Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa

(1)

Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak

Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa

Agustina

101121095

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

Judul : Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa Peneliti : Agustina

NIM : 101121095

Jurusan :Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2010

ABSTRAK

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah rentan terjadi. Tingkat keparahan dari kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dengan kacamata dapat menyebabkan kebutaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 158 orang responden. Sampel diambil dengan menggunakan teknik stratified sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen dan Pinhole disc. Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif, kemudian hasil analisa data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah adalah sebanyak 86,5% mengalami kelainan refraksi dengan jumlah anak yang mengalami penurunan visus sebesar 46,8% sedangkan yang tidak mengalami kelainan refraksi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pendidikan kesehatan kepada anak usia sekolah.


(4)

Title : Visual Impairment effect of refractive error on school-age children at SD Negeri 10 Langsa

Researcher : Agustina

NIM : 101121095

Department :Nursing Scientist (S.Kep) Academic Year : 2010

ABSTRACT

Visual Impairment effect of refractive error on school-age children more often happen. The severity of refractive error was not corrected by glasses can cause blindness.

The researchs goal to know about visual impairment effect of refractive error on school-age childrenl at SD Negeri 10 Langsa. This research was using descriptive design by total sample as much as 158 respondents. The sample takes by used stratified sampling technique.

Data collected do by used Snellen chart and Pinhole disc. Data was collected and then analysed by using descriptif statistic, then the results of data analysis presented in frequency distribution table and percentage.

This research results show that visual impairment effect of refractive error on school-age children was as much as 86,5% refractive error by the number of children who have visual acuity decreased by 46,8% while those not experiencing as much as 13,5% abnormal refraction. The results of this study can be used as an information and reference for nurses in providing nursing care, especially health education to school-age children.


(5)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah peneliti sampaikan kehadirat Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah di SD Negerei 10 Langsa”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Sarjana Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini peneliti mengucapan banyak terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan, Erniyati, S.Kp, MNS, selaku pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS, selaku pembantu dekan II Fakuktas Keperawatan, dan Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS, selaku pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes, selaku dosen pembimbing yang senantiasa menyediakan waktu dan kesempatan untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini, juga kepada Ibu Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku penguji I, dan Ibu Diah Arrum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku penguji II, serta kepada seluruh staf pengajar dan administrasi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.


(6)

Ucapan terima kasih yang paling dalam peneliti sampaikan juga teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda, yang menjadi motivator dalam hidupku, suamiku dan seluruh keluarga yang telah memberi dukungan baik moril maupun doa restu, serta rekan-rekan mahasiswa/i dan teman-teman sejawat yang telah banyak membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu peneliti yang namanya tidak bisa disebutkan satu-persatu, harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Januari 2012 Peneliti


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Konsep Kerusakan Penglihatan ... 5

2.2. Konsep Kelainan Refraksi ... 7

2.2.1. Definisi ... 7

2.2.2. Klasifikasi ... 8

2.2.2.1 Emetropi ... 8

2.2.2.2 Akomodasi ... 9

2.2.2.3 Presbiopi ... 11

2.2.2.4 Ametropi ... 13

2.2.3 Pemeriksaan Tajam Penglihatan ... 24

2.2.4 Pengujian untuk Kelainan Refraksi ... 30

2.2.4.1. Uji Pinhole ... 30

2.2.4.2. Uji Refraksi ... 30

2.2.4.3. Uji Fogging Techique ... 31

2.2.4.4. Uji Dominan Mata ... 32

2.2.5. Koreksi Kesalahan Refraksi ... 32

2.2.5.1. Lensa Kacamata ... 32

2.2.5.2. Lensa Kontak ... 32

2.2.5.3. Bedah Keratorefraktif ... 33

2.2.5.4. Lensa Intraokuler ... 33

2.2.5.5. Ekstraksi Lensa Jernih untuk Miopia ... 34

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ... 35

3.1. Kerangka Penelitian ... 35


(8)

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

4.1. Desain Penelitian ... 37

4.2. Populasi Dan Sampel ... 37

4.2.1. Populasi ... 37

4.2.2. Sampel ... 37

4.3. Lokasi Dan Waktu Penelitian... 38

4.4. Pertimbangan Etik ... 38

4.5. Instrumen Penelitian... 39

4.6. Validitas dan Reliabilitas ... 39

4.7. Pengumpulan Data ... 39

4.8. Analisa Data ... 40

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1. Hasil Penelitian ... 41

5.1.1. Karakteristik Responden ... 41

5.1.2. Kerusakan penglihatan akibat Kelainan Refraksi ... 42

5.2. Pembahasan ... 43

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 46

6.1. Kesimpulan ... 46

6.2. Rekomendasi ... 46

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Surat izin penelitian dari Fakultas keperawatan

2. Surat izin pengambilan data dari SD Negeri 10 Langsa 3. Informedconcent

4. Jadwal tentatif penelitian 5. Rincian biaya penelitian 6. Instrumen penelitian 7. Data Mentah


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori Kerusakan penglihatan menurut WHO (2010) ... 7

Tabel 2.2. Kausa Ametropi ... 13

Tabel 2.3. Tajam Penglihatan... 28

Tabel 2.4. Visual Acuity Score ... 29

Tabel 2.5. Efisiensi tajam penglihatan ... 29

Tabel 3.1. Definisi operasional penelitian... 35

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi berdasarkan 158 responden menurut usia dan jenis kelamin di SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011 . ... 40

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan persentase visus siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011 ... 41

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi ketajaman penglihatan siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011 ... 41

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan persentase penurunan visus akibat kelainan refraksi dan tidak kelainan refraksi siswa SD Negeri 10 Langsa ... 41


(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Konseptual dalam Penelitian kerusakan penglihatan akibat


(11)

Judul : Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa Peneliti : Agustina

NIM : 101121095

Jurusan :Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2010

ABSTRAK

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah rentan terjadi. Tingkat keparahan dari kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dengan kacamata dapat menyebabkan kebutaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 158 orang responden. Sampel diambil dengan menggunakan teknik stratified sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen dan Pinhole disc. Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif, kemudian hasil analisa data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah adalah sebanyak 86,5% mengalami kelainan refraksi dengan jumlah anak yang mengalami penurunan visus sebesar 46,8% sedangkan yang tidak mengalami kelainan refraksi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pendidikan kesehatan kepada anak usia sekolah.


(12)

Title : Visual Impairment effect of refractive error on school-age children at SD Negeri 10 Langsa

Researcher : Agustina

NIM : 101121095

Department :Nursing Scientist (S.Kep) Academic Year : 2010

ABSTRACT

Visual Impairment effect of refractive error on school-age children more often happen. The severity of refractive error was not corrected by glasses can cause blindness.

The researchs goal to know about visual impairment effect of refractive error on school-age childrenl at SD Negeri 10 Langsa. This research was using descriptive design by total sample as much as 158 respondents. The sample takes by used stratified sampling technique.

Data collected do by used Snellen chart and Pinhole disc. Data was collected and then analysed by using descriptif statistic, then the results of data analysis presented in frequency distribution table and percentage.

