Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI

PATEN DI INDONESIA

TESIS

Oleh :

MUNAWAR LUBIS 097005053/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

 

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI

PATEN DI INDONESIA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MUNAWAR LUBIS 097005053/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

 

HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL TESIS : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA

N A M A : MUNAWAR LUBIS

N I M : 097005053

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM/ HUKUM BISNIS

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum K e t u a

Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum D e k a n

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum


(4)

 

Telah diuji pada Tanggal : 17 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M. Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

 

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI

PATEN DI INDONESIA

INTISARI

Indonesia masih merupakan negara konsumen terhadap teknologi yang dilindungi oleh Paten, karena mayoritas hak Paten yang ada di Indonesia dimiliki oleh warga negara dan Badan Hukum asing. Salah satu lembaga yang menjembatani produk Paten dengan konsumen Paten adalah perjanjian lisensi Paten. Dengan demikian, perkembangan perjanjian lisensi Paten diperkirakan terus meningkat pada masa yang akan datang. Perjanjian lisensi Paten merupakan urusan swasta murni, tanpa campur tangan pemerintah. Tidak ada kewajiban para pihak untuk melapor atau mengumumkan isi kontrak lisensi itu kepada pemerintah. Akibat kurangnya informasi, karena tidak adanya kewajiban untuk melaporkan kepada pemerintah apalagi kepada umum serta adanya kelemahan-kelemahan dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, maka bisa saja dalam praktiknya kontrak-kontrak ini mencantumkan klausula-klausula yang merugikan pihak penerima lisensi dan bahkan merugikan perekonomian nasional dan kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi. Pada akhirnya, harus diterima kenyataan bahwa sampai saat ini pihak penerima lisensi belum memperoleh perlindungan hukum yang memadai dalam perjanjian lisensi Paten di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Metode Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Adapun sifat penelitian ini, ialah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggabarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi pada suatu analisis terhadap perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutya akan ditelaah dan dianalisis. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Ketentuan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi Paten di Indonesia dapat ditetapkan secara bebas berdasarkan kehendak para pihak dalam perjanjian lisensi Paten sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu dasar hukum perjanjian lisensi Paten di Indonesia. Akan tetapi, penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian lisensi Paten tidak bersifat mutlak, tapi dibatasi oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Akan tetapi ada persoalan yang timbul dalam hal pendaftaran lisensi Paten di Indonesia, yaitu apabila ternyata para pihak


(6)

 

yang melakukan perjanjian lisensi tersebut tidak mencatatkan lisensi tersebut di kantor Paten dengan dalih kebebasan berkontrak, Kantor Paten tidak bisa memberikan sanksi apa-apa. Selain itu, ada tiga hal yang menjadi hambatan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia, yaitu: dari segi pilihan forum dan pilihan hukum, ketentuan Pasal 71 Undang-undang Paten, dan praktek perdagangan restriktif. Dalam hal penyelesaian sengketa, menurut Undang–undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa Paten dapat dilakukan melalui proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, di samping proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

   

Kata Kunci :

Perlindungan Hukum, Penerima Lisensi Paten

                                               


(7)

 

LEGAL PROTECTION FOR PATENT LICENSEE IN INDONESIA

ABSTRACT

Indonesia is still a country of patent-protected technology consumers because majority of the patent found in Indonesia are owned by foreign citizens and corporate bodies. One of the institutions bridging between patented products and their consumers is Patent License. So, it is predicted that the development of patent license in the future keeps increasing. Patent License agreement is purely handled by private companies without government’s intervention. The parties involved in this agreement do not have to announce the contents of license contract to the government. Due to lack of information, no obligation to report this contract to the government even to the public and the weaknesses found in several Articles of Law No. 14/2001 on Patent, in practice, these contracts can contain the clauses that can inflict loss to the licensee or even to the national economy and the ability of the people of Indonesia in mastering technology. Eventually, we have to admit the fact that, up to now, the licensee have not yet given adequate legal protection in Patent License Agreement in Indonesia.

This study employed the normative juridical method based on secondary data and emphasized the steps of theoretical speculative and normative-qualitative analysis. The purpose of this analytical descriptive study was to describe the situation or condition of the existing problem and the study framework was limited to only analyze the legal protection for the patent licensee in Indonesia. The data for this study were obtained through library research. All of the data obtained were then analyzed. The conclusion of this study was drawn based on deductive-inductive method.

The result of this study showed that the rights and responsibilities of the parties involved in Paten License Agreement in Indonesia can be freely determined based on what is wanted by the parties involved in accordance with freedom of contract as one of the legal principles of Patent License Agreement in Indonesia. But, the application of the principle of freedom of contract in Patent License Agreement is not absolute in nature, because it is regulated and limited by law No.14/2001 on Patent and Law No. 5/1999 on Prohibition of Monopoly Practice and Unhealthy Business Competition. Yet, there is a problem existing in terms of Patent License Registration in Indonesia, namely, if the parties involved in the making of the license agreement do not register the license in the Patent Office under the reason of freedom of contract, the Patent Office cannot give them any sanction. In addition, there are three things that become the constraints in providing legal protection for the Patent licensee in Indonesia such as the choice of forum and the choice of law, the stipulation of Article 71 of Law on Patent, the practice of restricted trade. In terms of dispute settlement, according to law No.14/2001 on Patent, it is stated that


(8)

 

the settlement of Patent dispute can be done through the process of dispute settlement out side of the court as well as the process of dispute settlement in the court.

Keywords:

Legal protection, Patent Licensee


(9)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan Tesis yang diberi judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia”. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan Tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, SP.Ak, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang senantiasa dengan sabar memberikan semangat kepada Penulis dan memberikan motivasi sehingga selesai Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Penguji yang telah


(10)

 

menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan masukan sehingga selesai penulisan Tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH., CN, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis hingga selesai Tesis ini.

5. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH., DFM, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis hingga selesai Tesis ini.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku Dosen Penguji yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan masukan sehingga selesai penulisan Tesis ini.

Tidak lupa Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Guru Besar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pemahaman keilmuan dan wawasan yang lebih luas kepada Penulis, juga seluruh Staff Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada Penulis.

Teristimewa Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada Ibunda dan ayahanda tersayang : Nur Asna dan Adam Lubis, serta abang dan kakak-kakak tercinta : Khoirussaleh Lubis, Suknah Lubis, Harlina Lubis, Desyana Lubis, Yuliana Lubis dan Yuliarnis Lubis, yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis untuk segera menyelesaikan studi S-2 ini,


(11)

 

juga buat abang ipar dan kakak ipar : Syahman Matondang, Lisman Lubis, Haryanda, Afrizal dan Hirawati untuk segala perhatiannya. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada teman-teman seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Semoga Allah SWT membalas budi baik dan memberikan berkah serta rahmat yang berkelimpahan kepada semua pihak yang telah banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan penulisan dan penyusunan Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari segala kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan Penulis, untuk itu Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca. Akhir kata Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat baik bagi Penulis dan juga bagi semua pihak yang berkepentingan.

Medan, 17 Juni 2011 Penulis,

Munawar Lubis 097005053


(12)

 

DAFTAR ISI

Halaman

INTISARI ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR DIAGRAM ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 25

1...Sifat Penelitian... 25


(13)

 

2...Sumber

Data Penelitian ... 25

3...Teknik dan Alat Pengumpul Data ... 26

4...Analisa Data ... 27

BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA ... 28

A. Syarat–Syarat Perjanjian Lisensi Paten... 28

B. Objek Perjanjian Lisensi Paten ... 33

C. Subjek Perjanjian Lisensi Paten ... 34

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi Paten…... 35

E. Jenis Lisensi Paten ... 37

F. Tahapan–Tahapan dalam Perjanjian Lisensi Paten... 40

G. Penggunaan Hak Paten Berdasarkan Perjanjian Lisensi... 46

BAB III : HAMBATAN–HAMBATAN HUKUM DALAM MEM- BERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA ... 47

A. Pilihan Forum dan Pilihan Hukum... 47

1...Pilihan Forum……… ...47


(14)

 

2...Pilihan

Hukum……….. ... 50

B. Ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001… 55 C. Pembatasan dalam Praktek Perdagangan (Restrictive Business Practices) ... 65

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN LISENSI PATEN ... 69

A. Pilihan Hukum Dalam Kontrak Lisensi Paten ... 69

B. Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Lisensi ... 75

1. Di Luar Pengadilan ... 76

2. Pengadilan... 98

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran... 108


(15)

 

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. : Perbandingan Permohonan Paten dari dalam dan Luar

Negeri dari Tahun 1995 Sampai Tahun 2007……….. 2 Tabel 2. : Dasar Hukum Pengembangan Alternatif Penyelesaian


(16)

 

DAFTAR DIAGRAM

Halaman Diagram 1. : Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase ... 86 Diagram 2. : Sistem Peradilan di Indonesia ………. 101


(17)

 

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI

PATEN DI INDONESIA

INTISARI

Indonesia masih merupakan negara konsumen terhadap teknologi yang dilindungi oleh Paten, karena mayoritas hak Paten yang ada di Indonesia dimiliki oleh warga negara dan Badan Hukum asing. Salah satu lembaga yang menjembatani produk Paten dengan konsumen Paten adalah perjanjian lisensi Paten. Dengan demikian, perkembangan perjanjian lisensi Paten diperkirakan terus meningkat pada masa yang akan datang. Perjanjian lisensi Paten merupakan urusan swasta murni, tanpa campur tangan pemerintah. Tidak ada kewajiban para pihak untuk melapor atau mengumumkan isi kontrak lisensi itu kepada pemerintah. Akibat kurangnya informasi, karena tidak adanya kewajiban untuk melaporkan kepada pemerintah apalagi kepada umum serta adanya kelemahan-kelemahan dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, maka bisa saja dalam praktiknya kontrak-kontrak ini mencantumkan klausula-klausula yang merugikan pihak penerima lisensi dan bahkan merugikan perekonomian nasional dan kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi. Pada akhirnya, harus diterima kenyataan bahwa sampai saat ini pihak penerima lisensi belum memperoleh perlindungan hukum yang memadai dalam perjanjian lisensi Paten di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Metode Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Adapun sifat penelitian ini, ialah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggabarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi pada suatu analisis terhadap perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutya akan ditelaah dan dianalisis. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Ketentuan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi Paten di Indonesia dapat ditetapkan secara bebas berdasarkan kehendak para pihak dalam perjanjian lisensi Paten sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu dasar hukum perjanjian lisensi Paten di Indonesia. Akan tetapi, penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian lisensi Paten tidak bersifat mutlak, tapi dibatasi oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Akan tetapi ada persoalan yang timbul dalam hal pendaftaran lisensi Paten di Indonesia, yaitu apabila ternyata para pihak


(18)

 

yang melakukan perjanjian lisensi tersebut tidak mencatatkan lisensi tersebut di kantor Paten dengan dalih kebebasan berkontrak, Kantor Paten tidak bisa memberikan sanksi apa-apa. Selain itu, ada tiga hal yang menjadi hambatan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia, yaitu: dari segi pilihan forum dan pilihan hukum, ketentuan Pasal 71 Undang-undang Paten, dan praktek perdagangan restriktif. Dalam hal penyelesaian sengketa, menurut Undang–undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa Paten dapat dilakukan melalui proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, di samping proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

   

Kata Kunci :

Perlindungan Hukum, Penerima Lisensi Paten

                                               


(19)

 

LEGAL PROTECTION FOR PATENT LICENSEE IN INDONESIA

ABSTRACT

Indonesia is still a country of patent-protected technology consumers because majority of the patent found in Indonesia are owned by foreign citizens and corporate bodies. One of the institutions bridging between patented products and their consumers is Patent License. So, it is predicted that the development of patent license in the future keeps increasing. Patent License agreement is purely handled by private companies without government’s intervention. The parties involved in this agreement do not have to announce the contents of license contract to the government. Due to lack of information, no obligation to report this contract to the government even to the public and the weaknesses found in several Articles of Law No. 14/2001 on Patent, in practice, these contracts can contain the clauses that can inflict loss to the licensee or even to the national economy and the ability of the people of Indonesia in mastering technology. Eventually, we have to admit the fact that, up to now, the licensee have not yet given adequate legal protection in Patent License Agreement in Indonesia.

This study employed the normative juridical method based on secondary data and emphasized the steps of theoretical speculative and normative-qualitative analysis. The purpose of this analytical descriptive study was to describe the situation or condition of the existing problem and the study framework was limited to only analyze the legal protection for the patent licensee in Indonesia. The data for this study were obtained through library research. All of the data obtained were then analyzed. The conclusion of this study was drawn based on deductive-inductive method.

The result of this study showed that the rights and responsibilities of the parties involved in Paten License Agreement in Indonesia can be freely determined based on what is wanted by the parties involved in accordance with freedom of contract as one of the legal principles of Patent License Agreement in Indonesia. But, the application of the principle of freedom of contract in Patent License Agreement is not absolute in nature, because it is regulated and limited by law No.14/2001 on Patent and Law No. 5/1999 on Prohibition of Monopoly Practice and Unhealthy Business Competition. Yet, there is a problem existing in terms of Patent License Registration in Indonesia, namely, if the parties involved in the making of the license agreement do not register the license in the Patent Office under the reason of freedom of contract, the Patent Office cannot give them any sanction. In addition, there are three things that become the constraints in providing legal protection for the Patent licensee in Indonesia such as the choice of forum and the choice of law, the stipulation of Article 71 of Law on Patent, the practice of restricted trade. In terms of dispute settlement, according to law No.14/2001 on Patent, it is stated that


(20)

 

the settlement of Patent dispute can be done through the process of dispute settlement out side of the court as well as the process of dispute settlement in the court.

Keywords:

Legal protection, Patent Licensee


(21)

         

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia masih merupakan negara konsumen terhadap teknologi yang dilindungi oleh Paten, karena mayoritas hak Paten itu dimiliki oleh warga negara dan Badah Hukum asing. Salah satu lembaga yang menjembatani produk Paten dengan konsumen Paten adalah lisensi. Dengan demikian, perkembangan lisensi Paten diperkirakan terus meningkat pada masa yang akan datang.

