Damayanthi 2003
b
frekuensi minum bekatul adalah dua kali sehari. Setiap kali minum kurang lebih 15 gram bekatul. Sehingg total konsumsi sehari
sebesar 30 gram maka akan memberikan kontribusi lemak sebesar 4.6 gram dari kadar lemak 15.20 .
Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. Anjuran konsumsi lemak bagi orang dewasa seperti tercantum dalam salah satu pesan Pedoman
Umum Gizi Seimbang yaitu batas konsumsi lemak sampai 25 dari kecukupan energy sehari. Almatsier 2006 menyatakan bahwa jumlah ini dapat memenuhi
kebutuhan akan asam lemak esensial dan untuk membantu penyerapan vitamin larut lemak. Lemak juga mengandung vitamin larut lemak tertentu. Lemak
membantu transportasi dan absorpsi vitamin larut lemak yaitu A, D, E, dan K.
5. Kadar Karbohidrat
Penetapan kadar karbohidrat dengan perhitungan carbohydrate by difference adalah penetapan kadar karbohidrat dalam bahan makanan secara
kasar. Perhitungan karbohidrat ini dilakukan karena merupakan bagaian dari analisi proksimat yaitu suatu analisis yang kandungan karbohidratnya diketahui
bukan melalui analisis tetapi melalui total kandungan dalam bahan makanan dikurangi dengan kada protein, kadar lemak, kadar air, dan kadar abu dalam
bahan makanan tersebut. Hasil analisis kandunagn karbohidrat pada bahan baku bekatul awet dapat dilihat pada gambar 9.
Kadar karbohidrat pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi dibandingkan bekatul awet
yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Namun berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar karbohidrat pada bahan baku bekatul
awet yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata p 0.05 dengan bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang
lolos 20 mesh. Karbohidrat yang terdapat pada bekatul merupakan bagian terbesar yaitu
59.13 untuk perlakuan yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dan 58.78 yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh.
Perbedaan ini diduga karena metode analisis yang digunkan merupakan metode by diference, apabila kadar proksimat yang lain besar seperti lemak, protein, abu,
dan air, maka kadar karbohidrat akan menurun presentasenya. Karbohidrat yang terdapat pada bekatul teridentifikasi sebagai selulosa, hemiselulosa dan pati.
Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperm
yang terbawa pada proses penyosohan Hargrove 1994. Damayanthi et al. 2007 menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat kadarnya
dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan.
6. Serat Pangan
Serat dapat dikatakan sebagai komponen bahan makanan non-gizi, tetapi akan sangat menyehatkan jika di konsumsi secara teratur dan seimbang setiap
hari. Serat pangan dapat dibagi dua berdasarkan jenis kelarutannya, yaitu serat yang tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air. Serat yang tidak larut
dalam air memiliki sifat mampu berikatan dengan air, seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sedangkan serat yang larut dalam air memiliki sifat
mampu membentuk gel yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, seperti pektin, musilase, dan gum Sulistijani 2002.
Serat pangan tidak dapat diserap dan tidak mempunyai nilai gizi. Namun sudah banyak diteliti bahwa serat makanan mempunyai dampak positif terhadap
peningkatan drajat kesehatan. Berbagai penyakit yang terkait dengan rendahnya konsumsi serat, yaitu jantung, darah tinggi, dibetes, kanker pencernaan, dan
kegemukan. Sumber utama serat yaitu sayuran dan buah-bauahan Muhilal 1995.
Penetapan serat pangan dilakukan dengan metode enzimatis, dimana digunakan enzim-enzim pencernaan dan dibuat kondisi yang mirip dengan yang
sesungguhnya terjadi di dalam pencernaan tubuh manusia. Gambar 10 memperlihatkan hasil analisis serat pangan larut air, serat pangan tidak larut air
dan total serat pangan pada bekatul awet dengan dua perlakuan .