This research results show that visual impairment effect of refractive error on school-age children was as much as 86,5% refractive error by the number of children who have visual acuity decreased by 46,8% while those not experiencing as much as 13,5% abnormal refraction. The results of this study can be used as an information and reference for nurses in providing nursing care, especially health education to school-age children.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

National Dissemination Center for Children with Disabilities (NICHCY) (2004) mengatakan, kerusakan penglihatan merupakan konsekuensi dari kehilangan penglihatan fungsional yang disebabkan oleh gangguan penglihatan seperti kelainan refraksi, katarak, retinopati diabetik, kelainan bawaan dan infeksi. Secara umum kerusakan penglihatan mencakup penglihatan partial, low vision, buta dan buta total (NICHCY, 2004).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (2006) menyebutkan, 45 juta orang menderita kebutaan di seluruh dunia, sepertiganya berada di Asia Tenggara. Diperkirakan setiap menit 12 orang menjadi buta, 4 orang diantaranya berasal dari Asia tenggara. Pada anak, setiap menit terdapat satu anak yang menjadi buta.

WHO (2009) mengatakan, kebutaan pada anak tetap menjadi masalah yang signifikan secara global. Rata-rata 1,4 juta anak yang mengalami kerusakan penglihatan di bawah usia 15 tahun akan hidup dalam kebutaan selama bertahun-tahun.

WHO (2011) mengatakan, sebanyak 284 juta orang mengalami kerusakan penglihatan diantaranya 39 juta mengalami kebutaan dan 245 juta mengalami low

vision. Sebanyak 90% penderita kebutaan dan gangguan penglihatan hidup di

negara-negara miskin dan terbelakang seperti di Asia dan Afrika. Dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara, angka kebutaan


(14)

di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%) (Depkes RI, 2005).

Medical Dictionary (2008) mengatakan, ketajaman penglihatan (visus)

20/200 atau kurang merupakan tergolong buta, visus 20/70 tergolong low vision dan lapang pandang kurang dari 20 derajat juga tergolong buta walaupun memiliki ketajaman penglihatan normal.

Salah satu yang menyebabkan kebutaan adalah kelainan refraksi. Kelainan refraksi yang dapat menyebabkan kebutaan yaitu sebanyak 43% (WHO, 2011). Selain itu, pada anak usia 5 sampai 15 tahun yang mengalami kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi (rabun dekat, rabun jauh atau astigmatisme) terdapat lebih dari 12 juta (WHO, 2006).

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (Ilyas, 2004). Secara global, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi adalah penyebab utama kerusakan penglihatan (Vision2020, 2011).

Kesalahan refraksi harus dikoreksi agar sinar yang datang dapat difokuskan pada retina. Pada myopia, visus dikoreksi dengan lensa konkaf untuk membawa bayangan jatuh pada retina. Pada hipermetropia/hiperopia, dikoreksi dengan lensa konveks (Istiqomah, 2004).

Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia (2010) mengatakan, sebanyak 70-80% penderita kelainan refraksi di usia sekolah belum dapat diperbaiki menggunakan kacamata karena tingkat ekonomi masyarakat masih rendah. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya,


(15)

yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta orang. Pada akhirnya permasalahan ini dapat berdampak buruk bagi laju pembangunan ekonomi nasional (Depkes RI, 2005). Kondisi ini jika tidak ditangani dengan cepat, akan mengakibatkan munculnya lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki kualitas hidup dan intelektual yang rendah di kemudian hari (Health kompas, 2010).

Fakta memperlihatkan, sekitar 75% penyebab kebutaan termasuk ke dalam

avoidable blindness yaitu penyebab kebutaan yang sebetulnya dapat dihindari

(WHO, 2011). Saat ini sudah ada program “Vision 2020: Right to Sight”, yang bertujuan mengurangi jumlah penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan diantaranya kelainan refraksi dan low vision (Vision2020, 2000).

Berdasarkan data yang didapat peneliti pada bulan April 2011, jumlah murid di SD Negeri 10 Langsa adalah 294 orang dan peneliti juga mendapat informasi bahwa penelitian mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah belum pernah dilakukan sebelumnya.

Melihat permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa?


(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada usia anak sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengembangan pendidikan keperawatan khususnya dalam melakukan perawatan pasien yang mengalami kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi.

1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi perawat mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah dalam memberikan pendidikan kesehatan maupun perawatan sesuai standar yang telah yang ditentukan.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di Aceh Timur (Langsa).


(17)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Konsep Kerusakan Penglihatan

Kerusakan penglihatan merupakan konsekuensi dari kehilangan penglihatan fungsional. Gangguan mata yang dapat menyebabkan kerusakan penglihatan dapat mencakup degenerasi retina, albinisme, katarak, glaukoma, masalah otot yang mengakibatkan gangguan visual, gangguan kornea, retinopati diabetik, kelainan bawaan, kelainan refraksi dan infeksi (NICHCY, 2004).

Kebutaan total adalah ketidakmampuan untuk melihat cahaya dari gelap, atau ketidakmampuan total untuk melihat. Penurunan penglihatan atau low vision adalah penurunan fungsi penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata standar atau lensa kontak dan mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu atau semua tugas. Kebutaan legal (yang sebenarnya adalah sebuah gangguan penglihatan berat) mengacu pada pusat penglihatan terbaik yang dikoreksi dari visus 20/200 atau lebih buruk atau ketajaman penglihatan yang lebih baik dari 20/200 tapi dengan lapang pandang tidak lebih dari 20° (Medicaldictionary, 2008).

Gangguan penglihatan adalah istilah umum yang berarti kehilangan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki dengan lensa yang biasanya diresepkan. Namun, defenisi yang lebih berguna untuk mengklasifikasi gangguan penglihatan meliputi beberapa istilah berikut ini. School vision (juga dikenal sebagai penglihatan parsial) merujuk pada ketajaman penglihatan antara 20/70 dan


(18)

20/200. Anak harus mampu mendapatkan pendidikan pada sistem sekolah umum regular dengan menggunakan huruf berukuran normal. Penglihatan dekat hampir selalu lebih baik dari penglihatan jauh. Legal blindness, ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang dan/atau lapang pandang 20 derajat atau kurang pada mata yang lebih baik, berguna hanya sebagai defenisi legal, bukan sebagai diagnosis medis. Ini memungkinkan pertimbangan khusus dengan tidak mengabaikan tuntutan, masuk sekolah khusus, memenuhi syarat untuk mendapat bantuan, dan manfaat lain (Wong, 2008).

Kerusakan penglihatan mencakup semua masalah pada penglihatan yang mempengaruhi lapang pandang dan/atau kemampuan untuk melihat benda dekat dan jauh dengan jelas, untuk menilai kedalaman, untuk membedakan warna, dan untuk melihat satu bayangan secara bersamaan (penglihatan warna). Penyebab kerusakan penglihatan mencakup:

a. Kelainan kongenital (misalnya kelainan genetik); b. Anomali perkembangan [misalnya strabismus (juling)];

c. Akibat sekunder penyakit sistemik (misalnya retinopati diabetes);

d. Penyakit primer pada mata itu sendiri (misalnya glaukoma, degenerasi makula terkait usia);

e. Kelainan refraksi (misalnya miopia, hipermetropia, astigmatisme); f. Trauma (misalnya cedera tembus);

g. Kerusakan pada jalur penglihatan (misalnya setelah stroke); h. Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis;


(19)

Tabel 2.1. Kategori kerusakan penglihatan menurut WHO (2010) Kategori kerusakan

penglihatan

Ketajaman penglihatan dengan kemungkinan koreksi terbaik

Maksimal kurang dari: Minimal sama atau lebih dari: 1

6/18 6/60

3/10 (0,3) 1/10 (0,1)

20/70 20/200

2

6/60 3/60

1/10 (0,1) 1/20 (0,05)

20/200 20/400

3

3/60 1/60 (hitung jari jarak 1 meter) 1/20 (0,05) 1/50 (0,02)

20/400 5/300 (20/1200)

4

1/60 (hitung jari jarak 1 meter)

Persepsi cahaya 1/50 (0,02)

5/300

5 Tidak ada persepsi cahaya

9 Belum ditentukan atau tidak dapat ditentukan

2.2. Konsep Kelainan Refraksi 2.2.1 Definisi Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi adalah suatu kondisi ketika sinar datang sejajar pada sumbu mata dalam keadaan tidak berakomodasi yang seharusnya direfraksikan oleh mata tepat pada retina sehingga tajam penglihatan maksimum tidak direfraksikan oleh mata tepat pada retina baik itu di depan, di belakang maupun tidak dibiaskan pada satu titik. Kelainan ini merupakan bentuk kelainan visual yang paling sering dan dapat terjadi akibat kelainan pada lensa ataupun bentuk bola mata (Istiqomah, 2004).

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (Ilyas, 2004).


(20)

2.2 Klasifikasi kelainan refraksi

Kesalahan refraksi pada mata yang tidak berakomodasi menghasilkan bayangan, retina yang kabur untuk objek yang terletak pada jarak tidak terhingga. Kesalahan refraksi dikelompokkan menjadi sferik jika gambaran kabur terjadi pada semu meridian, dan sebagai astigmatisma jika sejumlah gambaran kabur berubah sesuai fungsi sudut meridian di sekitar sudut penglihatan. Kesalahan refraksi sferik di kelompokkan menjadi hiperopia atau myopia dan kesalahan refraksi astigmatisma dikelompokkan menjadi regular atau ireguler. Kesalahan refraksi pada bayi dan anak kecil diukur dengan teknik objektif seperti fotorefraksi atau retinoskopi garis (streak retinoscopi). Kesalahan refraksi pada anak yang lebih tua dan pada orang dewasa paling baik diukur dengan teknik pemeriksaan subjektif dengan menggunakan foropter atau 1 set lensa. Pada anak yang berusia 2-6 tahun, 80 % menderita hiperopia, 5% myopia, dan 15% emmetropia. Sekitar 10% anak mempunyai kesalahan refraksi yang memerlukan koreksi sebelum usia 7 tahun atau 8 tahun (Rudolph, dkk, 2006).

2.2.2.1. Emetropi

Emetropi berasal dari kata Yunani emetros yang berarti ukuran normal atau dalam keseimbangan wajar sedang arti opsis adalah penglihatan. Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal.

Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh difokuskan sempurna di daerah macula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak difokuskan pada macula lutea disebut ametropia.


(21)

Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100%. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa, dan badan kaca keruh maka sinar tidak dapat diteruskan ke macula lutea. Pada keadaan media penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6.

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada macula. Keadaan ini disebut sebagai emetropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia atau astigmat.

Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia.

2.2.2.2 Akomodasi

Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat difokuskan pada retina atau macula lutea. Dengan berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan


(22)

akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.

Dikenal beberapa teori akomodasi seperti:

a) Teori akomodasi Hemholtz: dimana zonula Zinn kendor akibat kontraksi otot siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diater menjadi kecil.

b) Teori akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di depan nukleus akan mencembung.

Mata akan berakomodasi bila bayangan benda difokuskan di belakang retina. Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan fungsi akomodasi yang baik.

Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anak-anak dapat mencapai + 12.8 - 18.0 D. Akibat daripada ini, maka pada anak-anak-anak-anak yang sedang dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata


(23)

tersebut memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik yang melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan kelainan refraksinya murni, dilakukan pada mata beristirahat. Biasanya diberikan sikloplegik atau sulfas atropin tetes mata selama 3 hari. Sulfas atropin bersifat parasimpatotilik, yang bekerja selain untuk melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkan otot sfingter pupil.

Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia.

2.2.2.3 Presbiopia

Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat : a) Kelemahan otot akomodasi

b) Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan sering terasa pedas.

Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat yang berkekuatan tertentu, biasanya :

+ 1.0 D untuk usia 40 tahun + 1.5 D untuk usia 45 tahun + 2.0 D untuk usia 50 tahun + 2.5 D untuk usia 55 tahun


(24)

+ 3.0 D untuk usia 60 tahun

Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa + 3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar.

Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak kerja pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-angka di atas merupakan angka yang tetap.

2.2.4 Ametropia

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.

Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat.

Dalam bahasa Yunani ametros berarti tidak sebanding atau tidak seimbang, sedang ops berarti mata. Sehingga yang dimaksud dengan ametropia adalah keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang.


(25)

Hal ini akan terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau kelainan bentuk bola mata.

Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala tidak sempurna terbentuk. Dikenal berbagai bentuk ametropia, seperti:

a. Ametropia aksial

Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang, atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di belakang retina.

b. Ametropia refraktif

Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar dalam mata. Bila daya bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia refraktif).

Table 2.1. Kausa ametropia

Ametropia Lensa koreksi Kausa

Miopia Lensa (-) Refraktif Aksial

Hipermetropia Lensa (+) Bias kuat

Bias lemah

Bola mata panjang Bola mata pendek

Astigmat regular Kacamata silinder Kurvatur 2 meridian tegak lurus

Astigmat irregular


(26)

Ametropia dapat disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal (ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal di dalam mata (ametropia indeks). Panjang bola mata normal.

Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan: a) Miopia

b) Hipermetropia c) Astigmat

1. Miopia

Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Myopia biasanya muncul pada usia 5-20 tahun. Myopia yang berhubungan dengan prematuritas sering muncul lebih awal pada kehidupan anak. Myopia yang tinggi (lebih dari 9 dioptri) sering kali herediter. Pasien dengan myopia yang rendah akan mengalami pertambahan myopia yang melambat pada decade 2 dan 3 tahun, dan akhirnya akan mencapai masa stabil (Rudolph, dkk, 2006).

Dikenal beberapa bentuk miopia seperti:

a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat.

b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.


(27)

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri

c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan Miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif.

Miopia degeneratif atau miopia maligna biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa biperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.

Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat malahan melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh.


(28)

Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).

Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia.

Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada lobus posterior fundus mata miopia, sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada findus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian perifer.

Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0 memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S-3.25, maka sebainya diberikan lensa koreksi -3.0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.

Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata konvergensi terus menerus. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia (Ilyas, 2009).


(29)

Apabila bayangan dari benda yang terletak jauh berfocus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami myopia, atau penglihtan dekat (nearsighted) (Vaughan, dkk. 2000).

2. Hipermetropia

Jika sinar sejajar masuk terfokus di belakang retina dengan mata dalam keadaan istirahat (tidak berakomodsi), berarti ada hiperopia atau terang jauh. Ini dapat terjadi karena diameter antro-posterior mata terlalu pendek, karena kekuatan refraksi kornea dan lensa kurang dari normal atau karena lensa terdislokasi ke posterior (Nelson, 2000).

Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea (Ilyas, 2008).

Sebagian besar bayi dilahirkan dengan mata hiperopia 1-3 dioptri. Kesalahan refraksi menetap stabil atau meningkat sedikit sampai umur 5 tahun. Pada umur 6-8 tahun, hiperopia fisiologi ini mulai menurun menuju emmetropia yang tercapai pada usia 9-11 tahun. Angka patologi hiperopia yang cukup besar mungkin dapat diatasi dengan organ akomodasi anak yang kuat, jadi visusnya biasanya tetap baik. Jika derajat hiperopia pada kedua mata tidak sama, mata yang mempunyai hiperopia yang lebih rendah menjadi mata pilihan untuk melihat karena membutuhkan usaha yang lebih ringan untuk melihat dengan jelas sedangkan mata dengan hiperopia yang lebih tinngi menjadi ‘malas’ atau ambliopia (anisometropik ambliopia). Hiperopia derajat tinggi sering


(30)

berhubungan dengan esotropia akomodatif (strabismus konvergen) karena adanya hubungan intrinsic antara akomodasi, konvergensi, dan miosis (trias dekat) (Rudolph, dkk. 2006).

Hipermetropia dapat disebabkan:

a. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek.

b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina

c. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata.

Hipermetropia dikenal dalam bentuk:

1. Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa sikloplegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal. 2. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan

akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermetropia fakultatif dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia manifes.


(31)

3. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata yang bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut hipermetropia fakultatif..

4. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.

5. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia.

Contoh pasien hipermetropia:

a) Pasien usia 25 tahun, dengan tajam penglihatan 6/20 b) Dikoreksi dengan sferis + 2.00 → 6/6

c) Dikoreksi dengan sferis + 2.50 → 6/6

d) Dikoreksi dengan sikloplegia, sferis + 5.00 → 6/6 Maka pasien ini mempunyai:


(32)

a) Hipermetropia absolut sferis + 2.00 b) Hipermetropia manifes sferis + 2.50

c) Hipermetropia fakultatif sferis (+ 2.50)-(+ 2.00) = + 0.50 d) Hipermetropia laten sferis + 5.00 – (+ 2.50) = + 2.50

Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau, dan kadang rasa juling atau lihat ganda.

Pasien hipermetropia sering disebut sebagai pasien rabun dekat. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam.

Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat mata tanpa akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir kea rah temporal.

Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajaman penglihatan normal (6/6).


(33)

Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif kurang.

Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila pasien dengan + 3.0 ataupun dengan + 3.25 memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata + 3.25. hal ini untuk memberikan istirahat pada mata. Pada pasien di mena akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang istirahat.

Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut, akan memberikan keluha kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan kacamata sferis poositif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.

Penyulit yang dapat terjadi pada pasien dengan hipermetropia adalah esotropia dan glaucoma. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.


(34)

3. Afakia

Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi. Karena pasien memerlukan pemakaian lensa yang tebal, maka akan memberikan keluhan pada mata tersebut sebagai berikut:

a) Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibanding normal

b) Terdapat efek prisma lensa tebal, sehingga benda terlihat seperti melengkung c) Pada penglihatan terdapat keluhan seperti badut di dalam kotak atau

fenomena jack in the box, dimana bagian yang jelas terlihat hanya pada bagian sentral, sedang penglihatan tepi kabur.

Dengan adanya keluhan di atas maka pada pasien hipermetropia dengan afakia diberikan kacamata sebagai berikut

a) Pusat lensa yang dipakai letaknya tepat pada tempatnya b) Jarak lensa dengan mata cocok untuk pemakaian lensa afakia c) Bagian tepi lensa tidak mengganggu lapang pandangan d) Kacamata tidak terlalu berat.

4. Astigmat

Astigmatisma ini menggambarkan keadaan ketika berkas cahaya mengalami refraksi yang berbeda bergantung pada meridian mana sinar tersebut memasuki mata (Rudolph, dkk, 2000).

Pada astigmat berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang paling tegak lurus yang terjadi


(35)

akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea. Pada mata dengan astigmat lengkungan jari-jari meridian yang tegak lurus padanya.

Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan apa yang disebut sebagai

astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea

pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di dinding horizontal. Pada keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi.

Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi against the rule (astigmat tidak lazim). Astigmat tidak lazim (astigmatisme against the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut.

Bentuk astigmat:

a. Astigmat regular: astigmat yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari suatu meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.


(36)

b. Astigmat irregular: astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling tegak lurus. Astigmat irregular dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi irregular. Astigmatisme irregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.

Pada pengobatan dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak lembek bila disebabkan infeksi, trauma dan distrofi untuk memberikan efek permukaan yang irregular.

Pada pasien plasidoskopi terdapat gambaran yang irregular. Koreksi dan

pemeriksaan astigmat, pemeriksaan mata dengan sentris pada permukaan

kornea. Dengan alat ini dapat dilihat kelengkungan kornea yang regular (konsentris), irregular kornea dan adanya astigmatisme kornea.

Juring atau kipas astigmat: garis berwarna hitam yang disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan dasar yang putih, dipergunakan untuk pemeriksaan subyektif ada dan besarnya kelainan refraksi astigmat (Ilyas, 2009).

2.2.3 Pemeriksaan Tajam Penglihatan atau Visus

Pemeriksaan tajam penglihatan perlu di catat pada setiap mata yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Mata hanya dapat membedakan 2 titik terpisah bila titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagain dipisahkan dengan sudut 1 menit. Makin jauh huruf harus terlihat maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang dibentuk harus tetap 5 menit.


(37)

Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.

Pada pemeriksaan tajam penglihatan yang memakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter (20/20 bila diukur dalam jarak kaki); dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas. Dengan kartu standar ini dapat ditentukan tajam atau kemampuan melihat seseorang, seperti:

a) Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. b) Bila pasien hanya dapat melihat huruf pada baris yang menunjukkan angka

30, pada jarak 6 meter berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.

c) Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 50, pada jarak 6 meter berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.

d) Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat melihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.


(38)

e) Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen pada jarak 6 meter maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.

f) Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam penglihatannya 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.

g) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila pasien hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.

h) Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga. Kadang-kadang seseorang pasien hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/tidak berhingga.

i) Bila pasien sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannnya adalah 0 (nol) atau buta total.

Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa dan dengan kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri dan mencatatnya.


(39)

Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata anak dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup akan menimbulkan reaksi berbeda pada sikap anak, ini berarti ia sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding dengan mata lainnya.

Pada pasien yang telah tergangggu akomodasinya atau adanya presbiopia, maka sukar melihat benda dengan jarak dekat. Penderita akan sedikit menjauhkan benda atau tulisan yang dilihat untuk melihat lebih jelas. Sebaiknya diketahui bahwa:

a) Bila dipakai huruf tunggal pada uji tajam penglihatan jauh maka penderita ambliopia akan mempunyai tajam penglihatan huruf tunggal lebih baik dibandingkan memakai huruf ganda.

b) Huruf pada satu baris tidak sama mudahnya terbaca karena bentuknya kadang-kadang sulit dibaca seperti huruf T dan W.

c) Pemeriksaan tajam penglihatan mata anak jangan sampai terlalu melelahkan anak.

d) Gangguan lapang pandangan dapat memberikan gangguan penglihatan pada satu sisi pembacaan uji baca.

e) Tajam penglihatan denagn kedua mata akan lebih baik dibandingkan denagn membaca denagn satu mata.

f) Amati pasien selama pemeriksaan karena mungkin akan mengintip dengan matanya yang lain.


(40)

Pemeriksaan tajam penglihatan adalah hal yang perlu dilakukan karena tajam penglihatan dapat berubah-ubah sesuai dengan proses penyakit yang sedang berjalan. Tajam penglihatan dapat berkurang akibat beberapa hal seperti:

a) Tajam penglihatan akan berkurang bila terdapat gangguan pada media penglihatan, kelainan retina ataupun kelainan congenital dan ambliopia

b) Gangguan penglihatan yang masih dapat diperbaiki atau berubah-ubah, seperti katarak, uveitis.

c) Manifestasi penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan bahaya jiwa pada diaberes mellitus dan hipertensi.

d) Adanya tumor yang mengganggu jiwa dan penglihatan.

Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila denagn pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti terdapat kelainan refraksi pada mata tersebut yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan diletakkkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun.

Table 2.3. Tajam penglihatan

Sistem desimal Snellen 6 m 20 kaki Sudut

1.0 6/6 20/20 1.0

0.8 5/6 20/25 1.3

0.7 6/9 20/30 1.4

0.6 5/9 15/25 1.6

0.5 6/12 20/40 2.0

0.4 5/12 20/50 2.5

0.3 6/18 20/70 3.3

0.1 6/60 20/200 10.0

Keadaan tajam penglihatan menentukan efisiensi dari tajam penglihatan mata. Hal ini terkait dengan asuransi untuk suatu jaminan atau lapangan kerja


(41)

yang akan dikerjakan. Tajam penglihatan dapat dinyatakan dengan efisiensi tajam penglihatan, yang berguna untuk asuransi dan derajat kerusakan fungsi penglihatan (Ilyas, 2008).

Table 2.4. Visual Acuity Score

Sumber: www.precision-vision.com

Table 2.5. Efisiensi tajam penglihatan pada penglihatan sentral jauh

Snellen kaki Sudut penglihatan % % efisiensi

sentral

% hilang

Menit Dalam menit

20/16 6/5 0.80 100 0

20/20 6/6 1.00 100 0

20/25 6/7.5 1.25 95 5

20/30 6/10 1.60 90 10

20/40 6/12 2.00 85 15

20/50 6/15 2.50 75 25

20/64 6/20 3.20 65 355


(42)

20/100 6/30 5.00 50 50

20/125 6/38 6.30 40 60

20/160 6/48 8.00 30 70

20/200 6/60 10.00 20 80

20/300 6/90 15.00 15 85

20/400 6/120 20.00 10 90

20/800 6/240 40.00 5 95

Sumber: Ilyas, 2008.

2.2.4 Pengujian untuk Kelainan Refraksi 2.2.4.1 Uji Pinhole

Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina lainnya.

Pada mata pasien yang telah dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan, dengan koreksi kaca mata yang terbaik diminta untuk terus menatap baris huruf paling bawah pada kartu Snellen yang masih terlihat. Pada mata tersebut dipasang lempeng pinhole. Melalui lubang kecil yang terdapat ditengahnya pasien kemudian disuruh membaca. Pinhole akan memasukkan sinar ke dalam mata yang terletak dekat sumbu cahaya yang masuk sehingga mengurangkan efek kelainan pembiasan sinar pada mata. Bila ketajaman penglihatan bertambah berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan media penglihatan ataupun retina yang mengganggu penglihatan.

2.2.4.2 Uji refraksi

Pemeriksaan refraksi dilakukan dengan memeriksa tajam penglihatan mata satu persatu. Pasien duduk pada 5 atau 6 meter jaraknya dari kartu Snellen. Satu mata kemudian ditutup. Pasien disuruh membaca huruf pada kartu Snellen dari


(43)

atas ke bawah. Bila kemampuan baca berada pada huruf terkecil pada baris yang menunjukkan angka 20, maka dinyatakan tajam penglihatan tanpa kaca mata adalah 6/20. Selanjutnya ditambah lensa sferis +0.5 dioptri untuk menghilangkan akomodasi pasien.

Bila akibat penambahan ini terjadi hal berikut: penglihatan bertambah jelas, maka mungkin pada mata ini terdapat kelainan refraksi hipermetropia. Pada mata ini kemudian perlahan-lahan ditambah kekuatan lensa positif dan dinyatakan apakah tajam penglihatan bertambah baik atau terlihat huruf yang berada di garis lebih bawah. Lensa positif ditambah kekuatannya sehingga tajam penglihatan menjadi maksimal atau 6/6. Lensa positif ditambah lagi sampai pada satu saat pasien mengatakan penglihatannya berkurang. pada keadaan pasien dengan hipermetropia berikanlah lensa positif terkuat yang masih memberikan tajam penglihatan 6/6.

Bila penglihatan bertambah kabur, maka mungkin pasien menderita miopia. pada saat tersebut ditambahkan lensa negatif yang makin dikurangi secara perlahan-lahan terlihat huruf pada kartu Snellen pada baris yang menunjukkan tajam penglihatan 6/6. Pada pasien dengan miopia berikanlah lensa negatif terkecil yang memberikan tajam penglihatan 6/6 tanpa akomodasi (Ilyas, 2008).

2.2.4.3Uji Fogging Techique (Cara Pengabur)

Menurut Ilyas (2008), setelah pasien dikoreksi untuk hipermetropia atau myopia yang ada, maka tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan menambah lensa sferis positif 3. Pasien diminta untuk melihat kisi-kisi


(44)

juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling terlihat. Bila garis juring pada 90 derajat yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan pada sumbu 180. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negative ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat vertical sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negative sampai pasien melihat jelas pada kartu Snellen.

2.2.4.4 Uji Dominan Mata

Dominance test, untuk mengetahui mata dominan pada anak. Anak diminta melihat pada satu titik atau benda jauh. Satu mata ditutup kemudian mata yang lainnya. Bila mata yang dominan yang tertutup maka anak tersebut akan menggerakkan kepalanya untuk melihat benda yang matanya yang dominan (Ilyas, 2009).

2.2.5 Koreksi Kesalahan Refraksi 2.2.5.1 Lensa Kacamata

Kacamata masih merupakan metode paling aman untuk memperbaiki refraksi. Untuk mengurangi aberasi nonkromatik, lensa dibuat dalam bentuk meniscus (kurva terkoreksi) dan dimiringkan ke depan (pantascopic tilt).

2.2.5.2 Lensa Kontak

Lensa kontak pertama adalah lensa sclera kaca berisi cairan. Lensa ini sulit dipakai untuk jangka panjang dan menyebabkan edema kornea dan rasa tidak enak pada mata. Lensa kornea keras, yang terbuat dari polimetilmetakrilat, merupakan


(45)

lensa kontak pertama yang benar-benar berhasil dan memperoleh penerimaan yang luas sebagai pengganti kacamata. Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeabel-udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silikon, atau berbagai pilomer plastik dan silikon, dan lensa kontak lunak, yang terbuat dari bermacam-macam plastik hidrogel, yang semuanya menghasilkan kenyamanan yang lebih baik tetapi risiko penyulit serius yang lebih besar.

Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi astigmatisme irregular, seperti pada keratokonus. Lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati gangguan permukaaan kornea, tetapi untuk mengontrol gejala dan bukan untuk alasan refraksi. Tetapi sebagian besar penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi kosmetik kesalahan refraktif ringan. Hal ini menimbulkan dampak penting pada risiko yang dapat diterima dalam penggunaan lensa kontak.

2.2.5.3 Bedah Keratorefraktif

Bedah keratorefraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior mata. Efek refraktif yang diinginkan secara umum diperoleh dari hasil-hasil empiris tindakan serupa pada pasien lain dan tidak didasarkan pada perhitungan optis matematis.

2.2.5.4 Lensa Intraokular

Penanaman lensa intraokular telah menjadi metode pilihan untuk koreksi kesalahanrefraksi pada afakia. Sekarang diciptakan lensa-lensa yang dapat ditekuk dan terbuat dari plastik hidrogel untuk mengurangi ukuran luka yang diperlukan untuk mengeluarkan katarak. Posisi paling aman bagi lensa intraokular tampaknya adalah di dalam kantung kapsul setelah pembedahan ekstrakapsular.


(46)

2.2.5.5 Ekstraksi Lensa jernih untuk miopia

Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia. Agar tindakan ini member hasil, maka mata harus sangat miopik karena pembedahan dapat menimbulkan efek samping yang jarang dapat dibenarkan (Vaughan, dkk, 2000).


(47)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah. Pada penelitian ini fokus yang akan diteliti mencakup variabel kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi.

Skema 1. Kerangka Penelitian Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah.

Siswa SD

Kerusakan Penglihatan:

a. kartu Snellen b. Pinhole disc

a.Kelainan refraksi

b.Tidak kelainan refraksi


(48)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Kerangka Operasional Penelitian

Variabel

Defenisi Operasional

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi Suatu keadaan dimana terjadi penurunan visus akibat kelainan refraksi yang dapat menyebabkan kerusakan penglihatan yang dialami oleh anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa Kartu Snellen dan Pinhole disc 1. Kelainan Refraksi 2. Tidak Kelainan Refraksi Nominal


(49)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

4.2. Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi penelitian ini adalah anak sekolah di SD Negeri 10 Langsa yang berjumlah 294 siswa.

4.2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian objek penelitian yang diambil dari populasi yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling yaitu penetapan sampel berdasarkan kriteria tertentu (Notoatmodjo, 2005). Untuk menentukan jumlah sampel, peneliti menggunakan rumus dalam Sugiyono (2010) yaitu:

S = Q P N d Q P N . . ) 1 ( . . . 2 2 2 λ λ + − Keterangan: λ2

dengan dk=1, taraf kesalahan 5%


(50)

Berdasarkan rumus tersebut maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 158 siswa. Sampel yang diambil mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sesuai kriteria inklusi yang ditetapkan yaitu:

a. Bisa membaca

b. Bersedia menjadi responden

c. Responden yang bersekolah di SD Negeri 10 Langsa

4.3. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011. Adapun pertimbangan pemilihan lokasi penelitian karena merupakan sekolah milik pemerintah dengan jumlah siswa yang cukup banyak dan belum pernah dilakukan pemeriksaan kelainan refraksi sebelumnya.

4.4. Pertimbangan Etik

Dalam penelitian ini dilakukan pertimbangan etik, yaitu memberi penjelasan kepada calon responden tentang tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Calon responden yang bersedia, maka dipersilahkan untuk menandatangani informed consent. Tetapi jika responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama proses berlangsung. Penelitian ini tidak menimbulkan risiko bagi individu yang menjadi responden. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti tidak akan disebarluaskan dan data-data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.


(51)

4.5. Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan informasi dari responden, peneliti menggunakan instrumen penelitian yaitu kartu Snellen dan pinhole untuk melihat ketajaman penglihatan atau visus. Hal yang diperiksa yaitu apakah mata anak mengalami kerusakan penglihatan atau tidak.

4.6. Validitas dan Realibilitas

Dalam penelitian ini uji validitas dan realibilitas tidak dilakukan oleh peneliti karena instrumen penelitian ini sudah valid dan reliabel.

4.7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan visus langsung kepada responden. Prosedur pengumpulan data dilakukan pertama-tama dengan mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU) kemudian mengirim surat permohonan izin dari institusi pendidikan ketempat penelitian (SD Negeri 10 Langsa). Peneliti mendatangi SD Negeri 10 Langsa untuk bertemu responden, memberikan lembar persetujuan menjadi responden dan melakukan pemeriksaan visus. Kemudian peneliti menjelaskan kepada calon responden atau orang tua/guru tentang prosedur yang akan dilakukan dan manfaat penelitian. Peneliti meminta kesediaan guru/pihak sekolah untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden dan mengikuti prosedur penelitian. Setelah mendapat persetujuan dari responden, pengumpulan data dimulai. Responden dipilih sesuai dengan kriteria yang telah


(52)

ditetapkan. Dalam pengumpulan data, peneliti dibantu oleh 2 orang asisten untuk melakukan pemeriksaan mata. Adapun tahapannya yaitu dengan melakukan uji refraksi dan uji pinhole.

4.8. Analisa Data

Setelah data terkumpul maka peneliti melakukan pengolahan data atau analisa data, yang secara garis besar meliputi tiga langkah yaitu:

a. Persiapan yaitu mengecek kelengkapan identitas dan kelengkapan isian data. b. Tabulasi data dengan memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang

perlu diberi skor, memberi kode terhadap item-item yang tidak diberi skor. c. Memkodifikasi data dan disesuaikan dengan teknik analisa yang digunakan.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik univariat yaitu suatu prosedur untuk menganalisa data dari satu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian. Pengolahan statistik secara univariat digunakan untuk mengidentifikasi frekuensi dan persentase kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


(53)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

5.1. Hasil Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli 2011 di SD Negeri 10 Langsa, dengan jumlah responden sebanyak 158 orang responden, didapat data sebagai berikut:

5.1.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1. Distribusi responden berdasarkan data demografi di SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011.

Karakteristik F %

Usia

6 – 7 8 – 9 10 – 11 12 – 13

25 70 56 7 15,8 44,3 35,4 4.4 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 78 80 49,3 50,6

Tabel 5.1. menunjukkan bahwa sebagian besar responden 70 orang (44,3%) berada pada rentang usia 8 – 9 tahun dan jenis kelamin yang terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 80 orang (50,6%).


(54)

5.1.2 Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

Untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah dilakukan dengan cara memeriksa kedua mata responden dengan menggunakan kartu Snellen dan Pinhole.

Tabel 5.2. Distribusi ketajaman penglihatan siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011.

MATA VISUS (Kartu Snellen)* Jumlah

20/20 20/25 20/30 20/40 20/50 20/60 20/80 20/100

Okuli Dextra 107 31 14 3 1 1 1 0 158

Okuli Sinistra 94 45 13 6 0 0 0 0 158

*Satuan visus adalah feet (kaki).

Tabel 5.2. menunjukkan bahwa dari 158 orang responden, dimana responden sebanyak 74 orang (46,8%) mengalami penurunan visus.

Tabel 5.3. Distribusi visus siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011.

Variabel f %

Visus Normal 84 53,1

Penurunan Visus 74 46,8

Total 158 100

Tabel 5.3. menunjukkan bahwa dari 158 responden, sebanyak 46,8% mengalami penurunan visus, sedangkan 53,1% memiliki visus yang normal.

Tabel 5.4. Distribusi penurunan visus akibat kelainan refraksi dan tidak kelainan refraksi siswa SD Negeri 10 Langsa.

Variabel f %

Kelainan Refraksi 64 86,5

Tidak Kelainan Refraksi 10 13,5


(55)

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa jumlah anak SD yang mengalami kelainan refraksi adalah sebanyak 64 orang (86,5%) dari jumlah anak yang mengalami penurunan visus.

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa sebanyak 64 orang (86,5%) mengalami kelainan refraksi yang menyebabkan kerusakan penglihatan dengan rentang usia sekolah yaitu 6-13 tahun. Hal senada yang diungkapkan oleh WHO (2009), bahwa terdapat lebih dari 12 juta anak yang mengalami kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi berada pada rentang usia 5 sampai 15 tahun. Berdasarkan hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang dilaporkan tahun 1996, diperoleh data prevalensi penyakit mata yang tertinggi adalah kelainan refraksi, yaitu sebanyak 24,72% (Wijayanti, 2005).

Kerusakan penglihatan tersebut disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (Vision 2020, 2011). Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), didapatkan bahwa sepuluh persen dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) di Indonesia mengalami kelainan refraksi dan angka pemakaian kacamata koreksi sampai saat ini masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta orang. Pada akhirnya permasalahan ini dapat berdampak buruk bagi laju pembangunan ekonomi nasional (Depkes RI, 2005). Kondisi ini jika tidak ditangani dengan cepat, akan mengakibatkan


(56)

munculnya lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki kualitas hidup dan intelektual yang rendah di kemudian hari (Health kompas, 2010). Kelainan refraksi pada anak apabila tidak diobati akan mengakibatkan keadaan yang lebih buruk pada kondisi matanya hingga mencapai kebutaan (Ilyas, 2009). Menurut Depkes RI (2005), kelainan refraksi merupakan penyebab utama kebutaan ke tiga setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Menurut Sirlan, dkk (2005) di Jawa Barat, hasil survei menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3,6%; dengan angka kelainan refraksi sebesar 2,8%. Menurut Depkes RI (1998), kebutaan pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 1000 anak. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan tahun 1993-1996, penyebab utama kebutaan di Indonesia salah satunya adalah kelainan refraksi sebesar 0,14% (Sarwanto dan Anwar, 2007).

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi diawali dengan penurunan visus (Ilyas, 2009). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebanyak 46,8% siswa SD Negeri 10 Langsa mengalami penurunan visus. Berdasarkan hasil penelitian Wijaya (2010), bahwa dari 73 orang siswa SD, didapat prevalensi penurunan visus (visual acuity < 0,8) adalah sebesar 39,7%. Menurut Ilyas (2008), penurunan visus (tajam penglihatan) dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada media penglihatan, kelainan retina ataupun kelainan kongenital, kelainan refraksi, ambliopia, katarak, diabetes melitus, hipertensi dan tumor yang mengganggu penglihatan. Penurunan visus yang diakibatkan oleh kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata. Berdasarkan data dari VISION 2020, menyatakan bahwa pada tahun 2006 diperkirakan 153 juta penduduk dunia mengalami penurunan visus akibat kelainan refraksi. Dari153 juta orang tersebut,


(57)

sedikitnya 13 juta diantaranya adalah anak-anak usia 5-15 tahun dimana prevalensi tertinggi terjadi di Asia Tenggara (WHO, 2009). Menurut Pettiss (1993) dalam Gianini (2004), terdapat data dari studi internasional yang menunjukkan bahwa sekitar 25% anak-anak usia sekolah memiliki suatu bentuk penurunan fingsi penglihatan. Penurunan visus pada anak usia sekolah dapat terjadi dikarenakan banyak diantara anak-anak tersebut cenderung enggan untuk mengeluhkan masalah tersebut kepada keluarga maupun guru mereka (Gianini, 2004).

Penurunan visus ini merupakan masalah pada masyarakat yang akan selalu dijumpai selama tidak didapati adanya tindakan preventif sejak dini (Ilyas, 2009). Menurut Wedner (2006) dalam Resnikoff (2008), ciri khas dari setiap masyarakat memainkan peranan penting terhadap tingginya angka ini. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan pada berbagai negara dimana skrining rutin dan koreksi refraksi bersifat gratis maupun mudah untuk diakses namun terdapat rendahnya keprihatinan masyarakat terhadap kesehatan mata, yang menunjukkan masih tingginya angka kerusakan penglihatan.

Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia mengatakan, sebanyak 70-80% penderita kelainan refraksi di usia sekolah belum dapat diperbaiki menggunakan kacamata karena tingkat ekonomi masyarakat masih rendah (Yarsi, 2010). Sekitar 10% dari anak usia sekolah yg menderita kelainan refraksi belum ditanggulangi dan angka pemakaian kacamata sampai saat ini masih rendah (DEPKES RI, 2005).


(58)

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi harus dikoreksi dengan menggunakan kacamata agar sinar yang datang dapat difokuskan pada retina. Pada myopia, visus dikoreksi dengan lensa konkaf untuk membawa bayangan jatuh pada retina. Pada hipermetropia/hiperopia, dikoreksi dengan lensa konveks (Istiqomah, 2004). Untuk memperbaiki kerusakan penglihatan akibat kelianan refraksi seperti kelainan astigmat diberikan lensa silinder dengan cara coba-coba, cara pengabur, ataupun cara silinder bersilang. Pada astigmat regular di mana terjadi pemantulan dan pembiasaan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan kornea maka koreksi dilakukan dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak, ini, maka permukaan depan kornea tertutup rata dan diisi oleh film air mata (Ilyas, 2008). Fakta memperlihatkan, sekitar 75% penyebab kebutaan yang berawal dari kerusakan penglihatan termasuk ke dalam

avoidable blindness yaitu penyebab kebutaan yang sebetulnya dapat dihindari


(59)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab 5, dapat diambil kesimpulan dan rekomendasi mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada usia anak sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

6.1. Kesimpulan

Sebagian besar responden 70 orang (44,3%) berada pada rentang usia 8 – 9 tahun dan jenis kelamin yang terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 80 orang (50,6%).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 158 responden, dapat diambil kesimpulan tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada usia anak sekolah dimana sebanyak 64 orang (86,5%) mengalami kelainan refraksi dari 74 responden yang mengalami penurunan visus.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan acuan bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan maupun perawatan bagi orang tua serta anaknya yang mengalami kelainan refraksi sesuai standar yang telah yang ditentukan.

6.2. Rekomendasi

6.2.1. Rekomendasi terhadap praktek keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi perawat mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah dalam memberikan pendidikan kesehatan maupun perawatan sesuai


(60)

standar yang telah yang ditentukan sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

6.2.2. Rekomendasi terhadap pendidikan keperawatan

Melalui institusi pendidikan perlu diinformasikan kepada mahasiswa tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah sehingga mahasiswa dapat mengaplikasikannya dalam bentuk pendidikan kesehatan ketika praktek di lapangan.

6.2.3. Rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di Aceh Timur (Langsa).

Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 10 Langsa, dimana penelitian ini hanya memperoleh data tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah. Untuk itu, penelitian berikutnya diharapkan meneliti faktor-faktor dalam terjadinya kelainan refraksi pada anak usia sekolah dan dapat dilakukan di sekolah dasar yang lain.

6.2.4 Rekomendasi terhadap sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada institusi sekolah agar institusi sekolah dapat membantu siswa SD yang mengalami kerusakan penglihatan agar tidak bertambah parah dan mengadakan pemeriksaan penglihatan selanjutnya.


(1)

72 8 4 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 73 8 4 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 74 9 4 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 75 9 4 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 76 9 4 P 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 77 9 4 L 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 78 9 4 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 79 9 4 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 80 9 4 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 81 9 4 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 82 9 4 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 83 9 4 P 20/20 20/40 100 85 - 20/25 - 95 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 84 9 4 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 85 10 4 P 20/40 20/80 85 70 20/30 20/50 90 80 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 86 10 4 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 87 9 4 P 20/20 20/50 100 80 - 20/30 - 90 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 88 8 4 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 89 10 4 P 20/25 20/30 95 90 20/20 20/25 100 95 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 90 10 4 P 20/40 20/60 85 75 20/25 20/30 95 90 20/40 85 Penurunan Visus kelainan refraksi 91 9 4 L 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 92 9 4 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 93 9 4 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 94 9 4 P 20/40 20/30 85 90 20/30 20/25 90 95 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi


(2)

No.

Rsp Usia Kls JK

Kartu Snellen VAS Pinhole VAS

VOU VAS KET

VOS VOD VOS VOD VOS VOD VOS VOD Visus Refraksi

95 8 4 P 20/30 20/40 90 85 20/25 20/30 95 90 20/30 90 Penurunan Visus kelainan refraksi 96 11 5 L 20/25 20/30 95 90 20/20 20/25 100 95 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 97 10 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 98 10 5 P 20/20 20/25 100 95 - 20/20 - 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 99 10 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 100 10 5 P 20/20 20/25 100 95 - 20/20 - 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 101 10 5 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/30 90 Penurunan Visus kelainan refraksi 102 9 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 103 9 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 104 10 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 105 10 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 106 11 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 107 12 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 108 10 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 109 11 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 110 12 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 111 11 5 P 20/20 20/25 100 95 - 20/20 - 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 112 10 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 113 9 5 L 20/30 20/30 90 90 20/25 20/25 95 95 20/30 90 Penurunan Visus kelainan refraksi 114 10 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 115 10 5 P 20/20 20/25 100 95 - 20/20 - 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 116 11 5 L 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi


(3)

119 10 5 P 20/25 20/30 95 90 20/20 20/25 100 95 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 120 11 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 121 11 5 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 122 11 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 123 9 5 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 124 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 125 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 126 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 127 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 128 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 129 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 130 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 131 13 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 132 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 133 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 134 11 6 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 135 12 6 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 136 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 137 10 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 138 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 139 10 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 140 11 6 P 20/25 20/30 95 90 20/20 20/25 100 95 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 141 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi


(4)

No.

Rsp Usia Kls JK

Kartu Snellen VAS Pinhole VAS

VOU VAS KET

VOS VOD VOS VOD VOS VOD VOS VOD Visus Refraksi

142 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 143 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 144 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 145 10 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 146 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 147 11 6 L 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 148 11 6 P 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 149 11 6 L 20/30 20/25 90 95 20/25 20/20 95 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 150 11 6 L 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 151 12 6 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 152 11 6 P 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 153 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 154 11 6 L 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 155 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 156 11 6 L 20/40 20/20 85 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 157 12 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 158 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi

Jumlah Penurunan Visus : 74 Jumlah Tidak Penurunan Visus : 84


(5)

Jumlah Tidak Kelainan Refraksi : 94

MATA

VISUS (Kartu Snellen)

Jumlah

UMUR

f

%

20/20 20/25

20/30

20/40

20/50

20/60

20/80

20/100

6

4

2.5

Okuli Dextra

107

31

14

3

1

1

1

0

158

7

21

13.3

Okuli Sinistra

94

45

13

6

0

0

0

0

158

8

35

22.2

9

35

22.2

MATA

VISUS (Pinhole)

Jumlah

10

20

12.7

20/20 20/25

20/30

20/40

20/50

20/60

20/80

20/100

11

36

22.8

Okuli Dextra

27

18

5

0

1

0

0

0

51

12

4

2.5

Okuli Sinistra

39

20

5

0

0

0

0

0

64

13

1

0.6

TOTAL

156

98.73418

MATA

VISUS (kartu Snellen)

Jumlah

20/20 20/25

20/30

20/40

20/50

20/60

20/80

20/100

VOU

127

26

4

1

0

0

0

0

158

MATA

VAS (Kartu Snellen)

Jumlah

100

95

90

85

80

75

70

65

Okuli Dextra

107

31

14

3

1

1

1

0

158

Okuli Sinistra

94

45

13

6

0

0

0

0

158


(6)

KELAMIN

LAKI-LAKI

78

49.4

PEREMPUAN

80

50.6