Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Dari Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek

(1)

PENERAPAN PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF

DARI PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN

JANGKA PENDEK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ACHIR NAULI GADING HARAHAP 080200120

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF DARI PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN JANGKA PENDEK

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ACHIR NAULI GADING HARAHAP 080200120

Mengetahui:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 19570326198601001 Dr. Hamdan, SH, MH.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH, M.Hum Rafiqoh Lubis, SH,M.Hum NIP. 19610702198931001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah “Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif dari Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materiil. Kepada Yang Terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Dr. Hamdan, SH, M.H., selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Abul Khair, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini. 7. Rafiqah Lubis, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.

8. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam membantu penyusunan skripsi ini. 9. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di saatu sisi karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang kan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di negara Indonesia.

Medan, Juni 2012 Hormat Saya


(5)

ABSTRAKSI Abul Khair, SH, M.Hum. * Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum. ** Achir Nauli Gading Harahap ***

Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana.Padahal pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek telah banyak mendapat kritikan karena lebih banyak membawa efek negatif bagi terpidana. Perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif sanction), salah satunya adalah dari pidana hilang kemerdekaan jangka pendek ke pidana denda. Namun permasalahannya adalah bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia saat ini. Selain itu, bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.

Untuk itu dilakukan penelitian yuridis normatif melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Di samping itu untuk mendukung data data sekunder telah dilakukan suatu penelitian lapangan dengan cara mewawancarai para pihak yang terlibat dalam masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Pidana denda eksis dalam hukum positif Indonesia. Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.Pidana denda dikenakan sebagai sanksi kumulatif pemberatan pidana perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan), alternatif pidana perampasan kemerdekaan, atau sebagai pidana denda tunggal.Namun pidana denda memiliki kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan para penegak hukum enggan untuk menggunakannya dan lebih memilih pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda memiliki peluang untuk dijadikan sebagai solusi terhadap alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Dimana pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesaui dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Namun kritikan-kritikan terhadap kekurangan-keurangan pengaturan pidana denda yang ada dalam hukum positif Indonesia haruslah dibenahi terlebih dahulu. Agar kiranya dalam penerapan pidana denda khususnya terhadap perampasan kemerdekaan jangka pendek para penegak hukum memiki landasan hukum yang jelas dan terarah.

*Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. **Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. *** Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... ii

DAFTAR ISI ... .iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

1.Pengertian Pemidanaan ... 9

2. Tujuan Pemidanaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 25

G. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ... 29

A. Pidana Denda dalam KUHP Indonesia ... 29

B. Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia ... 37

C. Pidana Denda dalam Rancangan KUHP Indonesia ... 67

BAB III PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN JANGKA PENDEK ... 96

A. Permasalahan Penerapan Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Indonesia ... 96


(7)

B. Kelemahan dan Keuntungan Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif

Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek ... 109

C. Peluang Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Masa Mendatang ... 119

BAB IV KESIMPULAN ... 143

A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 144 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAKSI Abul Khair, SH, M.Hum. * Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum. ** Achir Nauli Gading Harahap ***

Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana.Padahal pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek telah banyak mendapat kritikan karena lebih banyak membawa efek negatif bagi terpidana. Perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif sanction), salah satunya adalah dari pidana hilang kemerdekaan jangka pendek ke pidana denda. Namun permasalahannya adalah bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia saat ini. Selain itu, bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.

Untuk itu dilakukan penelitian yuridis normatif melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Di samping itu untuk mendukung data data sekunder telah dilakukan suatu penelitian lapangan dengan cara mewawancarai para pihak yang terlibat dalam masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Pidana denda eksis dalam hukum positif Indonesia. Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.Pidana denda dikenakan sebagai sanksi kumulatif pemberatan pidana perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan), alternatif pidana perampasan kemerdekaan, atau sebagai pidana denda tunggal.Namun pidana denda memiliki kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan para penegak hukum enggan untuk menggunakannya dan lebih memilih pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda memiliki peluang untuk dijadikan sebagai solusi terhadap alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Dimana pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesaui dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Namun kritikan-kritikan terhadap kekurangan-keurangan pengaturan pidana denda yang ada dalam hukum positif Indonesia haruslah dibenahi terlebih dahulu. Agar kiranya dalam penerapan pidana denda khususnya terhadap perampasan kemerdekaan jangka pendek para penegak hukum memiki landasan hukum yang jelas dan terarah.

*Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. **Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. *** Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaiaan efek jera bagi pelaku dan pencapain pencegahan umum. Padahal perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif sanction), dari pidana hilang kemerdekaan ke pidana denda, terutama terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah satu tahun.1

Studi awal penerapan konsep pemasyarakatan oleh Tim Peneliti MAPPI FHUI, KRHN dan LBH Jakarta memberikan gambaran bahwa upaya pembinaan yang dilakukan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) tampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan perasarana dan sarana yang memadai sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Pada umumnya permasalahan timbul

Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek telah banyak mendapat kritikan. Kritik tersebut didasarkan dari fakta-fakta dimana dampak buruk yang didapat oleh terpidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di lembaga pemasyarakatan terlalu besar dibandingkan dengan manfaatnya.

1

Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia (Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2012, hal. 9.


(10)

karena adanya pengabaian terhadap asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Tim peneliti mengemukakan lebih lanjut bahwa permasalahan yang sering mengemuka adalah tidak adanya persamaan perlakukan kepada warga binaan pemasyarakatan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan pemasyarakatan untuk bertemu dengan pihak keluarganya, adanya kesan bahwa Lapas merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahn yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian negara dan masyarakat terhadap Lapas. Kurangnya anggaran dan sistem perencanaan menambahkan kompleksnya permasalahan Lapas.2

Dari aspek kebijakan hukum pidana, fenomena penggunaan pidana perampasan kemerdekaan (penjara) yang terkesan “boros”, sudah barang tentu sangat bertentangan dengan kecenderungan yang sedang melanda dunia internasional dewasa ini, yaitu untuk sejauh mungkin menghindari penjatuhan pidana penjara dengan menerapkan kebijakan selektif dan limitatif,3

Dilain sisi pidana denda yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang dapat diterapkan sebagai pidana tunggal atau sebagai alternatif dalam KUHP, dalam perkembangan prakteknya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi

sebagai akibat semakin menguatnya kritik dan soroton tajam terhadap penggunaan pidana penjara.

2

Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN, dan LBH Jakarta, 2007, Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji (Studi Awal Penerapan Konsep Pemasyarakatan), Partnership, Jakarta, 2007, hal. 4.

3

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 234-235.


(11)

permasalahan antara lain inflasi mata uang yang tinggi yang mengakibatkan nilai sanksi pidana denda yang terdapat dalam KUHP menjadi terlalu ringan.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana altenatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.

Faktor-faktor di atas mengakibatkan keengganan para penegak hukum untuk menerapkan pidana denda khususnya sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan cenderung memilih pidana penjara atau kurungan daripada pidana denda.

Keengganan ini menjadikan putusan pidana tunggal seakan tabu dan asing dimata para penegak hukum. Contoh yang paling disorot baru-baru ini adalah Putusan Mahkamah Agung yang tertangga 21 Maret 2011 yang menolak permohonan kasasi dari Kejaksaan Negeri Magetan atas perkara atas Putusan Pengadilan Negeri Magetan Nomor : 42 / Pid.B / 2010 / PN.\\Mgt. tanggal 01 April 2010 yang amarnya Menyatakan Terdakwa Isnaini bin Sadimun telah


(12)

terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Menjual barang kena cukai yang tidak dilekati pita cukai ” dan melanggar Pasal 54 junto Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 11 Tahun 1995 tentang cukai ; dan Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Isnaini bin Sadimun oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp 1.300.000, - (satu juta tiga ratus ribu rupiah ) dan apabila Terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut, Terdakwa dipidana kurungan sebagai pengganti denda selama 3 ( tiga ) bulan.4

Suatu perkembangan baru tetang jumlah pidana denda dalam KUHP adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah merubah batasan pidana denda dalam perkara-perkara tindak pidana ringan sebagaimana tercantum dalam

Dimana dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum berbendapat bahwa Pengadilan Negeri telah salah dalam memberikan putusan tersebut dan Pengadilan Tinggi telah salah membenarkan Putusan Pengadilan Negeri tersebut. Dimana Hakim Pengadilan Negeri hanya menjatuhkan pidana denda tanpa adanya pidana penjara. Padahal dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai ada kata (dan / atau) yang berarti pidana denda dan penjara dapat dijatuhkan secara kumulatif dan juga alternatif . Seolah jaksa penuntut umum tabu dan asing dengan putusan pidana denda tunggal yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Magetan tersebut.

