Teori – Teori Interpretasi Penafsiran

40

D. Teori – Teori Interpretasi Penafsiran

Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan tidak pula lengkap. Oleh karena itu harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan. 69 Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak jelas, maka tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran. 70 Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. 71 Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum rechtsvinding. Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. 72 Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang. 73 Menurut Prof. J.H.A. Logemann, dinyatakan bahwa: “Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikendaki oleh pembuat undang- undang itu.” 69 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007 selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I, h. 56. 70 Ibid. 71 H. Zainal Asikin,Pengantar Ilmu Hukum, Ed 1, Cet 2, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 95. 72 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Ed 5, Cet 4, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2008 selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II, h. 162. 73 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 41 Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum, dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum. Yang akan diuraikan di sini adalah penafsiran oleh hakim, karena penafsirannya itu mempunyai wibawa karena dituangkan dalam putusan. 74 Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu interpretasi gramatical, sistematis, historis, dan teleologis. Di samping itu dikenal interpretasi komparatif dan interpretasi antisipatif. 75 1. Interpretasi Gramatikal Hukum memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjianpun diperlukan bahasa. 76 Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Disini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penemuan hukum ini disebut interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan dengan metode interpretasi yang lain. 77 74 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 75 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 57. 76 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 77 Sudikno Mertokusumo I, Loc Cit. 42 Metode interpretasi menurut bahasa gramatikal adalah suatu cara penafsiran undang- undang menurut arti kata-kata istilah yang terdapat pada undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. 78 Sebagai contoh penafsiran menurut bahasa misalnya mengenai istilah menggelapkan dari Pasal 41KUHP ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan. 79 Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga metode obyektf. 80 2. Interpretasi Sistematis atau Logis Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak mempunyai arti. 81 Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematis. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum. 82 Contoh : interpretasi sistematis misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya tidak cukup hanya 78 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96. 79 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 171. 80 Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit. 81 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 58. 82 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 43 mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278 KUHP. 83 3. Interpretasi Historis Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. 84 Penafsiran historis ini ada dua, yaitu: 85 a. Penafsiran menurut sejarah hukum Rechts historische interpretatie adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan huku seluruhnya. Contoh: KUH Perdata BW yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Prancis dan di Belanda Nederland dikodifikasikan pada tahun 1838. b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang Wethistoirsche interpretatie, yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya. 83 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 173. 84 Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit. 85 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96. 44 4. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru dugunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. 86 Dapatlah dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya merupakan penafsiran teleologis. Makin usang suatu undang-undang, makin banyak dicari tujuan pembentuk undang- undang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Interpretasi teleologis dinamakan juga interpretasi sosiologis. 87 5. Interpretasi Komparatif Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. 88 Pada interpretasi komparatif maka penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai negara. Terutaa bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di luar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas. 89 86 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 61. 87 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 88 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 174. 89 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 62. 45 6. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang. 90 Interpretasi ini pernah dipakai pertama kali ketika terjadi pencurian aliran listrik. Pada 23 Mei 1921 hakim di Belanda memutuskan bahwa pencurian listrik dapat dijatuhkan pidana dan ditafsirkan bahwa aliran listrik termasuk kategori “barang”, padahal pada saat itu aliran listrik baru dimasukkan dalam rancangan undang- undang sebagai sebuah “barang”, sehingga siapa saja dapat dipidana jika mencuri aliran listrik. 91 7. Interpretasi Restriktif Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi. Ini adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. 92 Misalnya pengertian “tetangga”, bahwa dalam penafsiran gramatikal diartikan sebagai seorang “penyewa di pekarangan sebelah”. Tetapi bagi penafsiran restriktif “ tetangga penyewa” tidak termasuk pengertian tetangga. 93 8. Interpretasi Ekstensif Penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalamnya. 94 90 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 91 H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Ed I, Cet II, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 99, dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007, h 62. 92 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 93 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 100. 94 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 99. 46 Contoh: kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata tidak semata-mata diartikan menjual dalam konteks jual beli semata-mata, tetapi tindakan apa saja yang mengalihkan barang dikategorikan sebagai tindakan menjual. 95 9. Interpretasi Otentik Metode interpretasi secara autentik resmi, yaitu penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang tersebut. 96 Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi autentik tentang arti beberapa katasebutan di dalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 Jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari. 97 Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana di luar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. 98 Interpretasi otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh 95 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 96 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h 98. 97 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 98 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 47 hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat dalam undang-undang. 99 Suatu Peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi menurut undang-undang memperluas, interpretasi teleologis sifatnya memperluas, sedangkan metode interpretasi sistematis bersifat membatasi. 100

E. Hasil Penelitian

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi

11 137 269