Tinjauan Hukum Tentang Penanganan Kredit /Pembiayaan Macet Pada Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Di Bank Muamalat Cabang Medan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Djohan Mohammaf, Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 1990. As. Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, Mulia Sari, Jakarta, 1994.

Harry Waluya, Ekonomi Moneter, Uang dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Hasibuan, S.P. Malayu, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta, 2001. Hendry Arisson Et, al, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, Muamalat Institute,

Jakarta, 1999

Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta 1992. Irman, Tb, Anatomi Kejahatan Perbankan, AYYCCS Group, Jakarta 2006.

Jumhana Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya, Bandung, 1996.

Karim, Adi Warman. 2003. “Menimbang Risiko Kredit di Bank Syariah”. Majalah Investor No.88 Tahun V. Jakarta.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, Cetakan ke enam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Makhalul Ilmi SM, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, Oktober 2002.

Mariam Darus, Aneka hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.

Muchtar, Damayanti, Biang Kendali Kredit Macet : Dilema Perbankan Indonesia, Bank dan Manajemen, Juli/Agustus 1991.

Mulhadi, Prinsip kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam kerangka UU Perbankan di Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara Medan, 2005.

Niniek, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan, 1994. Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan


(2)

Rachmadi Usman Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Jakarta, hal 18, sebagaimana dikutip oleh Mulyadi, Prinsip Kehati-hati (Prudent Banking Principle).

Rachman Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991

Santoso, Ruddy Tri. Kredit Usaha Perbankan, Jogjakarta: ANDI, 1996. Siamat, Dahlan. 1999. Manajemen Lembaga Keuangan; Edisi Kedua. Jakarta. Sinungan, Muchdarsyah, Dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997.

Soejono, Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996.

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia UII, Yogyakarta, 2003.

Suhardjono. Manajemen Pengkreditan: usaha kecil dan Menengah, Jogjakarta: UPP AMP YKPN, 2003.

Sutojo, Siswanto. Menangani Kredit Bermasalah: Konsep,Teknik, dan Kasus, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997.

Suyatno, Thomas, et. Al. Dasar-dasar Perbankan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Tobing, Elwin, Asal Mula Krisis? Potret Industri Perbankan Nasional Lima Tahun Pakto ’88, Februari 2002.

.____________, Kelembagaan Perbankan, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1991. Untung, Budi, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta, 2000. Wallean, Sam A., Bank dan Wiraswasta, Allinpri Prima, Jakarta, 1991. Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 2. Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 3. UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia 4. UU No.21 tahun 2008 tentang Bank Syariah


(3)

Muamalat 12 Tahun : Bersih, Murni, dan Berprestasi, Juli 26, 2004.


(4)

bagi UMKM, dan semua kegiatan/aktivitas pembiayaan yang dilakukan oleh BPR Syariah adalah pembiayaan untuk UMKM.

BAB III

BANK SYARIAH

A. Pengertian Bank Syariah

Bank Syariah adalah lembaga finansial yang memiliki misi (risalah) dan methodology (manhaj) yang ekslusif, misi yang bukan sekedar ada pada jumlah nominal investasi tapi juga mencakup pada jenis, objek dan tujuannya itu sendiri. Adapun methodologynya adalah kerangka Syariat dan kaidah-kaidahnya yang bersumber dari ethika dan nilai-nilai Syariat Islam yang komprehensif dan universal.23

Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.(UU No. 10 Pasal 8 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan). Artinya bahwa Bank Syariah dalam menajemen investasi dan finansial dituntut untuk menggunakan asas profit oriented sebagaimana bank konvensioanl menjalaninya sehingga dengan asas tadi Bank Syariah bisa berkembang, bonafid dan professional bukan sekedar menggunakan jalur emosional keagamaan untuk menjaring nasabahnya. Itulah salah satu persamaan yang

23


(5)

bisa dijadikan referensi dan motivasi dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan Perbankan Syariah.24

Menurut Pasal 1butir (1) UU No.21 Tahun 2008, pengertian perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Di sisi lain, Bank Syariah juga mempunyai tugas dan kewajiban yang harus diembannya, yaitu menjalankan pertumbuhan ekonomi berdasarkan Syariah, dimana usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya itu harus didasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan oleh Syariah, biasannya banyak diulas dalam kitab-kitab fiqh dan ijtihad ulama-ulama kontemporer, baik individu maupun kelompok.

Kegiatan usaha bank syariah antara lain:

1. Mudharabah, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil 2. Musyarakah, pembiayaan berdasarkan prinsip usaha patungan 3. Murabahah, jual beli barang dengan memperoleh keuntungan 4. Ijarah, pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa25

Khususnya untuk penyaluran dana, Bank Syariah memiliki jenis – jenis usaha dengan prinsip – prinsip sebagai berikut :26

1. Jual – Beli (Al Bai’)

24

Hendry Arisson Et, al, Op. Cit, hal. 73

25

Heri Sudarsono, Ibid, hal. 58

26


(6)

Kalimat Al Qur’an “...Allah menghalalkan jual-beli (al bai’) dan melarang riba...” (QS 2:275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak sesuai dengan semangat Islam. Istilah jual-beli (al bai’) memilih arti yang secara umum meliputi semua tipe kontrak pertukaran kecuali tipe kontrak yang dilarang oleh Syariah.

Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred conract of exchange).

a. Murabahah

Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Karakteristiknya adalah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.

Tujuan nasabah melakukan jual-beli dengan bank adalah karena suatu alasan bahwa nasabah tidak memiliki uang tunai (modal) untuk bertransaksi langsung dengan supplier.

b. Salam

Salam adalah jual-beli di mana pembeli memesan barang yang jenis, kualitas dan kuantitasnya ditentukan dan dibayar oleh pemesan secara tunai atau diangsur sebelum barangnya selesai dibuat.

Dalam transaksi tersebut di atas, yang akan timbul adalah piutang barang, yaitu pemesan punya piutang barang terhadap pemasok dan kebalikannya pemasok punya utang barang kepada pemesan.


(7)

c. Istisnah

Istisnah adalah akad antara pemesan dengan pembuat untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual-beli suatu barang yang akan dibuat oleh pembuat. Kewajiban pembuat adalah menyediakan bahan baku dari barang pesanan tersebut.

Kontrak istissnah biasanya diterapkan dalam perbankan dalam proyek konstruksi dimana nasabah memerlukan biaya untuk membangun suatu konstruksi milik suatu bowheer tertentu.

d. Ijarah dan Ijarah Wa Iqtina’

Sewa (Ijarah) dan sewa-beli (Ijarah Wa Iqtina’ atau Ijarah Muntahiyah bi Tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh Syariah Islam. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, dimana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang. 2. Bagi Hasil (Profit and Last Sharing)

a. Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (syirkah al inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proposional sesuai dengan konstribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya.


(8)

Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dengan musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antara pemberi modal melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.

Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).

• Mudharabah Mutlaqah : pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan mengguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).

• Mudharabah Muqayyadah : pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.

3. Pembiayaan

Ada dua jenis transaksi yang dibolehkan dalam syariat Islam dikelompokkan ke dalam kelompok pembiayaan yaitu transaksi pengalihan piutang (hawalah) dan gadai (rahn).

a. Hawalah

Hawalah adalah akad perpindahan yang berhubungan dengan piutang dengan antara pihak satu dengan pihak lain.

Hawalah adalah perpindahan piutang nasabah (muhal) ke bank (muhal alaih). Nasabah meminta bank untuk membayarkan


(9)

terlebih dahulu piutang yang timbul baik dari jual beli maupun transaksi lainnya yang halal.

Atas bantuan bank untuk melunaskan piutang nasabah terlebih dahulu bank bissa meminta jasa pada nasabah, yang besarnya dengan mempertimbangkan factor resiko bila piutang tersebut tidak tertagih.

b. Rahn

Rahn adalah satu jenis transaksi tabaru’, karena apa yang di berikan Rahin (pemilik barang) untuk murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu.

Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

4. Pinjaman

Qard

Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literature fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu’ yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Bank menggunakan ini sebagai pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek.


(10)

B. Prinsip-prinsip Bank Syariah

Islam telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar ekonomiannya, bahkan banyak sekali istilah-istilah bisnis yang dipakai dalam bahasa Quran dan Hadits seperti kredit (alqard), jual beli (albae), gadai (arrahn) dan lainnya.

Adapun prinsip-prinsip dasar ekonomi Syariat yang selama ini kita kenal melalui Bank Syariah adalah nilai-nilai ethika dan norma ekonomi yang universal dan komprehensif. Keuniversalan itu sengaja diberikan pada umat untuk memberikan kesempatan padanya agar berinovasi (ijtihad) dan berkreasi (jihad) dalam mengatur sistem ekonominya dengan syarat tidak keluar dari kerangka umumnya. Dengan begitu sistem ekonomi Islam akan senantiasa valid dan cocok untuk setiap perubahan waktu dan perbedaan tempat dan mampu memerankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.

Norma-norma tadi adalah merupakan prinsip-prinsip dasar Bank Syariah, secara globalnya sebagai berikut :27

1. Islam mengatur semua transaksi ekonomi melalui nilai-nilai universal (attandzim), mudah (alyusru) dan luas (assa’ah)

Dengan mengamati aturan ekonomi yang ada dalam Quran dan Hadits, jelaslah bahwa Islam benar-benar telah mengatur sistem ekonomi dengan teliti dan jelas melalui nilai-nilainya yang universal, yaitu bahwa setiap transaksi ekonomi (muamalat) harus didasarkan pada asas kejujuran, keadilan, toleransi dan suka sama suka, baik dalam perdagangan,

27


(11)

kerjasama (sharing) ataupun semua aspek ekonomi. Indikasinya bisa dilihat dari dibolehkannya sistem barter (materi dan manfaat), baik melalui jual beli, sewa menyewa, penggadaian, kerja sama dan lainnya.

Islam juga telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam melakukan transaksi ekonomi (selama tidak melanggar nilai-nilai universal Islam) bahkan menyuruh umatnya untuk terus dinamis dalam menciptakan kemudahan-kemudahan transaksi melalui instrumen-instrumennya agar selalu update dan valid dengan perubahan waktu dan perbedaan tempat. Indikasinya nampak pada tidak ada pengkhususan instrumen tertentu atau pembatasan pada instrumen tertentu. Apa yang telah diterapkan Rasulallah dan para sahabatnya pada jaman itu adalah hanya kecocokan jaman dan pengenalan mereka pada instrumen dan produk tersebut, dimana hanya instrumen/ produk itulah yang dikenal mereka dan dipakai pada saat itu. Artinya tidak ada keharusan bagi generasi-generasi berikutnya untuk melaksanakan instrumen dan produk yang pernah dipakai mereka selama nilai-nilai universalnya tetap dipertahankan. Nilai-nilai tersebut harus tetap dipertahankan dalam setiap waktu dan tempat.

2. Islam telah mengharamkan setiap transaksi perekonomian yang mengandung unsur kedhaliman, curang dan penipuan.

Apabila Islam telah membolehkan setiap transaksi ekonomi yang benar, berdasarkan keadilan dan kejujuran serta bertujuan mencapai kemaslahatan umat, maka di sisi lain, Islam juga telah mengharamkan


(12)

setiap transaksi yang mengandung unsur kedhaliman, kecurangan dan penipuan seperti monopoli untuk menguasai pangsa pasar, menentukan harga seenaknya, jual beli gharar (spekulasi), manipulasi dalam jual beli, sumpah bohong, mengurangi timbangan, menjual belikan barang-barang yang diharamkan Syariat dan lainnya.

Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan. Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dan Nasabah

2. Prinsip Kemitraan, Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat dengan mitra usaha. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, resiko dan keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun Bank. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai intermediary institution lewat skim-skim pembiayaan yang dimilikinya.

3. Prinsip Keterbukaan, Melalui laporan keuangan bank yang terbuka secara berkesinambungan, nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan kualitas manajemen bank

4. Univeralitas


(13)

agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.28

C. Sistem operasional Bank Syariah

Kemampuan dan instrumen yang dibutuhkan Bank Syariah unik dan khas, disamping harus menguasai sistem operasional konvensional, ia juga harus menguasai sistem Syariahnya, begitu pula instrumen dan produk Bank Syariah harus sesuai dengan Syariat, ekonomis dan strategis. Untuk memperjelas hal tersebut, maka akan dibahas dua hal yang merupakan kebutuhan utama dan keharusan suatu Bank Syariah, yaitu :29

1. Sumber Daya Manusia

Sehebat apapun sebuah konsep (termasuk Bank Syariah) apabila tidak didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan qualified, maka konsep tersebut akan menjadi tidak berarti karena SDM yang tidak qualified tidak akan mampu menerjemahkan visi dan misi yang terkandung dalam konsep tadi secara benar, apalagi yang berhubungan dengan halal dan haramnya suatu produk. Oleh karena itu perbankan Syariah dituntut untuk menyiapkan SDM yang benar-benar qualified untuk menjalankan operasional Bank Syariah.

Adapun hal-hal yang perlu dimiliki oleh para praktisi Bank Syariah adalah sebagai berikut:


(14)

a) Menguasai kemampuan double, yaitu operasional bank konvesional dan operasional Bank Syariah (terutama haram dan halalnya suatu produk bank). Yang dalam istilah Quran disebut “al-qawy (mampu)”.

b) Mempunyai track record yang baik dan bersih (beriman dan bertakwa). Yang dalam istilah Quran dikenal dengan istilah ” al-amin (jujur)”. c) Menempatkan SDM sesuai dengan job dan kapasitasnya. Yang dalam

istilah Hadits dikenal dengan istilah: ” celakalah orang yang tidak tahu kadar kemampuannnya“.30

2. Instrumen dan produk Bank Syariah

Instrumen dan produk bank yang selama ini digunakan Bank Syariah masih terbatas pada bentuk-bentuk klasik yang dimodifikasi atau menjiplak instrumen dan produk bank konvensional padahal Islam tidak pernah membatasi dan menentukan instrumen dan produk tertentu dalam menjalankan ekonominya (Bank Syariah) bahkan menyuruh umatnya untuk selalu berinovasi dan berkreasi. Dari point inilah sebenarnya Bank-Bank Syariah bisa bergerak dan berkembang.

Adapun instrumen dan produk ekonomi yang pernah dilaksanakan Rasulullah dan sahabatnya adalah bentuk-bentuk instrumen yang cocok dan dikenal pada saat itu saja dan bukan sebagai instrumen yang harus diimplementasikan untuk setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu, Bank Syariah dituntut untuk melakukan inovasi dalam menciptakan instrumen dan produk Bank Syariah yang mempunyai nilai strategis dan nilai ekonomi yang tinggi dalam bentuk apapun selama tetap ada dalam kerangka nilai-nilai universal ekonomi Syariat.

30


(15)

Untuk menghadapi tuntutan tadi, Bank Syariah dituntut untuk berinovasi (ijtihad) dan berusaha (jihad) dalam mengembangkan ekonomi Syariah melalui Bank Syariah.

Untuk menciptakan instrumen dan produk baru Bank Syariah dan mengembangkannya diperlukan kiat-kiat tertentu, yaitu:

a. Meyakini bahwa investasi dan mencari keuntungan adalah kewajiban dan bagian dari ibadah sosial.

b. Melakukan penelitian dan kajian tentang bentuk-bentuk investasi yang cocok, unggul dan punya nilai strategis untuk bangsa Indonesia, karena hanya dengan menunggu adanya usulan dan inisiatif dari masyarakat tidak akan bisa memberi kontribusi yang maksimal.

c. Mengembangkan dan menggunakan instrumen dan produk Bank Syariah yang ada secara serius dan komprehensif tanpa memfokuskan pada salah satu instrumen tertentu dan meninggalkan yang lainnya. Hal itu akan memberikan peluang yang lebih banyak bagi para nasabah Bank Syariah dan sebagai bukti kemapanan sebuah konsep.

d. Menciptakan instrumen dan produk baru yang inovatif, punya nilai ekonomi yang tinggi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan strategi ”tak kenal maka tak sayang” artinya Bank Syariah perlu menciptakan instrumen dan produk yang dibutuhkan masyarakat.31

Memodifikasi dan memperbaharui instrumen dan produk bank yang lama dengan instrumen dan produk yang sesuai dengan perkembangan waktu, kompetitif dan unggul di pasar investasi global dan lokal.

D. Pembiayaan berdasarkan sistem Bank Syariah

Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah yakni :32

1. Pembiayaan Investasi,

Pembiayaan investasi adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat 31


(16)

kaitannya dengan itu. Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rahabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah:

a. Untuk pengadaan barang-barang modal.

b. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah. c. Berjangka waktu menengah dan panjang.

Pada bank syariah, pembiayaan investasi menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan. Secara bertahap, bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cashflow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.

Terdapat tiga macam pembiayaan investasi: musyarakah, mudharabah, dan pembiayaan berdasarkan estimated rate of return. Pada skema musyarakah, bank ikut mengambil bagian dalam suatu usaha dan kedua belah pihak (bank dan nasabah) berpartisipasi dalam berbagai aspek pada suatu proyek atau usaha dengan derajat tertentu. Keuntungan dan kerugian ditanggung kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Setelah berlalunya periode awal yang


(17)

telah ditentukan, bank dapat menarik diri dalam pembiayaan secara bertahap.

Pada skema mudharabah, bank menanamkan dana dan nasabah atau klien menangani masalah teknis, manajemen, dan tenaga kerja. Keuntungan dibagi pada kedua belah pihak dengan proporsi yang telah disepakati, namun jika terjadi kerugian, bank harus menanggung total kerugian tersebut.

Pada pembiayaan berdasarkan estimated rate of return, bank memperkirakan tingkat pengembalian modal yang diinginkan pada proyek tertentu kemudian menyediakan pembiayaan ketika klien menyanggupi membayar tingkat pengembalian tersebut kepada bank. Jika keuntungan melebihi tingkat pengembalian, maka klien dapat memperoleh kelebihan tersebut. Jika keuntungan kurang dari tingkat pengembalian, maka bank menurunkan tingkat pengembalian. Jika klien mengalami kerugian, bank ikut menanggung kerugian tersebut.33

Menurut Makhalul Ilmi SM, mudharabah adalah suatu bentuk organisasi yang di dalamnya seorang pengusaha (mudharib) menyediakan manajemen tetapi dananya dari pihak lain, berbagi keuntungan dengan penyandang dana (shahibul maal, investor) dalam suatu perjanjian yang disepakati. Penyandang dana membiayai pengusaha tidak dalam kapasitasnya sebagai pemberi pinjaman


(18)

melainkan sebagai investor. Dia adalah pemilik atas seluruh atau sebagian usaha dan berbagi risiko bisnis sebesar keikutsertaannya dalam keseluruhan biaya usaha. Pengusaha mengelola dana investasi dengan keleluasaan yang diberikan penyandang dana sesuai dengan kesepakatan.

Syirkah atau musyarakah adalah suatu bentuk organisasi usaha yang di dalamnya dua orang atau lebih mengambil bagian baik dalam pembiayaan maupun dalam manajemen usaha, dalam proroporsi yang sama atau tidak sama besar. Laba dapat dibagi dengan perbandingan setara yang disepakati bersama. Meskipun demikian, kerugian harus dipikul secara proporsional sesuai dengan besarnya perbandingan modal usaha.

2. Pembiayaan Konsumtif

Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang telah diketahui secara umum, kebutuhan konsumsi terdiri dari kebutuhan primer (makanan,minuman,tempat tinggal, pakaian, pelayanan kesehatan, pendidikan) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer.


(19)

Bank syariah menyediakan pembiayaan komersial untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini:

a. Al bai’ bi tsaman ajil atau jual beli dengan angsuran. b. Al ijarah al muntahia bittamlik atau sewa beli.

c. Al musyarakah mutanaqishah atau decreasing participation: pihak bank secara bertahap menurunkan jumlah partisipasinya.

d. Ar Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.

Pembiayaan konsumsi di atas digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Pada umumnya kebutuhan primer tidak dapat dipenuhi dengan pembiayaan ini. Seseorang yang belum mampu mencukupi kebutuhan primernya dikategorikan fakir atau miskin. Maka ia wajib diberi zakat atau sedekah, atau maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al qardh al hasan), yaitu pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun.

Menurut Makhalul Ilmi SM, pembiayaan konsumsi terdiri dari mark-up, leasing, hire-purchase, sell-and-buy-back, dan letters of credit. Disebut mark-up apabila pihak bank membeli barang yang diinginkan klien dengan kesepakatan bahwa klien setuju untuk membayar barang itu beserta keuntungannya kepada bank. Leasing; dimana bank membeli barang yang diinginkan klien dan


(20)

menyewakannya kepada klien dengan periode yang disepakati bersama. Di akhir periode, klien membayar selisih harga yang disepakati di awal periode kepada bank untuk menjadi pemilik barang tersebut. Skema hire-purchase hampir sama dengan leasing. Bedanya klien hanya membayar sewa dengan periode tertentu yang telah disepakati dan pada akhir periode, klien secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut. Jika klien menjual salah satu barang miliknya kepada bank dengan harga yang disepakati bersama dengan syarat ia akan membeli kembali barang itu setelah periode tertentu dengan harga yang telah disepakati. Skema ini dinamakan sell-and-buy-back. Letters of credit adalah skema dimana bank menggaransi atau menjamin impor suatu barang dengan dananya sendiri untuk pihak klien, lalu kedua pihak berbagi keuntungan dari hasil penjualan barang tersebut.

Pada buku Umer Chapra, tidak ada pembahasan secara khusus mengenai pembiayaan konsumtif, namun penulis mendapatkan skema yang dapat digunakan pada pembiayaan konsumtif pada sub-bab yang membahas bank komersial. Skema-skema itu adalah: leasing dan bai’ al muajjal.

Ada dua macam leasing: financial lease dan operating lease. Financial lease menyangkut persetujuan yang tidak dapat dibatalkan antar bank dan konsumennya agar bank membeli suatu aset tertentu dan menyewakannya kepada konsumen untuk jangka waktu menengah atau


(21)

panjang. Pada akhir periode yang disepakati, aset tersebut dikembalikan kepada bank. Operating lease berbeda dari financial lease dalam dua hal. Pertama, bahwa operating lease dapat dibatalkan dan biasanya dilakukan hanya untuk periode yang relatif lebih singkat. Kedua, dalam operating lease, bank bertanggung jawab sepenuhnya atas biaya pemilikan.

Bai’ al muajjal adalah istilah untuk mengacu pada suatu kesepakatan yang di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki oleh konsumennya yang membutuhkan barang tersebut, dan kemudian menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga yang disepakati dengan memberikan keuntungan tertentu kepada bank. Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam periode tertentu yang ditentukan dengan cara kredit atau tunai.

3. Pembiayaan Modal Kerja

Pembiayaan modal kerja adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:

(a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari

suatu barang.

Unsur-unsur modal kerja terdiri dari komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory)


(22)

persediaan barang dalam proses (work in process), dan persedian barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing).

Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin kemitraan dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian bank.

Makhalul Ilmi SM memaparkan pembiayaan modal kerja ini dengan cukup singkat. Pembiayaan ini terdiri dari: pinjaman dengan ongkos pelayanan (loans with a service charge), pinjaman tanpa ongkos (no-cost loans), dan overdrafts.

Pinjaman dengan ongkos pelayanan adalah pinjaman yang diberikan bank tanpa bunga, namun untuk menutupi pengeluarannya, bank menetapkan ongkos pelayanan. Penetapan ongkos pelayanan


(23)

maksimal dilakukan oleh pihak yang berwenang (pemerintah). Pinjaman tanpa ongkos dan overdrafts diberikan bank kepada golongan ekonomi lemah seperti petani kecil, wiraswasta, produsen kecil, dan sebagainya. Dana pinjaman ini diperoleh dengan menyisihkan sebagian pendapatan bank.

BAB IV

PENANGANAN KREDIT/PEMBIAYAAN MACET PADA USAHA

MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DI BANK MUAMALAT

A. Bank Muamalat dan Perkembangannya

Sejarah berdirinya Bank Muamalah, diprakarsai oleh MUI, dalam lokakarya “ Bunga Bank dan Perbankan” pada tanggal 19-22 Agustus 1990, di Cisarua, Bogor-Jawa Barat.


(24)

Selama 2003, Bank Muamalat juga berhasil membuktikan laba sebelum pajak Rp.34,494 miliar. Setelah dikurangi pajak, laba bersih menjadi Rp. 23,170 miliar. Total laba tersebut telah dialokasikan sebesar Rp. 7 miliar untuk pencadangan umum dan dibagikan kepada shareholders sebagai dividen berjumlah Rp. 16,590 miliar. Dengan total jumlah saham beredar sebanyak 374.057.698 lembar maka dividen per lembar saham berjumlah Rp. 44,35. Selain itu sebagai komitmen kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai perintis dan pendiri, sebesar 2,5% atau senilai Rp. 589,768 juta dialokasikan kepada Yayasan Dana Dakwa Pembangunan (YDDP).

“Pertumbuhan kinerja di atas dapat mendukung pencapaian misi Perseroan menjadi role model lembaga keuangan syariah dunia. Dengan penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimalkan nilai kepada stakeholders” ungkap Riawan.

Tingkat kesehatan bank juga menjadi concern Bank Muamalat. Dua syarat penting yang ditetapkan Bank Indonesia pada 2003 adalah tingkat kecukupan permodalan (CAR) sebesar 8% dan diharapkan berada di atas 12%. Begitu juga kualitas portofolio pembiayaan yang dihitung dari rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financial loan (NPF/PL)maksimal 5%. CAR pun meningkat dari 8,95% menjadi 9,02% pada tahun 2001 dan 10,08% pada tahun 2002. Sedangkan CAR akhir 2003 meningkat menjadi 13,04%. Sementara NPF gross menunjukan tren membaik


(25)

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, NPF sebesar 4,99%, kemudian menjadi 3,15% pada akhir 2003, angka ini masih jauh dibawah NPL/NPF nasional yang masih 8,3%.

Pembiayaan juga meningkat 35,23 miliar menjadi 2,3 triliun pada tahun 2003, dari Rp.1,7 triliun pada 2002. Peningkatan ini jauh lebih besar dibandingkan rata-rata pertumbuhan kredit perbankan yang hanya

16,30%. Pertumbuhan yang pesat pada pembiayaan ini pada gilirannya membawa peningkatan berarti pada pendapatan margin dan bagi hasil yang diterima perseroan yang meningkat 42,45% menajdi Rp.302,9 miliar

pada tahun 2003 dan Rp.214 miliar pada tahun sebelumnya.

Kendati pertumbuhan pembiayaan cukup signifikan, tapi manajemen tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian untuk

melindungi bank dari risiko pembiayaan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan prinsip kehati-hatian perbankan.

