BAB II PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar, waliya, wilayah
atau walayah, dari ungkapan wala asyay’a wa wala alayhi wilayatanwalayatan. Kata alwalayatu
ditafsirkan dengan pertolongan, dikatakan ﻓ نﻮ ﺘ يا ﺔﻳﻻو
ه ا
ةﺮ ﻟ , yaitu mereka dalam pertolongan, artinya bersama-sama dalam pertolongan,
sedangkan kata alwilayatu ditsfsirkan dengan al-qudrah wa al-sultah, yaitu kekuasaan dan kekuatan. Sibaweih berkata, bahwa kata al-walayah dengan fathah
adalah masdar, sedangkan al-wilayah dengan kasrah adalah isim seperti al-imarah. Ibnu Bary berpendapat kata al-walayah dalam firman Allah SWT surat al-Anfal ayat
72, dibaca dengan fathah atau kasrah, keduanya berarti pertolongan, sedangkan al- Kisai membacanya dengan fathah.
1
Terjemahan al-Qur’an secara lafziyah ke dalam bahasa indonesia yang ditashih oleh Departemen Agama, juga mengartikan kata
tersebut dengan pertolongan,
2
karena kata tersebut adalah nama bagi sesuatu yang yang dikuasai. Nama al-wali adalah nama untuk Allah SWT, yang berarti pemilik
segala sesuatu seluruhnya. Dari pemahaman diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa kata wilayah dan
walayah mempunyai makna etimologis lebih dari satu, diantaranya dengan makna,
1
Ibnu Manzur. Lisan al-Arab, Mesir: Daar al-Hadist,2003, h.405.
2
Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, Tarjamatu Alfadzi al-Quran, Inayatan Li al-Mubtadiin
, jilid IV Jakarta: Tri Burnama Utama Jakarta,1980, h.34. 18
pertolongan, cinta mahabbah, kekuasaan atau kemampuan al-sultah, yang artinya kepemimpinan seseorang atas sesuatu. Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz
Dahlan, mengartikan wilayah secara etimologis dengan dekat, mencintai, menolong, mengurus, menguasai, daerah dan pemerintahan.
3
Kata waalwaliyywaliyyan paling tidak diulang-uang dalam al-Quran sebanyak 31 kali, sedangkan kata alwalayah dan
wilayah sebanyak 2 kali.
4
Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat dipahami bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh
atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang
berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.
5
Dalam literatur-literatur fikih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi
seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat
berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak itu dipegang oleh wali nikah.
6
3
“Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, vol.6 Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, h.1934.
4
Faydullah al-Hasani al-Maqdisi, Fathu ar-Raahman Li a-Thalib Ayat al-Quran, Bandung: Maktabah Dahlan, t,th, h.482.
5
Andi Syamsu dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam Jakarta: Prenada Media Group,2008, h.151.
6
Ibid., h.152, lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam
, vol.6 Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, h.1934.
Sedangkan menurut ulama fikih, al-walayah adalah kekuasaan syara’ yang dimiliki seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya.
7
Wahbah al-Zuhaili mendefinikan wilayah dengan pengurusan orang dewasa yang cakap hukum terhadap diri atau harta seseorang yang belum cakap hukum, adapun
yang dimaksud belum cakap hukum adalah seseorang yang belum sempurna ahliyyah al-ada
,
8
baik kerena hilangnya seperti belum mumayyiz atau naqisnya kurangnya, seperti mumayyiz.
9
Ulama fikih lain mendefinisikan wilayah dengan: “Wewenang seseorang untuk bertindak hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk
kepentingan peribadinya maupun untuk kepentingan hartanya, yang diizinkan oleh syara
. Orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub hanya cakap menerima hak, belum dan tidak cakap bertindak hukum sendiri perlu dibantu oleh seseorang
yang telah dewasa yang cerdas dalam mengayomi pribadi dan hartanya. Orang membantu mengelola harta dan mengayomi orang yang belum atau tidak cakap
berbuat hukum dalam fikih Islam disebut wali. Apabila anak kecil atau orang gila bertindak hukum sendiri , maka tindakan hukumnya tidak sah dan tidak menimbulkan
akibat hukum apa pun. Anak kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan memerlukan orang yang dapat membantu mereka dalam melakukan
7
Ibid., h.152
8
Ahliyatul Ada adalah kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap ucapan dan perbuatannya
meburut syara, lihat dalam Saifudin Shidik, Ushul Fikih Jakarta: Intimedia. T.th, h.162.
9
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuh, Juz IX Damsyiq : Dar El Fikr,1989, h.7327.
tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka sendiri, maupun terhadap harta bendanya serta segala sesuatu yang bermanfaat untuk diri mereka. Dalam kaitan
inilah Islam mengemukakan konsep al-wilayah, sebagai pembantu orang-orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub. Dari sudut ini wilayah sama dengan pengganti
atau wakil dalam bertindak hukum.
10
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan wilayah dengan merealisasikan atau menjalankan perkataanperbuatan orang lain, baik yang diinginkan atau tidak.
11
Adapun yang menjadi dasar hukum diadakannya perwalian yaitu Firman Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 282 :
12
⌧ ☺
☺ ☺
⌧ ⌧
☺ ☺
10
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.153. lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, h.1944
11
Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami, h.7327
12
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h.69.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. jika
tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya....
Q.S. al-Baqarah: 282” Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA tentang perwalian dalam masalah
nikah:
ﺪﺛ ْا ﺎ
أ ﺮ
ﺪﺛ ﺎ
ْ نﺎ
ْ ْ
ﺔ ْا
ﺟ ﺮ
ْﻳ ْ
ْ نﺎ
ْ ْﻮ
ﻰ ْ
ﺰﻟا ْه
ﺮ ي
ْ ْﺮ
و ة
ْ ﺋﺎ
ﺔ :
أ ن
ر ْﻮ
ل ﷲا
ﷲا ﻰ ْﻪ
و لﺎ
أﻳ ْ ا ﺎ
ﺮ أة
ﻜ ْﺖ
ﻐْ ﺮ
إْذ ن
وﻟ ﻬ
ﻓ ﺎ ﻜﺎ
ﻬ ﺎ
ﺎ ٌ
ﻓ ﻜﺎ
ﻬ ﺎ
ﺎ ٌ
ﻓ ﻜﺎ
ﻬ ﺎ
ﺎ ٌ
ﻓ ْنﺈ
د ﻬ
ﻓ ﺎ ﻬ
ﻟا ﺎ ْﻬ
ﺮ ْ ا ﺎ
ﺘ ْ
ﻓ ْﺮ
ﺟ ﻬ
ﻓ ﺎ ْنﺈ
ْ ا ﺘ
ﺮ ْو
ا
Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki
telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat
menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali
HR.Imam empat kecuali Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan hakim.
B. Macam-macam Wilayah Perwalian Wilayah
Perwalian itu terbagi atas beberapa bagian dengan istilah yang berbeda-beda.
14
1. Dari sisi keumumannya, wilayah terbagi atas wilayah aam umum dan wilayah khas
khusus: a. Wilayah aam kekuasaan umum yaitu kekuasaan imampemimpin, sultan
penguasa dan qadhihakim b. Wilayah khas kewaliankekuasaan yaitu perwalian ayah atau washi
penerima wasiat terhadap anak kecil. Atau wilayah kurator penanggung jawab atas orang yang lemah akal dan gila.
13
Abu Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I
h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no 1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah
al-Ahkam, Juz III Mesir: Daar Fikr, 1991, h.228
14
Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak
, Jakarta: Almawardi Prima, 2004, h.307
2. Dari sisi orangnya sendiri atau wali, terbagi atas wilayah qashirah dan mutaaddiyah
,
15
atau disebut juga wilayah asliyyah dan niyabah.
16
a. Wilayah qashirah terbatas, yaitu kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri. b. Wilayah mutaaddiyah, melintasi orang lain, Wilayah mutaaddiyah dari sisi
pelaku akad terbagi menjadi: 1. Kekuasaan pelaku akad al-aaqid untuk melakukan akad khusus oleh
dirinya sendiri dan melaksanakan hukum-hukumnya 2. Kekuasaan pelaku akad untuk melakukan akad khusus dengan yang
lainnya dengan menggunakan mandat dari syar’i penetap syariat c. Wilayah muta’addiyah dari sisi mawla ‘alayh yang diayomidiwilayahi,
terbagi atas: 1. Wilayah ala al-nafs kekuasaan mengurus jiwa, yaitu kekuasaan wali
dalam untuk melakukan akad pernikahan, dimana ia melaksanakan tanpa izin oleh siapapun setelahnya.
2. Wilayah ala al-mal kekuasaan mengurus harta, yaitu seperti kekuasaannya untuk melakukan akad-akad khusus dengan harta benda,
dimana ia melaksanakan tanpa perkenan dari siapa pun juga. 3. Wilayah ala al-nafs wa al-mal kekuasaan mengurus jiwa dan harta,
yaitu kekuasaan untuk melakukan apa yang mencakup jiwa dan harta
15
Ibid ., h.307. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-
Syakhsiyyah Fi al-Ahliyyah Wa al-Washiyyah Wa at-Tirkaah , Damaskus: Daaf Fikr, 1965, h.42.
16
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.153
secara bersamaan, serta hukum-hukum apa yang berhubungan dengan keduanya.
d. Wilayah mutaaddiyah dari sisi sifat penerimaannya terbagi menjadi:
17
1. Wilayah Ikhtiyariyyah
sukarela, yaitu terbentuk melalui pendelegasian wewenang dari orang yang digantikan atau orang yang
diwakili, seperti wali anak yatim yang bukan dari keluarganya, atau seseorang yang diberi wasiat oleh seorang ayah untuk menjadi wali bagi
anaknya. 2. Wilayah Ijbariyyah paksaan, yaitu perwalian yang harus diterima
sesorang melalui pendelegasian syara ataupun hakim, seperti ayah atau kakek. Dalam pengertian lain wilayah ijbariyah adalah perwalian yang
berlaku kepada yang berhak diwakilkan dengan cara paksa tanpa mempertimbangkan
keridhaannya.
