2.5.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah abses terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita -pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus Wilson et al,2008.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kem atian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan da n elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia
Schwartz at el,2009. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung -lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus
Wilson et al,2008.
2.5.5 Klasifikasi Peritonitis
A.Primary peritonitis
Spontaneous Bacterial Peritonitis SBP adalah infeksi bakteri akut pada cairan asites. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga hasil dari translokasi
Universitas Sumatera Utara
bakteri di dinding usus atau saluran limfatik mesenterika dan, lebih jarang, melalui paparan hematogen di hadapan bakteremia. SBP dapat terjadi sebagai
komplikasi dari setiap keadaan penyakit yang menghasilkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan sindrom Budd -Chiari. Anak-anak dengan nefrosis atau
lupus eritematosus sistemik dengan asites memiliki risiko tinggi menderita SBP. Risiko tertinggi SBP terdapat pada pasien dengan sirosis yang dalam keadaan
dekompensasi Runyon BA,2004. Penurunan fungsi hati, kadar total protein yang rendah dan rendahnya
kadar komplemen merupa kan faktor resiko yang tinggi dalam kejadian peritonitis. Pasien dengan kadar protein rendah dalam cairan asites 1 g dL memiliki
risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami SBP dibandingkan dengan tingkat protein lebih dari 1 g dL. Sekitar 10 -30 pasien dengan sirosis dan asites
mengalami SBP. Insiden meningkat menjadi lebih dari 40 dengan asites isi protein cairan kurang dari 1 g dL yang terjadi pada 15 dari pasien, mungkin
karena penurunan Kegiatan opsonic cairan asites Lata J, Stiburek O, 2009.
B.Secondary peritonitis
Peritonitis sekunder SP terjadi akibat perforasi usus buntu, ulkus lambung dan duodenum, serta perforasi sigmoid yang disebabkan diverculitis,
volvulus, kanker dan strangulasi. Necrotizing pancreatitis juga dapat dikaitkan dengan peritonitis dalam kasus infeksi pada jaringan nekrotik. Patogen yang
terlibat dalam SP saluran pencernaan proksimal berbeda dengan saluran
pencernaan distal.
Organisme Gram-positif
mendominasi dalam
saluran pencernaan bagian atas, dengan pergeseran ke arah organisme gram negatif dalam
saluran GI atas pada pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari usus kecil distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan
pelepasan beberapa ratus spesies bakteri dan jamur, respon imun tubuh dengan cepat menghilangkan sebagian besar organisme ini. Hasil pemeriksaan bakteri
peritonitis hampir selalu polymicrobial, berisi campuran bakteri aerobik dan anaerobik dengan dominasi organisme gram negatif. Sebanyak 15 pasien yang
mengalami sirosis dengan asites yang awalnya dianggap memiliki SBP memiliki
Universitas Sumatera Utara
SP. Pada banyak pasien, tanda dan gejala klinis saja tidak sensitif atau cukup spesifik untuk andal membedakan antara 2 entitas. Sejarah menyeluruh, evaluasi
dari cairan peritoneal,
dan tes diagnostik tambahan diperlukan
untuk melakukannya, indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan Barretti et al,2009.
C.Tertiary peritonitis
Berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada orang dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang signifikan.
Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU untuk infeksi
perut yang parah mungkin setinggi 50-74.
D.Peritonitis kimia
Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi empedu, darah, barium, atau bahan lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral misalnya,
Crohn’s disease tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal. Tanda dan gejala klinis bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneal, dan pendekatan diagnostik dan
terapeutik harus sama Nouri-Majalan N, Najafi I,et al , 2010 .
E.Abses peritoneal
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan atau organ viseral
yang berdekatan. Mayoritas abses terjadi setelah SP. Pembentukan abses dapat merupakan komplikasi operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi perut
kurang dari 1-2, bahkan ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses meningkat menjadi 10-30 pada kasus perforasi pra operasi dari
organ berongga, kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan kebutuhan untuk
operasi kembali, serta pengaturan imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten dan pengembangan peritonitis tersier.
Universitas Sumatera Utara
2.5.6 Manifestasi Klinis