Bukti bahwa manajemen menerapkan prinsip kehati-hatian bisa diketahui dengan melihat rasio kepatuhan (compliance) yakni pelanggaran Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) yang tidak pernah dilakukan Bank Muamalat. Lalu posisi Giro Wajib Minimum (GWM) mencapai 6,20% sedangkan ketentuan Bank Indonesia minimal

5% sedangkan untuk posisi Devisa Netto (DN) mencapai 3,29% sedangkan Bank Indonesia menetapkan maksimal 20%. Hal ini tercapai


(26)

Bank Muamalat menetapkan proses berlapis dalam proses penyaluran

pembayaran yang disertai pengawasan yang ketat.34

34

Berdirinya Bank Muamalat selanjutnya didukung dengan munculnya Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil diakomodasi. Dalam UU tersebut pada Pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi pasal tersebut, pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan Peraturaan Pemerintah (PP) No 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada Tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.

Berdirinya Bank Muamalat ini diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), namun dua jenis bank-bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangun lembaga-lembaga keuangan yang digunakan untuk mengumpulkan dana, seperti zakat, infaq, dan shadaqoh, juga lembaga yang berfungsi untuk simpan pinjam oleh masyarakat. Sesuai dengan fungsinya nama lembaga keuangan—non bank—tersebut adalah

Baitul Maal Wattamwil (BMT).


(27)

Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan Lembaga Keuangan dan bank Muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan.

Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan, khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan pendanaan tanpa unsur riba. Satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum (konvensional) adalah terletak pada pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada Bank Umum, pembiayaan disebut loan, sementara di Bank Syariah disebut financing. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada Bank Umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada Bank Muamalat dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil. Selanjutnya dalam perbankan syariah dikenal istilah mudharabah, murabahah dan musyarakah untuk program pembiayaan. Bank syari'ah akan memperoleh keuntungan berupa bagi hasil, dari proyek yang dibiayai oleh bank tersebut. Apabila proyeknya mandek, maka akan dicarikan solusi penyelesaian. Misalnya, dengan menjual aset proyek. Uang penjualan aset proyek yang dibiayai Bank Syariah, akan dibagi kepada bank dan nasabah sesuai penyertaan masing-masing pada usaha tersebut. Lalu bagaimanakah dengan


(28)

mekanisme manajemen kredit yang dapat diberlakukan dalam Bank Muamalat, dimana dalam mekanisme ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara peminjam, bank dan investor. Bagi peminjam dana

(borrowers), hal ini merupakan kesempatan emas dimana peminjam tidak

terlalu terbebani atas bunga pinjaman tersebut. Tetapi bagi kalangan investor (deposan atau penanam modal lainnya), sistem perbankan ini

kurang menjanjikan. Para investor (lenders) menginginkan dana yang

diinvestasikannya, memiliki pengembalian minimal sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya, bank sebagai media perantara

(intermediasi) bisa mengalami kesulitan untuk menggalang dana

masyarakat. Kegiatan operasional bank dalam bentuk penyaluran kredit, dapat terhambat jika mobilisasi dana pembiayaan tidak sesuai dengan jumlah permintaan pendanaan. Berdasarkan fenomena diatas, ingin diungkapkan disini bahwa ada beberapa hal yang terkait antara mekanisme manajemen kredit Bank Muamalat dan Bank Umum.

B. Faktor Penyebab Kredit/Pembiayaan Macet

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai bagian integral ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis dalam perekonomian nasional. UMKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Hal ini terbukti ketika Indonesia mengalami situasi krisis ekonomi di tahun 1997, UMKM menjadi penyangga yang mampu bertahan terhadap terpaan


(29)

badai krisis. Untuk itu UMKM perlu lebih diberdayakan dalam memanfaatkan peluang usaha dan menjawab tantangan perkembangan ekonomi di masa yang akan datang.

Salah satu kendala yang sering dihadapi oleh UMKM adalah sulitnya mengakses kredit/pembiayaan dari lembaga perbankan. Selain itu, Pemerintah Daerah melalui dinas-dinas terkait yang ada di daerah, baik dari aspek permodalan, teknologi, manajemen maupun pemasaran hasil, dirasakan masih kurang membantu UMKM untuk berkembang. Dengan kendala-kendala tersebut UMKM masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional.

Dalam upaya meningkatkan peran UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan suatu kajian mengenai kebijakan perbankan yang menghambat pembiayaan UMKM, sehingga diperoleh gambaran mengenai kebijakan apa saja yang menghambat pembiayaan UMKM, dan rekomendasi yang dapat diberikan guna perbaikan dalam pembiayaan UMKM.

Dalam suatu kajian tentang Kebijakan Perbankan Yang Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil Di Jawa Timur,misalnya ditemukan tiga kelompok factor yang menyebabkan debitur kredit macet yang bermasalah yaitu :

1. Kondisi ekonomi makro, 2. Kondisi dan alokasi dana, dan 3. Kondisi internal perbankan.


(30)

Jika dikaji lebih jauh, banyak faktor yang dapat dituding sebagai biang keladi berkembangnya fenomena kredit macet itu. Secara garis besar, faktor-faktor tersebut dapat dogolongkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, faktor eksternal yang berkaitan dengan prilaku debitur dan lingkungan (ekonomi, kebijakkan pemerintah, pasar internasional, dan lain-lain). Kedua, faktor internal yang berkaitan dengan manajemen dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebuah bank.

1. Faktor Eksternal

Dalam makalahnya untuk seminar sehari “Masalah Penyaluran dan Pengembalian Kredit Perbankan” yang berjudul “Beberapa Kendala Penyaluran dan Pengembalian Kredit Bank”, Trenggono Purwosuprojo, Presdir Overeas Express Bank, yang belum lama ini terpilih menjadi Ketua Umum perbanas, secra lengkap dan gambling menyoroti kendala-kendala di luar bank yang mempengaruhi terjadinya kredit macet. Dari bahasanyaitu, secara ringkas dapat disimpulkan tentang adanya tiga kendala utama dalam pengembalian kredit, yaitu kendala yang berhubungan dengan suku bunga pinjaman, hukum, serta perilaku debitur.

a. Suku Bunga Pinjaman

Di Indonesia suku bunga kredit masih sulit dirumuskan berhubung belum adanya bunga referensi (reference rate), baik yang berupa prime rate maupun yang berupa bentuk dan yang dapat digunakan sebagai patokan. Sebenarnya dapat dipertimbangkan penggunaan interbank rate, sebagaimana


(31)

lazim kita temukan di pasar internasional, tetapi diperlukan cukup banyak perubahan mendasar pada pasar uang sebelum hal ini dapat dilaksanakan.

b. Hukum

Ada tiga hal yang patut dipermasalahkan dalam kendala hukum, yaitu pertama, belum adanya standardisasi bentuk dan perjanjian kredit, suatu kondisis yang kurang menguntungkan jika dipandang dari segi kepentingan dalam menciptakan suatu pengertian umum di antara pihak kreditur dan debitur. Kedua, perangkat hukum di Indonesia tampaknya tertinggal oleh kebutuhan yang muncul dari kepesatan perkembangan praktik dunia usaha sehingga terasa ada kekosongan. Ketiga, masalah kelambatan proses penyelesaian kredit macet akibat peraturan yang kurang mendukung.

c. Perilaku Debitur

Kesulitan terbesar bagi bank dalam mengawasi kreditnya adalah ketidakmungkinan bank dalam mengikuti perkembangan usaha debitur secara langsung. Sering ditemukan dalam praktik, penyampaian laporan secar priodik dianggap sebagai “beban” oleh debitur karena hanya menambah pekerjaan dan merasa dimata-matai.

2. Faktor Internal

Faktor internal tak dapat dipisahkan dari manajemen perkreditan suatu bank. Menurut seorang ahli perbankan yang diwawancarai B&M, kredit macet bermula dari penilaian kredit (desain kredit) yang salah. Pendesainan kredit


(32)

yang salah akan mengakibatkan penentuan skema kredit macet pula, yang akhirnya berakibat terjadinya kredit macet.35

Hal ini tidak lepas dari ambruknya beberapa bank akibat kredit macet seperti kasus bank Summa mendorong perbankan lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit. Disamping itu, kesulitan bank, khususnya bank pemerintah untuk memenuhi ketentuan LDR 110 persen dan CAR 5 persen atau 8 persen menyebebkan perbankan nasional enggan melakukan ekspansi kredit. Factor lain adalah ketidakpastian akan kelanjutan proses deregulasi ekonomi mendorong para pengusaha cenderung untuk menunggu daripada meningkatkan intensitas atau ekspansi usahanya.

Ada sejumlah faktor penyebab membengkaknya kredit macet. Pertama, perbankan umumnya kurang hati-hati dalam memberikan pinjaman dalam tahun-taahun boom investasi. Kedua, pelanggaran terhadap ketentuan mengenai batas maksimum kredit (legal lending limit) yang disyaratkan Pakfeb 1991. Ketiga, pengaruh kebijaksanaan uang ketat menurunkan kemampuan perusahaan nasabah bank untuk membayar pinjaman.