Hal ini terlihat dari masih minimnya permohonan Paten oleh Warga Negara Indonesia/Badan Hukum Indonesia ke Kantor Paten.1 Dalam praktiknya di Indonesia secara kuantitatif permohonan paten hanya sedikit yang berasal dari dalam negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Data menunjukkan permohonan Paten domestik selama 16 tahun terakhir dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2007 dari sebanyak 30.201 permintaan Paten yang diajukan ke Kantor Paten hanya terdapat 2.407 atau sekitar 3,96% yang berasal dari Penemu Indonesia. Suatu angka yang tidak cukup signifikan dibandingkan dengan persentase jumlah permohonan Paten asing yang jumlahnya mencapai 96,04% .2

 

1

Kantor Paten maksutnya adalah Direktorat Paten yang berada di bawah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI)

2   

Mercy Marvel, http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, Tinjauan kritis terhadap Periodisasi Undang-undang Paten di Indonesia dan Hubungannya dengan Peningkatan Jumlah Paten Domestik, diakses tanggal 28 Februari 2011.


(22)

 

Untuk lebih jelasnya, perbandingan antara permohonan Paten dari dalam negeri dan permohonan Paten dari luar negeri selama kurun waktu tahun 1991 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.

Perbandingan Permohonan Paten dari Dalam dan Luar Negeri dari Tahun 1991 sampai Tahun 2007

PATEN Tahun

DALAM LUAR

1991-1999 593 22.889

2000 156 983

2001 208 813

2002 228 633

2003 201 479

2004 226 452

2005 234 533

2006 282 519

2007 279 493

JUMLAH 2.407 27.794

% 3, 96 96, 04

Sumber: Mercy Marvel, http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, Tinjauan kritis

terhadap Periodisasi Undang-undang Paten di Indonesia dan Hubungannya dengan Peningkatan Jumlah Paten Domestik, diakses tanggal 28 Februari 2011.

Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa persentase jumlah permohonan paten domestik dibandingkan dengan permohonan Paten dari luar negeri secara statistik


(23)

         

belum memperlihatkan perolehan persentase angka yang signifikan setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menghasilkan invensi baru yang dapat memperoleh hak Paten belum memperlihatkan angka yang menggebirakan. Dalam keadan seperti ini, untuk menunjang dan mempercepat laju industrialisasi, perjanjian lisensi sangat penting artinya. Masuknya Paten dan lahirnya berbagai perjanjian lisensi merupakan konsekuensi logis dari diundangkannya Undang-Undang Paten.3

Lisensi diperlukan karena kebutuhan akan teknologi harus menggunakan ide atau hasil pemikiran pihak lain dalam pelaksanaan kegiatannya. Dengan menggunakan lisensi ini diharapkan akan membantu industri dalam negeri untuk mencapai tujuannya.

Selain itu, perjanjian lisensi Paten juga diperlukan sebagai sarana alih teknologi dari negara-negara maju yang menguasai teknologi tinggi, kemampuan dan fasilitas lain kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memerlukan pengembangan teknologi.

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam upaya agar pembangunan berhasil, tidak harus menemukan ataupun menciptakan teknologi sendiri, tetapi akan lebih efisien bila mengambil alih teknologi dari negara lain yang

 

3 Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi


(24)

         

sudah maju teknologinya, karena alih teknologi merupakan cara yang paling efisien ditinjau dari segi waktu dan biaya.4

Untuk pengalihan teknologi yang baik maka diperlukan suatu Perjanjian Lisensi yang baik yang dengan jelas memberikan kebebasan maupun batasan yang diperlukan oleh pemilik ide maupun teknologi atas hal-hal apa saja yang dapat dan tidak dapat dilakukan sehubungan dengan alih teknologi tersebut.

Dengan memperhatikan arah dan sasaran pembangunan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk membangun kekuatan industri, faktor yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan akan teknologi. Faktor ini penting, karena pada dasarnya merupakan salah satu kunci yang sifatnya menentukan kehidupan industri. Bahkan lebih dari itu teknologi adalah faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan industri. Apakah teknologi itu berasal dari negara lain, ataukah hasil penemuan dan pengembangan bangsa Indonesia sendiri, memiliki arti yang sama pentingnya.

Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dinyatakan bahwa pemegang paten wajib melaksanakan Patennya di wilayah Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, pemegang paten berhak mengalihkan kepemilikan patennya melalui lisensi.5

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, lisensi didefinisikan sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten

 

4

Dewi Astuty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, (Bandung: PT. Alumni), 2001, hal. 2.

5


(25)

 

kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, sebagaimana halnya dengan Undang Paten lainnya di dunia, Undang-Undang Paten Indonesia mengatur mengenai peralihan kepemilikan Paten melalui perjanjian lisensi sebagaimana diatur dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Namun proses alih teknologi melalui lisensi Paten tidak bisa terlalu diharapkan secara signifikan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan penguasaan teknologi di indonesia. Hal ini disebabkan karena ketidak seimbangan kedudukan antara pihak pemberi lisensi dengan penerima lisensi.

Perjanjian lisensi Paten merupakan urusan swasta murni tanpa campur tangan pemerintah. Tidak ada kewajiban para pihak untuk melapor atau mengumumkan isi kontrak lisensi itu kepada pemerintah. Akibat kurangnya informasi, karena tidak adanya kewajiban untuk melaporkan kepada pemerintah apalagi kepada umum, serta adanya kelemahan-kelemahan dalam beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, ditambah lagi dengan minimnya pengetahuan pihak penerima lisensi mengenai kntrak-kontrak internasional yang berkaitan dengan lisensi Paten, maka bisa saja dalam praktik kontrak-kontrak ini mencantumkan


(26)

klausula-         

klausula yang merugikan penerima lisensi dan bahkan merugikan perekonomian nasional dan kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi.

Untuk mendukung motif profit, pemberi lisensi (licensor) dalam kontrak lisensi, dan untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerugian bagi pemberi lisensi, pemberi lisensi akan berusaha mengamankan kepentingannya itu. Hal itu dilakukan dengan menambahkan ketentuan-ketentuan yang membatasi gerak penerima lisensi. Pembatasan-pembatasan yang ada dalam perjanjian lisensi tersebut dinamakan klausal restrictive business practices (RBP) atau praktik perdagangan restriktif.6

Hal seperti ini pernah dipraktekkan oleh perusahaan Microsoft sebagai pihak

lisensor terhadap semua penerima lisensinya (lisensee) dengan memaksakan

klausula-klausula dalam perjanjian lisensinya yang melarang semua penerima lisensinya (lisensee) untuk membeli program yang dapat digunakan untuk menghubungkan situs di internet dari perusahaan lain. Netscape menuntut Microsoft, karena keberatan bahwa microsft telah menyalahgunakan posisi dominan di dalam pasar sistem operasi.

Dalam kasus ini, sejumlah perusahaan komputer seperti IBM menyediakan bukti bahwa Microsoft mengirimkan surat bahwa mereka mengingatkan para pengusaha komputer untuk mendapatkan lisensi windows mewajibkan mereka untuk memasang internet exploler. Compaq juga meberikan bukti bahwa pada tahun 1996

 

6 

Insan Budi Maulana, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, (Yogyakarta: Pusat Studi


(27)

         

perusahaannya mengganti internet explorer dari beberapa modelnya dan menggantinya dengan Netscape navigator. Microsoft merespon tindakan tersebut dengan mengancam akan menghentikan lisensi windowsnya. Karena ancaman penghentian lisensi tersebut, Compaq mengganti kembali netscape navigator dan memasang kembali internet explorer. Di sisi lain, Microsoft tidak menyangkal bahwa perusahaannya mewajibkan pembuat komputer untuk memasang internet explorer bersama-sama dengan windows. Microsoft kalah dalam kasus ini.7

Demikian juga halnya dengan penerima lisensi di Indonesia, karena lemahnya posisi tawar pihak penerima lisensi di Indonesia menyebabkan pihak penerima lisensi ini mau tidak mau bersikap take it or leave it terhadap perjanjian lisensi Paten yang berisi pembatasan-pembatasan yang menghambat upaya penerima lisensi untuk menguasai teknologi yang dilisensikan tersebut. Pada akhirnya, harus diterima kenyataan bahwa sampai saat ini pihak dalam negeri penerima lisensi belum memperoleh perlindungan hukum yang memadai dalam perjanjian lisensi Paten.8

Dengan melihat berbagai persoalan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis tertarik meneliti dan mengkaji dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia”.

 

7

H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,

2004), hal. 530 s/d 532. 

8 EdyWibowo, Peranan Hakim dalam Menyikapi Ketidak Seimbangan Posisi Tawar antara

Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi dalam Perjanjian Lisensi Paten: Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun ke XXII No. 255, Februari 2007, hal. 72.


(28)

 

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perlidungan hukum terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia? 2. Apakah yang menjadi hambatan-hambatan penegakan hukum dalam memberikan

perlindungan terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia?

3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dalam perjanjian lisensi paten di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlidungan hukum yang diterima oleh penerima lisensi Paten di Indonesia.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap penerima lisensi Paten di Indonesia.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dalam perjanjian lisensi paten di Indonesia?

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, adalah sebagai berikut:


(29)

         

1. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum, khususnya mengenai hukum lisensi Paten di Indonesia.

2. Secara praktis sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum, khususnya bagi pihak yang berkepentingan tentang lisensi Paten.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Tesis mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia”, belum pernah dilakukan hingga tesis ini ditulis dengan topik dan permasalahan yang sama.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan.9 Sedangkan kerangka teori merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.10

 

9 M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara, Medan, 2009), hal. 3.


(30)

         

Dalam pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia, maka teori yang akan dipergunakan untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori itikat baik.

a. Pembatasan Prinsip Kebebasan Berkontrak

Dalam pandangan teori klasik, sesuai dengan konsep otonomi kehendak dan kesucian kontrak, para pihak tetap terikat pada isi kontrak, sekalipun isi kontrak itu tidak patut. Maksim caveat emptor digunakan sebagai doktrin yang menyatakan bahwa suatu pihak dalam kontrak harus melindungi kepentingannya sendiri sebab hukum tidak memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan pihak itu. Hukum kontrak berjalan pada pijakan bahwa para pihak (sebagai individu) menjadi hakim yang terbaik bagi kepentingan dirinya. Dengan demikian, suatu pihak dalam kontrak dalam melaksanakan kehendak bebasnya harus menerima semua konsekuensi yang berkaitan dengan kontrak itu.11

Berbicara mengenai asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh paham uitilitarianisme Jeremy Bentham, bahwa ukuran yang menjadi patokan dalam hubungannya dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa tidak seorangpun yang dapat bertindak bebas dapat dihalangi hanya karena memiliki

bargaining position untuk dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhannya.

Juga tidak seorangpun sebagai para pihak dalam suatu perjanjian dapat dihalangi

 

11 

Ridwan Khairandy, Iktikat Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Hukum


(31)

         

untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut, asalkan pihak yang lain dapat menyetujui syarat-syarat perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima.12

Namun Bentham lupa bahwa kekuatan posisi tawar (bargaining power) yang tidak sama antara para pihak dalam suatu perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengakibatkan ketidak seimbangan kedudukan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, sehingga pihak yang mempunyai posisi tawar yang kuat dapat menyalahgunakan kedudukannya dengan memaksakan kehendak melalui klausula-klausula dalam perjanjian yang cenderung merugikan pihak yang lemah kedudukannya.13 Oleh karena itu, sering kali dikatakan bahwa di sana tidak ada persyaratan umum iktikat baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban kontraktual.

Dalam perkembangannya saat ini, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Dengan adanya pergeseran tersebut, maka beberapa doktrin dalam hukum kontrak yang memiliki esensi keadilan, seperti iktikat baik yang sempat dikesampingkan teori hukum kontrak klasik mulai berkembang kembali.14

Asas iktikat baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikat baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH

 

12

EdyWibowo, Ibid., hal. 76.

13 

Ibid.  

14 


(32)

         

Perdata yang mengharuskan perjanjian dilaksanakan dengan iktikat baik.15 Dalam hubungannya dengan kebebasan berkontrak, Prinsip International Institute for the

Unification of Private Law (UNIDROIT) bertujuan untuk mengharmonisasikan

hukum kontrak komersial di negara-negara yang mau menerapkannya, sehingga materinya difokuskan pada persoalan yang dianggap netral. Dengan demikian, ruang lingkup yang diatur oleh prinsip International Institute for the Unification of Private

Law (UNIDROIT) adalah kebebasan berkontrak. Dasar pemikirannya adalah bahwa

apabila kebebasan berkontrak ini tidak diatur, maka dapat terjadi distorsi, tetapi sebaliknya apabila pengaturannya terlalu ketat, maka akan kehilangan makna dari kebebasan berkontrak itu sendiri.

Oleh karena itu, International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROID) berusaha untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan dapat memberikan solusi persoalan perbedaan sistem hukum dan kepentingan ekonomi lainnya.16

Kebebasan berkontrak diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu:17

a. Kebebasan menentukan isi kontrak; b. Kebebasan menentukan bentuk kontrak; c. Kontrak mengikat sebagai undang-undang;

d. Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai perkecualian;

e. Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip International Institute for

the Unification of Private Law (UNIDROIT) yang harus diperhatikan

dalam penafsiran kontrak.

 

15

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 5.

16

Mariam Darus badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 159.

17 


(33)

         

b. Peranan Iktikat Baik dalam Kebebasan Berkontrak

Lisensi Paten merupakan perjanjian antara pemilik paten atau pemegang Paten sebagai pihak pemberi lisensi (licensor) dengan pihak lain penerima lisensi (licensee). Perjanjian ini berisi kesepakatan yang intinya bahwa licensor memberikan persetujuannya kepada licensee untuk melaksanakan sebagian atau seluruh haknya yang dilindungi Paten dengan imbalan sejumlah uang yang disebut royalti.18

Suatu perjanjian melahirkan hubungan untuk para pihak agar mematuhinya. Isi perjanjian berupa suatu janji mengenai pengaturan tentang hak dan kewajiban. Hal itu terjadi karena adanya kesepakatan yang mengawali berlakunya asas keterikatan kepada jannji (pacta sunt servanda). Begitu juga dalam hal hubungan hukum kontrak lisensi paten. Sudah barang tentu prosesnya sama dengan apa yang terjadi pada hubungan hukum pada umumnya, yaitu dalam arti hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.19

Sistem lisensi ini tumbuh dalam praktek sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak sendiri serta mengikat mereka sebagai undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).20

Karena perjanjian lisensi ini tidak dilarang, maka sesuai dengan sistem terbuka (open sijsteem) dari KUH Perdata, diperbolehkan adanya perjanjian-perjanjian yang dibuat para pihak ini sekalipun tidak diatur dalam KUH Perdata,

 

18 Edy Wibowo, Ibid., hal. 75.

19 

Dewi Astutty Mochtar, Op. Cit., hal. 15. 


(34)

         

namun dalam praktek hukum hal tersebut berkembang dengan baik, misalnya perjanjian tentang beli sewa (huurkoop, hire purchase), leasing dan perjanjian trust.21

Pada dasarnya perjanjian lisensi Paten dimungkinkan keberadaannya oleh hukum dengan adanya asas kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (1).22 Terlebih sebelum adanya Undang-undang Paten, asas ini menjadi pranata hukum utama yang menjadi rambu-rambu eksistensi perjanjian lisensi Paten. Secara umum, hukum perjanjian atau hukum kontrak di Indonesia, setidak-tidaknya sebagaimana terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibangun di atas fondasi asas kebebasan berkontrak.23

Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidak adilan. Kebebaan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.24

Bentham percaya kepada kebebasan berkontrak, dimana para pihak akan merundingkan apa yang terbaik baginya, keduanya berusaha memaksimalkan kesejahteraan di satu pihak dan kebahagiaan di pihak yang lain. Seperti Adam Smith,

 

21 Ibid.

22 Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

23 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Penerbit Alumni,

19992), hal. 179.


(35)

         

Jeremy Bentham sadar betul, bahwa para pihak tidak selalu mempunyai bargaining

power yang sama dalam perundingan penyusunan kontrak. Pihak yang mempunyai

posisi tawar yang lebih kuat dapat saja mendikte isi kontrak untuk kepentingannya sendiri.25 Beberapa teoritisi, seperti Grant Gilmore dan Brian Coote mendesak atau menuntut arus utama hukum kontrak yang secara radikal sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan praktik terakhir.26

Sekarang, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni:27

1. makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik,28 dimana iktikat baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak;

2. makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van

omstandigheden atau undue influence)29

Pada abad dua puluh, seiring dengan terjadinya pergeseran kebebasan berkontrak kearah fairness, terjadi peningkatan perhatian para akademisi dan pengadilan kepada doktrin iktikat baik.30

 

25 Ibid., hal. Xii.

26 Ibid., hal. 111.

27 Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 2.

28 Iktikat baik adalah suatu tindakan atau perilaku yang diharapkan dari seorang yang

terhormat atau jujur yang diminta dalam setiap bentuk transaksi.

29 Penyalahgunaan keadaan adalah bujukan, tekanan atau pengaruh tanpa kekuatan fisik atau

nyata, yang lebih dari nasihat biasa, yang mempengaruhi pendapat atau kemauan pihak lain yang dikuasai sehingga tidak dapat bertindak secara bebas dan arif, tetapi bertindak sesuai dengan kemauan atau maksud pihak yang mempengaruhinya.


(36)

         

Prinsip iktikat baik merupakan landasan utama dari setiap transaksi komersial. Prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai dari negoisasi sampai pelaksanaan dan berakhirnya kontrak.

Pasal 1.7 Unidroit Principles of International Commercial Contracts

(UPICCs) menyatakan :31

(1) “Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;

(2) The parties may not exclude or limit this duty”.

Menurut “restatement” dari pasal tersebut ada 3 (tiga) unsur prinsip

itikad baik dan transaksi jujur, yaitu :

a. Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak;

b. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam Unidroit Principles of

International Commercial Contracts (UPICCs) ditekankan pada praktek

perdagangan internasional; dan

c. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.32

Seluruh Bab dari Unidroit Principles of International Commercial Contracts

(UPICCs) mengandung prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing). Yang berarti bahwa prinsip tersebut merupakan landasan utama dari hukum

kontrak. Setiap pihak wajib menjunjung tinggi prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam keseluruhan jalannya kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai pada berakhirnya kontrak.

Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam kaitan dengan Unidroit

Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) lebih ditekankan pada  

  31 

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti;2001), hal. 167.

32


(37)

         

transaksi perdagangan internasional. Penekanan pada perdagangan internasional dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Institute International pour I’ Unification du

Droit atau UNIDROIT ingin mengatur hubungan-hubungan hukum yang netral dan tidak dimaksudkan untuk menentukan standar yang dipakai dalam hukum nasional. Namun demikian, aturan itu dapat menjadi standar domestik jika negara-negara secara umum telah menerimanya. Aturan praktek bisnis dapat berbeda-beda untuk setiap sektor perdagangan tertentu.33

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi, Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.34

Konsep terbaru itikad baik dalam sistem common law Inggris dikemukan oleh Sir Anthony Mason dalam suatu kuliah di Universitas Cambridge pada 1993 yang menyatakan bahwa konsep itikad baik mencakup tiga doktrin yang berkaitan dengan:

1. Suatu kewajiban bagi para pihak untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan kontrak (kejujuran terhadap janji itu sendiri);

2. Pemenuhan standar perilaku terhormat; dan

3. Pemenuhan standard of contract yang masuk akal yang berkaitan dengan kepentingan para pihak.35

 

33

Ibid., hal. 169.

  34 

Suharnako, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana Prenada, 2009), hal. 4.

35


(38)

         

Selanjutnya menurut Prof. R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya. Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut.36

Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian.37

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi di mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu.

Menurut teori klasik asas itikad baik hanya berlaku pada saat penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Sebaliknya, menurut pandangan teori kontrak yang modern janji prakontrak harus didasarkan pada itikad baik.38

Dalam hukum kontrak, iktikad baik memiliki tiga fungsi. Iktikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah (aanvuellende werking

 

36

Ibid

  37 Suharnaka, Ibid., hal. 4.

38


(39)

         

van de geode trouw). Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de geode trouw).39

a. Penafsiran Kontrak Harus Didasarkan pada Iktikad Baik

Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah proses di mana seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah kata-kata baik satu persatu maupun kelompok, oral atau tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan interpretasi. Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. Asas iktikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak.40

Pada waktu yang lalu dianut pendapat baik di kalangan sarjana maupun peraturan perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk sesuatu yang tidak jelas. Jika si kontrak telah jelas, maka tidak ada atau tidak diperlukan penafsiran.41

 

39

Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 216.

40

Ibid.,hal. 217.

41


(40)

         

Sekarang ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi kontrak yang jelas dan yang tidak jelas, bahkan terhadap kata-kata yang tampak jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya kepada kehendak para pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan makna yang mereka maksud.42

Selain ketentuan di atas, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia masih memberikan beberapa pedoman lagi dalam menafsirkan suatu kontrak. Dengan demikian, kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak atau maksud para pihak, walaupun artinya harus menyimpang kata-kata dalam kontrak. Di sini terlihat bahwa teori kehendak (historis-psikologis) dijadikan dasar penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain daripada menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan hukum.43

Oleh karena itu, sangat logis jika kontrak-kontrak tertentu ditafsirkan sesuai dengan ciri-ciri khas perjanjian itu. Kesemuanya itu dilakukan dengan memperhatikan kaitan janji satu dengan semua bagian perjanjian lainnya. Tanpa adanya ketentuan ini pun orang akan melakukan cara kerja seperti itu, karena kata-kata atau suatu tanda baru kelihatan maksudnya kalau ia dikaitkan dengan kata-kata-kata-kata atau tanda yang lain, bahkan dengan keseluruhan isi kontrak yang bersangkutan. Suatu kata yang berdiri sendiri dapat memiliki makna yang sangat berbeda dibanding

 

42

Ibid.

43


(41)

         

jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian kata atau tanda. Penafsiran kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan setempat.44

b. Fungsi Iktikad Baik yang Menambah

Dengan fungsinya yang kedua, iktikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menamba h kata-kata ketentuan undang-undang mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian ini dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak.45

c. Fungsi Iktikad Baik yang Membatasi dan meniadakan

Dalam fungsi iktikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Beberapa para pakar hukum sebelum perang dunia kedua berpendapat bahwa iktikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar iktikad baik.46

Sekarang masih ada pakar hukum yang menolak fungsi yang ketiga ini. Pihak yang menolak fungsi iktikad baik semacam ini menyatakan bahwa BW dan KUHP Perdata Indonesia tidak menganut iustum pretium. Dengan demikian ketentuan Pasal

 

44

Ibid., hal. 219. 

45 

Ibid., hal. 229.  46 


(42)

         

1338 ayat (3) KUH Perdata (atau Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) Belanda tidak dapat dipakai hakim untuk mengubah atau menghapus kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian yang sejak semula mengandung prestasi dan kontra prestasi yang tidak seimbang. Jika hakim menggunakan pasal tersebut, maka sama dengan menyatakan bahwa KUH Perdata menuntut keseimbangan prestasi dan kontra prestasi untuk sahnya suatu perjanjian. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 jo. 1338 ayat (1) KUH Perdata. Memang harus diingat apa yang ditentukan Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa apa yang telah disepakati mengikat para pihak sebagai undang-undang pasal Pasal 1338 ayat (3) diterapkan pada pelaksanaann perjanjian. Jadi, pelaksanaan perjanjian telah dibuat secara sah.47

2. Konsepsi

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.48 Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum dan disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hokum. Konsep

 

47 

Ibid., hal. 232. 


(43)

         

adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.49

Di sini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsep atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.50

Sebagai acuan dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini, perlu didefinisikan beberapa konsep dasar sebagai berikut:

1) Yang dimaksud dengan perlindungan hukum di sini merupakan penegakan hak yang diberikan oleh hukum kepada penerima lisensi Paten apabila kepentingan/haknya dilanggar oleh orang lain yang tidak berhak.

2) Lisensi merupakan pemberian kebebasan atau izin kepada orang lain untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh digunakan yang bersangkutan, misalnya untuk menggunakan penemuan yang dilindungi oleh Paten. Tanpa linensi orang lain itu tidak bebas dalam menggunakan penemuan tersebut, oleh karena penggunaannya semata-mata oleh pemegang oktroi yang diakui oleh undang-undang.

 

49 Sacipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 307.


(44)

 

3) Pengertian Paten adalah hak istimewa yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya di bidang teknologi, yang selama jangka waktu tertentu berhak melaksanakan sendiri invensinya dan juga berhak untuk mengalihkan haknya tersebut kepada pihak lain.

4) Kontrak adalah suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih atau dimana keduanya saling mengikatkan diri untuk suatu objek tertentu.

5) Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan pihak mana mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan klausula perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan jenis perjanjian.

6) Pacta sunt servanda adalah kesepakatan para pihak dalam suatu kontrak

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

7) Penyalahgunaan keadaan merupakan pengaruh dari salah satu pihak yang mempunyai posisi dominan tanpa kekuatan fisik, yang mempengaruhi pandangan atau kemauan pihak lain yang dikuasai sehingga tidak dapat bertindak secara bebas dan arif, tetapi bertindak sesuai dengan kemauan atau maksud pihak yang mempengaruhinya.

8) Iktikat baik adalah suatu tindakan jujur yang diharapkan dari para pihak dalam suatu transaksi.


(45)

         

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah yuridis normatif. Metode Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.51

Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hu kum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as is decided by the

judge through judicial process).52 1. Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian ini, ialah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggabarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi pada suatu analisis terhadap perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia.

2. Sumber Data Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data-data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari:

a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

 

51 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003),

hal. 3.

52 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan hukum,

disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum Pada Majalah Akreditasi”, (Medan: Tanggal 18 Februari, 2003), hal. 1.


(46)

         

1) Norma atau kaedah dasar 2) Peraturan dasar

3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Paten, lisensi, perjanjian dan peraturan-peraturan terkait lainnya.

b. Bahan Hukum sekunder, antara lain: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan penelitian, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.53 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library

research), yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan

permasalahan dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hhukum, artikel-artikel, peraturan-perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya. Situs web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

 

53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta, Rajawali Pers, 1990), hal. 41.


(47)

 

4. Analisa Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap penerima lisensi paten di Indonesia, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh, yaitu berupa data-data sekunder melalui penelitian kepustakaan (library research). Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif.


(48)

         

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA

A. Syarat-syarat Perjanjian Lisensi Paten di Indonesia

Dalam pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan bahwa “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:54

1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) cakap untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu hal tertentu;

4) suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan ke empat disebut sebagai syarat objektif dari perjanjian.55

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang ataudiperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap

 

54

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakart: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 93.

55


(49)

         

unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.56

Demikian juga halnya dalam perjanjian lisensi Paten, syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas berlaku juga dalam perjanjian lisensi Paten.

Selain keempat syarat-syarat umum syahnya suatu perjanian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata di atas, dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten juga mensyaratkan bahwa perjanjian lisensi Paten tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.

Selanjutnya, dalam pasal 71 ayat (2) dinyatakan bahwa permohonan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal.

Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 71 ayat (2) di atas, batasan serta yang dimaksud dengan merugikan perekonomian Indonesia ataupun pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dalam perjanjian lisensi paten tidak jelas. Dalam

Undang- 

56


(50)

         

undang ini tidak dijelaskan pembatasan-pembatasan dalam perjanjian lisensi Paten yang bagaimana yang dilarang serta perjanjian lisensi Paten yang bagaimana dibolehkan. Barang kali yang dimaksud dengan ketentuan yang merugikan perekonomian dan kemamuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi dalam perjanjian lisensi Paten adalah grand back dan restrictive. Larangan untuk membuat klausula ini adalah penting untuk menghindari adanya hambatan penguasaan teknologi bagi bangsa Indonesia.57

Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual dijelaskan bahwa perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:58

1) tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;

2) nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;

3) obyek perjanjian lisensi;

4) jangka waktu perjanjian lisensi;

5) dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang; 6) pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak eksklusif; 7) jumlah royalti dan pembayarannya;

 

57 

Dewi Astutty Muchtar, Op. Cit., hal. 61. 

58 

Lihat Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan


(51)

 

8) dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga;

9) batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan; dan

10)dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan.

Menurut ketentuan Pasal Pasal 72 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, maka perjanjian lisensi Paten wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, kemudian dimuat dalam daftar umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam PAsal 72 ayat (2) dijelaskan pula bahwa apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.

Dalam ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dijelaskan pula, bahwa perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Sedangkan Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang lainnya menetapkan persyaratan bahwa perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan-ketentuan yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan


(52)

perundang-         

undangan yang berlaku.59 Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan atau memuat hal yang demikian harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) di atas terdapat tiga unsur60 perjanjian lisensi tidak boleh memuat:

1) ketentuan baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia;

2) pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya; dan

3) hal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kalau diperhatikan ketiga persyaratan tersebut masih bersifat umum, oleh karena itu masih perlu diuraikan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden.

Perjanjian lisensi dapat dibuat secara eksklusif dan secara non eksklusif. Apabila perjanjian lisensi Paten dimaksudkan secara eksklusif, maka hal tersebut harus dibuat secara tegas dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat eksklusif. Oleh karena itu pemberi lisensi masih berhak melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya dan bahkan berhak untuk member lisensi kepada pihak lainnya61

 

59

Gunawan Suryomurcito, dkk, Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), 2006, Tanpa Nomor Halaman.

60

Ibid. 

61


(53)

 

B. Objek Perjanjian Lisensi Paten

Jika Undang-undang telah menetapkan bahwa subjek perjanjian adalah para pihak yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari dari objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri.62 Maka dalam perjanjian lisensi paten, yang menjadi obyek perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten adalah:63

a) Dalam hal Paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;

b) Dalam hal Paten proses; menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

. Dengan demikian, paten yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi harus memenuhi persyaratan substansial dan kriteria penemuan yang dapat dipatenkan (patentabilitas). Berkaitan dengan patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya, semua penemuan yang lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat dipatenkan, kecuali beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001, yaitu tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan moral.

Dengan perjanjian lisensi tersebut, maka pihak ketiga dapat melaksanakan suatu paten yang dijadikan obyek dalam perjanjian lisensi tersebut dan menikmati manfaat

      

62

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 10.

63 


(54)

         

ekonomi dari paten tersebut tanpa merasa khawatir adanya gugatan oleh pemegang Paten atas penggunaan Paten tersebut dan sebaliknya, pemegang Paten akan memperoleh imbalan dalam bentuk royalti dari pihak penerima lisensi. Undang-undng Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten memberikan batasan-batasan yang harus diperhatikan para pihak yang melakukan perjanjian. Batasan perjanjian tersebut diatur utamanya dalam rangka melindungi hak penerima lisensi yang dalam praktek perjanjian lisensi umumnya cenderung dalam posisi yang lemah, oleh karena itu, dengan adanya pencatatan perjanjian lisensi diharapkan hal yang merugikan penerima lisensi dapat dihindarkan.64

C.

Subjek Perjanjian Lisensi Paten

Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Pihak-pihak dalam kontrak ini disebut subjek dalam perjanjian tersebut. Subjek dalam suatu perjanjian dapat berupa orang perorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum.65 Dalam hal Subjek dalam perjanjian lisensi Paten adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi Paten. Perjanjian tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan.

 

64

Ibid

65


(55)

         

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Lisensi Paten

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten tidak mengatur secara rinci mengenai hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam perjanjian lisensi Paten sehingga para pihak bebas menentukan hal-hal apa saja yang akan dimuat dalam perjanjian lisensi yang mereka buat, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat syahnya perjanjian dan Pasal 1338 tentang kebebasan berkontrak.66

Dengan demikian, hak dan kewajiban para pihak perlu diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang membuat perjanjian lisensi, karena dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten hanya diatur hak dan kewajiban Pemegang Paten saja, dimana hak dan kewajiban tersebut apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan akibat hukum terhadap status Paten tersebut, misalnya kewajiban Pemegang Paten untuk membayar biaya tahunan dan kewajiban pemegang Paten untuk melaksanakan Patennya di Indonesia. Apabila pemegang Paten terlambat membayar biaya tahunan, maka akan dikenakan denda dan bahkan dapat juga Paten tersebut dibatalkan apabila tidak dibayar selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, apabila pemegang Paten tidak melaksanakan Patennya di Indonesia, maka pihak lain yang ingin menggunakan Paten tersebut dapat meminta lisensi wajib dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk melaksanakan Paten tersebut. Dengan demikian, kewajiban untuk membayar biaya

 

66 

Gunawan Suryomurcito, Laporah Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,


(56)

         

tahunan dan biaya lain yang timbul yang diwajibkan oleh Undang-undang terhadap pemegang Paten harus jelas dalam perjanjian lisensi kewajiban tersebut kepada siapa dibebankan.67

Menurut Gunawan Suryomucito, dalam perjanjian lisensi Paten, selain karena kewajiban berdasarkan Undang-undang juga ada kewajiban pemegang Paten atau pemberi lisensi yang timbul berdasarkan perjanjian lisensi, seperti:68

1) Menjamin pelaksanaan Paten yang telah diperjanjikan dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga;

2) Melakukan pengawasan mutu produk terhadap pelaksanaan Paten; dan

3) Member tahu penerima lisensi apabila jangka waktu perjanjian lisensi sudah habis masa berlakunya.

Sementara itu, hak pemegang Paten atau pemberi lisensi adalah :69

1) Menerima pembayaran royalty sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak;

2) Melaksanakan sendiri patennya kecuali diperjanjikan lain; dan

3) Menuntut pembatalan perjanjian lisensi apabila penerima lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.

Sedangkan hak penerima lisensi Paten berdasarkan Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2006 adalah:70

1) Melaksanakan Paten sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian;

2) Memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga apabila diperjanjika; dan 3) Menuntut pembatalan lisensi apabila pemberi lisensi tidak melaksanakan

perjanjian sebagaimana mestinya.

 

67

Ibid.

68

Ibid

69

Ibid.

70


(57)

         

Kewajiban penerima lisensi Paten berdasarkan Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2006 adalah :71

1) Membayar royalty sesuai dengan perjanjian;

2) Melaksanakan perjanjian lisensi sesuai dengan perjanjian.

E. Jenis Lisensi Paten

1. Lisensi Secara Sukarela dan Lisensi Wajib

Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi, yaitu lisensi secara sukarela dan lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten. Di Indonesia, lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal 74 sampai Pasal 87. Lisensi wajib harus bersifat non eksklusif, artinya bahwa disamping orang yang memegang lisensi wajib masih dapat di pihak lain mengerjakan dan melaksanakan Paten yang bersangkutan, dan penggunaannya juga hanya untuk keentingan pasar dalam negeri.72

Objek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah paten yang tidak digunakan. Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing maupun domestik, dan

 

71

Ibid.

72

Sudargo Gautama, Pembaruan Undang-undang Paten, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 70.


(58)

         

pemegang paten national dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara Indonesia, sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi–industri dan perdagangan- nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang yang sama ke dalam wilayah Indonesia.

Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini merefleksikan perhatian pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan nasional, kepentingan publik, dan agar teknologi yang dipatenkan tersebut tidak disalahgunakan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional, pertahanan keamanan, dan kepentingan publikseperti kesehatan, makanan, dan untuk mengawasi pelaksanaan suatu paten, Undang-Undang Paten memberlakukan ketentuan tentang lisensi wajib dan pembatalan atau penarikan (revocation) atas suatu Paten.

Lisensi wajib diberikan oleh pengadilan niaga setelah mempertimbangkan:73 1) kemampuan dan fasilitas yang memadai dari pemohon yang mengajukan

permohonan lisensi wajib untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secara penuh;

2) usaha wajar yang dilakukan oleh pemohon untuk mendapatkan lisensi atas dasar persyaratan yang normal;

3) apakah paten yang bersangkutan memberikan kemanfaatan pada sebagian besar masyarakat.

Tampaknya, beberapa negara berkembang berharap memperoleh teknologi asing melalui lisnsi wajib, yaitu . Namun demikian, sekalipun lisensi wajib diyakini sebagai instrument utama untuk mengaktifkan paten yang tidak dilaksanakan, secara praktis, hal ini tidak dapat bekerja secara maksimal. Bahkan lebih ekstrim, Yanke menyarankan, agar dinyatakan bahwa secara tekhnis, lisensi wajib merupakan suatu

 

73 


(1)

wawasan Hakim Pengadilan Niaga tentang hukum ekonomi, khususnya mengenai Hak Kekayaan Intelektual serta perlu adanya perhatian pemerintah untuk merekrut mediator-mediator yang ahli di bidang Hak Kekayaan Intelektual, sehingga pilihan hukum ataupun pilihan forum di Indonesia dapat dipercaya oleh para pihak apabila timbul sengketa diantara para pihak tersebut. Terkait dengan Pasal 71 Undang-undang Paten, Pemerintah perlu membuat Peratutan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari Pasal tersebut. Adapun bentuknya sebagai Peraturan Pemerintah mengenai lisensi Paten dan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan atas klausula-klausula yang secara tegas dan jelas tujuannya untuk melindungi dan memperbaiki posisi tawar penerima lisensi Paten dari praktek perdagangan restriktif.

3. Pemerintah perlu mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan dari penyelesaian sengketa yang diamanatkan oleh Pasal 124 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, karena di dalam Peraturan Perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual, termasuk dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, belum diatur tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana yang dimaksud Pasal 124 tersebut.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Amiruddin dan Zainal Azikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti, 2006.

Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2006. Badrulzaman, Miriam Darus dkk, Kompilasi Hukum Prikatan, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepratomo, Faturrahman Djamil, Teryana Soenandar, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni. 1994. Dermanto, Yansen Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak

Internasional, Jakarta: UI Press, 2002.

Gautama, Sudargo dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Undang- Undang Paten 1997, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998.

Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, Jakarta, PT. Eresco, 1989.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjia, Bandung: Penerbit Alumni, 1986. Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketiga, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1988.

Khairandy, Ridwan, Iktikat Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Lindsey, Tim, et.all, Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Lubis, M. Solly, Modul Teori Hukum, Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009.

____________, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994. Margono, Suyud, Alternative Dispute Resolution&Arbitrase, Jakarta: Ghalia


(3)

Margono, Suyud dan Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, akarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002.

Maulana, Insan Budi, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UI, 2000.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Mochtar, Atutty Dewi, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2001.

Muhammad, AbdulKadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

_____________________, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Itelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Mustafa, Marni Emmy, Prinsip-prinsip beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan dengan TRIPS-WTO, Bandung: Alumni, 2007.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum Pada Majalah Akreditasi”,Medan: Tanggal 18 Februari, 2003.

Pamuntjak, Amir, Sistem Paten, Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1994.

Purwaningsih, Endang, Perkembangan Hukum Intelectual Property Rights,Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

Radjagukguk, Erman, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000).

Rahardjo, Sacipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Saidin, H. OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.


(4)

Saleh, Roeslan, Seluk-beluk Praktis Lisensi, Jakarta: Sinar Grafika, 1987.

Sembiring, Sentosa, Hak Kekayaan Intelektual Dalam Berbagai Peraturan Perundang-Undangan, Bandung: Yrama Widya, 2006.

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni, 19992.

Sitepu, Runtung, Modul Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution), Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2003.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

________________________________, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

Suharnako, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana Prenada, 2009.

Sulistiyono, Adi, Eksistensi&Penyelesaian Sengketa HaKI, Surakarta : UNS Press, 2008.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan statistik, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003.

Suryomurcito, Gunawan, dkk, Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2006.

Sutedi, Adrian, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Suwardi, Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI-Press, 2001.

Usman, Rachmadi, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.


(5)

_________________

, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Keputusan Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Nomor: H-01. PR.07.06 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual.

Majalah :

EdyWibowo, Peranan Hakim dalam Menyikapi Ketidak Seimbangan Posisi Tawar antara Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi dalam Perjanjian Lisensi Paten: Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun ke XXII No. 255, Februari 2007.

Internet :

http//www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, diakses tanggal 27 Maret 2011. http//www.eprints.undip.ac.id, diakses tanggal 27 Maret 2011


(6)

http://www.artikel-hukum/34-pengaturan-alternative-dispute-resolution-adr-kajian-terhadap-undang-undang-nomor-30-tahun-1999.html?, diakses tanggal, 23 Maret 2011.

Bakarbessy, Leonora, http://www.fh.unair.ac.id/opini.hukum, Klausula Pilihan Hukum (Choice of Law) Dan Pilihan Forum (Choice of Forum) Dalam Transaksi Bisnis Internasional, diakses tanggal 26 Mei 2011.

Gani, Abdullah Abdul, http://www.docs.google.com, Abdul Gani Abdullah, Pandangan Yuridis Conflict of Law dan Choice of Law dalam Kontrak Bisnis Internasional, hal. 6, diakses Tanggal 26 Mei 2011.

Marvel, Mercy, http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, Tinjauan kritis terhadap Periodisasi Undang-undang Paten di Indonesia dan Hubungannya dengan Peningkatan Jumlah Paten Domestik, diakses tanggal 28 Februari 2011.