Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                4
Pertukaran  peran
purusa
dan
predana
rentan  menimbulkan  konflik dalam  perkawinan  Nyentana.  Hal  ini  didukung  oleh  penelitian  sebelumnya
yang dilakukan oleh Suastika 2010 di Desa Adat Bonyoh Kabupaten Bangli. Dari  19  pasangan  yang  melakukan  perkawinan  Nyentana,  9  keluarga  telah
bercerai.  Informan  penelitian  terdiri  dari  pihak-pihak  yang  dinilai  memiliki kualitas  dan  ketepatan  sesuai  dengan  karakteristik  penelitian.  Metode
penelitian  yang  dipergunakan  adalah  kualitatif  dengan  pendekatan  studi etnografi.
Hasil  penelitian  sebelumnya  menjelaskan  bahwa  perempuan  yang telah  di-Putrika  memiliki  status  dan  kedudukan  sebagai  laki-laki  yang  sah
secara  adat.  Sejak  disahkan,  Putrika  memiliki  hak  sebagai  ahli  waris  dan bertanggungjawab  meneruskan  garis  keturunan  keluarganya.  Perempuan
putrika  juga  bertanggungjawab  sebagai  kepala  keluarga  yang  berkewajiban memenuhi  kebutuhan  keluarganya  termasuk  orang  tua  dan  menentukan
setiap  keputusan.  Pihak  suami  yang  secara  biologis  laki-laki  bertanggung jawab  membantu  istri  dalam  hal  ekonomi  dan  mengurus  anak-anak.  Suami
juga harus meminta persetujuan istri dalam mengambil keputusan. Pemberian  tanggung  jawab  yang  tidak  sesuai  dengan  konsep
perempuan  Bali  pada  umumnya  menyebabkan
Putrika
merasa  sangat terbebani  sebagai
Purusa
laki-laki.  Selain  itu,  perbedaan  antara  orang  tua dan suami sering menyulitkan
putrika
dalam mengambil keputusan. Hasil  wawancara  pada  pihak  laki-laki  yang  Nyentana  menyatakan
bahwa  laki-laki  merasa  kehilangan  identitas  kelaki-lakiannya  karena
5
diperlakukan  seperti  perempuan.  Laki-laki  merasa  kehilangan  kebebasan karena  tidak  memiliki  kuasa  untuk  menentukan  dan  mengatur  keuangan
keluarga.  Selain  itu,  laki-laki  juga  sering  diejek  oleh  tetangga  karena dianggap tidak berani mengambil sikap seperti laki-laki yang sesungguhnya.
Menurut  pihak  laki-laki,  perempuan  dalam  perkawinan  Nyentana  merasa menjadi orang yang berkuasa sehingga cenderung otoriter terhadap suami.
Penelitian sebelumnya memaparkan status putrika setelah perceraian dan  penyebab  terjadinya  perceraian  pada  pasangan  Nyentana.  Status
perempuan  putrika  yang  telah  bercerai  bersifat  tetap  karena  telah  disahkan oleh  adat  dan  keluarga.  Status  putrika  akan  hilang  apabila:  1  perempuan
putrika  kawin  lagi  tanpa  melakukan  sistem  Nyentana;  2  anak  laki-lakinya telah  menikah;  dan  3  status  putrika  dicabut  oleh  keluarga  dan  mendapat
persetujuan dari adat karena alasan tertentu. Penyebab  perceraian  pada  pasangan  Nyentana  yaitu,  1  adanya
diskriminasi  laki-laki  oleh  masyarakat  Desa  Adat  Bonyoh  karena  ideologi patrilineal yang dianut. Selain itu, adanya 2 arogansi perempuan
putrika
, 3 pihak  laki-laki  yang    merasa  kehilangan  identitasnya  karena  tidak  sesuai
dengan konsep laki-laki pada umumnya, 4 perusakan hubungan oleh pihak ahli waris lainnya, dan 5 kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Selain
itu, hasil penelitian menujukkan bahwa perkawinan Nyentana yang dilakukan dengan  pasangan  yang  masih  ada  hubungan  keluarga  akan  lebih  langgeng
daripada  perkawinan  yang  dilakukan  dengan  laki-laki  yang  tidak  ada hubungan keluarga.
6
Harian  Umum  Nusa  edisi  04  Pebruari  2007  dalam  Suastika,  2010 dan  wawancara  yang  dilakukan  peneliti  pada  seorang  Hindu  di  Bali  2012
menjelaskan  bahwa  Perkawinan  Nyentana  pada  masyarakat  patrilineal  jika tidak  dilakukan  dengan  orang  yang  masih  memiliki  hubungan  darah  akan
rawan  konflik  dan  perceraian.  Keluarga  yang  hanya  memiliki  anak perempuan akan merasa lebih tenang apabila Sentana Nyeburin yang mereka
dapatkan  masih  memiliki  hubungan  darah.  Keluarga  putrika  akan  merasa terlindungi karena yang menjadi
Sentana
merupakan keluarga sendiri. Dalam hal  ini,  keluarga  putrika  berharap  pasangan  Nyentana  tidak  akan  bercerai
karena  keluarga  besar  mereka  adalah  sama.  Dengan  demikian,  warisan keluarga tidak jatuh ke tangan orang lain.
Sesuai  dengan  tujuan  utamanya,  penelitian  yang  dilakukan  di  Desa Adat  Bonyoh  berusaha  lebih  berfokus  untuk  mengungkapkan  perkawinan
Nyentana  secara  konseptual  peranan  perempuan  Putrika  daripada mengungkapkan  sisi  psikologisnya.  Hasil  penelitian  tersebut  cukup  detail
dalam membahas sisi psikologis laki-laki yang Nyentana dari sudut pandang orang  pertama.  Namun,  pembahasan  tentang  pengalaman  psikologis
perempuan  putrika  yang  dikatakan  merasa  berkuasa  didasarkan  pada  sudut pandang laki-laki yang Nyentana bukan orang pertama. Hal ini mendorong
peneliti  untuk  mencoba  mendalami  tentang  pengalaman  perempuan  yang melakukan perkawinan Nyentana berdasarkan sudut pandang orang pertama.
Dengan  demikian,  penggunaan  sudut  pandang  fenomenologi  dirasakan  tepat dengan tujuan penelian ini.
7
Penelitian  ini  semakin  penting  untuk  dilakukan  karena  hasil-hasil penelitian  sebelumnya  yang  terkait  dengan  perkawinan  Nyentana  lebih
banyak dipandang dari sisi Hukum. Penelitian tentang perkawinan Nyentana diharapkan  mampu  menambah  wawasan  tentang  perkawinan  secara  umum.
Selain  itu,  hasil  penelitian  ini  dapat  menambah  hasil  penelitian  perkawinan Nyentana yang saat ini jumlahnya masih terbatas.