Pada saat itu juga bank-bank mulai hati-hati dalam menyalurkan kredit. Hal ini dapat dilihat dalam laju penyaluran kredit yang menurun dari 16,27 persen (1990/91) menjadi 8,89 (1991/92).

36

35

Damayanti Muchtar, Biang Kendali Kredit Macet : Dilema Perbankan Indonesia, Bank dan Manajemen, Juli/Agustus, 1991, hal. 35 & 36

36

Elwin Tobing, Asal Mula Krisis? Potret Industri Perbankan Nasional Lima Tahun Pakto ’88, Februari 2002, hal. 3


(33)

C. Pelaksanaan Pemberian Kredit (Pembiayaan menurut sistem bank syariah) pada Usaha Mikro, Kecil & Menengah Bank Muamalat Cabang Medan. 1. Permohonan Pembiayaan

Untuk mendapatkan pembiayaan pada Bank Syariah calon nasabah di wajibkan untuk melampirkan berkas-berkas, diantaranya yaitu :

a. Kartu identitas calon nasabah (KTP), suami atau istri b. Kartu Keluarga

c. Surat Izin Usaha Calon Nasabah d. Data lengkap obyek pembiayaan e. Data jaminan

2. Penyelidikan berkas pembiayaan

Dalam hal ini di teliti tentang keaslian berkas-berkas yang telah di ajukan atau di lampirkan oleh calon debitur yang di lakukan karyawan Bank Syariah. Tujuannya untuk mengetahui apakah berkas-berkas yang di ajukan sudah lengkap sesuai dengan persyaratan.

Menurut Pasal 23 UU. No.21 Tahun 2008 tentang kelayakan penyaluran dana di Bank Syariah adalah :

(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah penerima fasilitas.

(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon Nasabah penerima fasilitas.


(34)

Dengan demikian Penilaian Kelayakan Pembiayaan (Analis pembiayaan) yang di lakukan pihak Bank Syariah dengan metode 5C yaitu : a. Charakter/Watak

Analisa ini di lakukan oleh pihak Bank Syariah untuk mengetahui watak atau sifat si nasabah.

b. Capacity/Kemampuan

Kemampuan calon nasabah dalam berbisnis penting di ketahui. Hal ini dapat di pahami karena watak yang baik tidak menjamin seseorang mampu berbisnis dengan baik.

c. Capital/Modal

Analisa modal di arahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan calon nasabah terhadap uasahanya sendiri. Jika nasabah sendiri tidak yakin akan usahanya, maka orang lain makin tidak yakin.

d. Condition/ Kondisi usaha calon nasabah

Kondisi yang harus di perhatikan Bank Syariah antara lain :

 Keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon nasabah

 Kondisi usaha calon nasabah,

 Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah  Prospek usaha di masa yang akan datang


(35)

e. Collateral/Jaminan

Analisa yang di lakukan pihak bank terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan hendaknya melebihi dari jumlah pembiayaan yang diberikan.

3. Wawancara Pertama

Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui apakah berkas-berkas yang diserahkan oleh nasabah sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pihak Bank Syariah Cabang Medan.

4. Peninjauan Lokasi

Tujuan peninjauan kelapangan adalah untuk memastikan obyek yang akan di biayai dan agunannya, apakah sesuai dengan yang dituangkan dalam proposal permohonan.

5. Wawancara Kedua

Yaitu perbaikan berkas-berkas, jika mungkin ada kekurangan pada saat setelah dilakukan peninjauan ke lokasi.

6. Keputusan Pembiayaan

Keputusan pembiayaan adalah untuk menentukan apakah pembiayaan layak diberikan atau ditolak, jika layak, dipersiapkan administrasinya yaitu :

 Akad pembiayaan yang akan di tandatangani  Jumlah uang yang diterima

 Jangka waktu pembiayaan, dan  Biaya-biaya yang harus dibayar.


(36)

7. Penandatanganan Akad

Sebelum pembiayaan diberikan oleh pihak Bank Syariah maka terlebih dahulu calon debitur menandatangani akad pembiayaan dan surat perjanjian yang dianggap perlu.

8. Realisasi

Realisasi adalah apakah nasabah yang mengajukan pembiayaan sudah memiliki rekening tabungan pada Bank Syariah Cabang Medan, jika belum, maka nasabah wajib membuka rekening tabungan di bank tersebut.

9. Pencairan Dana

Proses pencairan dana adalah pencairan fasilitas pembiayaan kepada nasabah. Sebelum melakukan proses pencairan, maka harus dilakukan pemeriksaan kembali semua kelengkapan yang harus dipenuhi sesuai dengan yang diterapkan dalam proposal pembiayaan.

10. Monitoring

Proses monitoring terhadap nasabah oleh pihak karyawan Bank Syariah. Pada saat memasuki tahapan ini maka sebenarnya risiko pembiayaan baru saja dimulai saat pencairan dilakukan. Monitoring dapat dilakukan dengan memantau realisasi pencapaian target usaha. Setelah pengusaha ekonomi kecil mendapatkan kredit yang dimaksudkan, maka dalam proses berikutnya pihak bank tidak akan berlepas diri mengawasi pelaksanaan penggunaan dana yang dikucurkannya kepada pengusaha ekonomi kecil


(37)

tersebut. Maka dalam tindakan ini selanjutnya akan diberikan pengawasan dan pembinaan kredit oleh pihak bank kepada pengusaha ekonomi lemah.

D. Konsep Penanganan Kredit/Pembiayaan Macet dalam Peraturan perundang-undangan Pasca UU. No.7/1992

Penanganan kredit/pembiayaan bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Penanganan dapat melalui salah satu cara ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara yudisial melalui jalur Pengadilan, Pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan melalui Lembaga Paksa Badan.

Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Perbankan tidak cukup akomodatif untuk mengatur masalah kredit/pembiayaan macet. Hal ini terbukti dari: a) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang kredit/pembiayaan macet; b) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak mengatur jalan keluar dan langkah yang ditempuh perbankan menghadapi kredit/pembiayaan macet; c) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak menunjuk lembaga mana yang menangani kredit/pembiayaan macet, dan sejauh mana keterlibatannya, dan d) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 tidak memberikan tempat yang cukup baik kepada komisaris bank sebagai badan pengawas. Untuk itu perlu dibentuk UU khusus tentang penanggulangan


(38)

kredit/pembiayaan macet baik dari segi hukum substantif, pengawasan preventif ataupun segi prosedural atau segi represif lainnya.

Sebenarnya, masalah penanganan kredit/pembiayaan macet yang bersifat preventif sudah diatur di dalam UU No.21 Tahun 2008 tentang Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian, dan Pengelolaan resiko Perbankan Syariah, khususnya pada Pasal 34 sampai Pasal 40.

Pada Pasal 34 UU No.21 Tahun 2008 tentang Tata Kelola Perbankan Syariah :

(1)Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencangkup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.

(2)Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Selanjutnya, pada Pasal 35 UU No.21 Tahun 2008 tentang Prinsip Kehati-hatian :

(1)Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.

(2)Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

(3)Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.

(4)Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.


(39)

Selanjutnya, pada pasal 36 UU No.21 Tahun 2008 tentang Prinsip Kehati-hatian : Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.

Selanjutnya, dalam Pasal 37 UU No.21 Tahun 2008 tentang Prinsip Kehati-hatian :

(1)Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait, termasuk kepada peruahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(2)Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(3)Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Sayriah kepada :

a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal yang disetor Bank Syariah;

b. anggota dewan komisaris; c. anggota direksi;

d. keluarga kedua belah pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. pejabat bank lainnya; dan

f. perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.

(4)Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(5)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.


(40)

Kemudian, pada Pasal 38 UU No.21 Tahun 2008 tentang Kewajiban Pengelola Risiko :

(1)Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.

(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Selanjutnya, pada Pasal 39 UU No.21 Tahun 2008 tentang Kewajiban Pengelola Risiko adalah Bank Syariah dan UUS wajib menejalskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.

Dan kemudian, pada Pasal 40 UU No.21 Yahun 2008 tentang Kewajiban Pengelola Risiko :

(1)Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

(2)Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Aggunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(3)Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi jumlah kewjiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah seteelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


(41)

Jika tidak ditangani secara baik, maka kredit/pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensi bagi bank. Karena itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Akibatnya kredit/pembiayaan bermasalah menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank. Peranan sektor perbankan adalah menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat ,yaitu antara kepentingan masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (defecit spending units). Dalam menjalankan fungsinya sebagai penerima amanah masyarakat, maka bank adalah selaku lembaga deposito yang bermodalkan keperecayaan semata dari masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, maka bank selaku lembaga pembiayaan yang bermodalkan kepercayaan semata dari masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, maka bank sebagai lembaga perkreditan/pembiayaan harus melakukan analisis melalui prinsip 5c, guna meminimalkan resiko bermasalahnya atau kembalinya kredit. Banyak sumber-sumber yang menyebabkan kredit tersebut menjadi bermasalah.

UU Perbankan Syariah sudah mengatakan konsep penanganan yang bersifat prefentif dengan tidak terjadi kredit/pembiayaan macet yang diuraikan dalam pasal 34 sampai dengan pasal 40 yang meliputi : a) tata kelola perbankan syariah; b) prinsip kehati-hatian; dan c) kewajiban pengelolaan risiko perbankan syariah.


(42)

Upaya mencegah kredit/pembiayaan bermasalah selalu banyak dibicarakan, ba kredit/pembiayaan. Mencegah selalu lebih baik dari pada mengobati. Mencegah kredit/pembiayaan bermasalah adalah mudah dan sukar. Mudah untuk mengatakan dan sukar melaksanakan. Melaksanakan adalah mudah berdasarkan pengetahuan.

Dan untuk mencegah kredit bermasalah kita memerlukan pengetahuan

gaya kredit/pembiayaa

terlibat.

1. Gaya kredit/pembiayaan.

Besar kecilnya jumlah kredit/pembiayaan bermasalah dipengaruhi sistem dan proses pemberian kredit/pembiayaan. Sistem dan proses tersebut, hadir sesuai dengan gaya kredit/pembiayaan yang dianut manajemen bank terkait. Bila bergaya profit tinggi pencarian nasabah pun gencar yang seringkali kualitas kredit/pembiayaan terabaikan. Bila bergaya likuid maka profit tidak optimal. Manajemen bank mencari jalan tengah konflik profit likuid yang lantas merumuskannya dalam target kredit/pembiayaan yang diinginkan, batas-batas kerugian atas penghapusan pinjaman yang ditolerir. Tidak ada titik tengah sempurna antara profit dengan likuid, yang ada adalah situasi dasar penggunaannya. Dalam hal gaya profit ditetapkan, maka menjaga kualitas kredit/pembiayaan dipertahankan sebagai upaya mencegah kredit/pembiayaan bermasalah.

2. Kebijakan.

Kebijakan kredi merupakan sarana utama mengkomunikasikan gaya kredit/pembiayaan. Dalam kebijakan kredit/pembiayaan memuat petunjuk yang dirancang sebagai panduan pemberian kredit/pembiayaan. Agar

kredit/pembiayaan tidak bermasalah maka kebijakan tersebut disosialisasikan secara lengkap dan jelas pada semua karyawan yang terlibat. Kegagalan implementasi kebijakan seringkali karena rendahnya komitmen manajemen, kurang disosialisasikan, bertentangan dengan kebiasaan formal yang dianut manajemen.


(43)

Proses kredit/pembiayaan tidak lain the second line of defence dalam mencegah kredit/pembiayaan bermasalah. Proses ini menuntut kejelasan penyajian, bila tidak jelas maka kredit/pembiayaan akan terus mengalami penurunan kualitas yang terkadang luput dari perhatian manajemen. Proses mencakup proses pemberian kredit/pembiayaan, proses pembinaan kredit/pembiayaan, proses review kredit/pembiayaan, dan proses informasi manajemen untuk portfolio kredit/pembiayaan.

4. Orang yang terlibat.

Orang merupakan the first line of defence dalam mencegah

kredit/pembiayaan bermasalah. Bila setiap kredit/pembiayaan didasari kebijakan yang baik, proses yang baik maka kesempatan

kredit/pembiayaan bermasalah dapat diminimalisasi. Pejabat kredit/pembiayaan yang menjadi contact person utama bagi nasabah

seharusnya menjadi yang pertama mengetahui gejala kredit/pembiayaan bermasalah dan juga yang pertama memulai langkah-langkah penyelamatan. Untuk memastikan bahwa account

officer memiliki kemampuan mencegah dan mendeteksi kredit/pembiayaan bermasalah, maka perekrutan tidak ada jalan

pintu belakang serta selalu membekali account officer dengan

pendidikan latihan secara berkala.37

E. Sistem/Pola hukum penanganan kredit macet pada Bank Muamalat Cabang Medan

Dalam prakteknya, Bank Muamalat menyelesaikan kredit/pembiayaan yang bermasalah dengan 2 (dua) alternatif, yaitu negosiasi dan litigasi :

1. Penyelesaian dengan negosiasi

Bank Muamalat Cab. Medan menyelesaikan kredit/pembiayaan bermasalah dengan negosiasi ini dilakukan terhadap debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dan tidak dapat membayar angsurannya.

Bahkan, terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalanpun dapat dilakukan penyelesaian dengan negosiasi. Apabila ratio


(44)

agunan/jaminan kredit/pembiayaan masih mencukupi dan ada usaha yang dianggap lebih layak dan dapat menghasilkan, maka debitur yang bersangkutan dimungkinkan untuk diberikan suntikan baru yang hasilnya dapat dipergunakan untuk membayar seluruh kewajibannya.

Semua upaya tersebut dengan kredit/pembiayaan yang diselamatkan, yaitu kredit/pembiayaan yang semula tergolong bermasalah kemudian terjadi kesepakatan antara debitur dan Bank Muamalat untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti dengan suatu perjanjian kredit/pembiayaan yang baru, baik berupa novasi, subrogasi, kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit/pembiayaan yang telah ada.

Adapun bentuk penyelamatan kredit/pembiayaan di Bank Muamalat Cab. Medan adalah antara lain:

a. Rescheduling (Penjadwalan kembali)

Yaitu perubahan syarat-syarat kredit/pembiayaan yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang. Termasuk apabila terjadi atau tidak terjadi perubahan besarnya angsuran.

b. Reconditioning (Persyaratan Kembali)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit/pembiayaan yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit/pembiayaan.


(45)

c. Restructuring (Penataan kembali).

Yaitu perubahan syarat-syarat kredit/pembiayaan yang menyangkut penambahan dana Bank Muamalat Cab. Medan, dan/atau konveksi seluruh atau sebagian dari kredit/pembiayaan menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Pada dasarnya tujuan dilakukannya rescheduling, reconditioning,

dan restructuring adalah dalam rangka upaya Bank Muamalat Cabang

Medan untuk membantu nasabahnya yang beritikad baik, pada saat mengalami kesulitan dalam mengelola usahanya yang menyebabkan

berkurangnya/ melemahnya kemampuan untuk memenuhi kewajibannya kepada Bank Muamalat Cabang Medan. Dengan demikian tindakan ini memberikan kesempatan kepada debiturnya

untuk berusaha lagi.

Pada sisi lain, penyelesaian kredit/pembiayaan bermasalah dengan negosiasi ini tidak selalu berakhir dengan keadaan-keadaan di atas, melainkan dapat saja terjadi dengan pelaksanaan penjualan agunan/jaminan kredit/pembiayaan. Penjualan agunan/jaminan kredit/pembiayaan tersebut dilakukan secara bersama-sama atau bank sendiri tanpa adanya perselisihan. Hal ini dapat saja terjadi, utamanya apabila debitur yang bersangkutan mempunyai itikad yang baik dan masih dapat bekerjasama.


(46)

2. Penyelesaian dengan litigasi

Penyelesaian kredit/pembiayaan bermasalah dengan litigasi ini dilakukan baik terhadap debitur yang usahanya masih berjalan maupun terhadap debitur yang usahanya tidak lagi berjalan. Terhadap debitur yang usahanya masih berjalan dilakukan apabila yang bersangkutan tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutangnya, baik pokok maupun bunganya. Sedangkan terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalan lagi dilakukan apabila yang bersangkutan tidak dapat bekerjasama.

Adapun pihak yang dapat menentukan apakah usaha yang dijalankan oleh mudharib telah menyimpang atau tidak dari ketentuan syariah Islam adalah Dewan Pengawas Syariah. Oleh karena itu sebagai jalan agar pihak Bank Muamalat berhak untuk dapat memasuki tempat usaha dan tempat-tempat lainnya untuk mengadakan pemeriksaan terhadap pembukuan, catatan-catatan, transaksi yang berhubungan dengan dijalankannya usaha tersebut oleh mudharib.

Pada prakteknya, Bank Muamalat Cab. Medan menyelesaikan kredit/pembiayaan dengan litigasi ini dilakukan dengan pengajuan gugatan/eksekusi kepada Lembaga Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) karena Bank adalah milik Pemerintah.


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian dan analisis dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Proses pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan pada usaha kecil menurut sistem bank syariah di Bank Muamalat Medan diawali dengan mengisi formulir daftar isian permohonan kredit yaitu untuk memudahkan Bank memperoleh data yang diperlukan maka Bank mempergunakan daftar isian permohonan kredit yang harus diisi oleh nasabah, setelah itu Bank Muamalat mengadakan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan berkas permohonan, permohonan dinyatakan lengkap apabila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk pengajuan permohonan, menurut jenis kreditnya. Kemudian setelah pihak Bank melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan berkas permohonan, pihak Bank Muamalat juga melakukan penyelidikan investigasi dan analisa kredit. Persetujuan permohonan kredit setelah pihak Bank mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit maka dalam


(48)

proses berikutnya pihak bank tetap melakukan pengawasan dan pembinaan kredit dalam pelaksanaan penyusunana dana yang diberikan kepada pengusaha ekonomi kecil.

2. Peraturan perundang-undangan tentang perbankan pasca UU No.7/1992 mengenai penanganan kredit macet pada usaha kecil sudah baik dilakukan pada Bank Muamalat.

3. Bank Muamalat melakukan sistem/pola penanganan kredit macet pada usaha kecil kredit yang bermasalah dengan 2 (dua) alternatif, yaitu negosiasi dan litigasi. Penyelesaian kredit bermasalah dengan negosiasi ini dilakukan kesepakatan antara debitur dan Bank Muamalat untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi, kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada. Kemudian Pada prakteknya, penyelesaian kredit dengan litigasi ini dilakukan dengan pengajuan gugatan/eksekusi kepada Lembaga Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) karena Bank adalah milik Pemerintah.

B. Saran

Dari hasil penelitian maka penulis menyarankan sebagai berikut :

1. Dalam hal pelaksanaan pemberian kredit kepada usaha mikro, kecil, dan Menengah hendaknya bank memberikan keringanan dalam hal jaminan yang harus disediakan debitur sehingga pengusaha kecil dapat menambah modalnya.


(49)

2. Pihak bank hendaknya turun kelapangan yaitu pada usaha kecil untuk dapat melihat lebih jauh tentang kendala-kendala operasional usaha mikro, kecil, dan Menengah itu sendiri dalam hal penggunaan kredit yang diberikan oleh Bank.

3. Disarankan dalam hal ini para pihak termasuk kreditur (bank) dan debitur dalam menyelesaikan masalah kredit yang bermasalah dilakukan dengan cara bermusyawarah dan mufakat sehingga tidak terjadi suatu keadaan yang sangat merugikan kedua belah pihak misalnya dengan jalan penyitaan dan penjualan secara lelang barang-barang jaminan debitur. 4. Kepada bank disarankan hendaknya dalam pemberian dan penyaluran

dana kreditnya kepada masyarakat untuk lebih memperhatikan para ekonomi menengah ke bawah dan memperhatikan juga jalan keluar dari permasalahan jaminan sebagai syarat mutlak peminjaman kredit kepada bank tersebut. Atau dengan kata lain bank dapat lebih melunakkan syarat perkreditan bagi para ekonomi menengah ke bawah.


(50)

A. Pengertian Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah

Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan.19

Yang dimaksud dengan usaha kecil yang dimiliki atau dikuasai oleh usaha menengah atau usaha besar adalah usaha kecil yang merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang sepenuhnya atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh usaha menengah atau usaha besar.

Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No.20 Tahun 2008.

Pengertian Usaha Kecil diatur dalam berbagai ketentuan, antara lain Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, Usaka Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

19

Suhardjono, Ibid, hal 73


(51)

Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan yang lebih besar dari pada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.

Dalam Pasal 1 butir (2) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, usaha kecil adalah: Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi criteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.

Kemudian, Pasal 1 butir 3 UU. No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, pengertian Usaha menengah adalah: Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.

B. Ruang Lingkup Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Ruang lingkup bagi usaha mikro kecil, kredit/pembiayaan dirasa cukup penting mengingat kebutuhan untuk pembiayaan modal kerja dan investasi diperlukan guna menjalankan usaha dan meningkatkan akumulasi pemupukan modal mereka. Permasalahan timbul ketika pengusaha mikro kecil tersebut diperhadapkan kepada kelengkapan persyaratan bank guna memperoleh pinjaman.

Meskipun usaha mereka feasible namun sebagian besar pengusaha mengalami kesulitan dalam penyediaan asset dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi persyaratan jaminan kredit bank.


(52)

Fasilitas kredit kepada usaha kecil atau mikro, dan Menengah diatur dan dimiliki ketentuan serta prosedur yang berbeda, yang secara mudah dapat dilihat dari nama skim fasilitas kredit yang akan diberikan. Oleh karena itu, sekalipun fasilitas kredit diperuntukkan kepada usaha kecil dan atau mikro, tetapi prosedur dan tata cara pemberiannya berbeda antara kebijakan yang satu dengan yang lain.

Tercapainya peningkatan dan pengembangan Usaha Kecil/Mikro dengan tujuan untuk dapat meningkatkan pendapatan serta membuka lapangan pekerjaan. Pelaku usaha/Pengusaha Mikro yang dimaksud dalam skim kredit ini adalah masyarakat yang melakukan usaha produktif di semua sektor ekonomi kecuali sektor agribisnis, merupakan bagian dari keluarga miskin untuk dapat melepaskan diri dari jurang kemiskinan.

Sasaran Kredit Mikro “Utama” adalah segmen pasar kredit skala mikro yang masih memiliki potensi untuk dibiayai dengan kredit, seperti:

a) Perorangan yang memiliki usaha didalam Sektor Ekonomi produktif. b) Kelompok usaha yang memiliki usaha didalam Sektor Ekonomi

produktif, lebih diutamakan untuk kelompok usaha yang berada di lokasi usaha yang sama atau saling menunjang dan atau memiliki potensi pasar ekonomi.

C. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Menurut UU No.20 Tahun 2008 Pasal 6 yakni “Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah sebagai berikut :


(53)

(1)Kriteria Usaha Mikro adalah :

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah) (2)Kriteria Usaha Kecil adalah:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus rupiah).

(3)Kriteria Usaha Menengah adalah :

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasl penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,00 (dua

miliyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliyar rupiah)

Yang dimaksud dengan kekayaan bersih adalah nilai jual dari kekayaan usaha yang dimiliki (asset) setelah dikurangi kewajibannya seperti


(54)

hutang-hutang. Yang dimaksud dengan penjualan tahunan adalah hasil penjualan bersih yang berasal dari penjualan barang dan jasa usahanya dalam satu tahun.

D. Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Bagi usaha mikro, kecil, dan menengah pembiayaan rasa cukup penting mengingat kebutuhan untuk pembiayaan modal kerja dan investasi diperlukan guna menjalankan usaha dan meningkatkan akumulasi pemupukan modal mereka. Permasalahan timbul ketika pengusaha mikro, kecil dan menengah tersebut diperhadapkan kepada kelengkapan persyaratan bank guna memperoleh pinjaman.

Meskipun usaha mereka feasible namun sebagian besar pengusaha mengalami kesulitan dalam penyediaan asset dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi persyaratan jaminan kredit bank.

Penjaminan kredit adalah kegiatan pemberian penjaminan kepada koperasi, usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki agunan atau agunannya tidak mencukupi agar dapat memperoleh kredit dari perbankan atau badan usaha pemberi kredit lainnya. Penjaminan kredit berbeda dengan asuransi kredit, karena dalam asuransi kredit resiko yang dijamin adalah resiko bank, sedang dalam penjaminan kredit maka yang dijamin adalah debitur sedang perusahaan penjaminan adalah sebagai penjamin. Disamping itu di dalam penjaminan kredit dikenal adanaya piutang subrogasi, yaitu kewajiban debitur untuk melunasi hutangnnya kepada perusahaan penjamin atas kerugian yang telah dibayarkan perusahaan penjamin kepada kreditur akibat kemacetan kredit debitur.20

Pendirian perusahaan penjaminan kredit dalam praktek di beberapa negara, pada umumnya diprakarsai oleh pemerintah. Alasan dari penerapan penjaminan kredit pada dasarnya antara negara satu dengan yang lain adalah

20


(55)

sama, yaitu memberikan motivasi kepada bank agar mengucurkan kredit kepada kelompok usaha yang tidak memiliki akses kredit dalam persyaratan standar kredit.

Pasal 21 UU No.20 Tahun 2008 tentang pembiayaan & pinjaminan Usaha Mikro dan Kecil adalah :

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil.

(2) Badan usaha milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada usaha mikro dan kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah dan pembiayaan lainnya.

(3) Usaha besar nasional an asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada usaha mikro dan kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah dan pembiayaan lainnya.

(4) Pemerintah, pemerintah Daerah dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk usaha mikro dan kecil.

(5) Pemerintah dan pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringinan tariff sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil.

Selanjutnya, Pasal 22 UU No.20 Tahun 2008 tentang pembiayaan dan penjaminan Usaha Mikro dan Kecil, bahwa dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya :

a. Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;

b. Pengembangan lembaga modal ventura; c. Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang

d. Peningkatan kerja sama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan


(56)

e. Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, Pasal 23 UU No.20 Tahun 2008 tentang pembiayaan dan penjaminan Usaha Mikro dan usaha Kecil adalah :

(1)Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pambiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah :

a. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;

b. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan

c. Memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.

(2)Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap pinjaman atau kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara :

a. Meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha;

b. Meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman; dan

c. Meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha.

Pasal 24 UU No.20 Tahun 2008 tentang pembiayaan dan penjaminan Usaha Menengah, bahwa Pemerintah dan Pemerintah daerah melakukan pemberdayaan usaha menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan dengan :

a. Memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal dan lembaga pembiayaan lainnya, dan

b. Mengembangkan lembaga penjamin kredit dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.


(57)

Secara teoritis terdapat beberapa jenis skema penjaminan kredit, sebagaimana yang disampaikan oleh Alvaro Ruiz Navajas 9 , yaitu :21

Model ini dikaitkan dengan cara penjaminan kredit. Dalam individual model, debitur secara individu akan dijamin kreditnya oleh lembaga penjaminan setelah memperoleh persetujuan kredit dari bank. Debitur harus membayar fee penjaminan yang besarnya disesuaikan dengan total kredit atau jumlah kredit yang dijaminkan. Sedangkan di dalam portfolio model, jaminan tidak diberikan secara individual melainkan penjamin akan secara otomatis memberikan jaminan kepada kredit yang di cairkan oleh bank sepanjang memenuhi kriteria yang telah disepakati oleh a. Direct Model dan Indirect Model.

Skema penjaminan ini lebih memperhatikan sistem hubungan antara debitur dengan penjamin. Dalam model langsung (direct model) maka penjaminan diberikan oleh penjamin kepada debitur atas dasar pengajuan penjaminan dari bank. Penjamin akan menutup kerugian dalam jumlah tertentu apabila terjadi default sesuai dengan perjanjian. Sedang dalam model tidak langsung (indirect model), maka penjamin menempatkan dana penjaminan di bank, dan program penjaminan dilakukan tanpa keterlibatan secara langsung dari penjamin. Penjamin kredit hanya menerima progress report saja.


(58)

kedua belah pihak. Keuntungan dari porfolio model adalah maksimum kerugian akibat default dapat diperkirakan sebelumnya.

c. Funded Model dan Unfunded Model

Model ini dikaitkan dengan sumber dana penjaminan. Funded model adalah model penjaminan dimana dana penjaminan tidak berasal dari pemerintah namun dapat berasal dari dari bank sentral, atau perbankan atau sumber dana bersama antara perbankan dan non perbankan. Dalam hal unfunded model, pemerintah menempatkan sejumlah dana di bank guna menjamin kredit yang diberikan oleh bank. Apabila terjadi default, maka bank ikut menanggung resiko yang pada umumnya maksimum sebesar 25%. d. Open model dan target (close) model

Dalam model ini dikaitkan dengan kelompok pengusaha yang akan dijamin. Dikatakan sebagai open model bila penjaminan diberikan kepada kelompok debitur tertentu tanpa dikenakan persyaratan tambahan. Sedang dalam close model, maka terhadap kelompok debitur tersebut dikenakan persyaratan tertentu sebagai persayaratan tambahan.

e. Ex-ante Model dan Ex-post Model

Model ini mendasarkan pada waktu penerbitan penjaminan. Dalam model Ex-ante, maka debitur akan mengajukan permohonan penjaminan terlebih dahulu kepada lembaga penjaminan, apabila disetujui maka akan


(59)

diterbitkan surat penjaminan untuk selanjutnya oleh calon debitur dipakai guna mengajukan permohonan kredit bank. Bank dapat menolak permohonan kredit calon debitur tersebut bila menurut penialain bank, usaha debitur tidak layak dibiayai. Sedang dalam model Ex-post, maka pengajuan penjaminan dilakukan setelah ada persetujuan kredit. Biasanya pengajuan penjaminan dilakukan oleh bank.

f. Intermediary model.

Penjaminan diberikan kepada bank yang memberikan kredit kepada lembaga keuangan mikro, dimana kredit bank tersebut dipergunakan oleh lembaga keuangan mikro untuk membiayai kredit usaha mikro. Usaha yang tidak bankable dipandang oleh bank mengandung default risk atau kredit macet. Pada prakteknya untuk menekan resiko kredit macet tersebut bank mewajibkan jaminan tambahan untuk kredit yang diberikan, mengasuransikan baik kredit yang diberikan maupun jaminan kredit yang dimiliki nasabah atau bahkan menolak pemberian kredit meskipun usaha calon debitur memiliki prospek yang sangat memadai. Upaya menekan resiko kredit macet menjadi penghambat bagi upaya perluasan akses kredit bagi usaha usaha yang feasible.

Kasmir mengemukakan bahwa jaminan yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut :22

1. Dengan jaminan


(1)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap masalah pinjaman kredit dari bank kepada usaha kecil di Bank Muamalat Cabang Medan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Faktor Penyebab Kredit/Pembiayaan Macet pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pelaksanaan Pemberian Kredit (Pembiayaan menurut sistem bank syariah) pada Usaha Mikro, Kecil & Menengah Bank Muamalat Cabang Medan, Konsep Penanganan Kredit Macet dalam Peraturan perundang-undangan Pasca UU. No.7/1992, dan Sistem/Pola hukum penanganan kredit macet pada Bank Muamalat Cabang Medan.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian, baik yuridis normatif maupun yuridis empiris. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder. Sedangkan, Metode penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum yang memperoleh data dari sumber data primer.

Penanganan kredit bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Penanganan dapat melalui salah satu cara ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara yudisial melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan melalui Lembaga Paksa Badan. Karena itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Akibatnya kredit bermasalah menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank peranan UMKM adalah menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat, yaitu antara kepentingan masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (defecit spending units). Dalam menjalankan fungsinya sebagai penerima amanah masyarakat, maka bank adalah selaku lembaga deposito yang bermodalkan keperecayaan semata dari masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, maka bank sebagai lembaga perkreditan, harus melakukan analisis melalui prinsip 5c, guna meminimal resiko bermasalahnya atau kembalinya kreditBank Muamalat Cabang Medan menyelesaikan kredit bermasalah dengan negosiasi ini dilakukan terhadap debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dan tidak dapat membayar angsurannya. Semua upaya tersebut dengan kredit yang diselamatkan, yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah kemudian terjadi kesepakatan antara debitur dan Bank Muamalat untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi, kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada. Pada prakteknya, Bank Muamalat Cabang Medan menyelesaikan kredit dengan litigasi ini dilakukan dengan pengajuan gugatan/eksekusi kepada Lembaga Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) karena Bank adalah milik Pemerintah.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, karena berkat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Pendidikan Program Strata 1 (S-1) di Fakultas Hukum Unuversitas Sumatera Utara, guna memperoleh gelar sarjana Hukum.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan atau masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini di sebabkan keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu untuk kesempurnaan Skripsi ini penulis mengharapkan saran, kritik, dan perbaikkan dari pembaca yang sifatnya konstruktif.

Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan dan bimbingan serta dorongan semangat dari beberapa pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ingin menngucapkan terima kasih dan rasa penghargaan kepada :

1. Teristimewa penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah serta kekuatan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih yang tiada hingga kepada Alm. M. Usman Effendi (Atok), Yusna (Nenek), Nisma, BA (Mama) dan Irma Putri Ellyza, SE (Kakak) yang penulis sayangi yang telah banyak mendukung dan membantu baik bantuan moral dan material serta do’a dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan Skripsi ini.


(3)

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Husni, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberi bimbingan dan masukkan-masukkan yang sangat berharga.

8. Bapak Mulhadi, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi petunjuk dan bimbingan yang sangat bermanfaat.

9. Bapak Pimpinan beserta seluruh staf karyawan Bank Muamalat Cabang Medan yang telah membantu dan memberi izin kepada penulis dalam memperoleh data dan mengadakan penelitian dalam upaya melengkapi Skripsi ini.

10.Seluruh Dosen pengajar dan staf yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis sejak di bangku kuliah.

11.Kepada Sahabat penulis, Irma Yanti Mahraeni, Amd dan Debby Amalia, SH., yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini.


(4)

12.Kepada seluruh teman-teman angkatan 2005 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya M. Rafi Erlangga dan Khori Tifani Lubis yang selalu mendukung dalam menyelesaikan Skripsi ini.

13.Kepada orang-orang yang mencintai, yang menyayangi dan yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak / Ibu Dosen dan semua rekan-rekan atas segala kesilapan yang telah penulis perbuat selama ini, dan penulis berharap semoga Skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya. Amin

Medan, Juni 2009 Penulis


(5)

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang. ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : USAHA MIKRO, KECIL & MENENGAH A. Pengertian Usaha Mikro, Kecil & Menengah ... 18

B. Ruang Lingkup Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 19

C. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 20

D. Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 22

E. Jenis-jenis Pembiayaan Syariah Untuk Usaha Kecil Mikro, Kecil dan Menengah ... 28

BAB III : BANK SYARIAH A. Pengertian Bank Syariah ... 33

B. Prinsip-prinsip Bank Syariah ... 38

C. Sistem Operasional Syariah ... 42


(6)

D. Pembiayaan Berdasarkan Sistem Bank Syariah ... 44

BAB IV : PENANGANAN KREDIT / PEMBIAYAAN MACET PADA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DI BANK MUAMALAT

A. Bank Muamalat dan Perkembangannya ... 52 B. Faktor Penyebab Kredit/ Pembiayaan Macet pada Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah ... 56 C. Pelaksanaan Pemberian Kredit (Pembiayaan menurut

sistem Bank Syariah) pada Usaha Mikro, Kecil & Menengah Bank Muamalat Cabang Medan ... 61 D. Konsep Penanganan Kredit Macet dalam Peraturan

perundang-undangan Pasca UU. No. 7/1992... 65 E. Sistem/Pola Hukum Penanganan Kredit Macet pada Bank

Muamalat Cabang Medan ... 71

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA