Konsep Umum Gender Gender
Untuk memahami gender dalam masyarakat Hindu di Bali, perlu dipahami ideologi dan ritual sebagai dasar yang menjadikan suatu
perilaku tetap dibudayakan. Menurut Snoikell dan Bagus dalam Inten dan Purnawati, 2009, pembagian kerja pada masyarakat Bali
berdasarkan jenis kelamin memang ada dan terjadi, walaupun tidak semua dapat dijelaskan dengan pembedaan tersebut.
Menurut Ardita dan Naya dalam Inten dan Purnawati, 2009, perempuan bertugas mendekorasi, membawa sesajen ke tempat suci,
memasak, merawat anak. Laki-laki merawat ayam jago dan melatihnya. Perempuan bertugas menjual hasil panen, sedangkan laki-laki
bertanggungjawab atas keseluruhan proses produksi dan distribusi. Pembagian peran seperti ini ini menjadikan laki-laki memiliki tanggung
jawab yang sangat besar dalam keluarga. Wanita nampak seolah-olah hanya sebagai pelengkap atau komplementer, sehingga sulit mengatakan
bahwa kedudukan wanita sejajar dengan laki-laki. Saat ini, Bali terkena dampak perkembangan era globalisasi. Era
globalisasi membentuk pola pikir yang lebih modern. Modernisasi mulai menggeser peran dan kedudukan perempuan Bali dalam bidang
pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Meskipun demikian, menurut Prof. I Gde Parimartha, para perempuan di Bali masih perlu berjuang
untuk kesetaraan sebab masih ada ketidakseimbangan di beberapa segi kehidupan sebagai akibat dari pandangan tradisional yang menganut
sistem patriarkhi Antara News, 22 Desember 2012.
Subordinasi peran yang menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki tidak terlepas dari pandangan masyarakat Bali yang
meyakini bahwa lingkungan hidup dibagi menjadi dua yakni lingkungan
luhurduur
dan lingkungan
teben
bawah Inten dan Purnawati, 2009. Lingkungan duur berlokasi pada puncak gunung sebagai sumber mata air
dan simbol kesucian sedangkan
teben
disimbolkan sebagai laut sebagai penerima aliran.
Ardita dan Surpha dalam Inten dan Purnawati, 2009 menyebutkan konsep pura dan peken pasar dalam tata ruang di Bali
juga berkontribusi
dan menginterpretasikan
subordinasi antara
perempuan dan laki-laki. Bangunan pura bertempat di
luhur
atas diidentikkan sebagai dunianya lelaki, sedangkan
peken
sebagai dunia wanita yang berada di
teben
bawah. Jadi, meskipun dinamika kehidupan masyarakat Bali sudah semakin modern, dalam aspek praktik
ritual keagamaan kedudukan perempuan masih tetap belum sejajar dengan laki-laki.
Dalam era yang semakin modern, masyarakat Bali masih memperhitungkan kasta. Dalam hal ini, ada aturan bagi kaum perempuan
yang berkasta tinggi tidak boleh menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah Nurrachman, dkk, 2011. Dalam perkawinan biasa,
apabila perempuan berkasta tinggi menikah dengan laki-laki yang berkasta rendah maka perempuan akan turun kastanya mengikuti kasta
laki-laki. Namun peraturan ini tidak berlaku bagi laki-laki Bali. Laki-laki
Bali bebas memilih, karena perempuan yang akan masuk mengikuti kasta laki-laki yang menjadi suaminya. Begitu pula dalam Perkawinan
Nyentana. Perempuan berkasta brahmana tidak dimungkinkan kawin kaceburin dengan laki-laki dari kasta yang berbeda atau lebih rendah
Ngurah, 2009. Sistem patrilinial menimbulkan konstruksi gender dalam budaya
dimana anak laki-laki memiliki kedudukan yang lebih penting daripada anak perempuan Ngurah, 2009. Selain itu, budaya ini membuat para
perempuaan memiliki beban kerja yang jauh lebih banyak daripada laki- laki Mulia, 2012. Di lingkungan rumah, perempuan Bali dibebani
dengan pekerjaan rumah tangga, keagamaan dan banyak juga dijumpai para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Jadi, peran perempuan Bali dalam kehidupan masyarakat Bali sangat diperlukan karena perempuan yang melaksanakan sebagian besar
pekerjaan sehari-hari maupun kegiatan keagamaan di masyarakat. Meskipun keterlibatan perempuan terutama dalam kehidupan rumah
tangga sangat besar, namun tetap saja kedudukan perempuan Bali belum bisa dikatakan sejajar dengan laki-laki.