4


(13)

Pasal 364 KUH Pidana (pencurian ringan), 373 KUH Pidana (pengelapan ringan), 379 KUH Pidana (penipuan ringan), 384 KUH Pidana (keuntungan dari penipuan), 407 KUH Pidana (perusakan ringan) dan pasal 482 KUH Pidana (penadah ringan yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000) (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Berdasarkan Perma ini, Hakim patut memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang penahanan sekaligus mengkualifikasikan kembali arti tindak pidana ringan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 2 Tahun 2012 yang pada pokoknya memerintahkan Ketua Pengadilan bila menerima limpahan perkara pencurian, pengelapan, penipuan, perusakan dan penadah dari Penuntut Umum dengan nilai barang atau uang dibawah Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu) segera menetapkan Hakim tunggal dan memeriksa perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat. Dalam ayat selanjutnya, yakni Pasal 2 ayat (3), pada pokoknya Mahkamah Agung juga menetapkan bahwasanya terhadap pelaku tidak perlu ada upaya penahanan dan bila selama pemeriksaan ditahan supaya dibebaskan.

Melihat permasalahan perampasan kemerdekaan jangka pendek diatas, wajar apabila pidana denda menjadi pusat perhatian. Baik digunakan sebagai pengganti pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek maupun sebagai pidana yang berdiri sendiri (independent sanction), karena selain merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang bersifat non-costodial, juga dianggap tidak menimbulkan stigmatisasi dan prisonisasi serta secara ekonomis negara mendapat


(14)

masukan berupa uang atau setidak-tidaknya menghemat biaya sosial dibandingkan dengan jenis pidana denda.

Apalagi perkembangnya aliran modern dalam hukum pidana belakangan ini lebih menitik beratkan (berorientasi) pada si pembuat (pelaku tindak pidana) dimana menghendaki individualisasi pidana, artinya pemidanaan memperhatikan sifat-sifat dan keadaan si pembuat.5 Sebagai konsekuensinya maka menuntut pengembangan lebih banyak jenis-jenis sanksi pidana non-custodial dalam stelsel pidana yang ada di dalam KUHP.

Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana, pidana denda dapat mendekantkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan ultiraterian view yang diintegarasikan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat.

5


(15)

B. Perumusan Masalah

Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul penelitian ini, adalah :

1. Bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia ?

2. Bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari penelitian ini, adalah bertolak dari perumusan masalah di atas, yaitu :

1) Untuk mengetahui eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia baik yang ada dalam KUHP, Peraturan Perundang-Undangan Khusus di luar KUHP, maupun dalam Rancangan KUHP Indonesia.

2) Untuk mengetahui peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.

2. Manfaat Penulisan

Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini, adalah :

1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia baik yang ada dalam KUHP, Peraturan


(16)

Perundang-Undangan Khusus di luar KUHP, maupun dalam Rancangan KUHP Indonesia.

2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya tentang bagaimana kelemahan, kelebihan dan peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang, untuk selanjutnya dapat menjadi pertimbangan untuk menjadikan pidana denda sebagai salah satu altenative dari pidana perampasan jangka pendek.

D. Keaslian Penulisan

Telah banyak tulisan tentang Pidana Denda terdahulu. Namum tentang Penerapan Pidana Denda sebagai Alternatif dari Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek yang penulis buat ini memang asli dibuat oleh penulis sendiri.

Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Kebijakan Pidana, Pemidanaan, Pidana Denda, Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek, Lembaga Pemasyarakatan, kemudian penulis merangkai sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut dengan skrisi. Oleh karena itu penulis dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis sendiri.

Selain itu dalam pengajuan skripsi ini, penulis telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Dengan demikian hal ini dapat mendukung tentang keaslian penulisan.


(17)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pemidanaan

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa :6

Sedangkan “pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum pidana saja; dan maknanya sama dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “voorwaardelijk veeroordeeld” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”. Dalam kesempatan lain Soedarto juga pernah mengatakan:

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.”

7

a) Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang, ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto);

Pemberian pidana itu mempunyai dua (2) arti :

b) Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum Pidana itu.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa timbulnya dualisme istilah “pidana” dan “hukuman”, “pemidanaan” dan “penghukuman” adalah berpangkal dari perbedaan dalam mengartikan kata “straf” (bahasa Belanda) ke dalam Bahasa Indonesia yang oleh sementara kalangan ahli hukum ada yang

6

Ibid, hal. 71. 7


(18)

disinonimkan dengan istilah “pidana” dan ada pula yang menggunakan istilah “hukuman”. Sehubungan dengan dualisme istilah tersebut dikemukakan oleh Sudarto8

Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum.

bahwa istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”.

9

2. Tujuan Pemidanaan

Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau bersifat penderitaan.

Untuk memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi dalam hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secara singkat berbagai aliran yang berkembang dalam hukum pidana yang melandasi adanya pergeseran tersebut. a) Aliran Klasik

Aliran ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa (ancient regime) pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan.

Adapun beberapa ciri khas yang terdapat pada aliran ini, di antaranya:10 1) Menghendaki hukum pidana tertulis yang tersusun sistematik dan

menjamin adanya kepastian hukum;

8

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 27 9

Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, Remadja Karya, Bandung, 1987, hal. 36. 10

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992. 25-26.


(19)

2) Membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan, sehingga dikenal sistem definite sentence yang sangat kaku/rigit;

3) Menganut pandangan indeterminisme yang berarti bahwa setiap orang/individu bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukan (kebebasan kehendak manusia);

4) Perumusan undang-undang bersifat melawan hukum, merupakan titik sentral. Tindakan/perbuatan disini bersifat absrak dan dilihat secara yuridik belaka, terlepas dari pelakunya, sehingga mengabaikan individualisasi dalam penerapan pidana.Karenanya dapat disebut Hukum Pidana Tindakan (Daad-Strafrecht):

5) Berpatokan kepada justice model, sebab sangat memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat, sehingga tidak menilai keadaan diri pribadi pelaku;

6) Pidana bersifat pembalasan (punishment should fit the crime) dan dilaksanakan dalam equal justice;

7) Dengan perhatian terhadap hak asasi manusia yang demikian, aliran ini mengutamakan perlindungan/jaminan terhadap kepentingan individu (yang sudah banyak dikorbankan).

b) Aliran Modern

Aliran ini timbul pada abad ke-19 dan dikenal sebagai Aliran Positif, karena dalam mencari kausa (sebab) kejahatan dipergunakan metode ilmu alam


(20)

dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Adapun beberapa ciri aliran ini ialah :11

1) Dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu kemasyarakatan seperti sosiolagi, antropologi dan kriminologi;

2) Mengakui bahwa perbuatan seseorang dipengaruhi watak dan pribadinya, faktor faktor biologis maupun lingkungan kemasyarakatannya (sosiologis);

3) Berpandangan determinisme karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan;

4) Memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana (indeterminate sentence), sebab bertolak dari pandangan punishment should fit the criminal;

5) Menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pelaku (etat dangereux);

6) Bentuk pertanggungjawaban kepada si pelaku lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau toh pidana digunakan istilah pidana, maka harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku.

11


(21)

Setelah Perang Dunia II Aliran Modern berkembang menjadi Aliran Social Defence (Gerakan Perlindungan Masyarakat) dengan pelopor Filippo Gramatica dan Marc Ancel. Selanjutnya aliran ini terbagi menjadi dua kelompok setelah diadakan The Second International Social Defence pada tahun 1949, yaitu :12

Konsepsi ini dipelopori oleh Marc Ancel, dengan menamakan alirannya “Defence Social Nouvelle” (New Social Defence) dengan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut :

a) Konsepsi Radikal (Ekstrim)

Tokohnya adalah Fillipo Gramatica; Salah satu tulisannya yang mengandung kontraversi berjudul “La lotta contra pena” (The fight against punishment). Ia berpandangan bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang, menghapus konsep pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan menggantinya dengan pandangan tentang anti sosial. Tujuan dari Hukum perlindungan sosial ialah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan

pemidanaan terhadap perbuatannya. Pada prinsipnya ia menolak konsepsi mengenai pidana, penjahat dan pidana.

b) Konsepsi Moderat (Reformist)

13

12

Ibid, hal. 35-36. 13

Ibid, hal. 36 – 38.

