Efek Antibakteri Sea Cucumber (Stichopus Variegatus) Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar

(1)

EFEK ANTIBAKTERI SEA CUCUMBER (Stichopus

variegatus) SEBAGAI BAHAN MEDIKAMEN SALURAN

AKAR TERHADAP BAKTERI Enterococcus faecalis

(In Vitro)

TESIS

Oleh Gita Tarigan

107028005

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK ANTIBAKTERI SEA CUCUMBER (Stichopus

variegatus) SEBAGAI BAHAN MEDIKAMEN SALURAN

AKAR TERHADAP BAKTERI Enterococcus faecalis

(In Vitro)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister (MDSc)

Dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi

Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

Oleh Gita Tarigan

107028005

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : EFEK ANTIBAKTERI SEACUCUMBER(Stichopus variegatus) TERHADAP BAKTERI Enterococcus faecalis SEBAGAI BAHAN MEDIKAMEN SALURAN AKAR

Nama Mahasiswa : Gita Tarigan

Nomor Induk Mahasiswa : 107028005

Program Studi : Magister (S2) Ilmu Kedokteran Gigi

Menyetujui Pembimbing :

Prof. Trimurni Abidin,drg.,M.Kes.,Sp.KG(K)

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr.Harry Agusnar, M.Sc., M.Phil

Ketua Program Studi, Dekan ,


(4)

Tanggal Lulus : 21 Februari 2013

Telah diuji

Pada Tanggal : 21 Februari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes.

Anggota : 1. Prof. Trimurni Abidin, drg., M.Kes., Sp KG (K) 2. Prof.Dr. Harry Agusnar, MSc.,Phil

3. Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc 4. Drg.Lisna Unita R, M.Kes.


(5)

PERNYATAAN

EFEK ANTIBAKTERI SEA CUCUMBER (Stichopus

variegatus) SEBAGAI BAHAN MEDIKAMEN SALURAN

AKAR TERHADAP BAKTERI Enterococcus faecalis

(In Vitro)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 27 Maret 2013


(6)

ABSTRAK

Perawatan endodontik adalah suatu perawatan untuk mempertahankan gigi selama mungkin dalam mulut dan juga membunuh bakteri pada saluran akar. Banyak bakteri yang terdapat pada saluran akar salah satunya adalah bakteri anaerob yaitu Enterococcus faecalis, umumnya bakteri ini didapat karena adanya kegagalan dalam perawatan saluran akar. Bahan medikamen yang biasa digunakan di klinik adalah kalsium hidroksida. Sea Cucumber adalah salah satu bahan alam yang sudah banyak digunakan dibidang kesehatan salah satunya sebagai anti kanker dan anti bakteri. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antibakteri Sea Cucumber (Stichopus variegatus) jika dipakai sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar dalam mengeliminasi Enterococcus faecalis. Melihat efek Sea Cucumber pada bakteri Enterococcus faecalis dengan melihat konsentrasinya (0,1%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, 0,4%, 0,5%) dan waktu (4 jam, 6 jam, 8 jam, 24 jam) lalu dilakukan pengukuran viabilitas dengan menggunakan 3-(4,5- dimethythiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazoliun bromide (MTT) assay dan dibaca dengan microplate reader panjang gelombang 650 nm. Hasil penelitian didapat Sea Cucumber memiliki efek antibakteri terhadap Enterococcus faecalis pada konsentrasi 0,3% pada waktu 4 jam, 6 jam dan pada 8 jam konsentrasi yang terbaik adalah 0,5%. Waktu 24 jam konsentrasi yang terbaik pada 0,2% dengan hasil yang signifikan (p<0,05). Dalam penelitian ini Sea Cucumber efektif dalam membunuh bakteri Enterococcus faecalis.

Kata Kunci : Perawatan endodontik, Sea Cucumber, kalsium hidroksida, Enterococcus faecalis


(7)

ABSTRACT

Endodontic treatment goal is to eliminate microorganisms and their by products from root canal so that the teeth can be maintained as long as possible in the mouth. Bacteria that normally survive in the root canal is of anaerobic bacteria group. One of this bacteria is Enterococcus faecalis which is most commonly found in failed root canal treatment case. Calcium hydroxide is mostly used medicament for interappointment root canal dressing during endodontic therapy. Sea Cucumber is one of the natural ingredients that have been used widely as medicine. This study was aimed to determine the effects of Sea Cucumber in the elimination of Enterococcus faecalis. The effect of Sea Cucumber to eliminate Enterococcus faecalis was seen at concentration (0.1%, 0.2%, 0.25%, 0.3%, 0.4%, 0.5%) and time (4 hours, 6 hours, 8 hours, 24 hours) and viability was measured using 3 - (4,5 - dimethythiazol-2-yl) -2.5 diphenyl tetrazoliun-bromide (MTT) assay and microplate reader read with wavelength 650 nm. The results showed that Sea Cucumber has an effect on Enterococcus faecalis at a concentration of 0.3% at 4 hours, 6 hours and 8 hours effect in 0,5% . In the 24 hours the best concentration to eliminate Enterococcus faecalis 0.2 % with significant results (p<0.05). In conclusion, Sea Cucumber has an effect to eliminate Enterococcus faecalis.

Key words: Endodontic Treatment, Sea Cucumber, Calcium Hydroxide, Enterococcus faecalis.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Keterangan Pribadi

Nama : Gita Tarigan

Alamat Tempat Tinggal : Jln. dr.Sumarsono No.40 USU Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

No.Kontak : 085220391919

Nama Ayah : Prof.Dr.Rasinta Tarigan,drg.,Sp.KG(K)

Nama Ibu : Rehulina Ginting,drg.,M.Si

Pekerjaan : Dokter gigi

Pendidikan Formal

Sekolah Dasar : SD ST. Yoseph 2 Medan

Sekolah Menengah : SMP ST. Thomas 1 Medan

Sekolah Menengah Atas : SMA ST.Thomas 2 Medan

Fakultas Kedokteran Gigi : Universitas Sumatera Utara Medan Pasca Sarjana : Ilmu Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara Medan

Publikasi : 1. The 8th FDI-IDA Joint Meeting & Medan International Dental Exhibition 2012


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Gigi dari Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, yaitu Bapak Prof.Dr.Rasinta Tarigan,drg.,Sp.KG(K) dan Ibu Rehulina Ginting,drg.,M.Si yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tak terbalas, doa, semangat dan dukungan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kakak penulis Ravina Naomi Tarigan, drg.,Sp.PM dan abang Citra Rencana Perangin-angin,dr.,Sp.An serta segenap keluarga yang memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Trimurni Abidin, drg., M.Kes., Sp.KG(K) selaku pembimbing pertama penulis yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan,


(10)

arahan dan dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc., Phil selaku pembimbing kedua penulis yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes. selaku Ketua Panitia Penguji dan Ketua Program Studi Magister Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan dorongan semangat kepada penulis.

5. Prof. Dr. Dwi Suryanto., M.Sc selaku anggota panitia penguji dan dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Drg. Lisna Unita R., M.Kes selaku anggota panitia penguji dan dosen Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Biologi Oral Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

7. Prof. drg. Boy M Bachtiar, MS, Ph.D selaku staff Biologi Oral Universitas Indonesia dan ketua Laboratorium Biologi Oral Universitas Indonesia yang telah memberikan bantuan, saran dan bimbingan kepada penulis.

8. Kak Desi dan kak Maya selaku staff Laboratorium Biologi Oral Universitas Indonesia atas bantuan dan bimbingan dalam mengerjakan penelitian ini.


(11)

9. Kak Maya Fitria, SKM., M.Kes. selaku staff Fakultas Kesehatan Masyarakat USU atas bantuannya dalam analisis statistik hasil penelitian.

10. Teman-teman terbaik penulis pada program magister yaitu Siti wahyuni, Kholidina Imanda Harahap, Wandania Farahanny, Fitri Yunita, Henny Sutrisman, Aditya Rachmawati, Teguh , Adianti, Zulfan Mutaqin, Tanty Deriaty Sitepu, Dewi Nalsalita Tarigan. Teman-teman PPDGS Konservasi Gigi angkatan 1 yaitu Dennis, Pretty, Ponty, Ernani atas bantuan, semangat, dan dukungan yang diberikan dalam suka dan duka.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah praktis.

Medan, 27 Maret 2013 Penulis,

(Gita Tarigan) NIM: 107028005


(12)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGESAHAN JUDUL ...

HALAMAN PERNYATAAN ...

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Enterococcus faecalis sebagai Salah Satu Bakteri yang Berperan dalam Infeksi Saluran Akar ... 10

2.2 Kalsium Hidroksida sebagai Bahan Medikamen saluran akar.. .. 15

2.2.1 Mekanisme kerja Kalsium Hidroksida ... 17 2.2.2 Resistensi Enterococcus faecalis terhadap kalsium hidroksida 19


(13)

2.3 Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 20

2.3.1 Kandungan Sea Cucumber (Stichopus variegatus)... 22

2.3.2 Habitat dan penyebaran... 23

2.3.3 Uraian Kimia ... 24

2.4 Spektofotometri ... 26

2.5 Kerangka Teori... 29

2.6 Kerangka Konsep ... 32

2.7 Hipotesis Penelitian ... 33

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Desain Penelitian ... 34

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

3.2.1 Tempat ... 34

3.2.2 Waktu ... 34

3.3 Sampel ... 34

3.3.1 Sampel ... 34

3.3.2 Besar Sampel penelitian ... 35

3.4 Variabel Penelitian ... 35

3.4.1 Variabel bebas ... 35

3.4.2 Variabel tergantung ... 36

3.4.3 Variaber terkendali ... 36

3.4.4 Variebel tak terkendali ... 36

3.5 Definisi Penelitian ... 37

3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 38

3.6.1 Alat ... 38

3.6.2 Bahan ... 39

3.7 Prosedur Penelitian ... 39

3.7.1 Pembuatan ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 39

3.7.2 Pembuatan Media bakteri ... 40

3.7.3 Pembiakan Spesimen ... 41

3.7.4 Mensterilkan bahan coba ... 43

3.7.5 Pembuatan BHI Agar dan BHI Broth ... 44

3.7.5.1 BHI Agar ... 44

3.7.5.2 BHI Broth ... 45

3.7.6 Pembuatan konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 46

3.7.7 Perlakuan I ... 49


(14)

3.8 Analisis Data ... 53

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 54

BAB 5 PEMBAHASAN ... 61

5.1 Metodologi Penelitian ... 61

5.2 Hasil Penelitian ... 70

5.2.1 Hasil Penelitian 4 Jam ... 70

5.2.2 Hasil Penelitian 6 Jam ... 70

5.2.3 Hasil Penelitian 8 Jam ... 71

5.2.4 Hasil Penelitian 24 Jam ... 71

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 72

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 73

6.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Definisi operasional,cara,hasil dan alat ukur dari variabel bebas dan

tergantung dari penelitian ... 37 4.1 Rata-rata dan simpangan baku konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus

variegatus) dalam waktu 4 jam ... 55 4.2. Rata-rata dan simpangan baku konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus

variegatus) dalam waktu 6 jam ... 56 4.3. Rata-rata dan simpangan baku konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus

variegatus) dalam waktu 8 jam ... 58 4.4. Rata-rata dan simpangan baku konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1.Gambaran koloni Enterococcus faecalis di bawah Scanning

Electron Microscope ... 11

2.2. Faktor-faktor patogenesis Enterococcus faecalis ... 13

2.3. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 21

2.4. Kerangka dasar steroida dan sistem penomoran ... 25

2.5. Penulisan lambang inti steroida ... 25

3.1. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) bahan coba ... 40

3.2. Ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 40

3.3. Ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus) pasta ... 40

3.4. Alat Stal /rotari ... 40

3.5. Nilai OD normal Enterococcus faecalis dengan panjang gelombang 450 nm 41 3.6 BHI Broth ... 42

3.7. BHI Agar,bunsen, tabung reaksi, kultur Enterococcus faecalis ATCC 29212 42 3.8. Enterococcus faecalis kultur 0,532 ... 42

3.9. Enterococcus faecalis kultur 0,548 ... 42

3.10. Pengambilan Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 43

3.11. 1,04 gr Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 43


(17)

3.13. 13gram BHI Agar ... 44

3.14. BHI Agar ... 44

3.15. 13 gram BHI Agar dan 250 ml aquadest ... 44

3.16. 3,7 gram BHI Broth ... 45

3.17. BHI Broth ... 45

3.18. 3,7 gram BHI Broth+ 100ml aquadest ... 45

3.19. BHI Agar dan BHI Broth ... 45

3.20. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) +BHI Broth ... 46

3.21. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + Ca(OH) ... 46

3.22. Pemanasan dengan Stir Plate ... 46

3.23. Pengaduk ... 46

3.24. Pipet ... 47

3.25. Tips biru dan kuning steril ... 47

3.26. Vorteks ... 48

3.27. Konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dan Ca(OH)2 3.28. Pencampuran dengan menggunakan vorteks ... 48

... 48

3.29. 96 Well Plate ... 49

3.30. Supernatan Enterococcus faecalis... 49

3.31. Inkubator ... 50

3.32. Supernatan yang telah dicuci dengan PBS steril ... 52

3.33. Supernatan pada 96 well dalam waktu 4jam,6jam,8jam,24jam ... 52


(18)

4.1. Hasil konsentrasi 4jam 650nm ... 56

4.2. Hasil konsentrasi 6jam 650nm ... 57

4.3. Hasil konsentrasi 8jam 650nm ... 58


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Alur ekstraksi Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ... 78 2. Penyiapan suspensi bakteri

2.1 Pembuatan media pertumbuhan ... ... 79 2.2 Pembuatan suspensi bakteri ... ... 79 4. Alur pengujian efek antibakteri Sea Cucumber (Stichopus variegatus) .. ... 80


(20)

ABSTRAK

Perawatan endodontik adalah suatu perawatan untuk mempertahankan gigi selama mungkin dalam mulut dan juga membunuh bakteri pada saluran akar. Banyak bakteri yang terdapat pada saluran akar salah satunya adalah bakteri anaerob yaitu Enterococcus faecalis, umumnya bakteri ini didapat karena adanya kegagalan dalam perawatan saluran akar. Bahan medikamen yang biasa digunakan di klinik adalah kalsium hidroksida. Sea Cucumber adalah salah satu bahan alam yang sudah banyak digunakan dibidang kesehatan salah satunya sebagai anti kanker dan anti bakteri. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antibakteri Sea Cucumber (Stichopus variegatus) jika dipakai sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar dalam mengeliminasi Enterococcus faecalis. Melihat efek Sea Cucumber pada bakteri Enterococcus faecalis dengan melihat konsentrasinya (0,1%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, 0,4%, 0,5%) dan waktu (4 jam, 6 jam, 8 jam, 24 jam) lalu dilakukan pengukuran viabilitas dengan menggunakan 3-(4,5- dimethythiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazoliun bromide (MTT) assay dan dibaca dengan microplate reader panjang gelombang 650 nm. Hasil penelitian didapat Sea Cucumber memiliki efek antibakteri terhadap Enterococcus faecalis pada konsentrasi 0,3% pada waktu 4 jam, 6 jam dan pada 8 jam konsentrasi yang terbaik adalah 0,5%. Waktu 24 jam konsentrasi yang terbaik pada 0,2% dengan hasil yang signifikan (p<0,05). Dalam penelitian ini Sea Cucumber efektif dalam membunuh bakteri Enterococcus faecalis.

Kata Kunci : Perawatan endodontik, Sea Cucumber, kalsium hidroksida, Enterococcus faecalis


(21)

ABSTRACT

Endodontic treatment goal is to eliminate microorganisms and their by products from root canal so that the teeth can be maintained as long as possible in the mouth. Bacteria that normally survive in the root canal is of anaerobic bacteria group. One of this bacteria is Enterococcus faecalis which is most commonly found in failed root canal treatment case. Calcium hydroxide is mostly used medicament for interappointment root canal dressing during endodontic therapy. Sea Cucumber is one of the natural ingredients that have been used widely as medicine. This study was aimed to determine the effects of Sea Cucumber in the elimination of Enterococcus faecalis. The effect of Sea Cucumber to eliminate Enterococcus faecalis was seen at concentration (0.1%, 0.2%, 0.25%, 0.3%, 0.4%, 0.5%) and time (4 hours, 6 hours, 8 hours, 24 hours) and viability was measured using 3 - (4,5 - dimethythiazol-2-yl) -2.5 diphenyl tetrazoliun-bromide (MTT) assay and microplate reader read with wavelength 650 nm. The results showed that Sea Cucumber has an effect on Enterococcus faecalis at a concentration of 0.3% at 4 hours, 6 hours and 8 hours effect in 0,5% . In the 24 hours the best concentration to eliminate Enterococcus faecalis 0.2 % with significant results (p<0.05). In conclusion, Sea Cucumber has an effect to eliminate Enterococcus faecalis.

Key words: Endodontic Treatment, Sea Cucumber, Calcium Hydroxide, Enterococcus faecalis.


(22)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawatan endodontik merupakan bagian dari ilmu kedokteran gigi yang menyangkut perawatan penyakit atau cedera pada jaringan pulpa dan jaringan periapikal. Tujuan perawatan endodontik adalah mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologik oleh jaringan sekitarnya sehingga gigi dapat dipertahankan selama mungkin didalam mulut. Hal ini berarti gigi tersebut tidak menimbulkan keluhan dan dapat berfungsi baik. Perawatan endodontik terdiri dari perawatan non bedah yaitu perawatan kaping pulpa, pulpotomi, mumifikasi, perawatan saluran akar dan perawatan endodontik bedah.

Perawatan saluran akar adalah perawatan yang paling banyak dilakukan dalam kasus perawatan endodontik. Perawatan saluran akar dapat dibagi atas tiga tahap utama yaitu : 1. preparasi biomekanis saluran akar atau pembersihan dan pembentukan (cleaning dan shaping), 2. disinfeksi saluran akar dan 3. obturasi saluran akar. Obturasi saluran akar yang hermetis merupakan syarat utama keberhasilan perawatan saluran akar, hal ini tidak mungkin dicapai bila saluran akar tidak dipreparasi dan dipersiapkan untuk menerima bahan pengisi (Anusavine KJ.,1996).


(23)

Tujuan perawatan endodontik adalah mereduksi atau mengeliminasi mikroorganisme dan produknya dari saluran akar sehingga gigi dapat dipertahankan selama mungkin di dalam mulut. Walaupun instrumentasi dan teknik irigasi dilakukan, namun mikroorganisme kemungkinan masih tertinggal di saluran akar terutama di dalam tubuli dentin. Peneliti menyebutkan bahwa cleaning, shaping dan irigasi saluran akar secara signifikan menurunkan atau mengeliminasi mikroorganisme dari saluran akar akan tetapi, eliminasi mikroorganisme secara komplit tidak selalu dapat dicapai secara klinis, oleh karena kompleksnya anatomi saluran akar dan keterbatasan instrumentasi dan irigasi (Anusavine KJ.,1996).

Masuknya bakteri ke dalam pulpa sering disebabkan oleh proses kelanjutan dari karies. Infeksi yang berlangsung terlalu lama memungkinkan bakteri mengadakan penetrasi ke kamar pulpa dan saluran akar melalui tubulus dentin yang terbuka karena proses karies tersebut.

Bakteri yang biasa dapat bertahan dalam saluran akar adalah golongan bakteri anaerob. Salah satunya yaitu Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan dalam saluran akar yang menyebabkan kegagalan perawatan endodontik. Keberadaan bakteri ini dapat diketahui dari hasil kultur dan metode polymerase chain reaction (PCR). Sundqvist menemukan sejumlah bakteri anaerob seperti Entercoccus Faecalis, Streptococcus anginosus, Bacteroides gracilis dan Fusobacterium nucleatum pada saluran akar yang gagal (Fisher K, Philip C.,2009).

Interaksi dan produksi toksin oleh bakteri akan menimbulkan inflamasi berlanjut dan menyebabkan keluhan selama perawatan dilakukan.


(24)

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) merupakan salah satu hewan laut yang sudah banyak digunakan sebagai obat tradisional dan makanan yang berkhasiat. Dalam bidang kedokteran bahan ini telah banyak digunakan dalam mengobati beberapa penyakit. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) mengandung protein, kolagen, mineral, mukopolisakarida, glucasaninoglycans (GAGs), antiseptik alamiah, chondroitin, omega-3, 6, dan 9, asam amino.

Penelitian menunjukkan bahwa dari 100 pengisian akar yang gagal disertai periodontitis apikalis, terdapat bakteri fakultatif sebanyak 69% dan 50% diantaranya merupakan Enterococci. Walaupun Enterococcus biasanya ditemukan pada saluran akar yang tidak dirawat dalam jumlah sedikit, bakteri ini sering ditemukan pada saluran akar yang gagal dan dapat menyebabkan infeksi saluran akar yang persistensi. Enterococcus faecalis bertanggung jawab terhadap 80-90% infeksi saluran akar oleh Enterococci dan biasanya merupakan satu-satunya spesies Enterococcus yang diisolasi dari saluran akar yang telah diisi.

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ini juga sudah terkenal sebagai obat anti kanker selain itu sudah banyak dijual dipasaran Sea Cucumber (Stichopus variegatus) atau yang sering dikenal dengan nama gamat dalam bentuk gel yang berkhasiat sebagai multivitamin. Sampai saat ini belum didapat tentang khasiat Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dibidang kedokteran gigi, khususnya dipakai sebagai bahan medikamen pada saluran akar. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dalam bidang kedokteran gigi khususnya sebagai bahan medikamen saluran akar.