Gambar 10 Kadar serat pangan bubuk bekatul awet Keterangan :
Tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
bk = Berat kering
Berdasarkan grafik di atas bahwa kadar serat pangan larut, tidak larut dan total serat pangan antara perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah daripada
perlakuan dicampurkan. Hal ini diduga bahwa pada perlakuan tidak dicampurkan, sisa pengayakan 20 mesh tidak dicampurkan sehingga banyak komponen yang
tebuang salah satunya serat pangan. Menurut Damayanthi 2003
a
, kadungan serat panga dalam bekatul ditentukan oleh derajat sosoh, yaitu semakain tinggi
derajat sosoh maka distribusi zat gizi akan semakin menurun. Kandungan serat pangan larut pada perlakuan tidak dicampurkan dan
dicampurkan masing-masing yaitu 7.90 dan 8.95 bk. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanthi 2003
b
yang menyebutkan bahwa kandungan serat pangan larut bekatul dari padi varietas IR-
64 dan Cilamaya berturut-turut adalah 3.68-8.67 dan 3.56-8.76 , di mana keragaman ini tergantung pada derajat sosohnya. Akan tetapi hasil tersebut lebih
tinggi dibandingkan yang telah dilaporkan oleh Farizal 2010 yaitu 6.53 atau 1.40 Kahlon dan Chow 1997. Dibandingkan dengan bekatul serealia lainnya
kandungan serat pangan pada bekatul padi ini tidak berbeda , misalnya bekatul oat mengandung 8.0 serat pangan larut dan barley 6.0 Kahlon dan Chow
1997. Ketiga jenis sumber bekatul serealia dilaporkan memiliki efek hipokolesterolemik pada hewan percobaan dan manusia.
Serat pangan tak larut yaitu 26.52 untuk perlakuan tidak dicampurkan dan 33.04 untuk perlakuan dicampurkan. Hasil penelitian untuk perlakuan
tidak dicampurkan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanthi 2003 yang menyebutkan bahwa kandungan serat pangan tak larut
bekatul dari padi varietas IR-64 dan Cilamaya berturut-turut adalah 14.99-25.38 dan 15.22-25.06 , di mana keragaman ini tergantung pada derajat sosohnya.
Akan tetapi untuk perlakuan yang dicampurkan hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan yang telah dilaporkan oleh Damayanthi 2003
a
. Hasil kedua perlakuan lebih tinggi dibandingan hasil Farizal 2010 yaitu 22.01 atau
Kahlon dan Chow 1997 yaitu 1.40 . Kahlon and Chow 1997 menyatakan bahwa bekatul padi mengandung 21.50 serat pangan tidak larut, 10.60 dan
11.20 untuk bekatul oat and barley. Total serat pangan pada perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah dibandingkan total serat pangan yang dicampurkan
yaitu masing-masing 34.42 dan 41.99 . Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitina Farizal 2010 yaitu 28.54 .
Berdasarkan uji independent samples test serat pangan tak larut air, serat
pangan larut air, dan total serat pangan pada bahan baku baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh berbeda nyata
p0.05. Perbedaan ini dapat dilihat dari gambar 10 bahwa bahan baku bektul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara
nyata dari bahan baku bekatul awet yang tanpa dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh, baik itu dari serat pangan tak larut air, serat pangan larut
air, maupun total serat pangannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Damayanthi et al. 2003
a
yang menunjukkan bahwa distribusi zat gizi semakin menurun apabila derajat sosoh semakin besar, sehingga semakin banyak
bekatul awet yang tidak lolos 20 mesh ditambahkan maka kadar serat pangannya akan semakin tinggi.
Cukup banyak produk atau bahan pangan yang terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol darah manusia. Salah satunya adalah
-oryzanol yang terdapat pada minyak bekatul. Berdasarkan penelitian Most et al. 2005,
bahwa minyak bekatul dan bukan serat bekatullah yang dapat menurunkan kolesterol darah manusia. Penelitian ini dilakukan dengan metode parallel-arm,
dengan menyediakan makan tiga kali sehari bagi 26 subyek selama lebih dari 3 bulan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
konsentrasi lipid pada subyek yang diintervensi bubuk bekatul, sedang terdapat efektivitas yang signifikan pada subyek yang diberikan diet minyak bekatul
dengan penurunan kadar ldl darah sebesar 7 p0.0004.
Kadar Mineral Ca, Fe, Zn dan Bioavailabilitasnya Kadar mineral Ca, Fe, dan Zn
Mineral merupakan zat gizi mikro micronutrient dalam tubuh yg bersama-sama dengan vitamin berfungsi dalam proses metabolisme unsur gizi
makro karbohidrat, protein, lemak. Mineral bersifat esensial, karena merupakan unsur anorganik yg memiliki fungsi fisiologis yang tidak dapat dikonversikan dari
zat gizi lain, sehingga harus selalu tersedia dalam makanan yang dikonsumsi. Jumlah mineral yang harus tersedia bagi tubuh tersebut adalah bervariasi, yaitu
dari beberapa mikrogram sampai gram per hari. Mineral dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral
yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah ≥ 100 mg per hari. Mineral makro terdapat
≥ 0.01 di dalam tubuh. Mineral makro meliputi kalsium Ca, fosfor P, magnesium Mg, natrium Na, kalium K, dan klorida Cl. Mineral mikro
diperlukan tubuh kurang dari 100 mg per hari dan untuk menyusun tubuh diperlukan kurang dari 0.01 dari berat badan total. Minerl mikro tersebut
anatar lain adalah besi, seng dan selenium Damayanthi dan Nasoetion 2007. Pada penelitian ini, pengukuran kadar mineral menggunakan metode
AAS. Metode AAS Atomic Absorption Spectrophotometry merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dan kadar
mineral dalam berbagai bahan, namun terlebih dahulu dilakukan tahap pendestruksi cuplikan. Pada metode destruksi basah dekomposisi sampel
dilakukan dengan cara menambahkan pereaksi asam tertentu ke dalam suatu bahan yang dianalisis. Asam-asam yang digunakan adalah asam-asam
pengoksidasi seperti H
2
SO
4
, HNO
3
, H
2
O
2
, HClO
4
, atau campurannya. Pemilihan jenis asam untuk mendestruksi suatu bahan akan mempengaruhi hasil analisis.
Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang
diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrometri Serapan Atom SSAAAS, merupakan metode analisis unsure
secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas. Apabila
cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel.
Metode AAS merupakan metode analisis berdasarkan atomisasi bahan terhadap sampel larutan. Kelebihan metode ini dibanding dengan metoda yang
lain adalah mampu mendeteksi unsur-unsur dengan konsentrasi rendah orde ppm dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sedikit beberapa miligram.
Pada penelitian ini kadar mineral yang dianalisis adalah kadar kalsium, kadar besi dan kadar seng. Ketiga mineral tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh
walaupun jumlahnya sedikit. Hasil dari analisis mineral Ca, Fe, dan Zn dari bahan baku bekatul awet dapat dilihat dibawah ini.
Tabel 3 Kadar mineral Ca, Fe dan Zn bahan baku bubuk bekatul awet bk
Perlakuan Kadar Ca
Kadar Fe Kadar Zn
Ppm mg100g
Ppm mg100g
ppm mg100g
Tidak dicampurkan 57.36±3.47
a
5.74±0.35
a
300.04±4.13
a
30.00±0.41
a
76.38±2.65
a
7.64±0.26
a
Dicampurkan 81.95±1.44
b
8.19±0.14
b
318.56±7.42
b
31.89±0.74
b
71.22±4.55
a
7.13±0.45
a
Keterangan : tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
bk = berat kering Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menujukan perbedaan yang nyata Independent Samples Testp 0.05
Berdasarkan table di atas dapat dilihat kadar mineral Ca dan Fe pada perlakuan dicampurkan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tidak
dicampurkan. Namun untuk kadar Zn pada perlakuan tidak dicampurkan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan dicampurkan. Pada perlakuan tidak
dicampurkan kadar Ca sebesar 5.74 mg100 g sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 8.19 mg100 g. Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan
oleh Luh et al. 1991 yaitu sebesar 30-120 mg100 g. Kadar besi Fe pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 30.00 mg100 g, sedangkan pada
perlakuan dicampurkan sebesar 31.89 mg100 g. Hasil ini lebih rendah dari penelitian Luh et al. 1991 yaitu sebesar 50-110 mg100 g. Untuk kadar Zn pada
perlakuan tidak dicampurkan sebesar 7.64 mg100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 7.13 mg100 g. Perbedaan dari kedua perlakuan diduga
karena adanya bahan yang tidak dicampurkan dan dicampurkan kembali pada saat proses penepungan bekatul awet. Kontribusi zat gizi mineral ini terhadap
kecukupan seseorang tergantug dari sifat bilogis mineral itu sendiri.
Berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar kalsium dan
kadar besi Fe berbeda nyata p0.05 di mana kadar kalsium dan besi pada bahan baku bekatul yang dicampurkan lebih tinggi secara nyata dibandingkan
dengan bekatul awet yang tidak dicampurkan Tabel 3. Namun kadar seng Zn pada bahan baku bekatul yang dicampurkan tidak berbeda nyata dengan bekatul
awet yang tidak dicampurkan. Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa zat gizi mineral lebih banyak terdapat bagian paling luar pada lapisan bekatul
Damayanthi et al. 2003. Berdasarkan hasil analisis bahwa kadar mineral besi sebesar 30-31
mg100 g. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan lain misalkan toge kacang hijau. Toge kacang hijau hanya mengandung mineral besi sebesar
0.8 mg50 g atau setara 1.6 mg100 g, sehinga bekatul padi merupakan sumber
besi. Hal ini karena bekatul yang cukup melimpah yang masih belum banyak dimanfaatkan.
Bioavaibilitas Mineral Ca, Fe dan Zn
Bioavailabilitas mineral adalah ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorpsi dengan kata lain penyerapan actual efisiensi dari mineral dimana
menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Interaksi antar mineral dapat mengakibatkan penurunan absorpsi
elemen atau pengurangan bioavailabilitasnya. Banyak molekul dalam makanan mempengaruhi bioavailabilitas, baik meningkatkan absorpsi atau menghambat
absorpsi bersaing. Misalkan kandungan total kalsium yang tinggi dalam suatu produk pangan belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh akan
tinggi pula. Jika bioavailabilitasnya rendah maka jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh pun menjadi rendah. Ketersediaan biologis bioavailabilitas dapat
diartikan sebagai jumlah mineral dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Nilai bioavaibilitas mineral menunjukkan proporsi
jumlah mineral yang masuk ke dalam tubuh dan yang diserap oleh usus dan digunakan oleh tubuh.
Bioavailabilitas mineral dapat dianalisis dengan metode in vivo maupun in vitro. Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas mineral juga dapat
dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan
pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga mineral yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis
Roig et al. 1999. Namun, metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah Damayanthi Rimbawan 2008. Berikut
adalah grafik hasil analisis bioavailabilitas kalsium, besi dan seng dari bahan baku bekatul awet.
Gambar 11 Bioavaibilitas mineral Ca, Fe, dan Zn bubuk bekatul awet Keterangan
: tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh bk = berat kering
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bioavailabilitas kalsium dan besi pada perlakuan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh lebih
tinggi dibandingkan bioavailabilitas kalsium dan besi pada bahan yang dicampurkan yang lolos ayakan 20 mesh. Namun bioavailabilitas seng pada
bahan yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakn 20 mesh lebih rendah dibandingkan bioavailabilitas seng pada bahan yang dicampurkan bahan yang
lolos ayakan 20 mesh. Hasil analis bioavaibilitas mineral Ca, Fe dan Zn pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan dan yang dicampurkan bahan
yang lolos aykan 20 mesh yaitu masing-masing sebgai berikut: untuk Ca adalah 59.09 dan 58.84 ; Fe adalah 0.90 dan 0.78 serta untuk Zn adalah 42.87
dan 44.72 . Di dalam bahan pangan nabati, mineral biasanya dalam keadaan terikat.
Oleh karena itu biavaibilitas Fe dan Zn tidak terlalu tinggi, namun untuk bioavailabilitas dari Ca cukup tinggi yaitu melebih 50 . Hasil ini menunjukkan
bahwa tidak semua kalsium, besi dan seng dalam bubuk bekatul awet dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh dan seberapa besar yang dapat
dimanfaatkan bergantung pada ketersediaan biologisnya bioavailabilitas. Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia
untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi Miller
1996. Berdasarkan
Allen 1982
komponen makanan
yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen
tumbuhan serat, fitat, dan oksalat, laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al.
2005 menambahkan bahwa keberadaan kation divalen bervalensi dua juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Serat pangan dapat mengikat beberapa
mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya Ink 1988. Komponen utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi
penyusun dinding sel tumbuhan selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa
hemiselulosa Allen 1982. Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia
untuk absorpsi kalsium. Hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat
diabsorpsi Gropper et al. 2005. Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut
sehingga tidak dapat diabsorpsi Almatsier 2006. Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang
berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat :
kalsium lebih dari 0.2 Gropper et al. 2005. Meskipun bioavaibilitas kalsium dari bekatul padi tidak terlalu tinggi
namun cukup berarti sebagai pangan yang kaya akan kalsium karena bioavailabilitasnya melebihi 50 . Hal ini mengingat ketersediaan pangan ini
melimpah, awet dan dengan harga terjangkau masyarakat luas. Di negara- negara maju sumber utama kalsium untuk masyarakatnya adalah susu dan hasil
olahannya yang mengandung sekitar 1150 mg kalsium per liter Soekatri Kartono 2004.
Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta
perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan Allen 1982. Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah
bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Faktor yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium antara lain vitamin D dalam
bentuk aktif 1.25OH2D3, fosfor, protein, dan laktosa Almatsier 2006. Adapun faktor yang menghambat penyerapan kalsium di antaranya kekurangan vitamin D
dalam bentuk aktif 1.25OH2D3, adanya asam oksalat dan asam fitat, serat, kation divalen, serta lemak.
Bioavailabilitas zat besi adalah jumlah zat besi dalam bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah Latunde-Dada Neale 1986. Hasil
penelitian menunjukan bahwa bioavailabilitas mineral besi sangat rendah yaitu 0.87-0.90 . Sedangkan ketersediaan zat besi pada bekatul cukup tinggi yaitu
30-31.89 mg100 g. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor endogen kondisi tubuh dan faktor eksogen zat makanan. Faktor eksogen
meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi,yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam
bahan pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan. Kandungan zat besi dalam bahan pangan khususnya zat
besi nonheme mempengaruhi jumlah zat besi yang diabsorbsi Hallberg 1988. Efisiensi absorbsi zat besi berbanding terbalik dengan total zat besi dalam
makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah Gropper et al. 2005.
Bioavailabilitas zat besi heme lebih tinggi daripada nonheme yaitu sekitar 15-30 . Hal ini karena zat besi heme diserap secara utuh dalam cincin porfirin
dan tidak terekspos ligan–ligan penghambat pengikat yang ada dalam makanan. Adapun zat besi nonheme masuk ke dalam pool yang memudahkan
dipertukarkan exchangeable pool. Hal ini menyebabkan adanya efek dari ligan- ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu besi nonheme yang dapat diserap hanya 2-20 tergantung pada ligan dan status zat besi seseorang Rolfes Whitney 2008. Bekatul
merupakan bahan pangan nonheme, sehingga penyerapan zat besinya sangat rendah.
Bioavailabiltas mineral seng cukup tinggi pada bubuk bekatul padi awet yaitu 42.87-44.72 , namun ketersediaanya sangat rendah yaitu 7.13-7.64
mg100 g bubuk bekatul padi awet. Penyerapan seng itu sendiri dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan. Pemanasan dapat menyebabkan seng
dalam bahan pangan membentuk kompleks yang melawan hidrolisis sehingga seng tidak dapat dicerna. Produk dari reaksi Maillard yaitu asam amino,
kompleks karbohidrat yang menyebabkan browning, dapat menghambat penyerapan seng Gropper et al. 2005. Karena proses pengawetan bekatul
menggunakan pemanasan, diduga proses ini bisa memperkecil bioavailabilitas seng yang terdapat pada bekatul padi.
Menurut Gibney et al. 2002, faktor-faktor yang dapat meningkatkan absorpsi seng adalah faktor fisiologi status seng kurang dan faktor dietary
asupan seng rendah, asam organik tertentu, asam amino tertentu. Adapun yang menurunkan absorpsi seng adalah status seng normal, asupan seng tinggi,
fitat, dan zat besi tertentu. Absorpsi seng yang rendah 10-15 terdapat di negara berkembang yang makanannya didominasi oleh sereal dan kacang-
kacangan dengan konsentrasi fitat tinggi. Adapun daerah dengan dietary pangan hewani dan produk tanaman diperkirakan memiliki absorpsi seng sebesar 20-30
.
Berdasarkan uji independent samples test bioavailabilitas kalsium, besi,
dan seng pada pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata p0.05 dengan bekatul
awet yang dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh Gambar 11. Dugaan bahwa nilai bioavailabilitas mineral akan menurun apabila bahan yang
tidak lolos ayakan 20 mesh dicampurkan kembali ternyata tidak terbukti.
Aktivitas Antioksidan, kadar Vitamin E, dan kadar Oryzanol 1. Aktivitas Antioksidan
Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah metoda serapan radikal DPPH 1,1-diphenyl-2-pycrilhydrazil karena merupakan
metoda yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat. Pengukuran aktivitas antioksidan sampel
dilakukan pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang
maksimum DPPH
1,1-dyphenyl-2-picrylhydrazyl, dengan
konsentrasi DPPH 10 mM. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol yang
ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning pucat Molyneux 2004.
Pemudaran warna mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer, sehingga semakin rendah nilai absorbansi maka
semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Semakin pudar warna dan semakin rendah nilai absorbansi menunjukkan bahwa semakin banyak radikal bebas yang
diserap oleh antioksidan. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai aktivitas antioksidan.
Pengujian aktivitas antioksidan untuk melihat persentase aktivitas antioksidan yang terdapat dalam bubuk bekatul serta kesetaraan dengan
kemampuan mg vitamin C. Pembuatan standar dari vitamin C dan contoh perhitungan aktivitas antioksidan vitamin C dapat dilihat pada Lampiran. Pada
penelitian ini digunakan vitamin C sebagai standar dalam pengukuran aktivitas antioksidan karena vitamin C merupakan salah satu antioksidan sekunder yang
memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol bubuk bekatul ini dinyatakan
dalam persentase aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH. Persentase ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban
sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai aktivitas antioksidan sedangkan kesetaraan
jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin C mg dinyatakan dalam Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity atau biasa disingkat AEAC mg vit
C100g. Hasil analisis aktivitas antioksidan disajikan pada berikut ini. Tabel 4 Kadar aktivitas antioksidan dan AEAC pada bubuk bekatul awet
Perlakuan Antioksidan
AEAC mg Vit C100 g
Tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh
36.49±0.496
a
142.76±2.607
a
Dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh 41.29±0.649
b
163.56±5.149
b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menujukan
perbedaan yang nyata p0.05 independent samples test
Besarnya aktivitas antioksidan atau kemampuan mereduksi radikal bebas pada bubuk bekatul adalah 36.49 untuk perlakuan tidak dimsasukan dan
41.29 untuk perlakuan dicampurkan. Perbedaan hasil analisis dari kedua perlakuan diduga adanya bahan yang dicampurkan dan tidak dicampurkan
kembali yaitu bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Hasil penelitian anktivitas antioksidan ini lebih kecil dibandingkan aktivitas antioksidan bubuk bekatul yang
dilaporkan Farizal 2010 yaitu sebesar 83.89 . Perbedaan ini diduga adanya kerusakan pada saat persipan bahan baku, sehingga hasil aktivitas
antioksidanya lebih kecil dibandingkan bubuk bekatul yang dibuat oleh Farizal 2010. Namun bubuk bekatul hasil penelitian ini rata-rata dalam 100 gram bubuk
bekatul masing-masing mampu mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan 142.76 mg pada perlakuan tidak dicampurkan dan 163.56
mg pada perlakuna dicampurkan vitamin C lebih tinggi dibandingkan Farizal 2010 yaitu sebesar 28.74 mg vitamin C.
Berdasarkan uji statistik independent samples test persen aktivitas
antioksidan maupun AEAC pada bahan baku bekatul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara nyata p0.05 dengan
bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Begitu juga dengan AEAC pada bahan baku bekatul awet yang
dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara nyata p0.05 dengan bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang
tidak lolos ayakan 20 mesh. Semakin banyak bahan baku bekatul awet yang dibung karena pengayakan maka antioksidanya akan semakin menurun begitu
juga sebaliknya Damayanthi 2003
a
dan Damayanthi et al. 2010.
2. Kadar Vitamin E