalimat seperti ini maka ia harus mengiringinya dengan niat wakaf. Bila telah jelas seseorang mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas benda itu dan juga menurut Hambali tidak bisa menariknya kembali. Hambali menyatakan, benda yang diwakafkan itu harus benda yang dapat dijual, walaupun setelah jadi wakaf tidak boleh dijual dan harus benda yang kekal zatnya karena wakaf bukan untuk waktu tertentu, tapi buat selama-lamanya. 5. Mazhab Lain 41 Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih, maskipun mauquf ‘alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. 41 Dari beberapa definisi yang dipaparkan oleh para ulama, wakaf dapat diartikan melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif kepada mauquf ‘alaih dan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan sosial yang mana harta wakaf tersebut dilarang menjualnya, menghibahkannya, dan mewariskannya atau lain sebagainya. Menukar dan mengganti benda wakaf, dalam penalaran ulama, terdapat perbedaan antara benda wakaf yang berbentuk masjid dan bukan masjid. Yang bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf yang berbetuk masjid, selain Ibn Taimiyyah dan sebagian Hanabalah sepakat menyatakan terlarang menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafiiyah membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan. 42 41 Fiqih wakaf, Jakarta, Direkorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2006, cet-4, h.2 42 Candra Boy Seroza, Wakaf Dalam Pandangan Ulama Fikih Dan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia , dari http:one.indoskripsi.com, diakses tanggal 9 juni 2010. 42 Namun mereka berbeda dalam menentukan persyaratannya. Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal: Pertama , apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar. Kedua, apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan. Ketiga , jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat. Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu: Pertama, wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual. Kedua, benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak seusai lagi dengan tujuan semula diwakafkan. Ketiga, apabila benda wakaf pengganti dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya dan sebagainya. 43 6. Sayyid Sabiq Tidak sah mewakafkan barang yang rusak dengan pemanfaatannya seperti, lilin, makanan, uang dan sesuatu yang cepat rusak seperti, bau-bauan dan tumbuh-tumbuhan aromatik. Juga tidak diperbolehkan mewakafkan sesuatu yang tidak boleh dijual belikan seperti, barang tanggungan, anjing, babi dan binatang buas lainnya. 44 43 Ibid. 44 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, Jilid 4, Cet. Pertama Mei 2006, h.423. 43 Adapun sesuatu yang sah untuk diwakafkan aialah tanah, perabot yang bisa dipindahkan, mushaf, kitab, senjata dan binatang. 45 45 Ini merupakan mazhab mayoritas ulama Abu Hanifah, Abu Yusuf dan satu riwayat dari Malik berpendapat bahwa tidak sah mewakafkan suatu binatang. 43

BAB III SISTEM ORGANISASI TABUNG WAKAF INDONESIA

A. Gambaran Lembaga Tabung Wakaf Indonesia 1. Latar Belakang Pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi yang dilakukan secara terus menerus menurut kita untuk mencari alternatif solusi yang dapat mendorongnya lebih cepat. Salah satu alternatif solusi itu adalah mobilisasi dan optimalisasi peran wakaf secara efektif dan professional. Tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga amil zakat, terlebih setelah lahinya UU tentang zakat dan UU tentang wakaf, membuktikan bahwa peran dan potensi umat dalam pembangunan sangatlah potensial. Demikian juga dengan keberadaan lembaga wakaf. Oleh karenanya, secara pasti dibutuhkan peran nazhir wakaf yang amanah dan professional sehingga penghimpunan, pengelolaan dan pengalokasian dana wakaf menjadi optimal. Meski saat ini kebutuhan akan adanya nazhir wakaf masih belum mendapat perhatian utama dari umat. Berdasarkan latar belakang tersebut, pada tanggal 14 Juli 2005, Dompet Dhuafa mendirikan Tabung Wakaf Indonesia yang berperan dalam memberikan sosialisasi, edukasi, dan advokasi wakaf, serta mengelola harta wakaf dari masyarakat maupun institusi. 1 1 Tabungwakaf.com, diakses tanggal o4 agustus 2010.