PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI

BAB III PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI

INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian Dalam perundang-undangan di Indonesia pengertian perwalian terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 1 poin h, yang menjelaskan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 1 Nampaknya perwalian yang dimaksud peraturan ini adalah perwalian secara khusus, yaitu apabila seorang anak tidak mempunyai kedua orang tua, atau mempunyai kedua orang tua yang tidak cakap bertindak hukum. Dalam Undang- undang Perlindungan Anak, Pasal 1 poin lima 5, wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 2 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat 3 menyatakan perwalian dengan: “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”. 1 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008, h.2 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Poin 5 48 Perwalian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bab XV tentang kebelum dewasaan dan perwalian pasal 330-432, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50-54, Kompilasi Hukum Islam pasal 1 poin h, pasal 107-112, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, pasal 30-36. Pembagian perwalian nampaknya dibedakan menjadi dua bagian, pertama wali nikah secara khusus dan kedua perwalian terhadap anak, baik terhadap dirinya maupun hartanya. 3 B. . Hak dan Tanggung Jawab Perwalian Anak Kompilasi Hukum Islam pasal 98, poin 3, menerangkan bahwa pemeliharaan anak yang mana kedua orang tuanya tidak mampu, pengadilan dapat menunjuk salah seorang dari kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut, namun di pasal yang lain, yaitu pasal 108 menerangkan bahwa orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Namun hal tersebut tampaknya untuk perwalian masalah diri dan harta, adapun untuk wali nikah, berdasarkan pada pasal 21, yaitu kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka, kelompok kerabat paman, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah 3 Kompilasi Hukum Islam, pasal 19 dan 107 dan keturunan laki-laki mereka. 4 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekusaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 dua orang saksi. Dan pada pasal yang sama ayat 2 dinyatakan, bahwa wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. 5 Peraturan di Indonesia ini mengatur, bahwa yang berhak menjadi wali adalah kedua belah pihak orang tua, kemudian seseorang yang ditunjuk atau diwasiatkan oleh orang tua, kerabat dekat kemudian seseorang atau badan hukum yang ditunjuk pengadilan. 6 Adapun persyaratan seorang wali dalam masalah diri secara umum serta masalah harta adalah, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. 7 Peraturan tersebut tidak mensyaratkan seorang wali harus seagama dengan orang yang diampunya, hanya saja dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 51 ayat 3, mengharuskan seorang wali untuk menghormati agama dan kepercayaan seorang anak yang diampunya. Namun dalam perwalian nikah 4 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia,2009 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia,2009 6 Ibid. h.32 7 Islam pasal Kompilasi Hukum Pasal 107 4,Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 51 2, Bandung: Nuansa Aulia,2009 secara khusus, berdasarkan pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam, bahwa seorang wali nikah harus memenuhi syarat seorang laki-laki, muslim, aqil dan baligh. 8 C. Orang Yang Berhak Mendapat Perwalian Mengenai seseorang yang harus mendapat perwalian adalah terbagi menjadi dua, perwalian nikah serta perwalian diri secara umum dan harta. Dalam perwalian nikah diri secara khusus, berdasar pada pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebagian rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahinya. Adapun perwalian terhadap masalah diri secara umum dan dalam masalah harta yaitu terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, dan anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 50 ayat 1. 9 D. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian. Objek perwalian meliputi perwalian nikah, perwalian terhadap diri dan harta terhadap anak yang belum cakap umur. Dalam perwalian terhadap diri dan harta terhadap anak yang belum atau tidak cakap hukum yaitu seorang wali berkewajiban utuk mengurus diri dan harta, memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untu masa 8 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 20. Bandung: Nuansa Aulia,2009 h.7 9 Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Nuansa Aulia,2009 h.7, 95 depannya, dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang ada di bawah perwaliannya kecuali perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada dibawah perwaliannya, mengganti harta tersebut akibat kesalahan atau kelalaiannya serta wali dapat menggunakan harta tersebut sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali fakir. 10 E. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Terahadap Anak Peraturan di Indonesia menetapakan bahwa pada dasarnya orang tua adalah yang berhak dan secara otomatis menjadi wali bagi anaknya, orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan, orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi, serta orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut. Perwalian itu ada, begitu juga dengan penetapannya berdasarkan pada Pasal 50 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu apabila: 1. Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun. 2. Anak-anak yang belum kawin. 3. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. 10 Kompilasi Hukum Islam, pasal 110. Bandung: Nuansa Aulia,2009 h.34 4. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali. 5. Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya. Menurut Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 51, perwalian terjadi karena : 1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi. 2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Dengan demikian, bahwa penetapan seseorang untuk menjadi wali untuk seorang anak yang belum atau tidak cakap hukum, salah satu syaratnya adalah anak tersebut tidak dibawah kekuasaan orang tua, maka penetapan orang tua untuk menjadi wali bagi anaknya adalah bertentangan dengan konsep perwalian yang ada dalam perundang-undangan di Indonesia. Disamping itu subjek wali yang dimaksud undang-undang dalam perwalian, yaitu kepada selain orang tua, baik itu kerabat, orang lain maupun lembaga. F. Berakhirnya Perwalian Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu : 1. Dalam hubungan dengan keadaan anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena : a. Anak telah menjadi dewasa meerderjarig, 18 tahun menurut KUHPerdata dan 21 tahun menurut Kompilasi Hukum Islam. b. Anak melangsungkan perkawinan. c. Matinya si anak. d. Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya. e. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui. 2. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena : a. Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali. b. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian pasal 380 KUHP Perdata. Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri. Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan : a. Jika wali berkelakuan buruk. b. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya. c. Jika wali dalam keadaan pailit. d. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut. e. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. f. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan pasal 368 KUHPerdata. g. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Harta Peninggalan pasal 372 KUHPerdata. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali dapat dimintakan pemecatan oleh permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, berkelakuan buruk, tetapi meskipun orang tua dicabut kekuasannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. 11 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 49. Bandung: Nuansa Aulia,2009 h.94

BAB IV PERKARA PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI