Rumusan Masalah KERANGKA KONSEP PENELITIAN Definisi Operasional Jenis penelitian Metode Pengumpulan Data

Selama periode Maret 2012 –September 2012, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tercatat menga lami penurunan.Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2012 sebesar 8,78 persen, turun menjadi 8,60 persen pada September 2012.Sementara penduduk miskin di daerah perdesaan menurun dari 15,12 persen pada Maret 2012 menjadi 14,70 persen pa da September 2012 Badan Pusat Statistik,2012. Pada Agustus 2012, penduduk bekerja pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 53,9 juta orang 48,63, sedangkan penduduk bekerja dengan pendidikan diploma sek itar 3,0 juta orang 2,68 dan penduduk bekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,0 juta orang 6,30 Badan Pusat Statistik,2012. Bedasarkan uraian tersebut diatas , peneliti tertarik untuk membahas hubungan tingkat pendidikan dan fasilitas kesehatan dengan mortalitas pasien peritonitis di Rumah Sakit Umum Pusat RSUP Haji Adam Malik Medan 2013 .

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana karakteristik sosiodemografi dan mortalitas pasien peritonitis berusia di atas 6 tahun di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Juli -September 2013?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat pendidikan, fasilitas kesehatan dan respon waktu dengan angka mortalitas pasien peritonitis di RSUP Haji Adam Malik Medan bulan juli sampai september tahun 2013 . Universitas Sumatera Utara

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pendidikan pasien peritonitis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 . 2. Untuk mengetahui gambaran tingkat fasilitas kesehatan yang merujuk pasien ke RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 . 3. Untuk mengetahui gambaran waktu respon pasien peritonitis datang ke RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 . 4. Untuk mengetahui angka kejadian mortalitas pasien peritonitis di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 201 3.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran Sumatera Utara agar dapat mengetahui gambaran penyakit peritonitis: 1. Bagi institusi, sebagai bahan masukan dalan upaya untuk mengevaluasi sistem pembelajaran. 2. Bagi peneliti, untuk memperluas wawasan dan menambah pengetahuan, sekaligus sebagai wadah latihan penerapan hasil pembelajaran yang diperoleh selama perkuliahan. 3. Bagi mahasiswa, dapat di pakai sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya dan meningkatkan pemahaman mengenai hubungan tingkat pendidikan, fasilitas kesahatan dan respon waktu dengan mortalitas pasien peritonitis. Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Pendidikan Formal Di Indones ia Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen s istem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sekolah Dasar, yang selanjutnya disingkat SD, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar. Sekolah Menengah Pertama, yang selanjutnya disingkat SMP, adalah salah satu bentuk satuan pendidik an formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD . Sekolah Menengah Atas, yang selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP . Sekolah Menengah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan da ri SMP. Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah yang dapat berupa program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Politeknik adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus PPRI, 2010. Universitas Sumatera Utara 2.2 Fasilitas Kesehatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat danatau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, danatau masyarakat. Pelayanan Kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh praktik bi dan, praktik dokter umum, praktik dokter gigi, puskesmas beserta jaringannya dan klinik pratama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, klinik utama, laboratorium kliniskesehatan kabupatenkota, laboratorium kliniskesehatan swasta, rumah sakit kelas C dan rumah sakit kelas D. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesi alis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh rumah sakit kelas B dan rumah sakit kelas A Pergub, 2012 . 2.3 Anatomi Lapisan Peritoneum Peritoneum merupakan bagian membran serosa terbesar diseluruh tubuh yang terdiri dari epitel pipih berlapis. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang memisahkan rongga abdominopelvic, dan peritoneum viseral yang langsung me lekat pada organ-organ di dalam rongga peritoneum. Rongga peritoneum merupakan rongga yang berisi cairan serosa yang berfungsi sebagai pelumas di antara peritoneum parietal dan viseral. Peritoneum terdiri dari lima lipatan besar: omentum besar, ligamen falciformis, omentum kecil, mesenterium dan mesocolon. Omentum besar adalah lapisan peritoneal yang terbesar yang melekat pada kolon tranversus dan mengikat usus halus. Omentum besar normalnya terdiri dari kumpulan jaringan lemak. Ligamen falciformis adalah ligamen yang berbentuk seperti bulan s abit, yang menghubungkan hati ke bagian depan perut dan diafragma. Hati merupakan satu - satunya organ pencernaan yang melekat pada bagian depan perut. Omentum kecil ialah lipatan kecil yang menghubungkan lambung Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ataupun medikamentosa juga dapat menyebabkan peritonitis tersier Rotstein et al 2010.

2.5.2 Epidemiologi

Kejadian peritonitis primer kurang dari 5 kasus bedah. Peritonitis sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90 kasus bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah delakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian peritonitis tersier kurang dari 1 kasus bedah.

2.5.3 Etiologi

Tabel 2.1 Etiologi peritonitis Peritonitis primer A. Peritonitis spontan pada anak B. Peritonitis spontan pada dewasa C. Peritonitis pada pasien CAPD D. Peritonitis tuberkulosa dan granulomatosa lainnya Peritonitis sekunder A. Peritonitis perforasi akut 1. Perforasi saluran gastrointestinal 2. Iskemia saluran intestinal 3. Peritonitis pada pelvis dan bentuk lainnya A. Peritonitis pasca operasi 1. Anastomotic leak 2. Perforasi yang tidak disengaja B. Peritonitis pasca trauma 1. Trauma tumpul pada abdomen 2. Trauma tembus pada abdomen Peritonitis tertier A. Peritonitis tanba sebab yang jelas B. Peritonitis akibat jamur C. Peritonitis with low-grade pathogenic bacteri Universitas Sumatera Utara

2.5.4 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita -pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus Wilson et al,2008. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kem atian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan da n elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia Schwartz at el,2009. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung -lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus Wilson et al,2008.

2.5.5 Klasifikasi Peritonitis

A.Primary peritonitis Spontaneous Bacterial Peritonitis SBP adalah infeksi bakteri akut pada cairan asites. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga hasil dari translokasi Universitas Sumatera Utara bakteri di dinding usus atau saluran limfatik mesenterika dan, lebih jarang, melalui paparan hematogen di hadapan bakteremia. SBP dapat terjadi sebagai komplikasi dari setiap keadaan penyakit yang menghasilkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan sindrom Budd -Chiari. Anak-anak dengan nefrosis atau lupus eritematosus sistemik dengan asites memiliki risiko tinggi menderita SBP. Risiko tertinggi SBP terdapat pada pasien dengan sirosis yang dalam keadaan dekompensasi Runyon BA,2004. Penurunan fungsi hati, kadar total protein yang rendah dan rendahnya kadar komplemen merupa kan faktor resiko yang tinggi dalam kejadian peritonitis. Pasien dengan kadar protein rendah dalam cairan asites 1 g dL memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami SBP dibandingkan dengan tingkat protein lebih dari 1 g dL. Sekitar 10 -30 pasien dengan sirosis dan asites mengalami SBP. Insiden meningkat menjadi lebih dari 40 dengan asites isi protein cairan kurang dari 1 g dL yang terjadi pada 15 dari pasien, mungkin karena penurunan Kegiatan opsonic cairan asites Lata J, Stiburek O, 2009. B.Secondary peritonitis Peritonitis sekunder SP terjadi akibat perforasi usus buntu, ulkus lambung dan duodenum, serta perforasi sigmoid yang disebabkan diverculitis, volvulus, kanker dan strangulasi. Necrotizing pancreatitis juga dapat dikaitkan dengan peritonitis dalam kasus infeksi pada jaringan nekrotik. Patogen yang terlibat dalam SP saluran pencernaan proksimal berbeda dengan saluran pencernaan distal. Organisme Gram-positif mendominasi dalam saluran pencernaan bagian atas, dengan pergeseran ke arah organisme gram negatif dalam saluran GI atas pada pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari usus kecil distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan pelepasan beberapa ratus spesies bakteri dan jamur, respon imun tubuh dengan cepat menghilangkan sebagian besar organisme ini. Hasil pemeriksaan bakteri peritonitis hampir selalu polymicrobial, berisi campuran bakteri aerobik dan anaerobik dengan dominasi organisme gram negatif. Sebanyak 15 pasien yang mengalami sirosis dengan asites yang awalnya dianggap memiliki SBP memiliki Universitas Sumatera Utara SP. Pada banyak pasien, tanda dan gejala klinis saja tidak sensitif atau cukup spesifik untuk andal membedakan antara 2 entitas. Sejarah menyeluruh, evaluasi dari cairan peritoneal, dan tes diagnostik tambahan diperlukan untuk melakukannya, indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan Barretti et al,2009. C.Tertiary peritonitis Berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada orang dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang signifikan. Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU untuk infeksi perut yang parah mungkin setinggi 50-74. D.Peritonitis kimia Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi empedu, darah, barium, atau bahan lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral misalnya, Crohn’s disease tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal. Tanda dan gejala klinis bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneal, dan pendekatan diagnostik dan terapeutik harus sama Nouri-Majalan N, Najafi I,et al , 2010 . E.Abses peritoneal Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan atau organ viseral yang berdekatan. Mayoritas abses terjadi setelah SP. Pembentukan abses dapat merupakan komplikasi operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi perut kurang dari 1-2, bahkan ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses meningkat menjadi 10-30 pada kasus perforasi pra operasi dari organ berongga, kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan kebutuhan untuk operasi kembali, serta pengaturan imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten dan pengembangan peritonitis tersier. Universitas Sumatera Utara

2.5.6 Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus Wilson et al,2008 . Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok Wilson et al,2008. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peri tonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya Hoyt,2009.

2.5.7 Diagnosis

Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X -Ray.

A. Gambaran klinis

Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lo kal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba -tiba, hebat, dan pada penderita perforasi misal perforasi ulkus, nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain misal apendisitis, nyerinya mula -mula dikarenakan penyebab uta manya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok hipovolemik, septik, dan neurogenik, demam, Universitas Sumatera Utara distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial Schrock. T. R,2008. Peritonitis bakterial kronik tuberculous memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda -tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah Schrock. T. R,2008.

B. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein lebih dari 3 gram100 ml dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat Schrock. T. R,2008.

C. Pemeriksaan X-Ray

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus -kasus perforasi Schrock. T. R,2008.

2.5.8 Penatalaksanaan

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik apendiks, dsb atau penyeba b radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan -tindakan menghilangkan nyeri Anonim,2008. Universitas Sumatera Utara Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksige n, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi Schwartz et al,2009. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase beda h. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi Schwartz et al,2009. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertik al digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokas i dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi Rotstein et al 2010. Lavase peritoneum dilakukan pada peritoniti s yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid saline. Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika misal sefalosporin atau antiseptik misal povidon iodine pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain Schrock. T. R,2008. Drainase pengaliran pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasiterpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan Universitas Sumatera Utara dimana terjadi kontaminasi yang terus -menerus misal fistula dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi Schrock. T. R,2008. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Bedasarkan konsep di atas,maka dapat di ketahui bahwa peneliti ingin melihat hubungan tingkat pendidikan, fasilitas kesehatan, dan Respon Waktu pada pasien mortalitas peritonitis di Rumah sakit umum pusat RSUP Haji Adam Malik.

3.2 Definisi Operasional

1. Karakteristik sosiodemografi mencakup tingkat pendidikan dan fasilitas kesehatan. 2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang di jalani oleh pasien yang mencakup SD, SMP, SMA, Sarjana dan lain -lain. 3. Fasilitas kesehatan adalah fasilitas yang terbaik yang pernah pasien dapati. 4. Mortalitas adalah jumlah kematian pasien peritonitis di RSUP HAM . Pasien Peritonitis berusia 6 tahun Tingkat Pendidikan Tingkat Fasilitas Kesehatan Pekerjaan Mortalitas Universitas Sumatera Utara Tabel 3.1 Metode Pengukuran No Variable Alat ukur Hasil ukur Skala 1 Tingkat Pendidikan Rekam medis SD, SMP, SMA, DIPLOMA, SARJANA Ordinal 2 Tingkat Fasilitas kesehatan Rekam medis Tipe A, B, C, D, pelayanan primer dan lain-lain Ordinal 3 Pekerjaan Rekam medis Pekerjaan pasien Interval 4 Mortalitas Rekam medis Meninggal, hidup Nominal Universitas Sumatera Utara BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Deskriptif dengan pendekatan cross- sectional potong lintang, dimana pengambilan data hanya dilakukan pada satu waktu. Pada penelitian ini, pendekatan dan pengumpulan data dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitia n ini dilakukan dalam tiga bulan, yaitu juli sampai September 2013

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien departemen bedah yang sudah didiagnosis peritonitis pada bulan juli sampai september tahun 2013

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian dipilih dengan metode total sampling, dimana seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian ini . 4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.3.3.1 Kriteria Inklusi Data rekam medik penderita peritonitis berusia diatas 6 tahun di RSUP Haji Adam Malik Medan bulan juli sampai September 2013 Universitas Sumatera Utara

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi

Data rekam medik yang tidak lengkap

4.4 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data rekam medis hasil pemeriksaan pada pasien peritonitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Juli sampai September 2013.

4.5 Metode Analisis Data