(25)

Bahan medikamen yang paling umum digunakan saat ini ialah kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan masih menjadi “gold standard”. Bahan ini digunakan sebagai medikamen selama kunjungan terapi endodontik dan memiliki sifat antibakterial yang baik. Sifat antibakteri kalsium hidroksida ini disebabkan oleh penguraian ion-ion Ca2+ dan OH- (Athanassiadis B, 2007). Mekanisme antimikroba kalsium hidroksida terjadi dengan pemisahan ion calcium dan hydroxyl ke dalam reaksi enzimatik pada bakteri dan jaringan, menginhibisi replikasi DNA serta dapat bertindak sebagai barrier untuk

Secara klinis, kalsium hidroksida merupakan bahan medikamen yang memiliki kemampuan menginaktifasi endotoksin bakteri serta dapat diterima baik sebagai bahan medikamen saluran akar. Akan tetapi, penelitian terdahulu menyatakan bahwa kalsium hidroksida dapat bekerja aktif, terbatas pada beberapa hari. Kalsium hidroksida telah digunakan sebagai bahan dressing karena memiliki sifat antimikrobial yang sangat baik, mengeliminasi mikroorganisme setelah cleaning dan shaping, menetralkan sisa - sisa toxin ( Ferreira FB, Vale Ms, Granjeirob JM.,2003). Namun, memiliki aktivitas terbatas pada beberapa mikroorganisme seperti Enterococcus faecalis dan Candida albicans (Estrela C.,2008).

mencegah masuknya bakteri ke dalam sistem saluran akar. Ion hydroxide akan mempengaruhi kelangsungan hidup bakteri anaerob pada periodontitis,seperti Enterococcus faecalis. (Beer R, dkk.,2000 dan Berkitten, dkk.,2000).

Pengaruh pH pada pertumbuhan, metabolisme dan pembelahan sel ini penting untuk menjelaskan mekanisme dari antimikroba. Eliminasi bakteri oleh kalsium


(26)

hidroksida tergantung dari pelepasan ion hidroksil yang menyebabkan peningkatan pH. Ion hidroksil dari kalsium hidroksida mengembangkan mekanismenya pada membran sitoplasma, yang memegang peranan penting pada pertahanan sel seperti permeabilitas dan transpot elektron serta oksidasi fosforilasi pada spesies anaerob. Selain itu metabolisme seluler sangat bergantung pada aktivasi enzim. Enzim memiliki aktivitas dan stabilitas yang optimal pada rentang pH tertentu yang mengarah pada suasana netral. Suasana yang sangat basa yang disebabkan oleh kalsium hidroksida merusak ikatan ion yang menyebabkan kerusakan protein (denaturasi protein) pada bakteri. Kerusakan yang disebabkan oleh kalsium hidroksida bukan hanya tingkat sel, namun juga berdampak pada DNA bakteri. Ion hidroksil bereaksi dengan DNA bakteri dan memutuskan rantai DNA tersebut, sehingga replikasi DNA terhambat dan terjadi kerusakan aktivitas seluler. Pengaruh pH kalsium hidroksida dilihat dari sebagian besar endodontik patogen tidak dapat bertahan hidup pada suasana basa kuat yang disediakan kalsium hidroksida.Secara umum, jamur menunjukkan rentang pH untuk pertumbuhannya sekitar 5-9.

Menurut Fava dan Saunders., 2000, pelarut memegang peranan yang penting terhadap aksi biologi kalsium hidroksida yang ditentukan dari kecepatan disosiasi ion OH

Candida albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5 (Chaffin WL dkk.,1998).

dan Ca2+. Jenis pelarut yang digunakan antara lain: aquaeous (air, salin, larutan anastesi, dan larutan ringer), viscous (gliserin, polyethyleneglycol, dan propyleneglycol), dan oily (olive oil, silicone oil, camphor, dan metacresyl acetate).


(27)

Pelarut aquaeous cepat berdisosiasi sehingga meningkatkan kelarutan ketika berkontak dengan cairan dan lebih mudah di resorbsi makrofag. Pelarut viscous memiliki kemampuan disosiasi ion yang lebih lambat daripada pelarut aquaeous, oleh karena itu dapat bertahan dalam saluran akar untuk periode yang lama. Sedangkan, larutan oily kemampuan disosiasi ion dan daya larutnya sangat rendah (Cwikla S dkk.,2000).

Penelitian Leswari.,2007 sebelumnya melaporkan bahwa dentin dapat meng-inaktifkan aktifitas antibakteri kalsium hidroksida dan menunjukkan jumlah saluran akar yang positif mengandung bakteri meningkat setelah perawatan saluran akar dengan kalsium hidroksida (Cogulu D, Atac U.,2007). Oleh karena itu, sangat diharapkan berkembangnya aplikasi bahan medikamen saluran akar yang berasal dari alam dan lebih kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki kemampuan antibakteri yang sama dengan bahan non-biologi.

Kecenderungan masyarakat kembali memakai bahan alami dikenal sebagai New Green Wave, dimana gerakan ini berupaya menggunakan kembali obat-obatan tradisional yang berasal dari bahan alami yang didapat dari alam (biofarmaka). Sumber bahan baku obat (medicine) hingga saat ini sebagian besar masih berasal dari alam, baik nabati maupun asal hewan (Agustina N, 2011). Salah satunya adalah Sea Cucumber (Stichopus variegatus). Sea Cucumber (Stichopus variegatus) adalah invertebrata , biasa ditemukan dilaut . Sea Cucumber (Stichopus variegatus), secara informal disebut sebagai bêche-de-mer atau gamat, telah lama digunakan sebagai makanan dan obat rakyat di komunitas Asia danTimur Tengah.


(28)

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) memiliki nutrisi berharga seperti vitamin A, vitamin B1 (tiamin), Vitamin B2 (riboflavin), vitamin B3 (niasin), dan mineral, terutama kalsium, magnesium, zat besi dan seng. Sejumlah aktivitas biologis dan farmakologis dari jenis Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang lain terdiri dari anti angigenetik, anti kanker, anti koagulan, anti hipertensi, anti inflamasi, anti oksidan, anti mikroba, anti trombotik, anti tumor dan penyembuhan luka. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) ini juga memiliki sifat terapeutik dan manfaat yang dapat dihubungkan dengan keberadaan berbagai bioaktif terutama glikosida triterpen (saponin), chondroitin sulfat, glikosa minoglikan (GAG), polisakarida sulfat, sterol (glikosida dan sulfat), fenolat, cerberosides, lektin, peptida, glikoprotein, glycosphingolipis dan asam lemak essensial.

Dari uraian di atas, terlihat adanya aktivitas Sea Cucumber (Stichopus variegatus) sebagai antimikroba dan kandungan bioaktif yang diharapkan Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dapat dijadikan bahan antibakteri dalam saluran akar sampai saat ini. Belum ada penelitian efek antibakteri Sea Cucumber (Stichopus variegatus) terhadap Enterococcus faecalis pada bidang kedokteran gigi sebagai bakteri yang sulit dieleminasi dari saluran akar dan resisten terhadap antimikrobial yang umum digunakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efek antibakteri Sea Cucumber (Stichopus variegatus) pada konsentrasi yang tepat terhadap Enterococcus faecalis.


(29)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah Sea Cucumber (Stichopus variegatus) memiliki efek

antibakteri terhadap bakteri Enterococcus faecalis?

2. Pada konsentrasi berapa (optimun) Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang dapat mengeliminasi Enterococcus faecalis?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui efek antibakteri Sea Cucumber (Stichopus variegatus) terhadap Enterococcus faecalis jika dipakai sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar.

2. Untuk mengetahui konsentrasi yang tepat dari Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dalam menghambat dan membunuh Enterococcus faecalis.


(30)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

Diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut apakah Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar dalam bidang endodontik.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enterococcus faecalis sebagai Salah Satu Bakteri yang Berperan dalam Infeksi Saluran Akar

Penyebab utama infeksi pasca perawatan adalah mikroorganisme yang persisten pada apikal saluran akar gigi yang telah dirawat. Beberapa spesies mikroorganisme yang ditemukan pada infeksi pasca perawatan mampu bertahan pada lingkungan yang tidak mendukung dan keterbatasan nutrisi. Penelitian menunjukkan bahwa mikroflora dengan prevalensi tinggi pada infeksi persisten adalah Enterococci dan Streptococci, kemudian Lactobacilli, Actinomyces sp., Peptostreptococci, dan Candida (Luis, Marie, dkk, 2004). Enterococci telah dikenal sebagai bakteri yang berpotensi patogen terhadap manusia sejak lama dan terlibat dalam infeksi saluran akar. Enterococci memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan atau tanpa oksigen dan bertahan pada lingkungan dengan pH alkalin yang ekstrim (Athanassiadis,2007).

Enterococcus faecalis merupakan salah satu dari 23 spesies Enterococci yang telah diketahui (Suchitra,Kundabala, 2002). Enterococcus faecalis tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, gram positif kokus, berbentuk ovoid dengan diameter 0,5 – 1 µm, biasanya tunggal, berpasangan atau berbentuk rantai pendek (Gambar 2.1) (Martinez.,2011).


(32)

Gambar 2.1. Gambaran koloni E. faecalis di bawah scanning electron microscope(Martinez.,2011).

Ada tiga komponen utama yang menyusun dinding sel Enterococcus faecalis : peptidoglikan, teichoic acid, dan polysaccharide. Dinding sel tersusun atas 40% peptidoglikan, sementara sisanya terdiri dari polysaccharide dan teichoic acid. Peptidoglikan berfungsi untuk menahan pecahnya sel yang disebabkan oleh tekanan osmotik sitoplasmik yang tinggi (Seluck, Ahmet.,2009).

Enterococcus faecalis ditemukan sebanyak 4%−40% pada infeksi endodontikk primer dan bertambah banyak pada lesi periradikular persisten dengan prevalensi 24%-77%. Faktor-faktor yang menyebabkan Enterococcus faecalis mampu bertahan pada saluran akar, antara lain (Athanassiadis.,2007) : bertahan terhadap ketidaktersediaan nutrisi, berikatan dengan dentin, menginvasi tubulus dentin, mengubah respon host, menekan kerja limfosit, bersaing dengan bakteri lain, membentuk biofilm, dan resisten terhadap pemberian kalsium hidroksida.


(33)

Kalsium hidroksida tidak efektif dalam membunuh Enterococcus faecalis disebabkan oleh faktor berikut (Evan dkk.,2002) :

a). Enterococcus faecalis mampu mempertahankan keseimbangan pH, yang merupakan akibat dari penetrasi ion membran sel dan juga kapasitas bufer sitoplasma bakteri.

b). Enterococcus faecalis memiliki proton pump yang juga mempertahankan keseimbangan pH. Mekanisme ini dilakukan melalui “pumping” proton ke dalam sel sampai diperoleh pH internal yang lebih rendah.

c). Adanya kapasitas buffer dentin menyebabkan pH 11,5 tidak dapat dipertahankan di dalam tubulus dentin, sehingga Enterococcus faecalis tetap hidup dalam tubulus dentin. Selain itu, berbagai komponen dentin seperti matriks dentin, kolagen tipe I, hidroksiapatit, dan serum bisa mengurangi efek antibakteri kalsium hidroksida.