“ (a) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumuan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial;


(22)

(b) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak begitu saja mudah dipaksa untuk dimasukkan ke dalam perumusan suatu perundang-undangan;

(c) Kebijaksanaan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dari proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas sosial.”

c) Aliran Neo Klasik

Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat mengakibatkan Aliran Klasik yang rigit mulai ditinggalkan dengan timbulnya Aliran Neo Klasik. Aliran ini menitikberatkan pada pengimbalan/pembalasan terhadap kesalahan si pelaku. Dalam pemidanaan memberikan kewenangan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara minimum dan maksimum yang telah ditetapkan (the indefinite sentence). Aliran Neo Klasik dipandang ileh pelbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional.

Ciri-ciri pokok aliran ini adalah :14

1) Modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan;

2) Asas pengimbalan/pembalasan (vergelding) dari kesalahan si pelaku. Pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai suatu hasil/tujuan yang bermanfaat melainkan setimpal dengana beratnya kesalahan yang dilakukan. Oleh karena itu aliran ini disebut sebagai Daad-dader Strafrecht;

3) Menggalakkan kesaksian ahli (expert testimony);

4) Pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan;

14


(23)

5) Pengembangan twintrack-system / double track system / zweispurig keit/ “sistem dua-jalur”. yakni pidana dan tindakan;

6) Perpaduan antara Justice Model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-terpidana termasuk pengembangan non-institusional treatment (Tokyo Rules) dan dekriminalisasi serta depenalisasi.

Memang keberadaan aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana itu tidak bermaksud mencari dasar hukum atau pembenar dari pidana, tetapi harus diakui bahwa pertentangan paham aliran-aliran tersebut telah mempunyai pengaruh secara praktis, baik di dalam pemilihan dari sarana-sarana pemidanaan maupun di dalam pengaturan dan penerapannya; atau menurut istilah Muladi dan Barda Nawawi Arief,15

Sementara itu pada tataran teoritis mengenai pemidanaan Muladi dan Barda Nawawi Arief menulis, bahwa secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni :

bermaksud memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat.

16

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti disebut di atas, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenegings theorien)

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie); b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorien).

17

15

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal.25 16

Ibid, hal. 9 – 10. 17

Ibid.

Selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan beberapa prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori tentang pemidanaan tersebut, sebagai berikut:


(24)

a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie);

Teori ini berkembang pada akhir abad ke-18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu yang para sarjana Hukum Islam mendasarkan teorinya pada ajaran Kisas dalam Alquran. Teori absolut mencari dasar pembenar pidana dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindak pidana yang sudah dilakukan. Pidana diberikan karena pelaku tindak pidana harus menerima pidana itu demi kesalahannya. Pidana menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan. Demi alasan itu, pidana dibenarkan secara moral.18

Mengomentari pemikiran Kant tentang tuntutan keadilan yang sifatnya absolut atau yang kemudian dikenal dengan “de Ethische Vergeldingstheorie”, Yong Ohoitimur mengatakan, pandangan Kant tersebut berada dalam konteks etika deontologis yang mempunyai landasan pada otonomi moral yang harus dihargai. Pelanggaran-pelanggaran hukum yang muatannya identik dengan penyimpangan imperative kategoris, menurut keyakinan Kant, merupakan pelecehan terhadap martabat luhur manusia yang otonom. Itu berarti, setiap tindakan yang memperlakukan orang lain sebagai sarana atau objek belaka, misalnya untuk kepentingan diri atau kelompok sendiri secara eksklusif, dan atas cara itu melanggart otonomi dan membatasi kebebasannya, patut dihukum demi keadilan.19

18

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Bineka, Jakarta, 1994, hal. 31. 19

Yong Ohoitimur, Teori Tentang Hukuman Legal.,Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta, 1997, hal. 8.


(25)

Tokoh lain Teori absolute, yaitu Hegel berpendapat bahwa hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apabila orang melakukan kejahatan atau tindak pidana itu berarti ia menyangkal adanya hukum atau keeadilan, hal itu dianggap tidak masuk akal. Dengan demikian keadaan menyangkal keadilan itu harus dilenyapkan dengan ketidak adilan pula, yaitu dengan dijatuhkan pidana karena pidana itu merupakan suatu ketidakadilan. Cara berpikir yang demikian ini adalah dialektis sehingga teorinya dinamakan “de Dialectiche Vergeldingstheorie”.20

Herbert mempunyai jalan pemikiran bahwa apabila orang yang melakukan tindak pidana berarti ia menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat. Dalam hal terjadi tindak pidana maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara berpikir demikian ini mempergunakan pokok pangkal aesthetica, maka teorinya dinamakan “de Aesthitiche Vergeldingstheori”.21

Pertama, bahwa perbuatan yang tercela itu harus bertentangan dengan etika, Kedua, bahwa pidana tidak boleh meperhatikan apa yang mungkin akan terjadi (prevensi) melainkan hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi; dan Ketiga, bahwa penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil, berarti beratnya pidana harus seimbang/tidak kurang tetapi juga tidak lebih dengan beratnya delik Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang diajukan oleh Leo Polak bahwa pidana harus mempunyai tiga syarat, yaitu :

20

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,1994, hal. 28.

21


(26)

verdiend leed. Teori Leo Polak ini dikenal dengan “het leer der objectieve betreurens-swaardigheid atau objectieveringstheorie.22

Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Pidana itu mempunyai tujuantujuan tertentu, maka harus dianggap di samping tujuan lainnya terdapat tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat.

b Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorien).

Teori relatif ini bertentangan dengan teori pembalasan/retributif yang memandang ke belakang, yaitu pada tindak pidana yang telah dilakukan, maka teori relatif/utilitarian memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu pidana.

23

Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Menurut Vos, bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang ada mengandung sifat menjerakan/menakutkan dengan pelaksanaan di depan umum yang

Dengan demikian, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Mengenai cara mencapai tujuan pidana, di dalam teori relatif atau tujuan ini ada beberapa aliran-aliran :

a) Prevensi umum (Generale preventie)

22

Ibid. 23


(27)

diharapkana menimbulkan suggestieve terhadap anggota masyarakat yang lainnya agar tidak berani melakukan kejahatan lagi. Jadi anggota masyarakat lain dapat ditakutkan, perlu diadakan pelaksanaan pidana yang menjerakan dengan dilaksanakan di depan umum. Pelaksanaan yang demikian menurut teori ini memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu “noodzakelijk” demi untuk mempertahan ketertiban masyarakat.24

Selain aliran yang menakut-nakuti (afschrikkingstheorieen) di atas, dikenal pula aliran/teori ‘tekanan (paksaan) psikologis’ (theori van de psychologische dwang) yang dikembangkan oleh Anselm von Feurbach. Dasar pemikiran teori ini, yaitu apabila setiap orang mengerti dan tahu bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian tindak pidana dapat dicegah dengan memberikan ancaman-ancaman pidana, agar di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman-ancaman pidana.

Keberatan terhadap teori prevensi umum ini ialah dipergunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah dipidana dengan maksud untuk prevensi umum tersebut.

25

24

Ibid.

25

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Semarang, 1978, hal. 61.


(28)

Dari teori itu Feurbach telah menurunkan 3 (tiga) buah asas dasar yang berlaku tanpa kecuali, yaitu “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine dan nullum crimen sine poena legali”.26

Penganut teori ini antara lain Van Hamel, dengan pendapatnya bahwa tujuan pidana di samping mempertahankan ketertiban masyarakat (teori tujuan), juga mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan (afschrikking), memperbaiki (verbetering) dan untuk tindak pidana tertentu harus membinasakan (onschadelijkmaking).

(b) Prevensi khusus (Speciale preventie)

Aliran/teori prevensi khusus mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah si pelaku tindak pidana mengulangi lagi perbuatannya.

27

Bambang Poernomo, menguraikan lebih jauh tentang memperbaiki si pembuat/pelaku (verbetering van de dader). Tujuan pidana menurut aliran ini ialah untuk memperbaiki si pelaku tindak pidana agar menjadi manusia yang baik dengan reclassering. Menjatuhkan pidana harus disertai pendidikan selama menjalani pidana. Pendidikan yang diberikan terutama untuk disiplin dan selain itu diberikan pendidikan keahlian seperti menjahit, pertukangan dan lain-lain, sebagai bekal kemudian setekah selesai menjalankan pidana. Selain itu, dijelaskan pula cara lain yaitu menyingkirkan penjahat (Onschadelijk maken van de misdadiger). Adakalanya pelaku-pelaku tindak pidana tertentu karena keadaan yang tidak dapat diperbaiki lagi dan mereka itu tidak mungkin lagi menerima pidana dengan tujuan pertama, kedua, dan ketiga karena tidak ada manfaatnya,

26

D. Simons, Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht (Kitab Pelajaran Hukum Pidana) (diterjemahkan P.A.F. Lamintang), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 13.

27


(29)

maka pidana yang dijatuhkan harus bersifat menyingkirkan dari masyarakat dengan menjatuhkan pidana seumur hidup atau pun dengan pidana mati.28

Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori relatif telahmenimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pemikiran bahwa, Pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsure yang lain, maupun pada semua unsur yang ada.

c. Teori Gabungan (Verenigings theorieen)

29

Penulis yang pertama kali mengajukan teori ini adalah Pallegrino Rossi (1787-1884). Teorinya disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, tetapi ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.30

Muladi di dalam disertasi yang telah dibukukan dengan judul “Lembaga Pidana Bersyarat” pada intinya menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia maka teori pemidanaan yang paling cocok digunakan dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah kombinasi tujuan pemidanaan yang didasarkan pada aspek sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis masyarakat Indonesia sendiri. Teori

28

Ibid. 29

Ibid, hal. 30-31. 30


(30)

pemidanaan ini disebut sebagai pemidanaan yang integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila).31

Tujuan pemidanaan yang demikian didasarkan pada asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana; dan untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) seperangkat tujuan harus dipenuhi, dengan catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. Adapun perangkat tujuan yang dimaksud adalah : (1) pencegahan (umumdan khusus); (2) perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas masyarakat; (4) pengimbalan/pengimbangan.

32

Pemikiran untuk mengkombinasikan beberapa tujuan pemidanaan tercermin pula dalam pandangan Barda Nawawi Arief. Bertolak dari konsepsi bahwa tujuan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal secara keseluruhan, yaitu perlindungan masyarakat (social defence), maka menurut Barda Nawawi Arief, sangatlah tepat apabila ingin mengetahui tujuan pemidanaan dengan melihat apa yang ingin dicapai pada aspek-aspek perlindungan masyarakat. Ada empat (4) aspek social defences yang menentukan tujuan dari pemidanaan, yaitu:

33

31

Muladi , Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 61. 32

Ibid.

33

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 85-87.


(31)

1) Aspek social defence berupa perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (perbuatan jahat), maka pemidanaan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan;

2) Jika aspek social defence berupa perlindungan terhadap pelaku (orang jahat) yang ingin dicapai, maka tujuan pemidanaan adalah perbaikan si pelaku (merubah tingkah laku);

3) Apabila aspek social defence berupa perlindungan terhadap sanksi/reaksi yang hendak dicapai, maka tujuan pemidanaan adalah mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat;

4) apabila aspek social defence berupa keseimbangan kepentingan / nilai yang terganggu yang ingin dicapai, maka tujuan pemidanaan tidak lain untuk memelihara atau memulihkan masyarakat.

Satu hal yang patut dicatat berkaitan dengan perkembangan teori pemidanaan tersebut adalah adanya pergeseran orientasi pemidanaan dari prinsip “menghukum” yang cenderung mengabaikan aspek hak asasi manusaia ke arah gagasan/ide “pembinaan” (treatment) yang lebih menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menanggapi adanya pergeseran (perkembangan) tentang tujuan pemidanaan tersebut Stanley E. Grupp menyatakan, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia; informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat; macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin dicapai; penilaian terhadap persyaratapersyaratan untuk menerapkan teori tertentu, dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat dilakukan untuk menekan persyaratan-persyaratan tersebut.34

Keengganan untuk memahami, apalagi mendalami aliran-aliran hukum pidana dan teori-teori pidana dan pemidanaan di kalangan para pemegang

34


(32)

kebijakan legislatif, hakim dan mereka yang terlibat dalam criminal justice system, terlebih kalangan akademisi, niscaya akan menjadikan hukum hukum pidana itu sendiri mengalami stagnasi dalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat. Meskipun hukum pidana itu bersifat normatif sistematis, keberadaannya tak dapat melepaskan diri dari fenomena perubahan dan perkembangan masyarakatnya. Selain itu studi ilmu hukum positif tanpa filsafat (hukum) akan menjadi tidak berisi dan tidak lengkap.35

Teori pidana mana yang dianut, sudah pasti akan membawa hasil yang berbeda. Namun yang terpenting , ketiadaan tujuan pemidanaan yang dinyatakan secara tegas dan formal dalam hukum pidana materiil/substantive potensial menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana, karena persepsi masing-masing tahap pemidanaan (tahap legislatif, tahap yudikatif dan tahap eksekutif/administratif) akan menjadi subjektif; dan hal ini erat kaitannya dengan latar belakang sosial yang bersangkutan. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legitimasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan

Dari uraian di atas, tersimpul pendapat bahwa pandangan, pengetahuan serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sangat menentukan di dalam memilih serta merumuskan hakekat pidana dan pemidanaan. Dengan demikian maka timbul suatu pertanyaan sejauh mana aliran-alian dalam hukum pidana dan teori-teori pemidanaan berpengaruh pada kebijakan legilatif dalam menetapkan tujuan pemidanaan yang hendak digariskan di dalam sistem operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana?

35

A. Gunawan Setiadji, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Perkembangan Masyarakat Indonesia, Kanisius dan PT. BPK. Gunung Mulia, Yogyakarta dan Jakarta, 1990, hal. 8.


(33)

jaman.sedangkan mereka yang berpandangan maju akan bertindak ragu-ragu karena tidak memiliki legalitas formal.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.

1. Jenis penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang.

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer seperti buku-buku dan literarur-literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder atau


(34)

dengan kata lain bahan hukum tambahan seperti kamus bahasa Indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :

a)Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.

b)Field Research, yaitu penelitian lapangan, yang dilakukan melalui wawancara terhadap responden. (Hakim Pengadilan Negeri Stabat, Pejabat Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, dan Dosen Fakultas Hukum USU).

4. Analisis Data

Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini dalam hal ini.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematik, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini, dirumuskan sebagai berikut :

Bab I, yang berjudul PENDAHULUAN, terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keasliaan


(35)

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan terakhir Sistematika Penulisan.

Bab II, yang berjudul EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA, yang berisikan mengenai bab-bab pembahasan, yang merupakan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi dan terorganisir dalam beberapa bab yang tersusun secara logis, yang terdiri atas sub-sub bab : Pidana Denda di Dalam KUHP Indonesia, Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia dan terakhir Pengaturan Pidana Denda dalam Rancangan KUHP Indonesia.

Bab III, yang berjudul PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA PERAMPASAN JANGKA PENDEK DI MASA MENDATANG, yang berisikan uraian-uaraian mengenai pokok permasalahan yang menitik beratkan kepada bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan jangka pendek yang didasrkan dari permasalahan penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan kelemahan maupun keuntungan penerapan pidana denda. Terdiri dari sub-sub bab : Permasalahan Penerapan Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Indonesia, Kelemahan dan Keuntungan Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Jangka Pendek di Indonesia dan terakhir Peluang Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Jangka Pendek di Masa Mendatang.


(36)

Bab IV, yang berjudul KESIMPULAN DAN SARAN, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran penulis dari hasil penelitian untuk perbaikan hukum kedepan khususnya yang berhubungan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan. Terdiri dari sub-sub bab : Kesimpulan dan Saran.


(37)

BAB II

EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Pidana Denda di Dalam KUHP Indonesia

Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan trakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.

Mulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan (buku II), perumusannya pidananya adalah pidana penjara tunggal, pidana penjara dengan alternatif denda, pidana kurungan tunggal, pidana kurungan dengan alternatif denda, dan pidana denda yang diancamkan secara tunggal.

Keseluruhan pasal dan ayat ancaman pidana yang dirumusan dalam KUHP diperoleh kompisisi yang dituangkan dalam Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1

Perbandingan Jumlah Pidana Penjara ; Penjara atau Denda ; dan Pidana Denda (Buku II KUHP) 36

Pidana Penjara (tunggal) Penjara atau Denda (Alternatif)

Pidana Denda Jumlah = 296 Pasal Jumlah = 133 Pasal Jumlah = 2 Pasal Ancaman maksimum

bervariasi, dari yang terendah :

1) 4 bulan = menghasut untuk bunuh diri (345);

2) 4 bulan 2 minggu = melarikan diri dari pekerjaan (455);

3) 6 bulan = membuat asal usul orang lain tidak tentu (277);

Ancaman maksimum penjara atau denda bervariasi dari yang terendah :

1) 1 bulan 2 minggu = Rp. 4.500

2) 2 bulan = Rp. 4.500 3) 3 bulan = Rp. 900 4) 3 bulan = Rp. 4.500 5) 4 bulan = Rp. 4.500 6) 4 bulan 2 minggu =

Rp.9.000

1) denda Rp. 18.000 2) denda Rp. 150.000

36


(38)

4) 9 bulan = membujuk tentara agar melarikan diri (236); perkelahian satu lawan satu (184); 5) 1 tahun 4 bulan =

merusak surat (234);

berita bohong terjadinya tindak pidana (220); Menghalangi pemilu (148);

6) 1 tahun 6 bulan = merintangi pertemuan umum (175);

7) 2 tahun sampai 15 tahun (dianggap sedang dan berat);

8) Seumur hidup atau 20 tahun (sangat berat)

7) 6 bulan = Rp. 4.000 8) 9 bulan = Rp. 4.500 9) 9 bulan = Rp. 9.000 10) 9 bulan = Rp.18.000 11) 1 tahun = Rp. 4.500 12) 1 tahun 4 bulan =

Rp.4.500

13) 1 tahun 4 bulan = Rp.15.000

14) 2 tahun 8 bulan = Rp.4.500

15) 2 tahun 8 bulan = Rp.75.000

16) 4 tahun = Rp. 900 17) 5 tahun = Rp. 900 18) 10 tahun = Rp

.25.000.000 Pasal 176 dan Pasal 407

Dilihat dari prosentase penentuan pidana antara pidana penjara, alternatif penjara dan denda, serta denda tunggal, yang ditentukan dalam buku II (dari Pasal 104 sampai Pasal 488), dapat dilihat dari table 2 dibawah ini :

Tabel 2

Prosentase Pidana Penjara, Penjara atau Denda, dan Denda Tunggal (Buku II) 37

Penentuan Pidana Prosentase

Pidana penjara tunggal = 296 Pasal 68, 67 % Alternatif pidana penjara atau denda = 133 Pasal 30, 85 %

Pidana denda tunggal 0,45 %

Dilihat dari persentase penentuan pidana antara pidana kurungan, alternatif kurungan dan denda, serta denda tunggal, yang ditentukan dalam buku III, dapat dilihat dalam tabel 5 di bawah ini (Pasal 489 sampai Pasal 596) :

37


(39)

Tabel 3

Persentase Pidana Kurungan atau Denda, dan Denda Tunggal (Buku III) 38

Penetuan Pidana Prosentase

Pidana kurungan tunggal = 6 Pasal

Alternatif pidana kurungan atau denda = 34 Pasal Pidana denda tunggal = 40 Pasal

7,5 % 42,5 % 50 %

Jika diperbandingkan dengan jumlah yang ditentukan dalam Buku II dan Buku III mengenai bobot jenis pidana penjara dan denda (juga kurungan) tampak secara signifikan bahwa pidana penjara diutamakan untuk menghukum pelaku tindak pidana kejahatan. Jumlah 465 Pasal , yang dimulai dari Pasal 104 sampai Pasal 569 menunjukkan bahwa terdapat 296 Pasal ancaman penjara tunggal, 6 Pasal kurungan tunggal (pelanggaran), 2 Pasal denda tunggal (untuk kejahatan), 40 Pasal pidana denda tunggal (pelanggaran), 133 Pasal altenatif pidana penjara atau denda, dan 34 altenatif pidana kurungan atau denda. Dari keseluruhan jumlah di atas dapat dilihat bahwa pidana penjara, termasuk pidana penjara yang dialtenatifkan dengan pidana denda, masih dominan, yakni berjumlah 296 penjara tunggal dan 133 alternatif penjara atau denda. Yang terakhir ini tergantung pertimbangan hakim apakah akan dijaratuhkan pidana penjara atau pidana denda.

Dari dominasi penentuan pidana penjara di atas, Barda Nawawi Arief, dalam Disertasinya berangkat dari pernyataan mengenai efektivitas pidana penjara itu sendiri. Dikatakan oleh Barda Nawawi Arif sebagai berikut : 39

“Seberapa jauhkah pidana penjara benar-benar memperbaiki si pelaku tindak pidana dan dengan demikian dapat mencegahnya untuk melakukan tindak pidana lagi ? jadi soalnya terletak pada masalah efektivitas pidana penjara itu sendiri. Inilah yang sering dijadikan salah satu tolak ukur pula

38

Ibid.

39

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislasi dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Op.Cit., hal. 95 - 101.


(40)

untuk memberikan dasar pembenaran pada satu sanksi pidana dilihat sebagai suatu sarana yang rasional dari politik kriminal. Dengan demikian, ukuran rasionalitas diletakkan pada keberhasilan suatu sarana dalam mencapai tujuannya. Apabila dikatakan bahwa tujuan politik kriminal adalah untuk mencegah atau mengulangi terjadinya kejahatan itu. Jadi ukuran rasional tidak diletakkan pada adanya persesuaian antara sarana itu dengan tujuan, tetapi diletakkan pada keberhasilan atau efektivitas sarana dalam mencapai tujuan. Menentukan dasar pembenaran pidana penjara dilihat sudut efektivitasnya ini merupakan suatu pendekatan pragmatis yang memang memang perlu dipertimbangkan dalam setiap langkah kebijakan. Namun persoalannya, seberapa jauhkan efektivitas pidana penjara itu dapat dibuktikan dan dengan demikian dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk memberikan dasar pembenaran. Apabila efektivitas dititikberatkan pada aspek perlindungan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat dicegah atau mengurangi terjadinya kejahatan. Jadi kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan itu dapat ditekan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Apabila ukuran efektivitas pidana dilihat dari dari aspek perbaikan pada pelaku, maka suatu pidana efektif apabila pidana itu sebanyak mungkin dapat mengubah si pelaku menjadi orang yang baik. Jadi kriteria efektivitas dilihat terutama dari aspek prevensi spesialisnya. Dalam hal demikian, menjadi pentinglah perbandingan antara jumlah yang tidak mengulangi lagi perbuatan jahatnya (residivis) dengan jumlah yang menguangi lagi. Jadi ada tidaknya residivis merupakan indikator yang menonjol untuk mengukur efektivitas pidana”.

Jadi dalam hal ini pidana denda diancamkan, dan sering kali sebagai altenatif dengan pidana kurungan terhadap hampir semua “pelanggaran” (overtredingen) yang tercantum dalam Buku III KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan, pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. Alternatif lain adalah dengan pidana kurungan. Pidana denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain.40

40

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 50.


(41)

Menurut Niniek Suparni perbedaan antara kurungan dan denda yang ditentukan baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran dapat diuraikan sebagai berikut :41

a. Pidana kurungan

1) Untuk kejahatan, maksimum ancaman pidana kurungan yang paling rendah adalah satu bulan dan yang paling tinggi satu tahun empat bulan, sedangkan untuk pelanggaran, maksimum yang paling rendah adalah tiga hari dan yang paling tinggi hanya satu tahun;

2) Untuk kejahatan, ancaman pidana kurungan yang paling banyak diancamkan secara berturut-turut adalah maksimum satu tahun (37,15%), enam bulan (22,86%), dan tiga bulan (17, 14%), sedangkan untuk pelanggaran yang paling banyak diancamkan adalah maksimum tiga bulan ke bawah, yakni berkisar antara tiga hari sampai tiga bulan. Hanya ada dua tindak pidana pelanggaran yang masing-masing diancam dengan pidana kurungan maksimum enam bulan dan satu tahun.

b. Pidana denda

1) Untuk kejahatan, maksimumnya berkisar antara Rp. 900,- (dulu 60 Gulden) dan Rp. 150.000,- (dulu 10.000 Gulden), sedangkan untuk pelanggaran berkisar antara maksimum Rp. 225 (dulu 15 Gulden) dan Rp. 75.000,- (dulu 5.000 Gulden);

2) Maksimum ancaman pidana denda yang paling banyak diancamkan untuk kejahatan adalah denda sebesar Rp. 4.500,- (dulu 300 Gulden), sedangkan untuk pelanggaran yang paling banyak adalah pidana denda sebesar Rp. 375,- (dulu 25 Gulden) dan Rp. 4.500,- (dulu 300 Gulden);

3) Dalam hal pidana denda diancamkan secara tunggal untuk tindak pidana kejahatan, maksimum mencapai Rp. 150.000,- (dulu 10.000 Gulden), sedangkan untuk pelanggaran maksimumnya hanya Rp. 75.000,- (dulu 5.000 Gulden).

Pengaturan pidana denda dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 10 jo. Pasal 30. Pasal 30 mengatur mengenai pola pidana denda. Ditentukan bahwa banyaknya pidana denda sekurang-kurangnya Rp. 3,75 sebagai ketentuan minimum umum.42

41

Suhariyono AR, Op. Cit., hal. 174. 42

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Penerbit Politea, Bogor, hal. 10 – 18.


(42)

Jika dijatuhkan pidana denda, dan pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti tersebut sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama 6 bulan. Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut:

a. Jika pidana dendanya Rp. 7,50,- atau kurang, dihitung satu hari;

b. Jika lebih dari Rp. 7,50,- tiap-tiap Rp. 7,50,- dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup Rp. 7,50,-

Lebih lanjut ditentukan bahwa jika ada pidana denda disebababkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama 8 bulan. Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari 8 bulan. Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda. Pada dasarnya, terpidana dapat mengurangi pidana kurungannya dengan membayar dendanya. Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim.

Pidana kurungan pengganti dilaksanakan pada waktu dijatuhkan pidana denda yang oleh hakim diputus yang sekaligus ditentukan pula berapa hari pidana kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti apabila pidana denda tidak


(43)

dibayar. Pidana pengganti ini disebut pula kurungan subside yang lamanya minimum satu hari dan maksimum 6 bulan. Waktu 6 bulan dapat dilampaui sampai 8 bulan dalam hal gabungan peristiwa pidana, pengulangan (residif), dan karena Pasal 52 di atas.

Cara penghitungan pidana pengganti adalah putusan denda Rp. 7,50,- atau kurang dihitung sama dengan 1 hari kurungan, sedangkan putusan lebih dari Rp. 7,50,- adalah setiap Rp. 7,50,- dan kelebihannya tidak lebih dari 1 hari. Setiap pidana denda Rp. 10,- yang dijatuhkan, misalnya, maka pidana yang dijatuhkan tidak dapat ditentukan kurungan pengganti denda lebih lama dari pada 2 hari.

Karena jumlah-jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah-jumlah itu perlu di perbesar/dipertinggi. Maka telah diundangkan Peratutan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa :43

43

Niniek Suparni, Op. Cit., hal. 51.

“Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-udang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang-Undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali”.


(44)

Jadi, denda tertinggi yang disebut dalam KUHP dalam Pasal 403 yaitu Rp.1000,- sekarang menjadi Rp. 15.000,-

Ayat (2) menentukan bahwa :44

44

Ibid.

“Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi”.

Seperti disinggung di awal bahwa berbeda dengan halnya batas maksimum umum pidana denda, maka KUHP menentukan satu batas minimum yang umum pidana denda, yaitu 25 sen (Pasal 30 ayat (1) ). Mengingat Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960, maka batas minimum yang umum denda itu sekarang menjadi : 15 x 25 sen = Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen).

Pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakana jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para Hakim, khususnya dalam peraktek peradilan di Indonesia.

Sejak 1960 sampai sekarang, belum ada ketentuan yang menyesuaikan mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk menerapkan pidana hilang kemerdekaan, dibandingkan dengan pemberian pidana denda.

Untuk kejahatan, maksimumnya berkisar antara Rp. 900,- sampai dengan Rp. 150.000,-, Maksimum ancaman pidana denda sebesar Rp. 150.000,- untuk kejahatan itu pun hanya terdapat dalam dua Pasal saja, yaitu dalam Pasal 251 KUHP dan Pasal 403 KUHP.


(45)

Untuk pelanggaran, denda maksimum berkisar antara Rp. 225,- sampai dengan Rp. 75.000,-. Namun yang terbanyak hanya terdapat untuk dua jenis pelanggaran saja yaitu yang terdapat dalam Pasal 568 dan Pasal 569 KUHP.

Sementara itu dalam perkembangan di luar KUHP, terdapat kecenderungan untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda.

Namum demikian di sisi lainnya kebijakan-kebijakan meningkatkan jumlah pidana denda tersebut tidaklah dibarengi dengan kebijakan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan pidana denda, di mana untuk pelaksanaannya adalah tetap terikat pada ketentuan umum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP.

Menurut ketentuan yang tedapat dalam Pasal 30 KUHP, tidak ada ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda itu harus dibayar. Di samping itu tidak ada pula ketentuan mengenai tindakan tindakan lain yang dapat menjamin agar terpidana dapat dipaksa untuk membayar dendanya, misalnya dengan jalan merampas atau menyita harta benda atau kekayaan terpidana.

Menurut sistem KUHP, alternatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana tidak mau membayar denda tersebut, hanyalah dengan mengenakan kurungan pengganti. Padalah kurungan pengganti yang dimaksudkan dalam Pasal 30 KUHP hanya berkisar antara 6 (enam) bulan atau dapat menjadi paling lama 8 (delapan) bulan.

B. Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia

Sebagaimana dipahami, undang-undang di luar KUHP pada dasarnya hanya melengkapi perbuatan atau tindak pidana yang di dalam KUHP belum secara lengkap diatur. Peluang ini memang diberikan oleh KUHP itu sendri dan


(46)

hal ini merupakan pembuka jalan bagi pembentuk undang –udang di luar KUHP untuk menyimpangi atau mengecualikan dari hal-hal yang secara umum diatur di dalam Buku I KUHP, termasuk pengaturan mengenai pidana denda.

Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII juga berlaku bagi perbuatan perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali apabila oleh undang-undang ditentukan lain. R. Soesilo memberikan komentar atas Pasal 103 tersebut hanya berkisar pada beberapa istilah yang ada dalam KUHP berlaku pula dalam undang-undang lain mengatur ketentuan pidana.45

45

R. Soesilo, Op.Cit., hlm. 84.

“Dengan adanya ketentuan dalam Pasal ini berarti, bahwa ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam bab yang ke IX dari Buku 1 KUHP (Pasal 86 s/d 102) hanya berlaku dalam KUHP ini saja, sedangkan sebaliknya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam bab I, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII (Pasal 1 s/d 95) selain untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP, berlaku pula untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dan peraturan-peraturan hukum lainnya, kecuali bila undang-undang, peraturan pemerintah atau ordonansi itu menentukan peraturan-peraturan lain. Dengan demikian, maka misalnya ketentuan-ketentuan mengenai apa yang dimaksud dengan “malam” (Pasal 98), “anak kunci palsu” (Pasal 100) dan “hewan” (Pasal 101) semua termuat dalam bab IX, itu hanya berlaku untuk merangkan kata-kata yang tersebut adalam KUHP saja, sedangkan buat undang-undang yang lain tidak, sebaliknya ketentuan-ketentuan mengenai “lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam undang-undang” (Pasal 1 s/d 9), “Pengecualian, pengurangan dan penambahan hukuman” (Pasal 76 s/d 85) yang masing-masing tersebut dalam KUHP, pun berlaku pula untuk menerangkan ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut dalam undang-udang lainnya, misalnya, Undang-Undang Lalu Lintas Lajan, Undang-undang Materai, Undang-Undang Senjata Api, Undang-udang Penyakit Anjing Gila, Undang-Undang Obat Bius dan sebagainya, namun demikian ada kecualinya ialah dalam hal apabila Undang-undang Lalu Lintas dan sebagainya itu menentukan peratuaran lain.”


(47)

Dari komentar di atas, tidak disinggungkan mengenai kemungkinan bahwa KUHP khususnya mengenai pidana dan pemidanaan – dapat dijadikan pedoman dalam penentuan pidana bagi pembentukan undang-undang di luar KUHP. Andi Hamzah, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, mengatakan bahwa :46

46

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1-3.

“Kata kunci untuk hal ini ialah Pasal 103 KUHP yang mengatakan bahwa ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX (interpretasi istilah) berlaku jugga terhadap perbuatan (feiten) yang menurut undang-undang dan peraturan lain diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Maksudnya ialah Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum (atau asas-asas) berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-unang atau peraturan itu menyimpang. Peraturan hukum pidana yang tercantum dilluar KUHP itu dapat disebut undang-undang (pidana)tersendiri (afzonderlijke (straf) wetten ) atau disebut juga dengan hukum pidana diluar kodifikasi atau nonkodifikasi. Terlebih di Indonesia, dengan berkembang suburnya undang-undang tersendiri di luar KUHP, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan banyak perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana, yang kadang-kadang pidananya sangat berat, sampai adal pidana mati (Undang Narkotika, Undang-Undng Psikotropika). Mempelajari hukum pidana dalam undang-undang tersendiri itu memerlukan waktu dan pikiran yang banyak. Perkembangan lainnya di Indonesia yang berbeda dengan Belanda ialah semakin banyaknya perundang-undanganan administrasi yang bersanksi pidana dengan ancaman pidana penjara sangat berat, sepuluh, sebelas tahun sampai seumur hidup, bahkan ada sampai pidana mati. Undang-Undang Admininstrasi seperti undang-undang narkotika, psikotropika, perbankan, lingkungan hidup, dan lain-lain mengandung pidana yang sangat berat, yang semestinya khusus untuk rumusan deliknya dibuat undang-undang pidana tersendiri. Di Belanda untuk pidana penjara yang berat itu harus dituangkan dalam undang-undang pidana bukan administrasi. Undang-Undang administrasi sanksinya mestinya hanya berupa kurungan atau denda. Untuk ancaman pidana penjara yang berat, harus diciptakan undang-undang pidana tersendiri, misalnya WED (Wet op Economische Delicten).


(48)

Pembentukan undang-undang di luar KUHP dalam menentukan ancaman pidana denda berdasarkan Pasal 103 di atas pada dasarnya diberi kebebasan untuk menetapkan jumlah ancaman pidana denda. Selain jumlah ancaman, pembentuk undang-udang di luar KUHP juga bebas menentukan apakah pidana denda sebagai alternatif atau sebagai pemberatan dengan perumusan kumulatif atau ditentukan secara alternatif dan/ atau kumulatif untuk memberikan lebih kebebasan kepada hakim dalam menjatuhkan pidana, walaupun hal ini menyimpang dari KUHP itu sendiri yang hanya menganut faham penentuan pidana alternatif untuk penjara atau denda atau kurungan denda.

Berangkat dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan diikuti oleh undang-undang berikutnya sampai dengan undang-udang hasil pembahasan DPR-RI dan Pemerintah masa sekarang (2012), penentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP berkembang dan beragam tanpa adanya kriteria, pola, atau standar penentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP, terutama pidana denda yang jumlahnya maksimum beragam.

Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa :47

“sebenarnya dalam RKUHP ada beberapa Pasal yang penting untuk menjadi pedoman dalam perumusan ketentuan pidana, yaitu a.l. tentang stelsel (sistem) pemidanaan, jenis-jenis, adanya double-track system (tindakan, maatregel), dirumuskannya tujuan pemidanaan, serta pedoman pemidanaan (sentencing guideline). Kriminalisasi terdiri dari kriminalisasi primer dan kriminalisasi skunder. Kriminalisasi primer ditentukan oleh pembuat undang-undang dan kriminalisasi skunder oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.”

47

Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku I, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. Hlm 72.


(49)

Di dalam praktek penyusunan suatu udang-undang di DPR, anggota Dewan sering mempertanyakan mengenai bagaimana mengukur dan menentukan maksimum pidana penjara atau denda, termasuk pertanyaan bagaimana mengukur dan menentukan minimum pidanaya. Sebagai orang yang mewakili Pemerintah, tidak banyak yang dapat dikemukakan karena kriteria, pola, dan standar penentuan pidana dalam suatu undang-undang di luar KUHP belum ada. Patokan sementara adalah dengan cara membandingkan dengan pidana yang ditentukan dalam KUHP dan undang-undang di luar KUHP yang telah ada.

Penyusunan undang-undang di luar KUHP dari kurun waktu setelah Indonesia merdeka sampai sekarang mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan penyusunan undang-undang yang mengatur bidang administratif dan bidang-bidang lain yang di dalamnya tidak ada ketentuan pidananya. Perkembangan ini pada dasarnya dipicu oleh ketentuan Pasal 103 KUHP yang memberikan peluang untuk menentukan sendiri ketentuan pidananya dalam undang-undang diluar KUHP.

Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali apabila oleh undang-undang ditentukan lain. Di dalam KUHP itu sendiri tidak disinggung mengenai kemungkinan bahwa KUHP – khususnya mengenai pidana dan pemidanaan- dapat dijadikan pedoman dalam penentuan pidana bagi pembentuk undang-undang di luar KUHP.


(50)

Sudarto, terkait dengan undang-undang di luar KUHP, menyebutnya sebagai hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht) dan undang-undang pidana khusus (bijzondere wetten). Yang dimaksud dengan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang diterapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus. Termasuk didalamnya hukum pidana militer (orang khusus) dan hukum pidana fiscal atau pidana ekonomi (perbutan khusus). Hukum pidana khusus ini adalah hukum yang menambah (aanvullend recht). Undang-Undang pidana khusus (bijzondere wetten) oleh Sudarto dikelompokkan ke dalam tiga bagian yakni :48

1. Undang yang tidak dikodifikasikan, misalnya Undang-Undang tentang Lalu Lintas Jalan Raya;

2. Peraturan hukum administrative yang memuat sanksi pidana, misalnya Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan. 3. Undang-Undang yang memuat hukum pidana khusus (ius singular,

ius speciale), yang memuat delik-delik khusus untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu, misalnya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.”

Untuk lebih mempermudah penyebuatan di atas, dalam penyusunan peraturan perundang-udangan lebih dikenal dengan istilah undang-undang hukum pidana (misalnya Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme), undang-undang hukum administratif (misalnya undang-undang yang mengatur tentang perizinan atau yang berhubungan dengan kepemerintahan, namun ditentukan sanksi pidana), dan undang-undang hukum perdata (misalnya undang-undang yan mengatur mengenai

48


(51)

hubungan hukum orang perseorangan dan masyarakat, di dalamnya ditentukan danksi pidana).