18
Wahbah Zuhaili dalam bab wilayah memulai bahasannya tentang perwalian dengan dua bagian, yaitu wilayah al-nafs dan wilayah al-mal. Adapun wilayah al-
nafs menurut beliau adalah, naungan atas orang yang belum cakap hukum pada
dirinya, dari memelihara dan menjaganya, mengajarkan dan mendidiknya serta mengobati dan menikahkannya, dan lain sebagainya. Adapun wilayah al-mal ialah,
naungan atas seseorang yang belum cukup umur akan harta bendanya, dari
17
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.154.
18
Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, h.313.
mengembangkannya, dan berbuat hukum darinya seperti jual beli, pinjam meminjam, gadai dan lain sebagainya.
19
Abu Zahra, pengarang kitab al-Ahwal al-Syaksiyyah, membagi pembahasan perwalian pada wilayah pendidikan dan pengasuhan hadhanah, wilayah atas diri
dan penjagaannya serta wilayah al-mal.
20
Perwalian dalam pendidikan dan pengasuhan anak yang masih kecil masuk dalam permasalahan hadhanah
pengasuhan anak, adapun setelah anak tersebut baligh dan mampu mengurus dirinya sendiri, maka diberlakukan perwalian terhadap dirinyadan hartanya terhadap
segala perbuatan hukum.
C. Rukun dan Syarat Perwalian 1. Hak Dan Tanggung Jawab Perwalian Anak mawla lah
Pada prinsipnya, seorang wali dengan wewenangnya harus senantiasa berorientasi kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang ada dibawah
pengampuannya. Namun, karena persoalan pribadi dan harta merupakan persoalan yang cukup rumit, maka hukum syara’ menganjurkan agar yang menjadi wali adalah
berasal dari kalangan keluarga terdekat, seperti ayah atau pamannya, karena kedua orang ini diperkirakan dapat memikul tanggung jawabnya secara penuh. Dalam
menetapkan siapa yang berhak menjadi wali, ulama fikih membagi sesuai dengan
19
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy, h.7327.
20
Abu Zahra, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Mesir: Daar al-Fikr, 2005, h.453.
objek pewalian, seperti perwalian dalam masalah jiwa pribadi yang di bawah pengampuan.
Madzhab Syafi’iyyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sama dengan hierarkis orang-orang yang berhak menerima
kewarisan. Apabila ayah tidak ada, maka kakek pun dapat diberi tugas perwalian. Dengan demikian, maka yang menjadi wali sebaiknya orang yang terdekat dengan
yang diwakili, persis seperti kerabat dekat yang dibahas dalam persoalan ahli waris. Jika orang terdekat yang laki-laki tidak ada, maka hak perwalian urusan pribadi
biasanya ditangani pihak ibu.
21
Dalam permasalahan wilayah al-mal, ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang berhak terhadap perwalian harta adalah ayah,
kakek, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah atau kakek, qadhi atau pihak yang berwenang dan tidak berlaku kepada selain orang tersebut kecuali ada wasiat adri
ayah atau qadhi. Ulama Syafi’iyyah ini berbeda dengan ulama lain, yaitu dengan mengedepankan kakek terhadap seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, karena
kakek seperti ayah dan ia lebih beser penjagaannya, oleh karena itu kakek ditetapkan juga sebagi wali nikah manakala tidak ada ayah.
22
Dalam perwalian al-nafs, menurut Abu Hanifah yang berhak menjadi wali bagi seseorang yang cakap hukum adalah anak, ayah, kakek, saudara laki-laki,
paman, artinya perwalian tersebut berdasarkan kepada ashobah dalam masalah waris,
21
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.158.
22
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7331., Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al- Ahwal as-Syakhsiyyah,
h.43.
yaitu anak, ayah, saudara dan paman. Dan jika tidak ada salah satu dari ahli ashabah tersebut, maka perwalian berpindah kepada ibu, kemudian dzawil arham yang lain.
Adapun dalam perwalian al-mal yang berhak, yaitu ayah, seorang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek, qadhi yang mewasiatkan sesorang.
23
Adapun dalam madzhab Makikiyyah, hak perwalian jatuh kepada anak, ayah, wishaya
seseorang yg diberi wasiat, saudara, kakek, paman. Adapun hal dalam wilayah al-nafs
, yaitu anak, bapak, wishaya, saudara kandung dan anaknya, saudara seayah dan anaknya, kakek, paman dan anaknya, dan diutamakan terhadap yang
sekandung, kemudian qadhi pada zamannya. Dalam wilayah al-mal, ulama Malikiyah berpendapat, bahwa yang berhak menerima perwalian dalam masalah harta, yaitu
ayah, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, qadhi atau orang yang berhak, ummat Islam apabila tidak ditemukan qadhi. Dalam wilayah al-mal ini ulama Malikiyah
sependapat dengan Hanabilah.
24
Madzhab Imamiyah, Imam Ja’far berpendapat dengan ayah dan kakek dalam satu derajat yang sama, jika ayah dan kakek berbeda pendapat, maka yang di
dahulukan adalah kakek, karena ia lebih tua umurnya, kemudian seseorang yang diwasiatkan oleh keduanya atau salah satunya, kemudian qadhi hakim.
25
23
Ibid., h.7328. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as- Syakhsiyyah,
h.43.
24
Ibid., h.1331. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jilid III Daar al-Saqafah al- Islamiyah, t.t, t.th. h.283.
25
Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.43.
Qanun undang-undang mesir, maadah pasal 1 menegaskan hak perwalian
terhadap harta anak dengan ayah, kakek jika tidak ada yang diberi wasiat oleh bapak atas hartanya dan tidak boleh berbuat hukum atas harta tersebut kecuali dengan izin
pengadilan, qanun mesir ini sejalan dengan pendapat Abu Hanifah yang mengedapankan wasiat ayah daripada kakek. Qanun Suriah menetapakan dengan
ayah, kakek ketika tidak ada bapak, selain keduanya tidak ada perwalian dalam harta penjagaan, penggunaan maupun pengembangannya.
26
Nampaknya qanun suriah ini menengahkan pendapat Abu Hanifah dan Asyafi’i, karena pasalnya jelas hanya untuk
ayah dan kakek saja, di pasal pasal 176 qanun Suriah menyatakan bahwa boleh bagi ayah dan kakek dalam keadaan tidak ada keduanya, ayah mewasiatkan seseorang
yang dipilih. Qanun Maghrirbi, dalam undang-undang tentang ahwal asyakhsiyyah, maadah pasal 149, menyatakan bahwa yang berhak dalam perwalian yang
ditetapkan syariat adalah ayah dan qadhi disebut wali, seseorang yang ditunjuk atau wasiat oleh ayah, seseorang yang ditunjuk qadhi yang dinamakan dengan muqaddam,
dalam pasal 149, dinyatakan bahwa ayah adalah wali bagi diri dan harta orang yang tidak cakap hukum sampai sempurnanya anak tersebut, qanun maghribi ini diambil
dari pendapat Maliki yang tidak memberikan wilayah kepada kakek.
27
Konsep perwalian dikalangan fikih empat madzhab kecuali Abu Hanifah tampaknya ada persamaan, mereka sepakat bahwa hak perwalian hanya
26
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7329.
27
Ibid., h.46
☺ ☺
⌧ ☺
⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain
wanita, dan Karena mereka laki-laki Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara mereka. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
QS al Nisa 34 Namun menurut Montgomery Watt, konsep perwalian dari garis keturunan
laki-laki merupakan tradisi Arab-Mekkah yang diadopsi ke dalam sistem legalisme
28
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.158.
Islam. berdasarkan pernyataan itu, bisa saja konsep perwalian dari garis laki-laki tersebut merupakan pelanggengan fikih Islam terhadap konsep perwalian yang
diadopsi dari budaya masyarakat Arab-Mekkah yang patriarkhis sebab dalam al- Quran dan Hadis, konsep perwalian seperti itu tidak pernah diungkapkan secara
eksplisit .
29
Adapun mengenai persyaratan wali, Uama fikih mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat menjadi wali bagi orang
yang tidak atau belum cakap bertindak hukum. Syarat-syarat dimaksud adalah:
30
1. Baligh, yaitu orang yang telah dewasa dan berakal, serta cakap bertindak
hukum. 2.
Agama wali sama dengan agama dengan orang yang diampunya, karena perwalian nonmuslim tidak sah bagi muslim.
3. Adil, dalam artian istikqamah dalam agamanya, akhlaknya baik, dan
senantiasa memelihara kepribadiannya. 4.
Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara, amanah, karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang
diampunya. 5.
Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya.
29
Ibid. h.159
30
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7329. lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi, h.7329.
Dalam wilayah al-mal, Wahbah Zuhaili selain mensyaratkan seperti disebutkan diatas, lebih jauh lagi mensyaratkan seseorang yang akan menjadi wali
atau pengampu bagi orang lain dalam masalah hartanya ialah harus seorang yang kecakapan hukumnya sempurna dengan baligh, berakal, mempunyai kebebasan,
karena ketiadaan hal tersebut menyebabkan ketiadaan wewenang terhadap hartanya sendiri, terlebih terhadap harta yang diampunya, tidak seorang yang safih, mubadzir
dan mahjur orang yang terhalang menggunakan harta, dan juga seagama dengan yang diampu.
31
2. Orang-orang Yang Harus Mendapatkan Perwalian Mawla ‘Alayh Ulama fikih menyatakan bahwa orang-orang yang harus berada di bawah
perwalian itu adalah orang-orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Mereka itu adalah anak kecil, orang gila serta orang bodoh.
Anak kecil, sifat kecil jika dihubungkan dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan, pertama kecil dan belum
mumayyiz. Dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampua untuk
bertindak, jadi tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa, atau memberikan apa- apa kepada orang lain, kata-katanya sama sekali tidak dapat dijadikan pegangan , jadi
segala-galanya berada di tangan wali. Kedua, kecil dan sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil itu kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya
kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.
31
Ibid., h.7333.
Maka dalam soal menerima pemberian orang, menerima harta yang diwasiatkan, dan juga menerima harta wakaf, anak itu sudah sah bertindak tanpa perlu minta izin
kepada wali, tetapi dalam soal membeli, menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain, masih diperlukan adanya izin wali bahkan, jika tindakannya itu
membahayakan hartanya, maka dihukumkan batal, misalnya memberikan sumbangan yang banyak dengan segala macam bentuknya.
Anak yang mumayyiz ialah anak yang sudah mencapai usia mengerti tentang akad, transaksi secara keseluruhan, ia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya,
mengerti jual beli, rugi dan untung. Biasanya usia anak itu sudah genap 7 tujuh tahun, jadi jika anak tersebut belum genap tujuh tahun dihukumkan belum mumayyiz,
walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual dan membeli. Sebaliknya terkadang anak sudah mencapai umur tujuh tahun , tetapi masih belum mengerti
tentang jual beli dan sebagainya. Hukum anak kecil tersebut tetap berlaku hingga ia dewasa. Inilah yang
dimaksud dengan Firman Allah SWT:
☺
⌧ ⌧
⌧ ☺
⌧ ⌧
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas pandai memelihara
harta, Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-
gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. barang siapa di antara pemelihara itu mampu, Maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak
yatim itu dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi tentang penyerahan itu bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas persaksian itu.
Q.S.al-Nisa : 6 Jadi untuk mengadakan transaksi yang sempurna, haruslah ditunggu sampai
anak itu dewasa. Dan dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan, dan muncul tanda laki-laki dewasa pada anak. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya
belum ada sebelum anak putera berumur 12 dua belas tahun, dan anak puteri berumur 9 sembilan tahun.
Kemudian anak yang sudah melewati umur seperti yang disebutkan diatas tetapi belum tampak gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, maka
baik putera ataupun puteri, kedua-duanya sama, ditunggu hingga mereka berumur 15 lima belas tahun menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan,
menurut Abu Hanifah ditunggu hingga 18 tahun untuk putera dan 17 tahun untuk puteri. Ketentuan ini di ambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bnu Umar:
ْﺪ ﷲا
ْ ﺮ
ْ ﻓﺎ
ْا ﺮ
لﺎ ﺮ
ْﺿ ﺖ
ﻟا ﻰ }
ﻰ ﷲا
ْﻪ و
{ ﻳ
ْﻮ م
أ ﺪ
وأ ْا ﺎ
أ ْر
ﺮ ة
ﺔ ﻓ
ْ ﻳ
ْﺰ و
ﺮ ْﺿ
ﺖ ْﻪ
مﺎ ﻟا
ْﺪ ق
وأ ْا ﺎ
ْ ﺮ
ة ﻓ
ﺟﺄ زﺎ
ﻪ ﺘ
32
Artinya: “Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW untuk mendaftar perang Uhud, dan pada saat itu saya berumur 14 empat belas tahun, lalu beliau tidak
memperbolehkan saya ikut, kemudian saya dihadapkan kepada beliau untuk ikut perang Khandaq, sedang saya waktu itu berumur 15 lima belas tahun, maka beliau
membolehkan saya ikut berperang”
Hadis Muttafaq alayh Peristiwa Abdullah ibnu Umar ini merupakan alasan bahwa lima belas tahun
adalah ukuran umur untuk dewasa, dan ukuran ini sama bagi laki-laki dan wanita, laki-laki dianggap cukup kuat untuk berperang. Abu Hanifah mengambil alasan dari
Firman Allah SWT :
⌧ ⌧
☺
⌧
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
32
Futuh al-Humaydi, al-Jam’u Bayna al-Shahihayn al-Bukhari Wa Muslim, Jilid II Beirut: Dar Ibnu Hibban, 2002 h.158 lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i
Adillah al-Ahkam, Juz III Mesir: Daar Fikr, 1991, h.228.
Beliau mengatakan, bahwa kata
ﺪ أ
yang diterjemahkan dewasa, itu maksudnya dewasa dan matang, yaitu pada umur 18 tahun. hanya saja dikurangi satu
tahun untuk anak puteri, karena biasanya puteri lebih cepat dewasa, usia dewasanya lebih rendah dari putera.
Sedang dewasa dengan istilah
ﺪ ر ,
maksudnya sanggup bertindak dengan baik dalam mengurus harta dan menafkahkan harta tersebut sesuai dengan pikiran
yang waras, tindakan yang bijaksana, dan peraturan agama. Dan hal ini berbeda-beda menurut keadaan anak dan perkembangan masa. Apa yang ditetapkan fikih hanyalah
standard yang relatif dan pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim di suatu daerah seperti Mesir menetapkan batas usia anak dianggap dewasa untuk
mengurus harta bendanya adalah 21 tahun, jika belum mencapai itu, anak dianggap belum mampu.
33
Kalau misalnya gejala-gejala kedewasaan jasmaniyah sudah nampak, tetapi gejala kedewasaan pikiran belum, maka anak tersebut berada dalam pengawasan
walinya, walaupun usianya sudah lanjut.
34
Orang gila atau dungu, apabila seseorang mulanya tidak gila atau dungu kemudian ia gila atau dungu, maka yang berhak menjadi walinya , menurut ulama
33
Zakariya Ahmad al-Bary, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.117.
34
Ibid., h.117.
Mazhab Hanafi dan Syafi’i adalah walinya sebelum ia baligh, yaitu ayah, kakek atau washi
mereka. Akan tetapi ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali mengatakan bahwa wali yang telah baligh, cerdas, lalu tiba-tiba menjadi gila atau dungu adalah
hakim, tidak kembali kepada ayah, kakek atau washi karena hak perwalian mereka telah gugur setelah baligh, berakal dan cerdasnya anak itu.
Adapun orang bodoh al-Safih yang dalam bahsa arab berarti tidak berilmu, bodoh, atau berakhlak buruk, ringan dan bergerak. Yaitu suatu kondisi dmana
seseorang kemampuan berfikirnya rendah atau lemah, membawa seseorang melakukan hal-hala yang tidak sesuai dengan akal dan syara.
35
Dalam kata lain safih adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakannya secara baik.
36
Para ulama madzhab, kecuali Abu Hanifah, sepakat bahwa orang safih harus dicegah dari membelanjakan hartanya. Keadaannya adalah seperti anak kecil dan
orang gila, kecuali bila memang dalam membelanjakan hartanya itu dia memperoleh izin dari walinya. Akan tetapi ia memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak yang
sedikit atau banyak, tidak berhubungan dengan masalah harta. Orang safih tidak akan lepas dari penahanan haknya itu hingga ia menjadi dewasa dan mengerti. Ini
berdasarkan Firman Allah SWT :
⌧ ☺
35
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.160.
36
Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur, dkk Jakarta: Lentera Baristama, 2000, h.688.
☺
⌧ ⌧
⌧ ☺
⌧ ⌧
Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna
akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian dari hasil harta itu dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas pandai memelihara harta, Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa
membelanjakannya sebelum mereka dewasa. barang siapa di antara pemelihara itu mampu, Maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu
dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi tentang penyerahan itu bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas persaksian itu.
QS al Nisa 5-6 Pendapat tersebut diatas dikemukakan oleh Syafi’i, Maliki, Hambali, Abu
Yusuf, Muhammad dan Imamiyah.
37
37
Ibid., h.688-689. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnah, h.278
Sementara itu Abu Hanifah mengatakan bahwa kedewasaan bukanlah merupakan persyaratan bagi penyerahan harta kepada pemiliknya, dan tidak pula bagi
sahnya tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan harta benda. Kalau seseorang mencapai usia baligh dan dia mengerti lalu mengalami ke-safih-an, maka
tindakan-tindakannya dinyatakan sah dan tidak dibenarkan menghalang-halanginya, bahkan seandainya usianya belum menginjak dua puluh lima tahun. Demikian pula
halnya bila seseorang mencapai usia baligh tetapi dia belum mengerti safih, dimana kesafihannya itu merupakan kelanjutan dari masa kecilnya dalam keadaan seperti ini,
ketika dia berumur dua puluh lima tahun, dia tidak boleh lagi.
38
Dan sebagai bukti bahwa orang yang dungu itu tidak ditahan hartanya, bahwa ia juga dituntut untuk
mengerjakan perintah-perintah agama, sebagai seorang mukallaf, termasuk misalnya menyempurnakan janji, yang disebutkan dalam al-Quran.
39
3. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian Mawla Bih Seperti penulis jelaskan bahwa pembagian wilayah menurut mawla alayh atau
objek yang menjadi hal perwalian adalah terbagi menjadi wilayah al-nafs dan wilayah al-mal,
serta wilayah al-nafs dan al-mal secara bersamaan. Menurut Zakariya Ahmad al-Bary, paling tidak anak sete;ah dilahirkan berlaku terhadapnya 3 tiga macam
38
Ibid., h.689.
39
Zakariya Ahmad al-Bary, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.118.
perwalian yaitu, perwalian terhadap urusan mengasuh dan menyusukannya, perwalian terhadap dirinya perwalian terhadap hak miliknya.
40
Dalam masalah
perwalian al-nafs
termasuk segala urusan yang berhubungan dengan usaha memelihara anak, menjaga anak dan merawatnya. Jadi wali
menggabungkan anak itu ke dalam keluarganya setelah masa mengasuh, yang dilaksanakan oleh kaum wanita, keluarga anak itu. Anak tidak boleh tinggal
sendirian, atau tinggal bersama orang yang bukan walinya, kecuali jikaia sudah dewasa, sudah dapat memelihara kesejahteraan dirinya sendiri, kalau anak itu laki-
laki dan pada usia yang diperkirakan ia sudah dapat menjaga keselamatan dirinya, dan ia sudah memiliki kecakapan untuk mencari nafkah juga kebijaksanaan dan
kemampuan untuk menjaga kehormatan dirinya.
41
Maka dalam tugas perwalian ini termasuk urusan mendidik anak, mencerdaskan pikirannya dan mengarahkan bakatnya untuk mempelajari
keterampilan, atau melanjutkan sekolahnya ke sekolah-sekolah kejuruan, atau ke fakultas yang sesuai bakatnya. Pengawasan terhadap diri anak itu juga mencakup hak
untuk menikahkan anak kecil, putera putri, atau menghalanginya.
40
Ibid., h.106.
41
Ibid., h.107.
Adapun dalam perwalian harta atau hak milik anak, mencakup transaksi dan akad yang berhubungan dengan hak milik anak yang diwalini, diantaranya menjual,
membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya.
42
Kekuasaan wali terhadap harta dan diri anak yaitu disesuaikan dengan kebutuhan pada setiap waktu dankeadaan yang berbeda-beda, dan hal tersebut
dilandaskan kepada kasih sayang dan kemaslahatan anak. Oleh sebab itu batas-batas kekuasaan mereka adalah disesuaikan dengan keadaan.
43
Ruang lingkup perwalian, dilihat dari segi tingkatan kewenangannya, ulama fikih membaginya kepada 4 empat bentuk.
44
1. Wewenang wali yang bersifat kuat dan kokoh dalam urusan pribadi,
syakhsiyyah, personal affair, seperti wali dapat memaksa orang yang dibawah ampuannya untuk kawin, mengajar, atau melakukan pengobatan
berat seperti operasi. Wewenang seperti ini hanya ada pada wali yang bertalian keturunan erat dengan orang yang berstatus ahliyyah al-wujub
seperti ayah atau kakek. 2.
Wewenang wali yang bersifat lemah terhadap urusan pribadi seseorang yang ada dibawah pengampuannya, yaitu hanya mengawasi dan mendidiknya.
Dalam status seperti ini seorang wali tidak dapat melakukan tindakan spekulatif yang banyak mengandung resiko terhadap orang yang dibawah
42
Ibid., h.113.
43
Ibid., h.123.
44
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.168.
pengampuannya. Wali seperti ini adalah kerabat dekat orang yang berada di bawah pengampuan tersebut, tetapi bukan ayah, kakek, saudara laki-laki, dan
paman. 3.
Wewenang wali yang lemah dalam masalah pribadi dan bersifat kuat dalam masalah harta kekayaan orang yang dibawah pengampuannya asal dengan
tujuan untuk keuntungan pemilik harta itu, bukan untuk si pengampu wali. Wali seperti ini adalah orang-orang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek,
saudara laki-laki, atau paman. 4.
Wewenang wali bersifat lemah terhadap pribadi dan harta. Orang yang berada dalam pengampuannya tetapi kuat dalam masalah pribadi, yaitu sekedar
memlihara hartanya tanpa boleh dibolehkan memperdagangkannya, serta membelanjakan harta tersebut sekedar biaya yang diperlukan orang yang
diampunya. Wali seperti ini adalah para kerabat jauh dari orang-orang yang berada di bawah ampuan itu.
Apabila keluarga terdekat tidak ada lagi yang dapat dijadikan wali, atau ayah yang belum cakap hukum tidak meninggalkan wasiat untuk menunjuk siapa yang
bertindak sebagai penggantinya, maka hak perwaliannya berpindah tangan kepada penguasa atau hakim. Perpindahan hak perwalian dalam kasus seperti ini didasarkan
pada hadis Rasulullah SAW:
ﺪﺛ ْا ﺎ
أ ﺮ
ﺪﺛ ﺎ
ْ نﺎ
ْ ْ
ﺔ ْا
ﺟ ﺮ
ْﻳ ْ
ْ نﺎ
ْ ْﻮ
ﻰ ْ
ﺰﻟا ْه
ﺮ ي
ْ ْﺮ
و ة
ْ ﺋﺎ
ﺔ :
أ ن
ر ْﻮ
ل ﷲا
ﷲا ﻰ
Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana
saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah
dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali
HR.Imam empat kecuali Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim.
Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa kekuasaan penguasa atau hakim sebagai wali bagi orang yang belum cakap hukum merupakan kekuasaan yang
bersifat umum yang sifatnya tidak begitu kuat. Dalam kaitan ini ulama mengatakan bahwa perwalian yang bersifat khusus seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang
diberi wasiat oleh ayahnya jika menunggal dunia lebih kuat daripada perwalian umum penguasa atau hakim.
46
D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak Pada dasarnya ayah adalah penjaga bagi anaknya yang belum cakap hukum,
hal ini dapat terjadi apabila dalam keadaan seorang ayah yang dapat dipercaya dan
45
Sunan Abi Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I
h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no 1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah
al-Ahkam, Juz III Mesir: Daar Fikr, 1991, h.228
46
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.169.
baik dalam perbuatan hukum dalam menjaga anak dan segala yang berkaitan dengan muamalah-
nya. Adapun mengenai seorang ayah yang dikenal dengan keadilannya dan baik akhlaknya, namun terkadang hal tersebut tidak diketahui secara nampak,
maka ayah tersebut dianggap sebagai seorang yang adil dan hak perwalian baginya adalah tetap atas harta anaknya. Para ulama membagi hak dan kewajiban ayah
terhadap perwalian harta anak yang belum cukup umur sebagi berikut:
47
a. Menjaga harta anaknya yang belum cakap hukum
b. Mengembangkan dan berbuat hukum darinya, seperti jual beli
c. Tidak dibolehkan tabarru atau mengambil kontribusi untuk dirinya
dari harta yang diampu. d.
Memanfaatkan harta tersebut serta mengembalikannya atas apa yang telah dijadikan nafkah bagi mereka secara khusus.
e. Menggadai atau menahan harta tersebut.
Orang tua secara langsung mendapatkan hak dan berkewajiban sebagai wali, apabila mereka mampu dan cakap hukum. Adapun permohonan penetapan orang tua
sebagai wali bagi anak-anak mereka, Atharablusi menjelaskan dengan membagi perkara pengadilan kepada sesuatu yang harus dengan hukum hakim dan sesuatu
yang tidak termasuk ke dalam hukum hakim. Sesuatu yang membutuhkan kepada hukum hakim seperti seorang yang muflis dari hutang yang mana hijr terhadap
dirinya membutuhkan ketetapan hakim. Adapun perkara yang telah jelas dari syariat,
47
Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah, h.60.
seperti keharaman mahram dalam nikah yang disepakati, permasalahan ibadah, thaharah adalah tidak diperlukan adanya penetapan hakim.
48
orang tua yang cakap hukum sebagai wali bagi anaknya adalah permasalahan yang telah jelas dari syariat
dan telah disepakati oleh ulama seperti penulis terangkan pada bab orang yang berhak menjadi wali, bahwa beberapa ulama sepakat akan orang tua, terutama pihak laki-laki
secara otomatis adalah wali terhadap anaknya yang belum dewasa. Disamping itu, apabila penetapannya dalam ranah kepentingan yang lain,
seperti izin membelanjakan harta anak, atau seorang orang tua yang diri atau harta anaknya dalam kekuasaan orang lain, dan ia meminta penetapan bahwa anak dan
harta tersebut dibawah perwaliannya, maka hal tersebut termasuk perkara yang membutuhkan penetapan perwalian, dalam hal ini, menurut Atharablusi termasuk
permohonan atau perkara yang mengandung hukum dan tujuan yang jelas, yang mana hal tersebut adalah salah satu syarat adanya permohonan.
49
Dari aspek subjek hukumnya, permohonan tersebut termasuk permohonan untuk orang yang dalam hijr
atau perwaliannya.
50
hal tersebut juga termasuk perkara yang mengandung hukum dengan tujuan yang jelas.
E. Berakhirnya Perwalian
48
Ala’uddin abu al-Hasan Ali bin Khalil Atharablusi, Muayyanul Hukkam Fi Ma Yataraddadu Bayna al-Khasmayni Min al-Ahkam
, Jilid IBeirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1995. h. 109-109.
49
Ibid., h. 148-149
50
Ibid., h.240.
Wewenang perwalian akan, baik yang menyangkut masalah pribadi maupun masalah harta yang diampu, akan berakhir apabila penyebab seseorang ditetapkan di
bawah pengampuan walinya hilang.
51
Berakhirnya perwalian terhadap diri seseorang menurut ulama Hanafiyah dengan sampai umurnya 15 lima belas tahun atau dengan nampaknya tanda-tanda
balighnya secara alami serta orang tersebut cerdas dan dapat dipercaya terhadap dirinya, jika tidak, maka ia tetap dalam penguasaan seorang pengampu. Adapun
untuk anak kecil perempuan, maka hak wilayahnya akan berakhir apabila ia nikah, dan apabila ia nikah, maka hak tanggungannya menjadi kepada suami dan jika ia
tidak menikah, maka wilayahnya akan berakhir pada umur yang dapat dipercaya, dan ia boleh tinggal sendirian atau tetap bersama orang tuanya. Ulama Hanafyah tidak
menetapkan batasan umur dalam hal ini.
52
Adapun Ulama Malikiyah berpendapat berakhirnya perwalian seseorang terhadap dirinya dengan hilang sebabnya. Adapun sebabnya yaitu belum dewasa
masih kecil dan yang semakna dengan itu, yaitu gila dan sakit. Adapu untuk wanita, maka berakhirnya dengan pernikahannya.
53
51
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.170.
52
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy, h.7330.
53
Ibid., h.7331
Pengadilan mesir dan suriah membolehkan seorang wanita berdiri sndiri pada umur rusyd 21 tahun di mesir, dan 18 tahun di suriah untuk tinggal sendirian jika
telah dipercaya dan tidak menimbulkan fitnah.
54
F. Hikmah Dan Tujuan Perwalian Anak Allah SWT sebagai penetap syariat bagi umat manusia memberikan suatu
hukum bagi seorang yang tidak cakap hukum, seperti gila atau lemah akalnya dengan menahan hartanya atau hijr, sehingga hartanya terjaga dari tangan yang membawa
kepada negatif, tipu daya, kebatilan dan curang, serta untuk menjaga dari perbuatan hukum yang jelek dari dirinya.
55
Mengenai hal tersebut diatas, Allah SWT memberikan amanah kepada seseorang sebagai wakil dalam menjalankan tugas untuk menjaga, mengelola dan
sebagainya yang membawa kepada kemaslahatan bagi seorang yang diampu, hal ini sejalan dengan diantara tujuan hukum syariat, yaitu hifz al-nafs menjaga diri serta
hifz al-mal menjaga harta yang mana kedua hal tersebut merupakan hal yang pokok
dalam kehidupan seseorang untuk menjaga dari memakan harta orang lain dengan tidak benar, melarang orang bodoh dan pelupa bermuamalah, menolak bahaya dan
mengharamkan riba.
56
Selain hal diatas, menurut penulis perwalian juga sebagai ukhuwah islamiyah persaudaraan muslim bagi seseorang tidak memiliki kedua orang tua atau kerabat
54
Ibid., h.7331
55
Ali al-Jurjani, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatihi, Jilid II Mesir: Daar al-Fikr, h.170.
56
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah Ma’ruf Asrori Jakarta: Pustaka Amani, 2003, h.296.
dekat, memupuk rasa kasih sayang terhadap seseorang yang membutuhkan, terlebih terhadap ayat yatim sesuai dengan hadis keutamaan memelihara dan menjaganya.
BAB III PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI