BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kehidupan yang bahagia, baik secara material maupun spiritual dan individual maupun sosial. Namun, dalam
praktiknya kebahagiaan multi dimensi ini sulit diraih karena keterbatasan kemampuan manusia dalam memahami dan menerjemahkan keinginannya secara komprehensif,
dan keterbatasan dalam menyeimbangkan antaraspek kehidupan, maupun keterbatasan sumber daya yang bisa digunakan untuk meraih kebahagiaan tersebut.
Masalah ekonomi hanyalah merupakan satu bagian dari aspek kehidupan yang diharapkan akan membawa manusia kepada tujuan hidupnya.
1
Walaupun demikian, tentu masalah ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tatanan kehidupan manusia. Setiap
analisis ekonomi selalu didasarkan atas asumsi mengenai perilaku para pelaku ekonominya. Di lain hal, permasalahan ekonomi juga tidak dapat dilepaskan dari
masalah kebutuhan. Manusia sebagai pelaku kegiatan ekonomi akan selalu mencoba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan sebagaimana sabda baginda
Rasullullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya jika manusia dianugerahkan sebuah lembah yang dipenuhi emas, maka ia
1
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam P3EI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h.
1.
1
2
akan meminta lembah kedua, ketiga, dan seterusnya. Hal ini juga disinyalir dalam Alquran di dalam beberapa ayat.
Besarnya kecintaan manusia terhadap harta ternyata karena keinginan manusia beraneka ragam dan tidak pernah merasa puas. Bahkan mereka akan terus
menerus berjuang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk memenuhi keinginan yang terus bertambah. Karena keinginan tersebut tiada hentinya, maka
hasrat manusia untuk memperoleh lebih banyak kekayaan tidak akan berhenti juga. Jika sekiranya tidak ada keinginan atau keinginan tersebut dibatasi dan terpuaskan,
maka tidak akan ada banyak perjuangan dalam hidup. Benarlah kiranya bahwa kemajuan-kemajuan manusia dan perkembangan dalam industri, sains, teknologi,
bahkan dalam budaya dan peradaban merupakan hasil dari perjuangan manusia untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Dan kita tidak
salah apabila mengatakan bahwa usaha dalam bidang ekonomi adalah kunci dari semua kemajuan manusia.
2
Pada dasarnya memang standar kebutuhan individu yang semakin tinggi dan juga semakin meningkatnya kepuasan yang diinginkan menyebabkan semakin giat
individu dalam melakukan pekerjaannya.
3
Namun tentu semua ini dibatasi oleh norma dan etika yang berlaku. Bahkan seorang ulama besar bernama Al-Ghazali
tidak hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi
2
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, cet.II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h. 33.
3
Triton Prawira Budi, Panduan Sikap dan Prilaku Entrepreneurship Yogyakarta: Tugu Publisher, 2007 , h. 98.
3
juga kebutuhannya untuk persiapan di masa depan. Namun demikian, ia memperingatkan bahwa ‘jika semangat “selalu ingin lebih” ini menjurus kepada
keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, maka hal itu pantas dikutuk’.
4
Dengan demikian seharusnya ketika manusia melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, maka tampak suatu rambu-rambu hukum yang mengaturnya. Rambu- rambu hukum dimaksud, baik yang bersifat pengaturan dari Alquran, Alhadis,
peraturan perundang-undangan ijtihad kolektif, ijma. qiyas, istihsan, maslahat mursalah, maqashidus syariah
, maupun istilah lainnya dalam teori-teori hukum Islam.
Istilah kebutuhan ataupun keinginan sering disandarkan dengan istilah ketidakmampuan, kekurangan, atau bahkan kelemahan. Walaupun tidak semua
kebutuhan ataupun keinginan secara mutlak bersandar pada hal-hal tersebut. Dalam hal ini terjadi simbiosis mutualisme antara yang mampu dengan yang kurang mampu,
dimana yang mampu akan membantu yang kurang mampu, dan begitu pula sebaliknya sesuai dengan kadarnya masing-masing, sehingga terjalinlah keteraturan
dan keharmonisan yang sesungguhnya menjadi cita-cita utama dari kehidupan sosial. Sikap saling tolong ini merupakan suatu sikap yang sangat dianjurkan Islam.
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai
4
Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 63.
4
satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis.
5
Dalam hal ini, maka seorang yang kaya adalah saudara bagi seorang yang kaya lainnya sekaligus merupakan saudara juga bagi lainnya yang miskin, begitu pula
sebaliknya dan seterusnya. Dengan demikian maka sesungguhnya seorang yang kurang mampu tidak harus merasa cemas dan berkeluh kesah akan kesulitan yang
dihadapinya, karena ia mempunyai saudara yang kaya. Hubungan ini sungguh akan menimbulkan sesuatu yang disebut dengan jaminan sosial.
Jaminan sosial merupakan salah satu nilai instrumental yang sangat penting dalam sistem hukum ekonomi Islam. Karena itu, dengan melaksanakan jaminan
sosial, manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah, menjadikan harta mereka bersih dan berkembang, menghilangkan sifat tamak dan loba serta mementingkan diri
sendiri.
6
Jaminan sosial yang dimaksud di sini adalah jaminan sosial dalam Islam, yaitu jaminan terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok dan merupakan asas bagi politik
ekonomi Islam. Jaminan sosial juga merupakan pilar pertama tentang pengaturan hak milik, pilar kedua tentang kebebasan ekonomi yang terikat dan pilar ketiga dari
ekonomi Islam yang terikat. Dalam definisi lain, jaminan sosial Islam berarti juga suatu jaminan yang disediakan bagi setiap orang agar seseorang terhindar dari
kesulitan, dan bisa mencapai hidup yang layak.
7
5
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 13.
6
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 6.
7
Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 215.
5
Sesungguhnya Islam ingin agar umatnya berilmu dan menjauhi kebodohan. Bahkan dalam beberapa hadis, Rasullullah SAW sering menekankan pentingnya umat
Islam untuk berilmu. Ironisnya, ketika Islam menuntut umatnya untuk berilmu seperti yang telah disampaikan, justru sebagian besar umat Islam saat ini tidak berilmu.
Banyak generasi belia negeri ini yang tak memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu yang memadai, dikarenakan dia kurang mampu dan miskin.
Siswa dhuafa dapat dikategorikan sebagai mustahiq ibnu sabil. Mereka layak diprioritaskan memperoleh dana zakat maupun infak pendidikan. Karena strategisnya
penguasaan ilmu, maka amat besar pula pahala bagi yang mendukung siswa dhuafa untuk menuntut ilmu tersebut.
8
Dalam hal ini terdapat penekanan bahwa mereka yang kurang mampu, sungguh selayaknya mendapatkan bantuan dari pihak lain yang lebih
mampu. Namun pun demikian, etika dan aturan ini tidak hanya dimaksudkan pada si
kaya saja, akan tetapi juga mencakup pada sikap dan moral si penerima bantuan. Sangatlah buruk andaikan mereka yang sebenarnya tidak berhak mendapatkan
bantuan justru berlomba-lomba dengan berbagai cara untuk mendapatkan bantuan itu. Jelaslah terlihat betapa pentingnya seorang muslim untuk bersikap baik dan
mengedepankan hati nurani serta memperhatikan norma-norma agama dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan. Hal ini karena Islam tidak mengatur akan suatu
peraturan yang hanya ditujukan pada si kaya saja, tapi seimbang menurut kadarnya.
8
Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah Bertambah, Jakarta: Gema Insani, 2007, h. 154.
6
Sebagai agama yang oleh Al-Quran dijuluki dengan agama terlengkap dan tersempurna dinun kamil wa-dinun itmam, Islam memiliki dan mempersembahkan
konsep-konsep pemikiran ekonomi yang filosofis, nilai-nilai etika ekonomi yang moralis, dan norma-norma hukum ekonomi yang tegas dan jelas
9
. Konsep-konsep dan etika itulah seharusnya menjadi pijakan bagi setiap kaum muslimin tanpa melihat
dari golongan apa seseorang itu berada. Tentu mereka yang sebenarnya tidak berhak menerima bantuan tersebut harus
menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak saudara mereka yang membutuhkan bantuan tersebut dibandingkan mereka itu. Seharusnya mereka menyadari bahwa
mereka bukanlah dari golongan yang layak untuk mendapatkan bantuan itu, bukan sebaliknya justru menjadikan dirinya pada posisi yang seolah-olah layak untuk
mendapatkannya. Kategori tidak layak ini misalnya terlihat dari beberapa kriteria tidak berhaknya seseorang menerima bantuan zakat, yaitu: 1 Orang kaya, 2 Orang
kuat yang mampu bekerja, 3 Orang yang tidak beragama dan orang kafir yang memerangi Islam, berdasarkan ijma ulama, dan kafir zimmi menurut jumhur fuqaha,
4 Anak-anak orang yang mengeluarkan zakat, kedua orang tua dan istrinya, 5 Keluarga Nabi saw.
10
Fenomena ini ternyata sering terjadi di masyarakat, tak terkecuali di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mahasiswa yang merasa kurang mampu
9
Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat: Ekonomi Keuangan Islam Ciputat: Kholam Publishing, 2008 , h. 49.
10
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta: Litera Antarnusa dan Mizan, h. 99.
7
biasanya akan senantiasa mengharap adanya bantuan demi tercapainya suatu tujuan mulia lagi suci yaitu menuntut ilmu. Tentu hal ini sangat baik lagi mulia dan
selayaknya mendapat apresiasi dan respon yang positif dari berbagai kalangan dan golongan, utamanya adalah dari kaum yang Allah titipkan kepadanya amanah berupa
kekayaan. Akan tetapi, setelah munculnya bantuan dari berbagai pihak, dan diumumkan secara luas, sepertinya terdapat beberapa ketidakberesan, dimana
mahasiswa yang semestinya berhak mendapatkan bantuan tersebut justru tidak mendapatkannya atau bahkan sama sekali tidak mengetahui adanya bantuan dana
pendidikan atau beasiswa tersebut, sementara di lain hal, mahasiswa yang sebenarnya tergolong mampu dan kurang layak mendapatkan bantuan tersebut malah
mendapatkannya. Anehnya, sekalipun terang-terangan disebutkan persyaratan yang harus dipenuhi serta standar yang ditetapkan guna mendapatkan bantuan tersebut,
ternyata tidak menjadi hambatan bagi mahasisa kelompok kedua ini untuk mendapatkan bantuan tersebut. Tentu ini menjadi permasalahan dan pertanyaan bagi
kita semua. Sebenarnya apa, bagaimana, dan kenapa ketidakberesan tersebut terjadi? Dan apakah mahasiswa yang selama ini menerima beasiswa dari Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sepenuhnya berada dalam kategori layak mendapatkannya atau tidak?
Selanjutnya, berbicara tentang pola konsumsi mahasiswa biasanya berkisar pada pengeluaran-pengeluaran kecil yang dimaksudkan dalam memenuhi hajatnya
dalam melanjutkan studi di perguruan tinggi. Pengeluaran-pengeluaran itu antara lain adalah pengeluaran untuk pembayaran uang semester, konsumsi harian, sewa kost,
8
pembelian buku, transportasi, dan hal-hal lainya yang berkaitan dengan pengeluaran akademisi. Namun tak jarang karena mendapatkan bantuan dana pendidikan, maka
pola konsumsi tersebut pun berubah. Perubahan ini bisa mengubah gaya hidup mahasiswa tersebut secara total atau sama sekali tidak mempengaruhi gaya hidup
mereka. Melihat fenomena ini, maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih
dalam dan melakukan penelitian secara nyata tentang permasalah yang telah disebutkan. Karena itu penulis bermaksud ingin menuangkannya dalam sebuah
skripsi yang berjudul: EVALUASI PEMBERIAN BEASISWA OLEH FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG POLA KONSUMSI MAHASISWA
B. Identifikasi Masalah