Javidi dkk.,2011 menemukan bahwa kalsium hidroksida tidak mampu mengeliminasi seluruh bakteri Enterococcus faecalis dari saluran akar, baik setelah 1 hari maupun 7 (tujuh) hari pemberian kalsium hidroksida (Ferreira dkk.,2003). Selain itu, Enterococcus faecalis juga mempunyai faktor-faktor virulensi yang berperan pada infeksi saluran akar, yaitu aggregation substance (AS), surface adhesions, sex pheromones, lipoteichoic acid (LTA), extracellular superoxide, gelatinase, hyaluronidase, cytolysin, dan AS-48. Bakteri ini menghasilkan perubahan patogen baik secara langsung melalui produksi toksin atau secara tidak langsung dengan cara menginduksi proses inflamasi (Cogulu, Atac.,2007).


(34)

Patogenisitas Enterococcus faecalis pada infeksi endodontikk ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Sebuah model penyakit endodontikk terkait dengan faktor-faktor virulensi Enterococcusfaecalis (Kayaoglu,Oistavik.,2004).

AS (agregation substance) membantu untuk berikatan dengan protein extracellular matrix (ECM), termasuk kolagen tipe I yang merupakan komponen organik utama dentin. Ikatan dengan kolagen ini kemungkinan akan menyebabkan infeksi endodontikk. AS bersama dengan BS (binding substance) menginduksi proliferasi sel-T, diikuti dengan pelepasan tumor necrosis factor beta (TNF-β) dan gamma interferon (IFN-γ), kemudian mengaktifkan makrofag melepaskan tumor necrosis factor alpha (TNF-α). Sitokin TNF-α dan TNF-β terlibat dalam resorpsi tulang, sementara IFN-γ dianggap sebagai faktor dalam pertahanan host terhadap infeksi, tapi pada saat bersamaan juga sebagai mediator inflamasi. IFN-γ menstimulasi produksi agen sitotoksik nitric oxide (NO) oleh makrofag dan neutrofil dan menyebabkan kerusakan jaringan.


(35)

Sex pheromones bersifat kemotaktik terhadap manusia serta menginduksi produksi superoxide dan sekresi lysosomal enzymes. Enzim ini mengaktifasi sistem komplemen, yang memperbesar resorpsi tulang pada jaringan periapikal baik berupa kerusakan tulang maupun dengan menghambat pembentukan tulang baru. LTA (lipoteichoic acid) mampu menstimulasi leukosit untuk melepaskan beberapa mediator yang berperan dalam respon inflamasi, seperti TNF-α, interleukin 1 beta

(IL-1β), interleukin 6 (IL-6), interleukin 8 (IL-8), prostaglandin (PGE2), lysosomal

enzymes dan superoxide anion. Mediator-mediator tersebut berperan dalam kerusakan jaringan.

Superoxide anion yang terdapat pada extracellular superoxide merupakan radikal oksigen yang sangat reaktif terlibat dalam kerusakan sel dan jaringan pada proses inflamasi. Superoxide anion juga dihasilkan oleh osteoklas dan berperan dalam resorpsi tulang. Gelatinase berkontribusi terhadap resorpsi tulang dan degradasi dentin matriks organik. Hal ini berperan penting terhadap timbulnya inflamasi periapikal.

Hyaluronidase merupakan suatu enzim terdegradasi yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan. Peranan lain hyaluronidase ialah menyuplai nutrisi untuk bakteri, karena produk degradasi dari substrat target merupakan disakarida yang diangkut dan dimetabolisme pada intraselular bakteri. Hyaluronidase dianggap memudahkan penyebaran bakteri serta toksinnya melalui jaringan host. Cytolysin menyebabkan kerusakan jaringan, sementara AS-48 menghambat pertumbuhan organisme lain (Kayaoglu,Oistavik.,2004).


(36)

2.2 Kalsium Hidroksida (Ca(OH)2

Tindakan medikasi intrakanal merupakan tahap perawatan endodontik yang penting sebab jika diabaikan dapat menyebabkan kegagalan perawatan (Athanassiadis.,2007). Kecenderungan yang sering terjadi adalah terkontaminasinya dinding saluran akar terhadap mikroorganisme yang ada. Baker dkk menemukan ±70% jaringan pulpa dan sisa–sisa dentin atau debris yang tertinggal pada saluran akar (Ercan dkk.,2006). Dinding saluran yang tidak bersih dapat menjadi tempat pertumbuhan bakteri, mengurangi perlekatan bahan pengisi saluran akar dan meningkatkan celah apikal. Adanya bakteri tidak hanya menyebabkan lesi periapikal, tetapi juga dapat mengganggu mekanisme pertahanan lesi tersebut (Estrela.,2008).

) Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar

Keberhasilan perawatan endodontik secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengeliminasi miroorganisme yang terdapat pada saluran akar yang terinfeksi (Cwikla dkk.,2000). Preparasi biomekanikal dan irigasi saluran akar sangat penting untuk mengurangi jumlah bakteri selama perawatan endodontik. Hal ini juga perlu ditunjang dengan pemberian bahan medikamen karena akan sangat membantu untuk mengeliminasi bakteri yang masih tertinggal setelah dilakukan preparasi atau setidaknya menghambat infeksi berulang pada saluran akar diantara kunjungan (Cogulu, Utac.,2007).

Medikamen saluran akar digunakan dengan tujuan 1. mengeliminasi bakteri yang tidak dapat dihancurkan dengan proses chemo-mechanical seperti instrumentasi dan irigasi, 2. mengurangi inflamasi periradikular dan rasa sakit, 3. mengeliminansi


(37)

eksudat apikal, 4. mencegah atau menghentikan resorpsi akar, 5. mencegah infeksi ulang ketika restorasi sementara rusak. Medikamen saluran akar yang digunakan antar kunjungan menunjukkan efek yang menguntungkan dalam merawat infeksi endodontik serta lebih dibutuhkan pada kasus-kasus dengan resistensi bakteri (Sidharta.,2000).

Bahan medikamen saluran akar yang paling umum digunakan saat ini ialah kalsium hidroksida (Ca(OH)2). Bahan ini digunakan sebagai medikamen saluran akar selama kunjungan terapi endodontik dan memiliki sifat antibakterial yang baik. Sifat antibakteri kalsium hidroksida ini disebabkan oleh penguraian ion-ion Ca2+ dan OH

-Secara klinis, kalsium hidroksida merupakan bahan medikamen memiliki kemampuan menginaktifasi endotoksin bakteri serta dapat diterima baik sebagai bahan medikamen saluran akar. Akan tetapi, penelitian menyatakan bahwa kalsium hidroksida dapat bekerja aktif terbatas pada beberapa hari. Hal ini mungkin dikarenakan saluran akar yang merupakan jaringan kompleks bahan organik dan (Ferreira dkk.,2003). Mekanisme antimikroba kalsium hidroksida terjadi dengan pemisahan ion calcium dan hydroxyl ke dalam reaksi enzimatik pada bakteri dan jaringan, menginhibisi replikasi DNA serta bertindak sebagai barrier dalam mencegah masuknya bakteri dalam sistem saluran akar. Ion hydroxide akan mempengaruhi kelangsungan hidup bakteri anaerob pada periodontitis, seperti Enterococcus faecalis. Difusi ion hydroxl (OH) menyebabkan lingkungan alkaline sehingga tidak kondutif bagi pertahanan bakteri dalam saluran akar, serta mengadakan difusi ke dalam tubulus dentin. Ion calcium memberi efek terapeutik yang dimediasi melalui ion channel (Berkitten dkk.,2000 dan Cwikla dkk.,2000).


(38)

organik. Kalsium hidroksida juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada kestabilan kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar yang akhirnya dapat melarutkan bahan medikamen saluran akar (Cogulu, Atac.,2007).

Penelitian terdahulu melaporkan bahwa dentin dapat meng-inaktifkan aktifitas antibakteri kalsium hidroksida dan menunjukkan jumlah saluran akar yang positif mengandung bakteri meningkat setelah perawatan saluran akar dengan kalsium hidroksida (Athanassiadis.,2007). Oleh karena itu, sangat diharapkan berkembangnya aplikasi bahan medikamen saluran akar yang berasal dari alam dan lebih kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki kemampuan antibakteri yang sama dengan bahan non-biologi.

2.2.1 Mekanisme Kerja Kalsium Hidroksida

Mekanisme kerja kalsium hidroksida sebagai antimikroba terjadi karena pelepasan ion OH

-Mekanisme lain yang menjelaskan efektivitas antimikroba adalah kemampuan kalsium hidroksida untuk mengabsorpsi karbon dioksida di dalam saluran akar yang akan menginaktifasi enzim membran sitoplasma mikroba dan merubah secara kimia komponen organik dan transfor nutrisi yang berakibat toksik pada mikroba. Terjadinya inaktifasi enzim mikroba sitoplasma akan mempengaruhi proses pertumbuhan, pembelahan sel serta aktivitas metabolik. Perubahan secara kimia terhadap membran sitoplasma bakteri dapat dihubungkan dengan rusaknya asam lemak tak jenuh dan fosfolipid yang mengganggu proses peroksidasi lemak dan saponifikasi dari mikroba (Signoretto dkk.,2000).


(39)

penting bagi mikroba saluran akar seperti Capnocytophaga, Eikenella, dan Actinomyces. Bila kalsium hidroksida mengabsorbsi karbon dioksida maka mikroba yang tergantung pada karbon dioksida tidak akan bertahan (Suchitra dkk.,2002 dan Sidharta.,2000).

Kalsium hidroksida juga berperan dalam merangsang pembentukan jaringan keras. Ion Ca2+ dalam kosentrasi tinggi akan meningkatkan peran enzim pyrophospatase, mengaktifkan adenosin trifosfatase sehingga mendorong terjadinya pertahanan melalui mineralisasi dentin (Rosa dkk.,2002).

Lipopolisakarida yang dilepaskan dari dinding sel setelah mikroba dihancurkan dianggap sebagai etiologi dari resorpsi periapikal. Sedangkan penelitian Safavi dan Nicholas menyatakan bahwa kalsium hidroksida menyebabkan kerusakan lipopolisakarida.

Kalsium hidroksida juga dapat menghalangi reaksi asam yang dihasilkan oleh proses inflamasi. pHnya yang bersifat akali akan menetralisir asam laktat yang disekresi oleh osteoklas, dan keadaan ini akan membantu mencegah kerusakan jaringan keras (Sidharta.,2000).

Kalsium hidroksida juga dapat dipakai untuk mengontrol eksudat pada gigi dengan kelainan periapeks yang persisten. Menurut Heithersay kosentrasi ion Ca yang tinggi menyebabkan terjadinya kontraksi perkapiler, sehingga aliran darah ke kapiler berkurang. Akibatnya akan berpengaruh terhadap pengurangan jumlah cairan plasma yang keluar ke jaringan sebagai akibat reaksi inflamasi. Dengan berkurangnya cairan plasma yang keluar ke jaringan sehingga kondisi ini memungkinkan terjadinya proses penyembuhan dan kalsifikasi (Mickel.,2003).


(40)

2.2.2 Resistensi Enterococcus faecalis terhadap Kalsium Hidroksida

Kalsium hidroksida dianggap sebagai obat saluran akar pilihan. Namun, mikroba tertentu seperti Enterococcus faecalis nampaknya resisten terhadap kalsium hidroksida. Keadaan ini penting secara klinis, karena pada setiap kegagalan perawatan saluran akar selalu ada kaitannya dengan Enterococcus faecalis.Struktur biofilm dapat memberikan pertahanan yang efektif bagi mikroba, baik pertahanan terhadap host maupun obat saluran akar. Biofilm dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang buruk dan dapat melakukan metabolisme secara aktif walaupun dalam kondisi kekurangan nutrisi. Menurut Athanassiadis dkk. terapi antimikroba dapat mengeliminasi mikroba bebas, tetapi tidak menghilangkan sel-sel yang terikat pada biofilm sehingga dapat terjadi infeksi ulangan (Athanassiadis.,2007).

Pada penelitian Evan dkk. menemukan bahwa Enterococcus faecalis resisten terhadap kalsium hidroksida pada pH <11,1. Dalam lingkungan alkali sel mikroba akan menjaga homeostatis melalui pH internal yang berfungsi untuk menjaga agar enzim dan protein berfuns normal. Prinsip homeostatis terdiri dari dua komponen, yaitu fungsi pasif dan aktif. Fungsi pasif terdiri dari permeabilitas membran yang rendah dan kemampuan buffer sitoplasma. Sedangkan mekanisme aktif melalui kontrol transport kation (kalium, natrium, dan proton) melalui membran sel. Pada lingkungan asam sistem antiport kation akan meningkatkan pH internal dengan keluarnya proton melalui membran sel. Pada keadaan basa kation/ proton akan dipompa ke dalam sel agar pH internal lebih rendah. Evan menemukan bahwa fungsi pompa proton intraseluler merupakan faktor utama dari resistensi Enterococcus faecalis terhadap pH. Ketika pompa proton dihalangi, dengan menggunakan carbonil


(41)

cyanide mchlorophenilhydrazon (CCPP) Enterococcus faecalis menunjukkan 20-70 kali berkurang ketahanannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa fungsi pompa proton sangat penting untuk bertahannya Enterococcus faecalis dari lingkungan alkalin yang tinggi.Pompa proton pada Enterococcus faecalis berfungsi sampai pada pH 11,5 atau lebih (Ercan.,2006 dan Estrela.,2008).

2.3 Sea Cucumber (Stichopus variegatus)

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) merupakan salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata). Namun, tidak semua jenis Sea Cucumber (Stichopus variegatus) mempunyai duri pada kulitnya. Ada beberapa jenis Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang tidak berduri (Martoyo dkk.,2006). Selain Sea Cucumber (Stichopus variegatus), bintang laut yang termasuk dalam filum Echinodermata yaitu bintang laut (Asteriodea) dan bulu babi (Echinoidea). Diantara empat famili Sea Cucumber (Stichopus variegatus), hanya famili Holothuriidae yang dapat dimakan dan bernilai ekonomis (Martoyo dkk.,2006). Tubuh Sea Cucumber (Stichopus variegatus) lunak, berdaging dan berbentuk silindris memanjang seperti buah ketimun. Oleh karena itu, hewan ini dinamakan ketimun laut. Gerakan Sea Cucumber (Stichopus variegatus) sangat lambat sehingga hampir seluruh hidupnya berada di dasar laut.

Warna tubuh Sea Cucumber (Stichopus variegatus) bermacam-macam, mulai dari hitam, abu-abu, kecokelat-cokelatan, kemerah-merahan, kekuning-kuningan, sampai putih (Martoyo dkk.,2006). Tidak semua jenis Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang ditemukan di perairan Indonesia mempunyai nilai ekonomis


(42)

penting. Jenis Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang dapat dimakan dan mempunyai nilai ekonomis penting terbatas pada famili Holothuriidae pada genus Holothuria, Muelleria, dan Stichopus (Martoyo dkk.,2006).

Gambar 2.3. Sea Cucumber famili Holothuriidae (Stichopus variegatus) (Martoyo dkk.,2006)

Secara garis besar klasifikasi dari beberapa jenis Stichopus variegatus bernilai ekonomi tersebut adalah sebagai berikut:

Filum : Echinodermata Sub-filum : Echinozoa Kelas : Holothuroidea Sub-kelas : Aspidochirotacea Ordo : Aspidochirotida Famili : Holothuriidae Marga : 1. Holothuria

2. Muelleria 3. Stichopus


(43)

Dari beberapa jenis Sea Cucumber (Stichopus variegatus), hanya tiga genus yang ditemukan di perairan pantai Indonesia. Ketiga genus tersebut adalah Holothuria, Mulleria, Stichopus. Dari ketiga genus tersebut ditemukan sebanyak 23 spesies. Di pasaran internasional, semua jenis Stichopus variegatus tersebut dikenal dengan nama teat fish. Nama-nama Sea Cucumber (Stichopus variegatus) di tiap-tiap Negara juga berbeda-beda, di Indonesia nama lokalnya Stichopus variegatus (timun laut), Malaysia namanya trepang, gamat, Hongkong namanya haysom, timun laut, Thailand namanya paling khao, India namanya attai, dan Jerman namanya seegueke (trepang) (Martoyo dkk.,2006).

2.3.1 Kandungan Tubuh Sea Cucumber (Stichopus variegatus)

Ekstrak murni Sea Cucumber (Stichopus variegatus) mempunyai kecenderungan menghasilkan holotoksin yang efeknya sama dengan antimicyn dengan kadar 6,25 – 25 mikrogram/milliliter. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) mempunyai nilai ekonomi penting karena kandungan atau kadar nutrisinya yang tinggi. Dari hasil penelitian, kandungan nutrisi Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dalam kondisi kering terdiri dari protein sebanyak 82%, lemak 1,7%, kadar air 8,9%, kadar abu 8,6%, dan kadar karbohidrat 4,8% (Martoyo dkk.,2006). Studi di China mengungkapkan bahwa gamat (Sea Cucumber (Stichopus variegatus), juga mengandung saponin glikosida. Komponen ini mempunyai suatu struktur yang serupa dengan komponen ginseng yang aktif, ganoderma, dan tumbuh-tumbuhan bumbu tonik yang terkenal. Studi China ini menunjukkan adanya anti kanker pada saponin dan polisakarida yang terkandung di dalam gamat. Studi modern ini membuktikan


(44)

bahwa gamat dapat digunakan sebagai suatu tonik dan suplemen gizi (Anonim.,2008). Penelitian yang modern ini telah membuktikan bahwa Sea Cucumber (Stichopus variegatus) bermanfaat untuk penyakit musculoskeletal inflamatory, khususnya arthritis rematik, osteoarthritis dan penyakit rematik yang mempengaruhi tulang belakang. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) juga mempunyai kemampuan dalam regenerasi sel yang merupakan alasan utama dipakai menyembuhkan berbagai penyakit (Trubus.,2006).

2.3.2 Habitat dan Penyebaran

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang-surut yang dangkal sampai perairan yang lebih dalam. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relative tenang. Umumnya, masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik. Misalnya, Stichopus variegatus putih banyak ditemukan di daerah yang berpasir atau pasir yang bercampur Lumpur pada ke dalaman 1–40 meter.

Di habitatnya, terdapat jenis Stichopus variegatus yang hidup berkelompok dan ada pula yang hidup soliter (sendiri). Sumber utama makanan Sea Cucumber (Stichopus variegatus) di alam yaitu kandungan zat organik dalam Lumpur, detritus (sisa pembusukan bahan organik), dan plankton. Jenis makana lain adalah organisme-organisme kecil, protozoa, algafilamen, rumput laut, dan potongan-potongan kecil hewan maupun tumbuhan laut serta partikel – partikel pasir. Penyebaran Sea Cucumber (Stichopus variegatus) di Indonesia sangat luas.


(45)

Beberapa daerah penyebaran antara lain meliputi perairan pantai Madura, Jawa Timur, Bali, Sumba, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Timor dan Kepulauan Seribu (Martoyo dkk.,2006).

2.3.3 Uraian Kimia Triterpenoid dan Steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi atas empat golongan yaitu triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harbone, 1987).

a. Triterpen

Menurut jumlah cincin yang terdapat dalam struktur molekulnya digolongkan atas: 1. Triterpen asiklik

2. Triterpen trisiklik 3. Triterpen tetrasiklik 4. Triterpen pentasiklik

b. Steroid

Steroid adalah triterpen yang terbuka dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantren (Harbone.,1987). Inti steroid dasar sama dengan inti lanosterol dan triterpenoid tetrasiklik lain, tetapi hanya pada dua gugus metal yang terikat pada sistim cincin, pada posisi 10 dan13. Nama “sterol” dipakai khusus untuk steroid


(46)

alkohol. Sterol biasanya mempunyai gugus hidroksil pada atom C-3 dan suatu ikatan rangkap pada posisi 5 dan 6 (Manitto.,1981).

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem siklopentana perhidrofenantren. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dan lain-lain) (Harborne.,1987). Kerangka dasar dan sistem penomoran steroida (Robinson.,1995) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.4. Kerangka dasar steroida dan sistem penomorannya

Dari pandangan kimiawan organik, semua molekul steroida adalah turunan penuh dari fenantren (hidrokarbon aromatik trisiklik). Gambar 2.5 berikut ini menunjukkan keempat lambang (A, B, C, D) inti steroida (Wilbraham.,1992).


(47)

c. Saponin

Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang khas menyerupai sabun (bahasa latin sapo = sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan dapat menyebabakan hemolisis sel darah merah (Robinson.,1991). Saponin steroid tersusun dari suatu aglikon steroid (sapogenin) yang terikat pada suatu oligosakarida yang biasanya heksosa dan pentosa. Struktur kimia dari aglikon saponin dibagi atas dua golongan yaitu sapogenin steroid dan sapogenin triterpenoid pentasiklik (Farnsworth.,1966).

2.4 Spektrofotometri

Spektrofotometri adalah suatu metoda analisa yang berdasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombang yang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma/kisi difraksi dan detektor vacuum phototube atau tabung foton hampa.

Spektrofotometri juga merupakan teknik pengukuran jumlah zat berdasar pada spektroskopi. Spektrofotometri lebih spesifik untuk panjang gelombang UV (Ultra-violet) dekat, visible dan infra merah. Spektrofotometri dimasukan kedalam electromagnetic Spektroscopy. Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombang dan


(48)

dialirkan oleh suatu perekam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas untuk komponen yang berbeda.

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan spektrofotometer ini, metoda yang digunakan sering disebut dengan spektrofotometri.

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spectrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang di transmisikan atau yang di absorpsi. Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible. Menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV (190-380 nm) dan sumber cahaya visible (380-780 nm).

Hubungan antara warna dengan panjang gelombang sinar tampak.: Panjang gelombang warna yang diserap warna komplementer 400-435 nm ungu (lembayung) hijau kekuningan, 450-480 nm biru kuning, 480-490 nm biru kehijauan orange, 490-500 nm hijau kebiruan merah,490-500-560 nm hijau merah anggur, 560-580 nm hijau kekuningan ungu (lembayung), 580-595 nm kuning biru, 595-610 nm orange biru kekuningan,610-750 nm merah hijau kebiruan. Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut. Tempatkan larutan pembanding, misalnya blanko dalam sel pertama sedangkan larutan yang akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok 200-650 nm ( 650-1100 nm ) agar daerah λ yang diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang fotosel dalam keadaan tertutup ”nol” galvanometer


(49)

dengan menggunakan tombol dark-current. Pilih h yang diinginkan, buk fotosel dan lewatkan berkas cahaya pada blanko dan ”nol ” galvanometer didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol transmitansi, kemudian atur besarnya pada 100 %. Lewatkan berkas cahaya pada larutan sampel yang akan dianalisis.


(50)

2.5 Kerangka Teori

Permeabilitas dinding sel hancur

Pemberian bahan medikamen saluran akar Perawatan saluran akar

Infeksi saluran akar

Sea Cucumber

Triterpenoid saponin

Membentuk senyawa kompleks melalui ikatan

hidrogen

Sel lisis Asiaticoside Asiatic acid

E. faecalis

Sel mati

Memiliki permukaan kolonisasi protein yang baik dan membentuk biofilm pada dinding dentin.

Mengandung gelatinase, hyaluronidase dan enzim


(51)

Kerangka di atas menunjukkan mekanisme Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang akan dikembangkan sebagai bahan medikamen saluran akar. Enterococcus faecalis adalah salah satu jenis bakteri yang sering ditemukan pada saluran akar, bersifat fermentatif, bentuk tidak berspora, fakultatif anareob. Bentuk selnya ovoid dengan diameter 0.5–1 µm. Ketika berada di dalam tubulus dentin, maka bakteri ini sangat sulit untuk dieliminasi dengan medikamen saluran akar. Bakteri ini adalah tergolong bakteri yang resisten di dalam saluran akar serta dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama tanpa adanya tambahan nutrien, serta kemampuannya untuk tetap berada pada kolagen menjadi penyebab penting dalam infeksi endodontik.

Bakteri Enterococccus faecalis memiliki daya perlekatan yang tinggi terhadap permukaan protein. Hal ini diketahui melalui kasus-kasus bakterimia dan isolasi endokarditis. Bakteri ini mampu mengadakan kolonisasi yang baik pada permukaan protein serta membentuk biofilm pada dinding-dinding dentin. Hal inilah yang menyebabkan bakteri dapat tetap bertahan pada saluran akar. Selain itu, bakteri Enterococcus faecalis juga memproduksi ekstraseluler superoxida sebagai oksigen radikal yang reaktif dalam menyebabkan inflamasi, resorpsi tulang dan lesi periapikal juga memproduksi gelatinase, sebagai penyebab kerusakan jaringan serta mendegradasi matriks organik dentin.

Kalsium hidroksida merupakan antimikroba yang bekerja dengan cara menginaktivasi enzim membran sitoplasma sehingga akan mengubah secara kimia komponen organik dan transportasi nutrisi yang berakibat toksik terhadap mikroba.


(52)

Sifat antimikroba kalsium hidroksida karena mampu melepaskan ion hidroksil yang berperan menciptakan lingkungan alkalin yang tidak sesuai dengan perkembangan mikroorganisme.

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) memiliki keefektifan dalam menyembuhkan banyak penyakit hal ini disebabkan karena pada Sea Cucumber terdapat saponin dan protein. Saponin steroid tersusun dari suatu aglikon steroid (sapogenin) yang terikat pada suatu oligosakarida yang biasanya heksosa dan pentosa. Struktur kimia dari aglikon saponin dibagi atas dua golongan yaitu sapogenin steroid dan sapogenin triterpenoid pentasiklik (Farnsworth.,1966).

Adanya peningkatan pH ini dapat menyebabkan kerusakan membran sitoplasma, denaturasi protein, penghambatan replikasi DNA dan aktivitas seluler dari mikroorganisme.

Bahwa sampai saat ini belum diketahui berapa konsentrasi yang tepat dari Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dalam mekanisme menghambat dan membunuh bakteri Enterococcus faecalis.


(53)

2.6 Kerangka konsep

Medikamen Saluran Akar

Perawatan saluran akar

Sea Cucumber

Infeksi saluran akar

Sel Enterococcus faecalis mati Bakteri Enterococcus faecalis

0,1% 0,2% 0,25% 0,3% 0,4% 0,5%

4 jam, 6 jam, 8 jam dan 24 jam


(54)

Perawatan endodontik tujuannya adalah mengeliminasi bakteri Enterococcus faecalis saluran akar. Salah satu untuk mengeliminasi bakteri tersebut adalah dengan pemberian bahan medikamen. Pada penelitian ini dipakai Sea Cucumber (Stichopus variegatus) sebagai bahan medikamen dengan konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, 0,4% dan 0,5% dan dalam waktu 4 jam, 6 jam, 8 jam dan 24 jam.

2.7 Hipotesis Penelitian

Dari uraian diatas dapat dibuat hipotesis bahwa :

1. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dengan konsentrasi 0,1%., 0,2%., 0,25%., 0,3%., 0,4%., dan 0,5% dapat membunuh bakteri Enterococcus faecalis.

2. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dengan konsentrasi 0,1%., 0,2%., 0,25%., 0,3%., 0,4%., dan 0,5% pada waktu 4 jam, 6 jam, 8 jam dan 24 jam dapat membunuh bakteri Enterococcus faecalis.


(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dirancang untuk melihat efek ekstrak sea cucumber terhadap Enterococcus faecialis. Pada penelitian ini ditetapkan 1 (satu) kelompok kontrol dan 1(satu) kelompok perlakuan dengan masing-masing konsentrasi dari Sea Cucumber (Stichopus variegatus). Bakteri yang digunakan, berasal dari sediaan yang didapat dari laboratorium Biologi Oral FKG Universitas Indonesia (UI).

3.1 Desain Penelitian :

Eksperimental Laboratorium Komparatif: Post Test Group Only Desain 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian : 1.Laboratorium Pusat Penelitian FMIPA USU 2.Laboratorium Biologi Oral FKG Universitas Indonesia (UI)

3.2.2 Waktu Penelitian : 6 bulan

3.3 Sampel dan Besar Sampel Penelitian

3.3.1 Sampel penelitian : Suspensi Enterococcus faecalis ATCC 29212 yang telah diisolasi dan dibiakkan dengan media Mueller Hinton Agar.


(56)

3.3.2 Besar Sampel :

Penelitian eksperimen dengan rancangan acak kelompok, berdasarkan jumlah minimal yang ditetapkan rumus Federer (1995) (cit Yuniarti, 2008), secara sederhana dirumuskan:

(t-1) (n-1) ≥ 15. .(4-1) (n-1)≥ 15n ≥ 6,3…. Keterangan : t = banyaknya kelompok perlakuan

n = jumlah replikasi.

Besar sampel yang dipakai pada setiap kelompok perlakuan pada penelitian ini digenapkan menjadi 7 spesimen per kelompok.

Penelitian ini membagi kelompok perlakuan menjadi dua kelompok:

⇒ Kelompok I : Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dengan berbagai konsentrasi dengan Enterococcus faecialis sebagai kelompok Uji.

⇒ Kelompok II : Enterococcus faecialis dengan pemberian bahan coba calsium hidroksida sebagai kelompok kontrol positif.

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel bebas


(57)

3.4.2 Variabel Tergantung

Pertumbuhan bakteri Enterococcus faeacalis pada media MHA → MTT Assay.

3.4.3 Variabel terkendali

 Media pertumbuhan (Mueller Hinton Agar)  Suhu inkubasi (370

 Waktu pembiakan Enterococcus faecalis (24 jam) C)

 Sterilisasi alat, bahan coba dan media  Teknik pengisolasian dan pengkulturan

 Jumlah bahan coba yang diteteskan ke media  Waktu pengamatan (4 jam, 6 jam, 8 jam dan 24 jam)  Keterampilan operator

3.4.4 Variabel tidak terkendali

 Cara penyimpanan bahan coba sebelum perlakuan penelitian  Waktu dan suhu saat pengiriman dari bahan coba

 Kandungan bahan lain yang terdapat dalam Sea Cucumber (Stichopus variegatus)


(58)

3.5Definisi Operasional

Definisi operasional, cara ukur, hasil ukur, dan alat ukur dari masing-masing variabel penelitian dapat dijelaskan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. DEFINISI OPERASIONAL, CARA, HASIL, DAN ALAT UKUR DARI VARIABEL BEBAS DAN TERGANTUNG DARI PENELITIAN No.

Variabel Definisi

Operasional Cara Ukur

Skala

Pengukuran Alat Ukur 1.

Variabel bebas Sea Cucumber dalam berbagai konsentrasi

Konsentrasi yang didapat yang efektif yang dapat digunakan sebagaibahan alternatif Menggunakan pengenceran pada bahan coba dengan mengunkan rumus V1.C1=V2.C2

Rasio Mikropipet

Waktu pertumbuhan bakteri Waktu yang terlihat proses petumbuhan bakteri berdasarkan 4 fase

Ordinal Waktu

2. Variabel tergantung Enterococcus Faecialis

Kemampuan bahan coba dalam membunuh bakteri dan dapat digunakan sebagai bahan medikamen saluran akar


(59)

3.6 Alat dan Bahan Penelitian

Material

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dengan berbagai konsentrasi  Suspensi Enterococcus faecalis

 Media Mueller Hinton Agar (Difco, USA)

3.6.1 Alat

- Candle jar (Sanyo, Japan)

- Electronic balance (Ohyo JP2 6000, Japan) - Kaca pembesar (Ootsuka ENV-CL, Japan) - Vorteks (Iwaki TM-100, Japan)

- Autoclave (Tomy, Japan)

- Mikropipet dan tips (Gilson, France) - Tabung gas CO2 (Japan)

- Tabung reaksi dan rak - Petri dish

- Lampu spiritus, ose, kapas - Kabin cabinet


(60)

3.6.2 Bahan

Enterococcus faecalis dari sediaan

 Ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus)  Aquadest

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Pembuatan ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus)

Sea Cucumber (Stichopus variegatus) sebanyak 2kg dibersihkan dan dikeringkan selama ± 3 hari. Tujuannya adalah agar kadar air pada Stichopus variegatus dapat hilang dan membantu mendapatkan ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang terbaik. Setelah 3 hari Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang kering direndam di dalam metanol selama ± 3 hari pada suhu 370C. Setelah 3 hari didapat endapan larutan tersebut. Endapan larutan tersebut kemudian di rotari selama ± 1 hari. Setelah dilakukan rotari 1 hari maka akan didapati ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dalam bentuk pasta.


(61)

Gambar 3.1. Sea Cucumber Gambar 3.2. Ekstrak Sea Cucumber (Stichopus variegatus) (Stichopus variegatus)

Gambar 3.3. Ekstrak Sea Cucumber Gambar 3.4. Alat stal/ rotari (Stichopus variegatus) pasta

3.7.2 Pembuatan media bakteri

Sebelum spesimen dibiakkan, dibuat media Mueller Hinton Agar, sebanyak 12 gram dilarutkan ke dalam 240 ml aquadest untuk 40 petri (20 ml/Petri), lalu dipanaskan di atas tungku pemanas magnetik sampai mendidih. Kemudian media yang telah masak, disterilkan di dalam autoklaf selama 15 menit dengan tekanan udara 2 ATM suhu 121°C. Setelah disterilkan, media disimpan dalam lemari pendingin. Jika akan digunakan kembali, media dipanaskan kembali hingga mendidih lalu dituangkan ke dalam masing-masing petri dan dibiarkan hingga dingin.


(62)

3.7.3 Pembiakan spesimen

Kegiatan pembiakan spesimen dilakukan dalam suasana anaerob pada inkubator CO2. Enterococcus faecalis yang digunakan adalah spesimen stem-cell Enterococcus faecalis ATCC 29212 yang telah dibiakkan secara murni pada media MHA yang telah disiapkan pada prosedur sebelumnya dalam suasana anaerob. Sebanyak 1-2 ose dari biakkan murni bakteri uji yang telah dikultur dan tumbuh dengan subur disuspensikan dengan menggunakan larutan NaCl 0,9 % sampai diperoleh kekeruhan sesuai standard 0,6 Mc Farland atau sebanding dengan jumlah bakteri 1 x 106 CFU/ml. BHI (Brain Heart Infusion) Broth steril diambil di dalam kulkas dan dikeluarkan dan dibiarkan di dalam ruangan. Hidupkan bunsen lalu panaskan ose agar ose dapat steril, panaskan ose sampai membara agar ose steril. Setelah itu Enterococcus faecalis diambil dari BHI (Brain Heart Infusion) Broth dan pada saat dibuka harus didekat dengan bunsen agar bakteri Enterococcus faecalis tidak terkontaminasi. Setelah itu diinkubator dalam suhu 37oC selama 24 jam . Lalu diukur pada microplate reader dengan panjang gelombang 450 nm didapat hasil Enterococcus faecalis yang dikultur: 0,532 dan 0,548.

Gambar 3.5 Nilai OD normal Enterococcus faecalis dengan panjang gelombang 450 nm


(63)

Pada gambar 3.5 didapat nilai normal Enterococcus faecalis dengan panjang gelombang yaitu dalam menentukan standard kekeruhan dari bakteri Enterococcus faecalis yang ingin didapat. Pada nilai normal Enterococccus faecalis pada 1 x 106

Gambar 3.6. BHI (Brain Gambar 3.7. BHI (Brain Heart Infusion) Agar, CFU/ ml adalah 0,550.

Heart Infusion) Broth bunsen, tabung reaksi, kultur Enterococcus faecalis ATCC 29212

Gambar 3.8 Enterococcus faecalis 3.9. Enterococcus faecalis yang yang dikultur: 0,532 dikultur: 0,548


(64)

3.7.4 Mensterilkan Bahan Coba Sea Cucumber (Stichopus variegatus)

Sediakan bahan coba yang akan disterilkan. Ditimbang sebanyak 1,04 gram Sea Cucumber (Stichopus variegatus) yang akan diautoclave 1210C selama 2,5 jam. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah bahan coba Sea Cucumber (Stichopus variegatus) tersebut tidak terkontaminasi dengan yang lain.

Gambar 3.10. Pengambilan bahan coba Gambar 3.11. 1,04 gr Bahan coba

Gambar 3.12. Autoclave


(65)

3.7.5 Pembuatan BHI (Brain Heart Infusion) Agar dan BHI (Brain Heart Infusion) Broth

3.7.5.1 BHI (Brain Heart Infusion) Agar

Sebanyak 13 gram bubuk BHI (Brain Heart Infusion) Agar ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Kemudian dimasukkan kedalam botol elemeyer dan diambil sebanyak 250ml aquadest. Diaduk sampai merata lalu ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Autoclave pada suhu 121oC selama 2,5 jam.

Gambar 3.13. 13 gram BHI (Brain Heart Gambar 3.14. BHI (Brain Heart Infusion) Agar Infusion) Agar


(66)

3.7.5.2 BHI (Brain Heart Infusion) Broth

Sebanyak 3,7 gram bubuk BHI (Brain Heart Infusion) Broth di timbang dengan menggunakan timbangan analitik. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung elemeyer dan dicampur dengan 100ml aquadest. Diaduk sampai merata dan ditutup dengan kapas dan aluminium foil, kemudian disterilkan didalam autoclave pada suhu 121oC selama 2,5 jam.

Gambar 3.16. 3,7 gram BHI (Brain Gambar 3.17. BHI (Brain Heart Infusion) Broth Heart Infusion) Broth

Gambar 3.18. 3,7 gram BHI Gambar 3.19. BHI (Brain Heart Brain Brain Heart Infusion) Infusion) Agar dan BHI (Brain Heart dan 100 ml aquadest Infusion) Broth


(67)

3.7.6 Pembuatan konsentrasi bahan coba Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dan Ca(OH)2

Pembuatan konsentrasi Sea Cucumber (Stichopus variegatus) 0,1%, 0,2%, 0,25%, 0,3%, 0,4%, 0,5% dan Ca(OH)2 0,5%. Dengan rumus V1.C1 = V2.C2. dimana V1 adalah jumlah pelarut (ml), C1 adalah konsentrasi dari pelarut (%), V2 adalah jumlah bahan coba (ml), C2 adalah konsentrasi yang dicari dari bahan coba (%).

Gambar 3.20. Sea Cucumber Gambar 3.21. Sea Cucumber (Stichopus variegatus) (Stichopus variegatus)+ Ca(OH)2

Bahan coba Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dilakukan pengenceran dengan menambahkan BHI (Brain Heart Infusion) Broth dan dicampur dengan menggunakan alat pemanas dan diaduk dengan menggunakan pengaduk.

Gambar 3.22 Pemanasan dengan Stir Gambar 3.23 Pengaduk Plate + BHI (Brain Heart Infusion) Broth


(68)

Pada konsentrasi 0,1% membutuhkan 0,001 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,999 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Pada konsentrasi 0,2% membutuhkan 0,002 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,998 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Pada konsentrasi 0,25% membutuhkan 0,0025 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,9975 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Pada konsentrasi 0,3% membutuhkan 0,003 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,997 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Pada konsentrasi 0,4% membutuhkan 0,004 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,996 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Pada konsentrasi 0,5% membutuhkan 0,005 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,995 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Pada Ca(OH)2 diambil konsentrasi 0,5% membutuhkan 0,005 ml Sea Cucumber (Stichopus variegatus) + 0,995 ml BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Semua bahan diambil dengan menggunakan pipet steril.


(69)

Dan masing-masing konsentrasi dimasukkan kedalam tabung kecil dan didekatkan dengan bunsen tujuannya agar tidak terjadi kontaminasi. Lalu di campur dengan menggunakan vorteks tujuan agar tercampur dengan homogen antara Sea Cucumber (Stichopus variegatus) dengan BHI (Brain Heart Infusion) Broth. Dan setiap tabung diberi label dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan sampel. Kemudian disimpan di dalam kulkas dengan suhu 370C.

Gambar 3.26. Vorteks Gambar 3.27. Konsentasi Sea

Cucumber (Stichopus variegatus) +Ca(OH)2


(70)

3.7.7 Perlakuan I (Nilai

Ambil kultur Enterococcus faecalis yang telah dikultur selama 24 jam. Dilakukan perhitungan OD Enterococcus faecalis dengan cara :

Absorbansi (OD) Enterococcus faecalis)

1. Ambil 200µL bakteri Enterococcus faecalis dan 200µL BHI (Brain Heart Infusion) Broth dimasukkan kedalam 96 well plate.

2. Dimasukkan ke microplate reader untuk mengukur OD dengan panjang gelombang 450 nm dengan standard Enterococcus faecalis 106

3. Lalu dicari nilai rata-rata OD agar dimasukkan kedalam MTT Assay untuk mendapatkan biofilm.

(0,550).

4. Lalu diambil 200µL dimasukkan ke 96 well plate untuk diinkubasi selama 24 jam untuk mendapatkan biofilm.

5. Diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam 370C

Gambar 3.29. 96 Well plate Gambar 3.30. 200µL bakteri Enterococcus faecalis dan 200µL BHI Broth dimasukkan kedalam 96 well plate.


(71)

Gambar 3.31. Inkubator 3.7.8 Perlakuan II

Pengambilan 96 well plate yang telah diinkubasi selama 24 jam. Lalu dibuang supernatannya dengan cara pengambilan 200µL kemudian dicuci dengan menggunakan PBS Steril sebanyak 200µL dan diletakkan bahan coba dengan berbagai konsentrasi dan Ca(OH)2

1. Observasi dalam 4 Jam

sebanyak 200µL

Pada pukul 09.55 dimasukkan kedalam inkubator selama 4 jam lalu dikeluarkan pada pukul 13.55 dan dilakukan MTT Assay. Medium kultur bakteri dari setiap well ditambahkan sebanyak 50µL larutan MTT (5mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 370C selama 3 jam. Setelah 3 jam (pukul 16.55) well dikeluarkan dari inkubator dan ditambahkan 150µL acidified isopropanol lalu diletakkan diatas orbital shaker (50 rpm) selama 1 jam. Setelah 1 jam (pukul 17.55) dilakukan perhitungan nilai obsorbansi (OD) pada kelompok perlakukan yang dipresentasikan terhadap OD kelompok Ca(OH)2 untuk menentukan viabilitas bakteri dengan panjang gelombang 650 nm.


(72)

2. Observasi pada 6 Jam

Pada pukul 09.55 dimasukkan kedalam inkubator selama 4 jam lalu dikeluarkan pada pukul 15.55 dan dilakukan MTT Assay. Medium kultur bakteri dari setiap well ditambahkan sebanyak 50µL larutan MTT (5mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 370

3. Observasi pada 8 Jam

C selama 3 jam. Setelah 3 jam (pukul 18.55) well dikeluarkan dari inkubator dan ditambahkan 150µL acidified isopropanol lalu diletakkan diatas orbital shaker (50 rpm) selama 1 jam. Setelah 1 jam (pukul 19.55) dilakukan perhitungan nilai obsorbansi (OD) pada kelompok perlakukan yang dipresentasikan terhadap OD kelompok Ca(OH)2 untuk menentukan viabilitas bakteri dengan panjang gelombang 650 nm.

Pada pukul 09.20 dimasukkan kedalam inkubator selama 4 jam lalu dikeluarkan pada pukul 17.20 dan dilakukan MTT Assay. Medium kultur bakteri dari setiap well ditambahkan sebanyak 50µL larutan MTT (5mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 370

4. Observasi pada 24 Jam

C selama 3 jam. Setelah 3 jam (pukul 20.20) well dikeluarkan dari inkubator dan ditambahkan 150µL acidified isopropanol lalu diletakkan diatas orbital shaker (50 rpm) selama 1 jam. Setelah 1 jam (pukul 21.20) dilakukan perhitungan nilai obsorbansi (OD) pada kelompok perlakukan yang dipresentasikan terhadap OD kelompok Ca(OH)2 untuk menentukan viabilitas bakteri dengan panjang gelombang 650 nm.

Pada pukul 09.00 dimasukkan kedalam inkubator selama 4 jam lalu dikeluarkan pada pukul 10.00 esokan harinya dan dilakukan MTT Assay. Medium


(73)

kultur bakteri dari setiap well ditambahkan sebanyak 50µL larutan MTT (5mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 370C selama 3 jam. Setelah 3 jam (pukul 13.00) well dikeluarkan dari inkubator dan ditambahkan 150µL acidified isopropanol lalu diletakkan diatas orbital shaker (50 rpm) selama 1 jam. Setelah 1 jam (pukul 14.00) dilakukan perhitungan nilai obsorbansi (OD) pada kelompok perlakukan yang dipresentasikan terhadap OD kelompok Ca(OH)2 untuk menentukan viabilitas bakteri dengan panjang gelombang 650 nm.

Gambar 3.32. Supernatan dan telah dicuci dengan PBS Steril sebanyak 200µL

Gambar 3.33. Supernatan kultur Enterococus faecalis dalam 96 well plate dibagi dalam waktu 4 jam,6 jam,8 jam dan 24 jam


(74)

Gambar 3.34.

Orbital shaker (gambar 3.34) dipakai tujuannya untuk mengaduk bahan MTT yang kita masukkan ke dalam bahan coba akar tercampur secara merata. Pada penelitian ini memakai kecepatan 50 rpm dengan lama waktu 1 jam.

Orbital Shaker

3.8 Analisis Data

Pada data hasil penelitian tersebut dilakukan penelitian data dengan MTT Assay dengan panjang gelombang 650 nm pada waktu 4 jam, 6 jam ,8 jam dan 24 jam. Dan didapat data-data statistik yang kemudian akan dilakukan pengujian dengan menggunakan uji Anova (p<0,005), karena jumlah sampel yang sedikit maka dilakukan pengujian Kolmogorov-Smirnov.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anusavise KJ, 1996. Philip’s science of dental material. 10th edition. Philadelphia: W.B.Saunders company, 75-9.

Athanassiadis B., 2007. The Use of Calcium Hydroxide, Antibiotics, Biocides, as Antimicrobial Medicament in Endodontics. Aust Dent J.; 1: 564-82.

Aswal D, Beatrice L., 2010. Efek Antibakteri Ekstrak Buah Mahkota Dewa terhadap Enterococcus faecalis sebagai Medikamen Saluran Akar. Dentika Dent J; 15(1): 32-6. Agustina N., 2011. Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Aloe vera Terhadap Enterococcus faecalis Secara in Vitro. Skripsi. Medan : FKG USU: 48.

Beer R, Baumann, Kim S., 2000. Colour Atlas of Dental Medicine and Endodontology. New York: Thieme Stuttgart:156-8.

Berkitten M, Okar I, Berkitten R., 2000 In Vitro of Penetration of Sanguish and Prevotella intermedia Stain into Human dentinal Tubulus. J Endod;26:236-9.

Cwikla S, Bellanger M, Giguere S, Fox A, Verticci F., 2000. Dentinal Tubulus Desinfection Using Three Calcium Hidroxide Formulation. J Endod;31:50-2.

Cogulu Dilsah, Atac Uzel. European Journal of Dentistry., 2007. Detection of Enterococcus faecalis in necrotic teeth root canals by culture and polymerase chain reaction methods. Euro Dent J; 1: 145-52.

Chaffin WL, Lopez JL, Casanova M, Gozalbo D, Martinez JP., 1998. Cell wall and secreted proteins of Candida albicans: identification, function, and expression. Microbiol Mol Biol Rev; 62: 130-80.

Delisle G, Tomalty L., 2002. Enterococcus faecalis in a Blood Culture. American Society for Microbiology.

Evan M, Davies J.K, Sundqvist and Fidgor., 2002. Mechanisms Involved in tehe Resistence of the Enterococcus faecalis to Calcium Hidroxide. Int Endod J; 35:221-8. Estrela C., 2008. Efficacy of Calcium Hydroxide Dressing in Endodontic Infection Treatment:A Systemic Review. Rev.Odonto science; 23(1): 82-6.

Ercan E, Dalli M, Yavuz I, Ozekinci T., 2006. Investigation Microorganisms in Infected Dental Root Canals. Biotechnol and Biotechnol Eq; 20: 166-72.


(2)

El karim I, Kennedy J, Hussey D., 2007. The Antimicrobial Effects of Root Canal Irrigation and Medication. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod; 103(4): 560-9.

Fisher K, Phillips C., 2009. The ecology, epidemiology and virulence of Enterococcus. Microbiology;155:1749–57.

Ferreira FB, Vale MS, Granjeirob JM., 2003. Evaluation of pH Levels and Calcium Ion Release in Varoius Calcium Hydroxide Endodontic Dressing. Oral Surg Oral Med Oral Pathol;97:388.

Kudiyirickal MG, Ivancakova R., 2008. Antimicrobial agents used in Endodontic Treatment. Acta Medica;51(1):3-12.

Kayaoglu G, Dag Orstavik., 2004. Virulence Factors of Enterococcus feacalis: Relationship to Endodontic Diseases. Sages Journal;15(5):308-20.

Kundabala M, Suchitra U., 2002. Enterococcus Faecalis: An Endodontic Pathogen. J Endod;3:11-3.

Leswari MI., 1997. Peranan Kalsium Hidroksida Sebagai Bahan Pelindung Pulpa Gigi. M.I.Kedokt. Gigi FKG Usakti;12(34): 45-50.

Luis M, Marie T, Pezzlo, et al. , 2004. Color Atlas of Medical Bacteriology. Washington DC: American Society for Microbiology Press.

MartinezRA.Enterococcusfaecalis

M Seluck, Ahmet O., 2009. Analysis of Enterococcus faecalis in samples from Turkish patients with primary endodontic infections and failed endodontic treatment by real-time PCR SYBR green method. J Appl Oral Sci;17(5):33-7.

Mickel AK, Sharma P, Chogle S., 2003. Effectiveness of Stannous Fluoride and Calcium Hydroxide Against Enterococcus faecalis. Int Endod J;29(4):259-60.

Rosa OP, Torres SA, Ferreira CM, Ferreira FB., 2002. In vitro Effect of Intracanal Medicaments on Strict Anaerobes by Means of The Broth Dilution Method. Pesqui Odontol Bras;16(1):31-6.

Signoretto C, Tafi MC, Canepari P, et al., 2000. Cell wall chemical composition of Enterococcus faecalis in the viable but nonculturable state. Appl and Enviromental Microbiology;66(5):1953-9.


(3)

Suchitra U, Kundabala M., 2002. Enterococcus faecalis: An Endodontic pathogen. J Endod;11-3.

Simon ST, Bat KS, Francis R., 1995. Effect of Four Vehicles on the pH Calsium Hydroxide and Realease of Calsium Ion. Oral Surg Oral Med Oral Pathol;80:459-64. Schafer E, Bossmann K., 2004. Antimicrobial Effifacy of Chlorhexidine and Two Calsium Hidroxide Formulation againts Enterococcus faecalis.J Endod;31:53-69 Sidharta W., 2000. Penggunaan Kalsium Hidroksida di bidang Konservasi Gigi. JKGUI Edisi Khusus;7:435-43.


(4)

LAMPIRAN I

Alur ekstraksi Sea Cucumber (teripang)

Sea Cucumber (teripang) 2 kilogram, dibersihkan dan dikeringkan selama 3 hari

Direndam dalam metanol selama 3 hari

Diperoleh endapan larutan

Dirotari selama 24 jam (1 hari) 37o

Didapat bentuk pasta

C

Disimpan dalam botol kaca ditutup, disimpan di tempat sejuk


(5)

LAMPIRAN 2

Penyiapan Suspensi Bakteri

Pembuatan Media Pertumbuhan

Mueller Hinton Agar 13 gram + akuades 250 ml

Dimasukkan kedalam tabung elemeyer

Diaduk hingga merata

Ditutup dengan kapas dan aluminium foil

Autoclave 121o

Disimpan dalam lemari pendingin C selama 2,5 jam

Saat akan digunakan, dipanaskan kembali hingga mendidih

Dituang ke dalam petri (20ml/petri)

Pembuatan Suspensi Bakteri

Bakteri Enterococcus faecalis yang telah dibiakkan secara murni pada Mueller Himton Agar

Ambil beberapa koloni bakteri lalu diencerkan dengan larutan NaCl 0,9%


(6)

LAMPIRAN 3

Alur pengujian efek antibakteri Sea Cucumber (teripang)

Sea Cucumber (teripang) pada konsentrasi 0,1%, 0,2%,0,25%,0,3%,0,4%,0,5% dan kontrol positif

Dimasukkan sebanyak 200µL kedalam supernatan Enterococcus faecalis 96 well plate

Diinkubasi selama 4jam, 6jam , 8jam dan 24 jam suhu 370

Dilakukan MTT Assay selama 3jam

C

Menghitung nilai obsorbasi (OD) viabilitas bakteri dengan panjang gelombang 650nm

Hasil


Dokumen yang terkait

Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernoniaamygdalina) Sebagai Bahan Alternatif Medikamen Saluran Akar Terhadap Enterococcus Faecalis(Secarain Vitro)

21 182 71

Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) sebagai Alternatif Medikamen Saluran Akar terhadap Enterococcus faecalis (Secara In vitro)

1 47 71

Efek Antibakteri Minyak Atsiri Kayu Manis terhadap Enterococcus faecalis sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Secara In vitro

10 60 69

Pengaruh Hidrogel Teripang Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis (In Vitro)

0 2 21

Pengaruh Hidrogel Teripang Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis (In Vitro)

0 1 2

Pengaruh Hidrogel Teripang Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis (In Vitro)

0 0 11

Pengaruh Hidrogel Teripang Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis (In Vitro)

0 1 32

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Enterococcus faecalis sebagai Salah Satu Bakteri yang Berperan - Efek Antibakteri Sea Cucumber (Stichopus Variegatus) Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar

0 0 24

BAB 1 PENDAHULUAN - Efek Antibakteri Sea Cucumber (Stichopus Variegatus) Terhadap Bakteri Enterococcus Faecalis Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar

0 0 9

EFEK ANTIBAKTERI SEA CUCUMBER (Stichopus variegatus) SEBAGAI BAHAN MEDIKAMEN SALURAN AKAR TERHADAP BAKTERI Enterococcus faecalis (In Vitro)

0 0 19