Dari Kondisi yang dikemukakan di atas, dalam perkembangannya pembentukan undang-undang di luar KUHP, yang mencantumkan sanksi pidana telah menyimpangi pola kebiasaan sebagaimana ditentukan dalam KUHP, walaupun kemudian orang memaklumi sebagai hal yang khusus (lex specialis). Menurut Suhariyono AR, Pola dalam KUHP yang selama ini dijadikan patokan adalah :49

a. Tidak dikenal adanya penentuan kumulatif (penjara dan denda) sebagai pemberatan pidana;

b. Tidak dikenal adanya pidana minuman khusus;

c. Tidak dikenal adanya pidana minuman khusus dan sekaligus kumulatif sebagai pemberatan; dan

d. Tidak dikenal adanya pidana kumulatif dan sekaligus alternatif.” Muladi mengkritik secara tajam terhadap pembentuk undang-undang di luar KUHP karena dalam menyusun ketentuan pidana, tidak mendasarkan pada filosofi dan asal melakukan kriminalisasi. Pembentuk undang-undang sering menentukan pidana itu hanya sebagai pembalasan dan tidak melihat Buku I KUHP sehingga dalam penyusunannya tidak mendasarkan pada prinsip atau asas-asas yang selama ini dijadikan dasar berpijak sehingga terjadi over criminalization.50

Terkait dengan penentuan pidana dalam suatu undang-undang di luar KUHP, Suhariyono berpendapat bahwa :51

49

Suhariyono AR, Op.Cit., hal. 188. 50

Muladi, Op.Cit., hal. 53 – 54. 51


(52)

“Baik pada pembahasan atau penyusunan suatu RUU maupun terhadap undang-undang yang sudah ada yang secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Belum adanya konsistensi penentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP, terutama penentuan mengenai pola terhadap lamanya atau besarnya sanksi pidana;

2) Jika antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya tidak ada konsistensi penentuan pidana, padahal elemen tindak pidananya sama atau hampir sama, maka akan timbul ketidakpastian hukum dan membingungkan bagi penegak hukum.

3) Penentuan pidana dalam suatu undang-undang di bidang hukum ekonomi atau hukum administrasi kepemerintahan sebagai salah satu kebutuhan pengaturan untuk menegakkan undang-undang tersebut, semakin berkembang dan belum ada batasan pengaturannya;

4) Mudahnya pembentuk undang-undang mencantumkan sanksi pidana daripadansanksi adminstratif sehingga tiimbul anggapan adanya kelebihan pidana (overload) yang tidak sebanding dengan upaya dan pelaksanaan penegakan hukumnya;

5) Adanya kecendrungan pembentuk undang-undang yang mengatur bidang hukum ekonomi dan bidang hukum administrative untuk menentukan sanksi pidana yang begitu tinggi, termasuk penentuan pidana minimum khusus;

6) Adanya kecenderungan pula bagi pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa undang-undang yang dibentuknya merupakan les specialis dari KUHP sehingga ancaman pidana yang ditentukan merupakan pemberatan daripada ancaman yang ditentukan dalam KUHP; 7) Pembentuk undang-undang yang dilakukan secara parsial, terutama

undang-undang keperdataan, yang dibentuk oleh sector atau instansi yang menyatakan dirinya sebagai pemrakarsa cenderung menciptakan perlunya penegakan hukum berupa penentuan sanksi pidana dalam undang-undang yang dibentuknya;

8) Penentuan pidana, terutama pidana penjara dan denda, terkait dengan penghilangan kemerdekaan dan pembebanan seseorang yang relative berat apabila pidana tersebut dijatuhkan kepada seseorang sehingga dalam menentukan pidana dalam suatu undang-undang diperlukan alas an secara rasional mengapa pidana diancamkan dalam suatu undang-undang; 9) Undang-undang di luar KUHP pada dasarnya hanya melengkapi

perbuatan atau tindak pidana yang di dalam KUHP belu diatur. Peluang ini memang diberikan oleh KUHP itu sendiri dan hal ini merupakan pembuka jalan bagi pembentuk undang-undang di luar KUHP untuk menyimpangi atau mengecualikan dari hal-hal yang secara umum berlaku. Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII juga berlaku bagi perbuatan perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancamkan dengan pidana, kecuali bila oleh undang-undang ditentukan


(1)

tindak pidana. Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam mayarakat. Pidana denda juga dapat dijadikan sebagai icon pemasukan negara bukan pajak (PNBP). Namun kritikan-kritikan terhadap kekurangan-keurangan pengaturan pidana denda yang ada dalam hukum positif Indonesia haruslah dibenahi terlebih dahulu.

B. Saran

1. Pidana denda dalam KUHP nilainya sangatlah rendah. Sejak 1960 sampai sekarang, belum ada ketentuan yang menyesuaikan mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk menerapkan pidana hilang kemerdekaan, dibandingkan dengan pemberian pidana denda.Berkenaan dengan permasalahan ini perlu adanya penyesuaian nilainya yang berkesinambungan melalui Peraturan Pemerintah.

2. Untuk mengefektivitaskan pidana denda, dalam perkembangan aturan pidana di luar KUHP, terdapat kecendrungan dalam kebijakan legislatif untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda.Sementara itu keengganan para penegak hukum untuk menerapkan / menjatuhkan pidana denda tunggal terhadap terpidana untuk tindak pidana diluar KUHP adalah karena :


(2)

b) Bahwa terpidana yang dijatuhi pidana denda tunggal dan ekonominya lemah lebih memilih subsider kurungan dari pidana denda tunggal tersebut karena jumlah pidana denda yang sangat tinggi. Sementara itu untuk yang ekonominya kuat pidana denda bukan menjadi pidana yang dapat memberikan efek jera baginya; c) Undang-undang lebih banyak mencantumkan sanksi pidana penjara

yang dikumulatifkan dengan pidana denda (double track system) dari pidana pidana penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda atau pidana denda tunggal;

d) Tidak ada ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda itu harus dibayar, disamping itu tidak ada pula ketentuan mengenai tindakan-tindakan lain yang dapat menjamin agar terpidana dapat dipaksa untuk membayar dendanya misalnya dengan jalan merampas atau menyita harta benda atau kekayaan terpidana;

e) Terhadap kejahatan yang mempunyai korban, pidana denda bukan menjadi pilihan yang memberikan manfaat kepada si korban, karena dendanya diberikan kepada negara, bukan kepada si korban untuk pemulihannya. Dengan demikian tujuan pemidanaan tidaklah dapat tercapai.

f) Tidak ada aturan yang jelas terhadap pidana denda yang diberikan kepada koorporasi.


(3)

a) Pidana denda ditentukan melalui pengkategorian;

b) Jika terdapat perubahan nilai rupiah, dapat diubah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah;

c) Adanya pengaturan mengenai pertimbangan tentang kemampuan terpidana;

d) Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil;

e) Pidana denda dapat diganti dengan pidana kerja sosial, pengawasan atau pidana penjara;

f) Untuk denda dapat dijatuhakn terhadap korporasi;

g) Untuk korporasi yang tidak dapat membayar denda secara penuh, diganti dengan pidana berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno, Hukum-Hakim Pidana, Penerbit Erlangga, Cetakan Kedua, Jakarta, 1984, hal. 2-15.

Adjie, Indriyanto Seno, Korupsi: Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 157 – 158

Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, Remadja Karya, Bandung, 1987, hal. 36.

AR, Suhariyono, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia (Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2012, hal. 9. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 234-235.

---, Kebijakan Hukum Pidana, Bunga Rampai, Perkembangan Penyusunan KUHP Baru, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2008. hal. 116.

---, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 85-87.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bineka, Jakarta, 1994, hal. 31.

---, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1-3.

---, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT Pradyana Paramita, Jakarta, hal. 87

Harsono, C.I., Sistem baru Pembinaan narapidana, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 60.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Semarang, 1978, hal. 61.

Muladi , Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 61.

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992. Hal. 25-26.


(5)

Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,1994, hal. 28.

Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku I, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. Hlm 72.

Remelink, Jan, Hukum Pidana-Komentar atas Pasal -Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Pidananya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarata, 2003, hal. 485-486.

Remy Sutan, Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2007, hal. 193.

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 27 Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Perkembangan

Masyarakat Indonesia, Kanisius dan PT. BPK. Gunung Mulia, Yogyakarta dan Jakarta, 1990, hal. 8.

Simons, D., Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht (Kitab Pelajaran Hukum Pidana) (diterjemahkan P.A.F. Lamintang), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 13.

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2007, hal. 207-208.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal , Penerbit Politea, Bogor, hal.

10 – 18.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 80. ---, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 42.

Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 50.

Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN, dan LBH Jakarta, 2007, Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji (Studi Awal Penerapan Konsep Pemasyarakatan), Partnership, Jakarta, 2007, hal. 4.

Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Hukum Pidana di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002, hal. 4.


(6)

Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 84-85.

Peraturan Perndang-undangan

Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 junto Undang-Undang Nomor tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Terorisme.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara