SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PERALIHAN HAK PATEN MELALUI LISENSI WAJIB

Selanjutnya pembatalan lisensi wajib untuk paten hanya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI bila ada permohonan dari pemegang paten yang bersangkutan berdasarkan alasan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 83, yaitu: 1 Atas permohonan Pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab V Bagian Ketiga Undang-undang ini apabila: a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi-wajib tidak ada lagi; b. penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi-wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya; c. penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi-wajib. 2 Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dicatat dan diumumkan. Menurut Pasal 84, lisensi wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan. Dengan berakhirnya lisensi wajib, penerima lisensi wajib berkewajiban untuk menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Selanjutnya, Direktorat Jenderal HKI akan mencatat dan mengumumkan lisensi wajib yang telah berakhir itu. Dengan demikian, berakhirnya suatu lisensi wajib karena selesainya jangka waktu pemberian lisensi wajib atau pemberian lisensi wajib dibatalkan oleh Direktorat Jenderal HKI. Pasal 85 menegaskan, bahwa berakhir atau batalnya lisensi wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 atau Pasal 84, maka berakibat pulihnya hak pemegang atas paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya. Kemudian dalam Pasal 86 dinyatakan lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. Lisensi wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

III. SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PERALIHAN HAK PATEN MELALUI LISENSI WAJIB

Dalam Pasal 69 UU Paten, dinyatakan pemegang Paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup lisensi meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Repubiik Indonesia. Berdasarkan Pasal 69 tersebut, lisensi paten memberikan hak kepada pihak lain selaku pemegang lisensi paten untuk: a. dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produkyang diberi paten; b. dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud di atas; c. melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan paten proses yang dimilikinya. Pada dasarnya, perjanjian lisensi ini dimaksudkan sebagai salah satu sarana proses alih teknologi. Dengan adanya perjanjian lisensi, diharapkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia juga dapat menikmati kemajuan. Bahkan, dapat menguasai teknologi yang sama yang berkembang di negara maju. Karena itu, sudah seyogyanya dalam perjanjian lisensi dicantumkan pula klausula yang mewajibkan pemberi lisensi untuk melakukan alih teknologi kepada penerima lisensi. 44 Paten diberikan untuk Invensi-invensi dalam bidang teknologi. Negara kita saat ini baru pada tahap pemanfaatan teknologi, belum pada tahap Invensi teknologi. Karena itu, salah satu cara untuk dapat menguasai teknologi adalah dengan melakukan proses alih teknologi. Ada tiga fase alih teknologi ini, yaitu: 45 1. Transfer material. Dalam fase ini, alih teknologi seperti ilmu pengetahuan tidak dilakukan tetapi hanya hasil-hasil alih teknologi, misalnya mesin- mesin, bahan-bahan, alat-alat yang terkait dengan mesin-mesin dan bahan- bahan itu; 2. Transfer rancang bangun. Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan dengan unsur-unsur rancang bangun, misalnya cetak biru blue prints, desain, formula, dan Iain-Iain. Bahkan, jika penerima transfer dapat membuat barang-barang sesuai dengan rancang bangun ia masih harus mengimpor mesin-mesin, bahan-bahan, dan Iain-lain dari pemberi transfer dan kebergantungan kepada pemberi transfer masih kuat; 3. Alih kemampuan. Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan melalui pengalihan ilmu pengetahuan, keahlian keterampilan, dan juga para pakar. Dengan fase ini, penerima transfer dapat membuat tidak hanya berdasar rancang bangun, formula, dan Iain-Iain, tetapi juga perbaikan dan diversifikasi produk. 44 Rachmadi Usman, op. cit., hal. 265. 45 Insan Budi Maulana, Lisensi Paten, PT. Citra Aditya Bakti, BAndung, 1996, hal. 81. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Terdapat beberapa mekanisme yang banyak dilakukan dalam rangka alih teknologi tersebut, yaitu: 46 1. sistem joint venture dengan minoritas asing, partner nasional mengadakan persetujuan know-how dengan partner asing pemegang lisensi asing; 2. pabrik dibangun dengan kontrak turn key antara pengusaha nasional dan kontraktor asing, tetapi dilengkapi dengan persetujuan lisensi antara pengusaha nasional itu dengan pemegang lisensi melalui kontraktor asing tersebut; 3. pabrik dibangun oleh pengusaha nasional dengan bantuan dari lembaga peneliti riset nasional yang memberikan lisensi know-how atau paten asing yang biasanya masih dalam taraf laboratorium pilot scale; 4. pabrik dibangun dengan desain dari biro teknik nasional sebagai licensing agency dari pemegang lisensi teknologi; 5. pabrik dibangun oleh pengusaha nasional berdasarkan lisensi teknologi yang dibeli langsung dari pihak luar negeri yang memegang lisensinya. Di samping lisensi paten, dikenal pula pranata know-how transfer. Dua- duanya merupakan hal yang mirip-mirip, tetapi differensiasinya terletak pada tujuan dari masing-masing pranata tersebut. Dalam lisensi paten terdapat pemberian izin dari pemilik paten kepada pemegang lisensi, dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh digunakannya. Sedangkan dengan know-how transfer, juga terdapat semacam pemberian izin jadi sebenarnya bukan transfer dalam arti menjual, juga dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu, yang sebelumnya pihak yang menerima transfer tidak mengetahui bagaimana cara menggunakannya, dan yang dengan alasan-alasan praktis tidak bermaksud mengembangkannya sendiri. Pengertian transfer di sini sebenarnya sejenis lisensi juga. 47 Dengan pemberian lisensi tersebut, tidak menyebabkan pemegang paten kehilangan haknya untuk melaksanakan sendiri paten yang dipunyainya atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan paten yang dipunyainya tersebut. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 70 UU Paten, kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Umumnya, pemilik dan pemegang lisensi akan bernegosiasi dan mengadakan mufakat tentang pemberian pemanfaatan ekonomi HaKI dalam cakupan lisensi. Cakupan lisensi yaitu, batasan mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan 46 Amir Pamuntjak, Sistem Paten Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, 1994, hal. 13. 47 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 115. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 pemegang lisensi terhadap HaKI yang dialihkan dan biasanya diuraikan dalam perjanjian lisensi. Perjanjian lisensi atau konrak biasanya tertulis, yang mencakup paling tidak: 48 1. Memerinci HaKI yang dilakukan haknya; 2. Mengidentifikasi pemilik HaKI dan hak-hak mereka; 3. Menjelaskan pemegang HaKI dan hak-hak mereka dalam menggunakan HaKI. 4. Menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan dan melindungi HaKI biasanya pemilik; 5. Menentukan jangka waktu lisensi misalnya, satu tahun, tida gahun dan sebagainya; 6. Menentukan apakah lisensi tersebut dapat diperpanjang dan dengan persyaratan yang bagaimana; 7. Menguraikan tindakan atau kerjadian yang melanggar kesepakatan; 8. Menguraikan tindak atau kejadian yang secara otonomatis mengakhiri kontrak; 9. Memutuskn prosedur penyelesaian sengketa; 10. Menentukan hukum yang mengatur masalah kontrak ini. Perjanjian lisensi bisa merupakan kontrak-kontrak yang sederhana, pendek, atau panjang sangat detil bagaikan sebuah buku. Seringkali perjanjian lisensi merupakan perjanjian standar, dimana licensor pemilik HaKI menguasai isi dari kontrak dan tidak ada kemungkinan tawar menawar bagi Penerima Lisensi. Di beberapa Negara, pemerintah akan meneliti apakah kontrak lisensi sesuai dengan: hokum perjanjian, undang-undang, undang-undang hak monopoli, undang-undang penanaman modal, dan kebijakan publik dan kepentingan umum. Persyaratan dalam perjanjian lisensi merupakan hal yang cukup penting. Jika syarat-syarat dari lisensi tidak dinegosiasikan dan disetujui oleh pihak-pihak, hukum akan menyikapi atau menganggap bahwa pihak-pihak tadi tidak membuat persyaratan apapun dalam perjanjian mereka. Sebagai contoh: 49 1. Kecuali suatu perjanjian lisensi secara eksplisit menyatakan lisensi tersebut eksklusif, hukum seringkali menganggap bahwa lisensi-lisensi tersebut adalah non-eksklusif. 2. Seorang pemegang lisensi HaKI dianggap mendapatkan semua hak-hak kepemilikan atas HaKI selama jangka waktu yang diperjanjian. 3. Kecuali perjanjian lisensi menentukan suatu jangka waktu misalnya, satu tahun, hukum akan menyimpulkan jangka waktu yang pantas, yang tentunya untuk kasus-kasus tertentu. 48 Tim Lindsey, op. cit., hal. 333. 49 Ibid., hal. 334-335. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 4. Kecuali perjanjian lisensi menentukan tanggal akhir perjanjian atau jelas mengenai, berapa kali perjanjian dapat diperpanjang dan untuk berapa lama, hukum akan menganggap bahwa perjanjian lisensi tersebut secara otomatis bisa diperpanjang. Bahkan, jika ada sengketa tentang pemutusan perjanjian hukum akan menyikapi masa pemberitahuan yang panjang misalnya, 3 bulan sampai 2 tahun sebelum perjanjian tersebut dapat diakhiri secara hukum. Di negara-negara tempat perjanjian lisensi harus didaftarkan sebelum diberlakukan, pendaftaran merupakan suatu hal yang penting. 50 Pasal 72 UU Paten mewajibkan perjanjian lisensi dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensinya tidak dicatat di Direktorat Jenderal HaKI, perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Ketentuan ini sama dengan Undang-undang Paten yang lama, yang juga mewajibkan perjanjian lisensi untuk didaftarkan pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya tertentu. Namun, dalam Undang-undang Paten yang lama, masih belum diatur akibat hukum seandainya perjanjian lisensi itu tidak dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI. Akan tetapi, kini dalam Undang-undang Paten yang baru, mengenai akibat hukum dart perjanjian lisensi yang tidak dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI diancam tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, bahwa perjanjian lisensi tersebut tidak mengikat terhadap pihak ketiga, karena belum dicatat dan diumumkan. Kewajiban pencatatan dan pengumuman perjanjian paten ini dapat menangkal restrictive business practice. Hal tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh Mexico, yang mewajibkan setiap perjanjian lisensi harus didaftarkan. Dengan didaftarkannya perjanjian lisensi tersebut dapat ditangkal perjanjian yang mengandung persyaratan yang tidak adil dan tidak wajar. 51 Dalam UU Paten tidak diatur lebih lanjut mengenai ruang lingkup isi dari peerjanjian lisensi paten, hanya Pasal 73 UU Paten mengamanatkan kalau ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi tersebut diatur dengan peraturan pemerintah. Sampai saat ini peraturan pemerintah yang dimaksud masih belum ada. Karena itu, pembuatan perjanjian lisensi tetap tunduk pada ketentuan umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Namun, secara khusus Pasal 71 UU Paten melarang dicantumkannya ketentuan dalam perjanjian lisensi paten yang berisikan ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan 50 Ibid., hal. 335. 51 Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, op. cit., hal. 121. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Dalam hal ini Direktorat Jenderal HaKI mempunyai hak menolak permohonan pencatatan perjanjian lisensi paten yang memuat ketentuan tersebut. 52 Ketentuan Pasal 71 ini justru sebenarnya kembali kepada kesiapan bangsa Indonesia untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul dari perjanjian lisensi itu. Kadang-kadang mungkin dalam kajian ekonomi mikro ada hal-hal yang terlihat merugikan, tetapi dalam kajian ekonomi makro, justru untuk jangka waktu yang panjang akan memberikan keuntungan sendiri. Oleh karena itu, dalam hal perjanjian lisensi ini pemerintah seyogyanya melibatkan para pakar ekonomi dan politik, khususnya pakar politik ekonomi internasional. Agar pilihan untuk perjanjian lisensi itu tidak semata-mata atas pertimbangan kepentingan ekonomi nasional yang bersifat sesaat, tetapi untuk jangka waktu yang panjang, sekaligus menjadikan negara ini berwibawa di masa dunia. Dengan demikian, untuk jangka panjang menarik minat para investor asing, untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Oleh karena itu pula, ketentuan tersebut perlu menghendaki pertimbangan yang benar-benar matang secara ekonomi, matang secara politik dan akhirnya dapat memberikan solusi juridis yang tepat. 53 Pengalihan paten, selain melalui perjanjian lisensi sukarela, dapat pula dilakukan dengan melalui lisensi wajib atau lisensi paksa compulsory licenses atau other use without the authorization of the right holder. Istilah compulsory licenses dipergunakan oleh Paris Convention, dalam Pasal 5A Paris Convention disimpulkan bahwa pemberian lisensi wajib untuk paten dimungkinan, dengan ketentuan bahwa: 54 1. pemberian lisensi wajib tersebut bukan merupakan suatu keharusan, melainkan suatu hal yang diperbolehkan; 2. lisensi wajib hanya diberikan untuk menghindari atau mencegah terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran yang diakibatkan dari pelaksanaan hak-hak eksklusif yang telah diberikan oleh negara, misalnya tidak dilaksanakannya paten yang telah diberikan perlindungan tersebut; 3. dalam hal ketiadalaksanakan paten, maka pembatalan paten hanya dapat dilakukan sebelum berakhir masa dua tahun dari pemberian lisensi wajib yang pertama; 52 Rahmadi Usman, op. cit., hal. 268. 53 Saidin, op. cit., hal. 195. 54 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Rahasia Dagang, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 39. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 4. pemberian lisensi wajib itu sendiri baru dapat diberikan dalam jangka waktu empat tahun terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan paten atau tiga tahun terhitung sejak tanggal pemberian paten yang bersangkutan; 5. lisensi wajib bersifat non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan, bahkan ke dalam bentuk pemberian sublisensi sekalipun. Kemudian mengenai lisensi wajib untuk paten juga disebutkan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 44 dan mengenai lisensi hak disebutkan dalam Pasal 45 Paris Convention, Model Law for Developing Countries on Inventions. Dari pasal- pasal tersebut dapat diketahui bahwa lisensi wajibnya juga akan bersifat non eksklusif dan pemberiannya didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 55 a. invensi yang telah mendapat perlindungan paten tersebut telah dilaksanakan di dalam negeri, tetapi pelaksanaan belum memenuhi syarat- syarat yang telah ditentukan; b. pelaksanaan Invensi di dalam negeri tidak memenuhi syarat-syarat yang layak bagi permintaan akan produk; c. pelaksanaan Invensi di dalam negeri terhambat atau dirintangi oleh kepentingan produk barang yang telah mendapat perlindungan paten; d. dengan alasan penolakan dari pemegang paten untuk memberikan lisensi- lisensi atas dasar syarat-syarat yang layak, pengadaan atau pengembangan kegiatan-kegiatan perindustrian atau komersial di dalam negeri dipraduga secara tidak wajar dan dapat merugikan sekali; e. paten produk dan paten proses tersebut dinyatakan penting sekali untuk pertahanan atau perekonomian negara atau untuk kesehatan masyarakat umum publik; f. jika invensinya digunakan untuk melayani tujuan-tujuan perindustrian yang berbeda dari tujuan-tujuan Invensi yang sebelumnya atau merupakan kemajuan teknik yang penting sehubungan dengan Invensi yang telah diberikan paten Sedangkan istilah other use without the authorization of the right holder dipergunakan oleh Persetujuan TRIPsGATT. Berdasarkan Pasal 31 Persetujuan TRIPsGATT diketahui bahwa Persetujuan TRIPsGATT secara khusus menyebutkan empat pertimbangan yang menjadi dasar pemberian lisensi wajib untuk paten, yaitu: 56 1. Karena keperluan yang sangat mendesak emergency and extreme urgency; 2. demi kepentingan praktik persaingan usaha yang tidak sehat anti- competitive practices; 3. Dalam rangka penggunaan yang bersifat non-komersial untuk kepentingan umum public non-commercial; 4. Adanya saling kebergantungan paten yang ada dengan yang sesudahnya dependent patents. 55 Rahmadi Usman, op. cit., hal. 270-271. 56 Gunawan Widjaya, op. cit., hal. 37. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Perlu dicatat bahwa Persetujuan TRIPs tidak menyebutkan pengaturan mengenai perlindungan lingkungan maupun kepentingan public public interest sebagai alasan diperkenankannya pemberian lisensi wajib oleh lembaga yang berwenang. 57 Di Indonesia, ketentuan mengenai lisensi wajib untuk paten diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 87 UU Paten. Pasal 74 memberikan rumusan pengertian lisensi wajib sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ini, lisensi wajib hanya akan diberikan bila sebeiumnya terdapat permohonan suatu pihak kepada Direktorat Jenderal HaKI untuk melaksanakan paten yang telah dilindungi. Pengajuan permohonan lisensi wajib tersebut dapat dilakukan oleh setiap pihak setiap saat atau setelah lewat jangka waktu 36 tiga puluh enam bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten dengan membayar biaya dan diajukan kepada Direktorat Jenderal HaKI. Keputusan pemberian lisensi wajib hams dilakukan atau diberikan oleh Direktorat Jenderal HaKI dalam jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh bulan sejak diajukannya permohonan lisensi wajib yang bersangkutan. Menurut UU Paten terdapat beberapa alasan yang dapat digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan lisensi wajib untuk paten tersebut, yaitu: 1. paten yang bersangkutan yang sudah dilindungi tidak dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang patennya Pasal 75 ayat 2; 2. paten yang bersangkutan yang sudah dilindungi dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang patennya Pasai 75 ayat 2; 3. paten yang sudah dilindungi telah dilaksanakan oleh pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat Pasal 75 ayat 3. Kemudian menurut Pasal 82, lisensi wajib dapat pula sewaktu-waktu tanpa memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan lisensi wajib dimintakan oleh pemegang paten atas alasan bahwa pelaksanaan patennya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lain yang telah ada. Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindungi paten. Oleh karena itu, pelaksanaan paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi paten yang dimiliki oleh pihak lain. Apabila pemegang paten terdahulu 57 Ibid., hal. 37. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 memberi lisensi kepada pemegang paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya paten berikutnya, dalam hal ini tidak ada masalah pelanggaran paten. Akan tetapi, kalau lisensi untuk itu tidak diberikan semestinya, undang-undang menyediakan jalan keluarnya. Agar paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan, sudah sewajarnya bila yang terakhir ini juga dimungkinkan untuk melaksanakannya tanpa melanggar paten yang terdahulu. Hal ini hanya dapat terlaksana apabila lisensi wajib diberikan oleh Direktorat Jenderal HaKI. Permohonan lisensi wajib karena atas dasar alasan ini hanya dapat dipertimbangkan apabila paten yang akan dilaksanakan benar-benar mengandung unsur pembaharuan yang nyata-nyata lebih maju dari paten yang telah ada tersebut. 58 Dalam hal yang demikian, maka pemegang paten berhak untuk saling memberikan lisensi untuk menggunakan paten pihak lainnya berdasarkan persyaratan yang wajar, dan penggunaan paten oleh penerima lisensi tidak dapat dialihkan, kecuali bila dialihkan bersama-sama dengan paten lain. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat 2 dan ayat 3 serta Pasai 82 UU Paten tersebut, pengajuan permohonan lisensi wajib tidak hanya terbatas pada alasan bahwa invensi yang telah dilindungi paten tidak atau belum dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang patennya, tetapi juga dapat diajukan terhadap invensi yang telah dilindungi paten dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang patennya atau terhadap invensi yang telah dilindungi paten yang berikutnya tetapi ada kaitannya dengan invensi yang telah dilindungi paten terdahulu atau sebelumnya. 59 Lebih lanjut Pasal 76 ayat 1 menyatakan bahwa selain kebenaran alasan- alasan di atas, lisensi wajib untuk paten hanya akan diberikan apabila pemohon dapat menunjukkan bukti kemampuan untuk melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan secara penuh, mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan paten yang bersangkutan dengan secepatnya, dan telah berusaha mengambil langkah- langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari pemegang paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan Direktorat Jenderal HaKI berpendapat bahwa paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat. 58 Rahmadi Usman, op. cit., hal. 276. 59 Ibid., hal. 277. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Menurut Pasal 76 ayat 2 dan ayat 3, pemeriksaan permohonan lisensi wajib dilakukan sendiri oleh Direktorat Jenderal HaKI. Dalam kaitan ini, untuk lebih meyakinkan Direktorat Jenderal HaKI dalam memberikan keputusan, dengan mendengar pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta pemegang paten yang bersangkutan. Lamanya jangka waktu pemberian lisensi wajib tersebut tidak lebih lama daripada jangka waktu perlindungan patennya. Artinya, jangka waktu lisensi wajib tidak boleh melebihi jangka waktu perlindungan paten yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu, Direktorat Jenderal HaKI dapat menunda keputusan pemberian lisensi wajib tersebut untuk sementara waktu atau bahkan menolaknya sama sekali. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 77 yang menyatakan, bahwa apabila berdasarkan bukti serta pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait serta pemegang paten, Direktorat jenderal memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu 36 tiga puiuh enam bulan yang dipersyaratkan belum cukup bagi pemegang paten untuk melaksanakan secara komersiai di Indonesia atau lingkup wilayah yang lebih luas secara geografis, Direktorat Jenderal HaKI dapat menunda keputusan pemberian lisensi wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya. Pemberian lisensi wajib dilakukan dengan Keputusan Direktorat Jenderal HaKI. Adapun hal-hal yang mesti dicantumkan dalam pemberian lisensi wajib sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79 UU Paten meliputi: a. lisensi wajib bersifat non-eksklusif; b. alasan pemberian lisensi wajib; c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian lisensi wajib; d. jangka waktu lisensi wajib; e. besarnya royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi wajib kepada pemegang paten dan cara pembayarannya. f. syarat berakhirnya lisensi wajib dan hal yang dapat membatalkannya; g. lisensi wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri; dan h. Lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil. Berhubung penerima atau pemegang lisensi wajib mendapatkan keuntungan yang bersifat ekonomis, kepadanya diwajibkan untuk memberikan royalti sebagai imbalan yang diberikan oleh penerima atau pemegang lisensi kepada pemegang paten atas pelaksanaan invensinya. Imbalan dapat berupa uang atau bentuk lainnya yang disepakati oleh para pihak. Pasal 78 UU Paten, menyatakan bahwa pelaksanaan lisensi wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi wajib kepada pemegang paten, yang besarnya dan cara pembayarannya ditetapkan oleh Direktorat Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Jenderal HaKI. Periu diingat, penetapan besarnya royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi atau perjanjian lain yang sejenis. Perjanjian lain yang sejenis adalah perjanjian yang lazim dibuat dalam rangka pengalihan kemampuan atau pengalihan pengetahuan tentang teknologi yang tidak dipatenkan know how and technology transfer. Terdapat beberapa cara atau metode pembayaran royalti ini, yaitu: 60 1. pembayaran suatu jumlah sekaligus; 2. persentase harga jual; 3. pembayaran jumlah tertentu dihitung tiap masing-masing komponen yang dibuat; 4. persentrase dari profit; 5. partisipasi pihak pemberi lisensi dalam perusahaan penerima lisensi melalui pemilikan saham; 6. membayarnya dengan barang imbal jual atau dengan jasa, seperti jasa melakukan riset, dan sebagainya. Pembayaran dengan jumlah tertentu dan dilaksanakan sekaligus sering disebut dengan sebutan lump-sum atau paid-up license, sedangkan apabila jumlah tertentu juga dibayar sebagian lebih dahulu disebut dengan down payment. Pembayaran sekaligus mengandung beberapa nilai plus, bagi penerima lisensi maupun pemberi lisensi. Keuntungan penerima lisensi, dia sejak semula mengetahui berapa persisnya yang harus dibayar, sehingga dapat dikalkulasikan untuk investasi dan harga dan omzetnya tidak perlu diper-tanggungjawabkan. Sedangkan keuntungan pemberi lisensi, tahu dengan pasti berapa pemasukannya dan kepastian pembayaran, walaupun misalnya nanti timbul sengketa antara mereka. 61 . Apabila pembayarannya dilakukan dengan persentase tertentu, ini sering disebut dengan royalti, walaupun dalam praktik terhadap kata royalti digunakan untuk segala jenis pembayaran. Ada beberapa keuntungan pembayaran secara persentase ini, kepada pemberi lisensi, akan diterima keuntungan apabila lisensi tersebut sukses, sehingga mendapat pembayaran tinggi dan penerima lisensi bersedia melakukan kontrak lisensi dalam jangka waktu yang lebih lama. Di samping itu, pemberi lisensi juga mendapat keuntungan, karena dalam rangka persaingan, dia akan mengetahui dengan baik omzet penerima lisensi. Sedangkan bagi penerima lisensi, pembayaran dengan persentase ini juga menguntungkan, karena dia tidak perlu membayar sebelum bisa mendapatkan hasil dari objek lisensi. Dan jika usaha tidak berjalan dengan baik, dia malahan tidak perlu bayar. Namun, inilah yang sering jadi 60 Munir Fuady, op. cit., hal. 118. 61 Ibid., hal. 118-119. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 masalah dalam praktik, karena pemberi lisensi sering menuduh kesalahan atau kekuranguletannya pihak penerima lisensi dalam berusaha yang menyebabkan usahanya tidak jalan. Dalam praktik ada pula variasi, persentase tersebut dilakukan secara progresif, atau secara menaik atau memundur dihitung dengan lamanya waktu berjalan, atau besarnya unit produksi. 62 Dalam kontrak lisensi sering juga terdapat apa yang dinamakan dengan klausula hardship. Dalam hal ini ditentukan bahwa terhadap pembayaran baik secara persentase ataupun secara tetap, akan ditinjau lagi dengan perundingan suatu masa ketika kontrak sedang berjalan. Terhadap pembayaran danatau penyerahan dokumen sehubungan dengan pembayaran tersebut, sering pula dilakukan melalui garansi bank. Bentuk performance quarantee dari bank dalam hal ini sering dilakukan. Tentu tidak tertutup pula kemungkinan adanya personal guarantee atau corporate guarantee dari pihak penerima lisensi 63 . Pasal 80 UU Paten menegaskan bahwa pemberian lisensi wajib tersebut harus dicatat dalam Daftar Umum Paten dan kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Paten, setelah dibayarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk itu. Pelaksanaan lisensi wajib dianggap sebagai pelaksanaan paten. Selanjutnya, pembatalan lisensi wajib untuk paten hanya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal HaKI bila ada permohonan dari pemegang paten yang bersangkutan berdasarkan alasan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 83, yaitu atas permohonan pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib apabila alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi wajib tidak ada lagi, penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi wajib tersebut atau tidak meiakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya, penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi wajib. Pembatalan sebagaimana dimaksud dicatat dan diumumkan. Menurut Pasal 84 UU Paten, lisensi wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan. Dengan berakhirnya lisensi wajib, penerima lisensi wajib berkewajiban untuk menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Selanjutnya, Direktorat Jenderal HaKI akan mencatat dan mengumumkan lisensi wajib yang telah berakhir itu. Dengan demikian, berakhirnya suatu lisensi wajib karena selesainya jangka waktu pemberian lisensi wajib atau pemberian lisensi wajib dibatakan oleh Direktorat Jenderal HaKI. 62 Ibid., hal 119-120. 63 Ibid., hal. 120. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Pasal 85 UU Paten, menegaskan, bahwa berakhir atau batalnya lisensi wajib sebagaimana dimaksud daiam Pasal 83 atau Pasal 84, maka berakibat pulihnya hak pemegang atas paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya. Dalam Pasal 86 dinyatakan bahwa lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. Lisensi wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HaKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai lisensi wajib adalah pelaksanaan paten oleh pemerintah Pengaturan seperti ini dimungkinkan menurut ketentuan Pasal 31 Persetujuan TRIPsGATT, yang kemudian ditindak-lanjuti dalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 UU Paten. Menurut Pasal 99, pemerintah dalam melaksanakan sendiri paten yang telah dilindungi apabila pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Karena masalah pertahanan dan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional merupakan hal yang mendasar, wajar apabila pemerintah atau pihak ketiga diberi izin oleh pemerintah untuk melaksanakan paten yang terkait. Contoh invensi yang terkait dengan pertahanan dan keamanan Negara, antara lain bahan peledak, senjata api, dan amunisi. 64 Pengertian kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional dalam pasal ini, mencakup pula antara lain bidang-bidang kesehatan seperti obat-obat yang masih dilindungi paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang berjangkit secara luas endemi, bidang pertanian misalnya pestisida yang sangat dibutuhkan untuk menangguiangi gagalnya hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu paten untuk menjamin kelangsungan hidup sangat dibutuhkan untuk menanggulangi gagalnya hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu paten untuk menjamin kelangsungan hidup perekonomian negara serta mengupayakan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat di negara yang bersangkutan. Adapun keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendengarkan pertimbangan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait 65 64 Rahmadi Usman, op. cit., hal. 282-283. 65 Ibid., hal. 240. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Selanjutnya Pasal 100 UU Paten, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi invensi yang dimohon paten, tetapi tidak diumumkan. Dalam hal pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri paten yang tidak diumumkan, pelaksanaan paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemerintah dan pemegang patennya dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan paten tersebut dapat dilaksanakan. Pemerintah tidak dapat serta merta melaksanakan suatu paten yang penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan bagi kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal demikian, berdasarkan Pasal 101 UU Paten, pemerintah berkewajiban memberitahukan secara tertulis mengenai hal tersebut kepada pemegang paten dengan mencantumkan hal-hal sebagai berikut: a. paten yang dimaksudkan disertai nama pemegang paten dan nomornya; b. alasan; c. jangka waktu pelaksanaan; d. haf-hal fain yang dipandang penting. Pelaksanaan paten oleh pemerintah dilakukan dengan pemberian imbalan yang wajar kepada pemegang paten, sebagai akibat dari pemanfaatan hak ekonomis yang dipunyai invensi yang telah dilindungi paten. Pemerintahlah yang akan menentukan besarnya imbalan yang akan diberikan kepada pemegang paten. Dalam kaitan ini, jika pemegang paten tidak menyetujui terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, pemegang paten dapat mengajukan gugatan kepada Pengadiian Niaga terhadap penetapan imbalan oleh pemerintah tersebut. Namun, harus diingat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 102 UU Paten, bahwa proses pemeriksaan gugatan dimaksud tidak menghentikan pelaksanaan paten oleh pemerintah. Keputusan pemerintah bahwa suatu paten akan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah bersifat final. Dengan demikian, keputusan pelaksanaan paten sendiri oleh pemerintah tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk oleh pengadilan, mengingat sangat pentingnya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini yang digugat bukan penetapan pelaksanaan paten oleh pemerintah tersebut, tetapi mengenai besarnya imbalan yang ditetapkan oleh pemerintah atas pelaksanaan Invensi yang telah dilindungi paten oleh pemerintah yang dinilai tidak wajar atau sebanding dengan paten yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut. 66 66 Ibid., hal. 284. Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008 Sampai saat ini pelaksanaan lisensi wajib belum pernah ada di Indonesia, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dalam pelaksanaan lisensi paten di Indonesia pada umumnya berasal dari negara luar negeri karena undang- undang paten di Indonesia sendiri belum dilengkapi dengan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan lisensi paten itu. Kemudian juga untuk lisensi wajib, pada umumnya sulit atau belum dapat terlaksana di negara yang sedang berkembang karena terbatasnya fasilitas untuk melaksanakan lisensi wajib atas produk yang dibutuhkan oleh pemerintah tersebut. Misalnya dalam bidang kesehatan untuk obat- obat yang sangat diperlukan oleh masyarakat banyak dapat dilakukan lisensi wajib oleh negara yang membutuhkan, namun negara yang sedangkan berkembang tersebut belum memiliki atau tersedianya pabrik yang sesuai untuk memproduksi obat yang dilisensiwajibkan itu. Demikian juga halnya di Indonesia, sampai saat ini belum pernah dilaksanakan lisensi wajib.

IV. PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB