Hubungan Penyuluhan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar

(1)

HUBUNGAN PENYULUHAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA PADA MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS LAMTEUBA KECAMATAN SEULIMUM KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2008

TESIS

Oleh

MARDIAH

067012014/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 8


(2)

HUBUNGAN PENYULUHAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA PADA MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS LAMTEUBA KECAMATAN SEULIMUM KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2008

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARDIAH

067012014/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN PENYULUHAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA PADA

MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAMTEUBA KECAMATAN SEULIMUM KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Mardiah Nomor Pokok : 067012014

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM) (Ir.Indra Chahaya, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr.Drs.Surya Utama, MS) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah Diuji

Pada tanggal : 17 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM Anggota : Ir.Indra Chahaya, M.Si.

Drh.Rasmaliah, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN PENYULUHAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA PADA MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS LAMTEUBA KECAMATAN SEULIMUM KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2008

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2008


(6)

(7)

ABSTRAK

Berbagai upaya pencegahan penyakit malaria telah dilaksanakan beberapa program, di antaranya penyuluhan, penyemprotan rumah (Indoor Residual Spraying),

larvaciding, pengobatan massal, pengobatan radikal dan kelambunisasi, namun angka

malaria tetap saja tinggi. Salah satu upaya pencegahan penyakit malaria adalah melalui peningkatan pengetahuan masyarakat yang dapat diimplikasikan melalui kegiatan penyuluhan.

Dengan rancangan penelitian analitik observasional metode cross sectional, peneliti menganalisis hubungan penyuluhan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar. Jumlah sampel 233 orang dengan teknik pengambilan sampel simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisa data yang digunakan adalah

chi-square test dan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Kemukiman Lamteuba mayoritas bekerja sebagai petani yaitu 60,1% dan proporsi tertinggi pendidikan masyarakat di Kemukiman Lamteuba adalah SD yaitu 61,4%. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara materi, komunikator dan metode penyuluhan dengan perilaku pencegahan malaria yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Dari hasil uji regresi logistik maka diperoleh faktor yang paling berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria adalah faktor komunikator.

Disarankan kepada petugas kesehatan di dalam memberikan materi penyuluhan agar menyesuaikan dengan budaya setempat, juga memanfaatkan tokoh-tokoh masyarakat dalam mendampingi petugas penyuluh malaria dalam melaksanakan penyuluhan di lapangan. Selanjutnya Dinas Kesehatan setempat agar dapat meningkatkan kerjasama dengan lintas sektoral terkait dalam hal pencegahan penyakit malaria.


(8)

ABSTRACT

Various attempts of malaria prevention such as extension, indoor residual spraying, larvaciding, mass medical treatment, radical medical treatment and mosquito net provision has been implemented, but the rate of malaria prevalence remains high. One of the attempts of malaria prevention is the improvement of community’s knowledge that can be implemented through the activity of extension.

The purpose of this observational analytical study with cross sectional method is to analyze the influence of extention on the change of behavior in malaria prevention in the community living in the work area of Lamteuba Communiy Health Center (Puskesmas), Seulimum Sub-district, Aceh Besar District. The samples for this study are 233 persons who were selected through simple random sampling technique. The data for this study were collected through questionnaire – based interviews and were analyzed by means of Chi-square and logistic regression tests.

The result of this study reveals that the majority (60,1%) of the communities of Kemukiman Lamteuba is traditional farmers and the highest level of their educationis Primary School (61,4%). The result of bivariate analysis shows that there is a significant relationship (p < 0,05) between the materials, communicator and extension method and the behavior of malaria prevention including knowledge, attitude and action. The result of logistic regression test shows that communicator is the factor which is the most related to the behavior of malaria prevention.

It is suggested that, in providing the extension, the health workers should adjust it to the local culture and make use of the prominent community leaders to accompany the malaria extension workers in implementing the extension in the field. The Health Service of Aceh Besar District is also suggested to be able to improve its cooperation with the related inter-sectoral agencies in malaria prevention.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas semua rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, begitu juga selama mengikuti perkuliahan di Pascasarjana USU sampai penulis menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Hubungan Penyuluhan Dengan

Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008”. Penulisan tesis ini juga terlaksana sampai selesai berkat peranan, dukungan

dan bantuan banyak pihak, mulai dari pengumpulan materi kepustakaan, penyusunan proposal, kolokium, penelitian di Kecamatan Seulimum, seminar hasil penelitian sampai dengan ujian tesis.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan tidak terhingga kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Univeristas Sumatera Utara Medan atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister. 2. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan (AKK) Sekolah Pascasarjana Univeristas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) Sekolah Pascasarjana Univeristas Sumatera Utara Medan.


(10)

4. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Ir. Indra Chahaya, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan memberi banyak masukan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis.

5. Ibu Dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, Ibu Ir. Evinaria, M.Kes, dan Ibu Drh.

Rasmaliah, M.Kes, selaku Penguji yang telah banyak memberikan masukan,

arahan dan bimbingan ilmunya yang sangat berharga dan bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini.

6. Bapak Bupati, Wakil Bupati, Sekda dan seluruh jajaran Pemda Kabupaten Aceh Besar yang telah banyak membantu penulis dalam proses pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

7. Ibu drg. Erni Ramayani, MPh, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar beserta staf yang telah benyak memberi data dan informasi, memotivasi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

8. Ibu dr. Nathalina Cristianto, selaku Kepala Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar beserta staf yang telah memberi bantuan kepada penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya.

9. Camat Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar beserta staf yang telah memberi bantuan kepada penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya. 10.Ananda tercinta Denny Fachriza, Jerry Sanova, Frilly Wulandary dan Farandy


(11)

11.Ayahanda tercinta Alm.H.Yunus Harun dan Ibunda tercinta Hj. Salbiah Ibrahim yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis.

12.Para masyarakat yang menjadi subjek penelitian yang telah meluangkan waktu untuk diwawancarai.

13.Teman-teman mahasiswa-mahasiswi Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2006 yang telah banyak membantu memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan Tesis ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bertujuan untuk menyempurnakan Tesis ini. Mudah-mudahan Tesis ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah SWT. Amin ya rabbal ’alamin.

Medan, Agustus 2008 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lubuk pada tanggal 25 Maret 1959, beragama Islam, anak Pertama dari sepuluh bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm. H.Yunus Harun dan Ibunda Hj.Salbiah Ibrahim. Mempunyai tiga orang putra Denny Fachriza, Jerry Sanova, Farandy Aristia dan satu orang putri Frilly Wulandary, sekarang menetap di Jl.Banda Aceh – Medan Km.14 Desa Weusiteh Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Memulai pendidikan di SD Negeri Lubuk lulus tahun 1972, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri Lubuk lulus tahun 1976. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sekolah Perawat Banda Aceh lulus tahun 1980. Melanjutkan pendidikan Bidan di Banda Aceh lulus tahun 1981. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Banda Aceh lulus tahun 1996. Kemudian masuk S-1 Kesehatan Masyarakat di Banda Aceh lulus tahun 2000. Dan melanjutkan lagi S-2 Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara dari tahun 2006.

Pernah bekerja sebagai Staf Puskesmas Lhoong dari tahun 1981-1982 di Banda Aceh, Staf Puskesmas Suka Makmur dari tahun 1982-1995. Kemudian sebagai Kepala Sub Seksi Kesehatan Anak di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar dari Tahun 1995-2000. Kemudian sebagai Kepala Seksi Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Bantuan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar dari tahun 2000 sampai dengan 2003. Kemudian menjabat sebagai Kepala Subdin Pencegahan Pemberantasan Penyakit di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar dari


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Penyuluhan... 6

2.2 Komunikasi ... 12

2.3 Perilaku Kesehatan... 17

2.4 Konsep Dasar Pengetahuan... 25

2.5 Sikap (Attitude) ... 29

2.6 Tindakan (Practice) ... 35

2.7 Epidemiologi Malaria... 36

2.8 Landasan Teori... 45

2.9 Kerangka Konsep ... 46

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian... 47

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 47

3.3 Populasi dan Sampel ... 48

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 54

3.6 Metode Pengukuran ... 56


(14)

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 62

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 62

4.2 Deskripsi Karakteristik Responden... 64

4.3 Hasil Analisis ... 74

BAB 5 PEMBAHASAN... 78

5.1 Hubungan Materi dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria ... 78

5.2 Hubungan Komunikator dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria ... 80

5.3 Hubungan Metode dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria ... 82

5.4 Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria ... 83

5.5 Keterbatasan Penelitian ... 84

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1 Kesimpulan ... 85

6.2 Saran ... 86


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

4.1 Distribusi Penduduk Menurut jenis Pekerjaan di Kemukiman

Lamteuba Tahun 2007 ... 64 4.2 Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur, Jenis Pekerjaan

dan Tingkat Pendidikan di Kemukiman Lamteuba Tahun 2007 ... 65 4.3 Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pencegahan Penyakit

Malaria Tahun 2008 ... 66 4.4 Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pencegahan Penyakit

Malaria Tahun 2008 ... 68 4.5 Distribusi Sikap Responden Tentang Pencegahan Penyakit Malaria

Tahun 2008 ... 69 4.6 Distribusi Sikap Responden Tentang Pencegahan Penyakit Malaria

Tahun 2008 ... 70 4.7 Distribusi Tindakan Responden Tentang Pencegahan Penyakit

Malaria Tahun 2008 ... 71 4.8 Distribusi Tindakan Responden Tentang Pencegahan Penyakit

Malaria Tahun 2008 ... 72 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Pencegahan Malaria

di Kemukiman Lamteuba Kecamatan Seulimum Aceh Besar

Tahun 2008 ... 72 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Materi Penyuluhan Tentang

Pencegahan Penyakit Malaria Tahun 2008 ... 73 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Komunikator Tentang Perilaku

Pencegahan Malaria Berdasarkan Komunikator Tahun 2008 ... 73 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Metode Tentang Pencegahan


(16)

4.13 Hubungan Materi Penyuluhan dengan Perilaku Pencegahan Malaria di Kemukiman Lamteuba Kecamatan Seulimum Aceh Besar

Tahun 2008 ... 74 4.14 Hubungan Komunikator dengan Perilaku Pencegahan Malaria di

Kemukiman Lamteuba Kecamatan Seulimum Aceh Besar

Tahun 2008 ... 75 4.15 Hubungan Metode dengan Perilaku Pencegahan Malaria di

Kemukiman Lamteuba Kecamatan Seulimum Aceh Besar

Tahun 2008 ... 76 4.16 Hasil Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Independen

yang Paling Berpengaruh Terhadap Perilaku Pencegahan


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi ... 30 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Penyuluhan dengan

Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh

Besar ... 46 4.1 Laporan Kasus Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2007... 63


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Daftar Pertanyaan / Kuesioner... 89 2. Peta Kabupaten Aceh Besar Propinsi NAD... 96 3. Peta Kemukiman Lamteuba Kecamatan Selimum Kabupaten Aceh

Besar ... 97 4. Uji Validitas dan Realibilitas... 98


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Malaria ditemukan di lebih dari 100 negara, namun terutama terbatas pada daerah tropis dari benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari penduduk dunia. Setiap tahun jumlah kasus malaria berjumlah 300-500 juta dan mengakibatkan 1,5 s/d 2,7 juta kematian, terutama di Afrika.

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2006, Indonesia menempati urutan ke-26 dengan jumlah kasus 919,8 per 100.000 orang. Epidemi bisa ditemukan setiap tahun terutama di luar Pulau Jawa dan Bali, sehingga masih ditemukan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah (www.globalis.com. 7 Januari 2007).

Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, terdapat 15 juta orang di Indonesia menderita malaria dan 38.000 orang meninggal pertahun. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria, dari 376 kabupaten dan 95 kota yang ada di Indonesia 167 Kabupaten/Kota merupakan wilayah Endemis Malaria. Berdasarkan data profil pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman Depkes RI Tahun 2003, menunjukkan adanya fluktuasi peningkatan angka malaria untuk wilayah Jawa dan Bali. Angka Annual Parasit Inciden (API) menunjukkan dari 0,31 per 1000 penduduk


(20)

tahun 1998 menjadi 0,52 per 1000 penduduk pada tahun 1999 dan 0,81 per 1000 penduduk tahun 2000. Angka ini menurun menjadi 0,62 per 1000 penduduk pada tahun 2001 dan menjadi 0,42 per 1000 penduduk pada tahun 2002 (Almazini, 2007).

Hasill survey Malario Metric di beberapa Kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2006 menunjukkan bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk dalam kategori endemis malaria dimana masih ditemukan adanya plasmodium falcifarum, vektor anopheles dan kasus indigenous serta hasil

Parasite Rate (PR) sebesar 2,4%. Jumlah kasus positif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium 3.339 kasus dengan rincian sebagai berikut : Plasmadium falcifarum 1.783 kasus, Plasmodium vivax 1.357 kasus dan mix 199 kasus terdiri dari 101 plasmodium Falcifarum dan 98 kasus plasmodium vivax (Profil Kesehatan Provinsi NAD, 2006).

Kabupaten Aceh Besar merupakan kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dinyatakan sebagai daerah endemis malaria. Data dari survey Malario Metric menunjukkan bahwa kabupaten Aceh Besar termasuk dalam kategori endemis malaria dengan jumlah kasus klinis 1.449 kasus, positif 724 kasus dengan klasifikasi plasmodium falcifarum 441 kasus, Plasmodium vivax 276 kasus, dan mix

7 kasus yang terdiri dari 5 kasus plasmodium falcifarum dan 2 kasus Plasmodium vivax (Dinas Kesehatan Aceh Besar, 2006).

Salah satu kecamatan yang dinyatakan sebagai daerah endemis malaria adalah Kecamatan Seulimum tepatnya di Kemukiman Lamteuba. Kemukiman Lamteuba


(21)

ditemui kasus ini, baik kasus baru ataupun kasus lama yang terulang kembali. Menurut data Dinas Kesehatan Aceh Besar tahun 2007, angka kekambuhan dari malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax di daerah ini cukup tinggi, kurang lebih 53% kasus malaria tertiana yang ditemukan adalah kasus lama yang terulang kembali, sedangkan 47%nya adalah kasus baru. Kecenderungan menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan darah jari masyarakat di Desa Lamteuba ditemukan tingginya parasit rate >2 % hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut adalah daerah endemis malaria. Berdasarkan data kunjungan pasien Puskesmas Lamteuba sejak tahun 2005 hingga Januari 2007 telah ditemukan 1251 kasus malaria positif pada semua umur (pemeriksaan menggunakan tes kit malaria), yang terdiri dari 16% Malaria Tropica, 82% Malaria Tertiana, dan 2% Mix Malaria. Dari kasus tersebut diketahui bahwa penderita terbanyak adalah laki-laki dewasa yaitu 795 orang atau 63,54% (Data Puskesmas Arafat-Lamteuba, 2007).

Dalam upaya pencegahan penyakit malaria, telah dilaksanakan beberapa program, di antaranya penyuluhan, penyemprotan rumah (Indoor Residual Spraying),

larvaciding, pengobatan massal, pengobatan radikal dan kelambunisasi, namun angka malaria tetap saja tinggi.

Salah satu upaya pencegahan penyakit malaria adalah melalui peningkatan pengetahuan masyarakat yang dapat diimplikasikan melalui kegiatan penyuluhan. Namun hingga saat ini belum diketahui hubungan penyuluhan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.


(22)

1.2Permasalahan

Kecenderungan menunjukkan bahwa tingginya parasit rate >2% di Kecamatan Seulimum merupakan suatu fenomena yang harus dicari jalan keluarnya. Salah satu aspek yang diduga berhubungan langsung dalam pencegahan penyakit malaria adalah aspek perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan penyuluhan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penyuluhan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.

1.4Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan penyuluhan terhadap perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar dan faktor yang paling berhubungan dengan pencegahan penyakit malaria adalah komunikator penyuluhan.


(23)

1.5Manfaat Penelitian

Setelah dilaksanakannya penelitian ini maka diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dalam pengembangan pengetahuan nantinya akan diperoleh informasi hubungan penyuluhan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar. 2. Aplikasi Praktis

a. Sebagai masukan sumbangan pemikiran untuk masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria melalui penyuluhan.

b. Sebagai masukan bagi pengembangan konsep kebijakan dalam kesehatan khususnya dalam pencegahan penyakit malaria di Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar

c. Menambah bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan ilmu atau penelitian lebih lanjut bagi yang membutuhkannya khususnya tentang pencegahan penyakit malaria melalui penyuluhan.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyuluhan

2.1.1 Konsep Dasar Penyuluhan

Penyuluhan merupakan kegiatan dalam hubungannya dengan peningkatan pengetahuan, keahlian, sikap maupun perilaku. Seperti halnya tenaga kerja yang diterima melalui program seleksi, pada umumnya belum siap pakai dan tenaga kerja yang lama memerlukan pengetahuan, keahlian dan kecakapan yang baru sesuai dengan tuntutan jabatan dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryana, 2006).

Lebih lanjut Suryana (2006) menyebutkan bahwa untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan jabatan dan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi, setiap organisasi harus membekali setiap anggotanya dengan pengetahuan, kemampuan tuntutan bersikap dan berperilaku yang diharapkan. Salah satu upaya adalah mengadakan penyuluhan bagi anggota organisasinya.

2.1.2 Pengertian Dasar

Menurut Sikula dalam Sumantri (2006), penyuluhan adalah proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisasi. Peserta penyuluhan itu sendiri (biasanya non-manajerial) akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan-tujuan tertentu. Pengembangan adalah proses


(25)

terorganisasi, biasanya para pesertanya adalah tenaga manajerial, mereka akan mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan yang sifatnya umum. Akan tetapi batas antara keduanya tidak jelas.

Lebih lanjut Benardin dan Russel (1993) memberikan pengertian penyuluhan sebagai berikut:

“Training is defined as any attempt to improve employee performance on a currently held job or one related to it. To be effective, training should involve a learning experience, be a planed organizational activity, and be designed in response to identified needs. Ideally, training should be designed to meet the goals of the organization while simultaneously meeting the goals of individual employees. The term “training” is often confused with the term “development”. Development refers to learning opportunities designed to help employees grow. Such opportunities do not have to be limited to improving employees performance on their current jobs”

Dari penjelasan tersebut di atas, jelas bahwa pengertian penyuluhan adalah memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pekerjaan tertentu, terinci dan rutin untuk melakukan berbagai aktivitas. Di lain pihak pengembangan dimaksudkan untuk menyiapkan karyawan yang memegang tanggung jawab pekerja di masa mendatang.

Menurut Milkovich & Boudreau (1991) merumuskan Penyuluhan sebagai:

“Training is a systematic process of changing the behavior, knowledge and motivation of present employees to improve the match between employee characteristics and employment requirement”

Kegiatan penyuluhan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi masyarakat dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusianya. Kegiatan penyuluhan yang efektif diharapkan dapat mengoptimalkan perubahan perilaku masyarakat.


(26)

2.1.3 Penyuluhan dan Pengembangan

Menurut Suryana (2006) penyuluhan dan pengembangan merupakan dua istilah yang saling berhubungan dan dimaksudkan untuk merencanakan suatu desain untuk mempermudah peningkatan keahlian, pengetahuan, sikap dan perilaku anggota organisasi, dengan tujuan:

a. Meningkatkan efisiensi

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari suatu penyuluhan, agar peserta penyuluhan akan lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada didalam organisasi.

b. Meningkatkan kualitas kerja termasuk kualitas belajar

Kualitas kerja dan juga kualitas belajar akan semakin meningkat, karena penyuluhan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja para pesertanya, dan diharapkan setiap peserta dapat menerapkannya dalam bidang pekerjaannya masing-masing.

c. Meningkatkan kepuasan bekerja

Kepuasan kerja para peserta akan semakin meningkat, apabila mereka akan kembali pada pekerjaannya masing-masing, mengingat bahwa mereka mendapat kesempatan untuk mengembangkan dirinya melalui program penyuluhan.

d. Meningkatkan kemampuan-kemampuan lainnya

Selain kemampuan yang diharapkan melalui suatu penyuluhan akan meningkat, kemampuan yang lain pun akan meningkat pula.


(27)

2.1.4 Identifikasi Kebutuhan Penyuluhan

Langkah pertama dari suatu proses penyuluhan adalah menentukan kebutuhan penyuluhan yang dirasakan oleh suatu organisasi. Apabila proses penentuan kebutuhan penyuluhan dilakukan dengan cermat dan hati-hati, maka organisasi yang menyelenggarakan penyuluhan akan dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya.

Penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan beberapa kemampuan tertentu, selain mengubah perilaku-perilaku para pekerja ke arah perilaku kerja yang lebih baik. Semuanya itu harus mendukung pencapaian tujuan akhir suatu organisasi, seperti proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa yang lebih efisien, berkurangnya biaya produksi, peningkatan kualitas, dan hubungan antara manusia yang lebih efektif. Dengan demikian, perubahan perilaku pekerja akan lebih efektif. a. Kebutuhan Penyuluhan

Kebutuhan penyuluhan dalam suatu organisasi dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok (McCormick & Tiffin, 1979), yaitu:

1) Kebutuhan penyuluhan yang didasarkan pada kebutuhan para pekerja untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan guna menghadapi tugas khusus terutama bagi pegawai yang baru dan pegawai lama yang prestasi kerjanya tergolong kurang.

2) Kebutuhan penyuluhan yang didasarkan pada kebutuhan organisasi dalam rangka peningkatan/pengembangan pegawai yang akan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas kerja individu dalam jangka panjang.


(28)

b. Kebutuhan penyuluhan dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu: 1) Kebutuhan penyuluhan untuk memenuhi tuntutan jabatan sekarang.

2) Kebutuhan penyuluhan untuk memenuhi tuntutan jabatan lainnya, biasanya untuk promosi.

3) Kebutuhan penyuluhan untuk memenuhi tuntutan perubahan yang terjadi pada jabatannya, misalnya karena kemajuan teknologi atau perubahan organisasi.

2.1.5 Lima Komponen Penyuluhan

Program penyuluhan harus merumuskan lima komponen utama penyuluhan agar penyuluhan mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Kelima komponen tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tujuan Penyuluhan

Tujuan penyuluhan harus ditetapkan terlebih dahulu, secara tegas spesifik, realistis, cukup menantang, dapat diukur, jelas batas waktunya. Dirumuskan dengan kalimat singkat dan sederhana bahasanya agar mudah dicerna dan mudah ditangkap maknanya. Dengan demikian seluruh kegiatan kelihatan selalu akan terarah pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Sumantri, 2006).

b. Peserta Penyuluhan

Peserta penyuluhan dipilih yang sesuai dengan tujuan penyuluhan, tidak terlalu heterogen baik dalam hal usia, pendidikan, maupun pengalaman belajar.


(29)

c. Penyuluh

Penyuluh (fasilitator) yang dipilih adalah mereka yang sudah berpengalaman dan memiliki keterampilan dalam memberikan penyuluhan, dalam arti kata para pelatih mampu menggunakan metode yang ada dan menguasai materi penyuluhan dengan baik, serta mampu menjaga situasi penyuluhan agar tetap dalam keadaan yang menunjang pencapaian tujuan penyuluhan.

d. Materi Penyuluhan

Materi penyuluhan, sesuai dengan tujuan penyuluhan. Bahan bacaan disusun dengan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti dan mudah dicerna oleh peserta penyuluhan.

e. Metode Penyuluhan

Metode penyuluhan, dipilih metode yang paling cocok untuk menyampaikan materi kepada para peserta latihan oleh tim penyuluh yang bersangkutan. Penggunaan metode yang paling cocok akan mempermudah peserta latihan menerima materi yang diberikan.

2.1.6 Evaluasi Penyuluhan

Dampak spesifik apa yang muncul dari setiap program penyuluhan yang diberikan pada para pekerja. Evaluasi penyuluhan merupakan langkah yang penting, karena:

a. Memberi masukan kepada para pelatih apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak perlu dilakukan.


(30)

b. Proses evaluasi memberikan petunjuk kepada manajemen bahwa program penyuluhan memberi dampak yang positif terhadap kebutuhan jangka panjang (Suryana, 2006).

Evaluasi penyuluhan memiliki dua aspek, yaitu:

a. Menentukan apakah perubahan perilaku yang dihasilkan oleh program penyuluhan memberikan sumbangan pada pencapaian tujuan organisasi.

b. Membandingkan berbagai teknik penyuluhan untuk menentukan teknik penyuluhan mana yang paling tepat dan dapat memberikan sumbangan pada pencapaian tujuan organisasi.

2.2 Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Stimulus atau rangsangan ini dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan, maupun gerakan, tindakan, atau simbol-simbol yang diharapkan dapat dimengerti, oleh pihak lain, dan pihak yang memberi stimulus (Notoadmodjo, 2007)

Effendi (1999) menjelaskan terdapat 2 sifat komunikasi, yaitu :

1. Komunikasi Verbal, yaitu komunikasi yang menggunakan lambang bahasa lisan maupun tulisan.

2. Komunikasi Non Verbal, yaitu komunikasi dengan gejala yang meliputi gerak-gerik/kial (gesture), sikap (postures), ekspresi muka, pakaian yang bersifat simbolik, gambar, dan lain-lain.


(31)

Pada prakteknya komunikasi dapat efektif apabila kedua sifat tersebut dipadukan pada saat berkomunikasi.

Proses komunikasi terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Proses komunikasi primer, yaitu proses penyampaian pikiran atau perasaan (pesan) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang (simbol) sebagai media.

2. Proses komunikasi sekunder, yaitu proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat/sarana sebagai media kedua.

Komponen-Komponen Komunikasi

Menurut Lasswell, cara terbaik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “ Who says what in which channel to whom with what effect “. Dari defenisi Lasswell dapat dibuat suatu rangkaian komponen-komponen komunikasi dengan cara :

1. Komunikator 2. Pesan

3. Media 4. Komunikan 5. Efek

Dalam berkomunikasi komunikator memegang peranan yang penting karena ia harus mampu mengirimkan pesan yang dapat dipahami komunikan dengan baik.


(32)

Menurut Lunardi (1996) faktor yang mempengaruhi komunikator adalah: 1. Citra diri, yaitu bagaimana seseorang itu melihat dirinya sendiri berhubungan

dengan orang lain.

2. Citra pihak lain, yaitu bagaimana kemungkinan-kemungkinan orang lain melihat diri kita sendiri.

3. Lingkungan fisik, yaitu tempat seseorang berada saat berkomunikasi.

4. Lingkungan sosial, yaitu keberadaan orang lain apakah ia memang mempunyai minat atau hanya sekedar hadir.

5. Kondisi, yaitu kondisi fisik, mental, emosi, kecerdasan, dll.

6. Bahasa tubuh, yaitu gerak-gerik seseorang saat menyampaikan pesan.

Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi kelompok. Komunikasi kelompok adalah : komunikasi antara seseorang (komunikator) dengan sejumlah orang (komunikan) yang berkumpul bersama-sama dalam bentuk kelompok.

Komunikasi Kelompok terbagi atas dua jenis, yaitu : 1. Komunikasi Kelompok Kecil.

2. Komunikasi Kelompok Besar.

Batasan jumlah dari kedua kelompok tersebut tidak dapat ditentukan secara eksak, tetapi hanya dapat dijelaskan secara defenisi. Komunikasi kelompok Kecil (kadang-kadang disebut “micro group”), adalah : situasi komunikasi dimana komunikan mendapatkan kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal sehingga komunikator dapat melakukan komunikasi antar pribadi dengan salah satu


(33)

Robert F. Bales dalam Interaction Process Analysis mengemukakan kelompok kecil adalah : sejumlah orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan yang bersifat berhadapan wajah (face to face meeting), dimana setiap anggota mendapat kesan atau penglihatan antara satu sama lainnya dengan cukup erat sehingga ada tanggapan kepada masing-masing selaku individu/perorangan.

Komunikasi Kelompok Besar (large group, kadang-kadang juga disebut dengan macro group), adalah : situasi komunikasi dimana kurangnya kontak pribadi antara komunikator dan komunikan serta tanggapan komunikan biasanya bersifat emosional. Pada umumnya, apabila berbicara tentang komunikasi kelompok, maka yang dimaksudkan dengan kelompok adalah kelompok kecil. Komunikasi kelompok kecil dikatakan efektif dan sukses apabila komunikan (bisa lebih dari satu orang) dapat memberikan tanggapan komunikator secara seketika.

Perubahan perilaku individu terjadi karena adanya pengaruh sosial, misal : seseorang biasanya lancar dan dinamis dalam situasi informal tetapi menjadi grogi/gugup pada saat suasana formal dan sebaliknya. Menurut Baron & Byrne (1979), ada tiga macam pengaruh kelompok pada proses komunikasi, yaitu :

1. Konformitas

Adalah situasi dimana sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu sehingga ada kecenderungan para anggotanya untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama.


(34)

Konformitas dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : a. Faktor situasional, yang meliputi :

1) Kejelasan situasi, yaitu kondisi dimana kecenderungan untuk mengikuti kelompok muncul disaat situasi tidak berstruktur atau tidak jelas.

2) Konteks situasi, yaitu apabila terjadi situasi dimana segala aktivitas menjadi sesuatu yang harus diseragamkan.

3) Cara penyampaian penilaian, yaitu seseorang akan cenderung melakukan sesuatu yang disukai oleh para anggota kelompok.

4) Karakteristik sumber pengaruh, yaitu respon seseorang untuk melakukan sesuatu disesuaikan dengan kultur/norma dari suatu kelompok.

5) Ukuran kelompok, yaitu semakin besar anggota kelompok yang mengemukakan pandangan/pendapat ataupun melakukan sesuatu, maka semakin cenderung hal itu menjadi bagian dari ciri kelompok.

6) Tingkat kesepakatan kelompok, yaitu suatu aktivitas dilakukan oleh individu anggotanya berdasarkan proses konsensus yang telah disepakati. b. Faktor personal, yang meliputi : usia, jenis kelamin, stabilitas emosional,

kecerdasan, motivasi, dan harga diri. 2. Fasilitasi sosial

Fasilitasi sosial, adalah suatu aktivitas individu yang akan menaik atau menurun disebabkan adanya kehadiran anggota kelompok yang lain di suatu tempat dimana aktivitas itu dilakukan.


(35)

3. Polarisasi

Polarisasi, adalah suatu keputusan yang terjadi disebabkan sebelumnya sudah ada penilaian pada masing-masing individu anggota kelompok.

2.3 Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (www.notoatmodjo.blogspot.com, 15 April 2008).

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat.


(36)

Banyak dokumentasi penelitian yang memperlihatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan kesehatan, imunisasi, serta berbagai upaya pencegahan penyakit dan banyak pula yang tidak memanfaatkan pengobatan modern. Karena itu tidaklah mengherankan bila banyak ahli ilmu perilaku yang mencoba menyampaikan konsep serta mengajukan bukti-bukti penelitian untuk menggambarkan, menerangkan, dan meramalkan keputusa-keputusan orang yang berkaitan dengan kesehatan (www.notoatmodjo.blogspot.com, 15 April 2008).

Menurut Notoatmodjo (2007), semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada Bloom. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom dalam Notoatmodjo (2007) menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan. Bagaimana proporsi pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia belum ada penelitian. Ahli lain, Lewrence Green dalam Notoatmodjo (1993) menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni: faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), factor–faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Oleh sebab itu pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.


(37)

2.3.1Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam, yakni:

a. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berfikir, tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan.

b. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung, oleh karena perilaku seperti disebut “overt behavior”.

2.3.2 Domain Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:

a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge)

b. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude)


(38)

c. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lainnya. Banyak teori tentang perubahan perilaku ini, antara lain :

a. Teori Stimulus-Organism-Response (SOR)

Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan


(39)

kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat. Proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :

1) Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

2) Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

3) Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

4) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting (www.notoatmodjo.blogspot.com, 15 April 2008).


(40)

b. Teori Festinger (Dissonance Theory)

Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan keadaan ketidak seimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuaian diri secara kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali. Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya perubahan sikap dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku (www.notoatmodjo.blogspot.com, 15 April 2008).

c. Teori Fungsi

Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan dengan asumsi :

1) Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif. Misalnya orang mau membuat jamban apabila jamban


(41)

2) Perilaku dapat berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar. Misalnya orang dapat menghindari penyakit demam berdarah karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya.

3) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah melakukan keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus yang dihadapi. Pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya bila seseorang merasa sakit kepala maka secara cepat tanpa berpikir lama ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan lain.

4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu perilaku itu dapat merupakan "layar" dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat. Misalnya orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau tindakannya. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab


(42)

itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.

d. Teori Kurt Lewin

Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang. Sehingga ada 3 kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang itu, yakni :

1) Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan.

2) Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini akan terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Misalnya contoh tersebut diatas, dengan memberikan pengertian kepada orang tersebut bahwa banyak anak banyak rezeki, banyak adalah kepercayaan yang salah maka kekuatan penahan tersebut melemah dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang tersebut. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun. Dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku (www.notoatmodjo.blogspot.com).


(43)

2.4 Konsep Dasar Pengetahuan

Menurut Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2003) perilaku manusia ada 3 (tiga) domain yaitu : a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Pada penelitian ini penulis hanya membatasi pada pengetahuan, sikap dan tindakan. Dalam perkembangan teori Bloom ini, dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :

2.4.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut WHO pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Selanjutnya menurut Poedjawijatna (1991) orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan adalah hasil dari tahu. Dengan demikian pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:


(44)

a. Knowledge (pengetahuan), yakni orang tersebut mengetahui dan memahami akan adanya sesuatu perubahan baru.

b. Persuasion (kepercayaan), yakni orang mulai percaya dan membentuk sikap terhadap perubahan tersebut.

c. Decision (keputusan), yakni orang mulai membuat suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak perubahan tersebut.

d. Implementation (pelaksanaan), orang mulai mererapkan perubahan tersebut dalam dirinya.

e. Confirmation (penegasan), orang tersebut mencari penegasan kembali terhadap perubahan yang telah diterapkannya, dan boleh merubah keputusannya apabila perubahan tersebut berlawanan dengan hal yang diinginkannya.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut.

Apabila penerima perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Contoh masyarakat yang memakai kelambu pada saat tidur untuk menghindari gigitan nyamuk karena di instruksikan oleh kepala desa atau petugas kesehatan, namun perilaku tersebut akan hilang dengan sendirinya jika perintah atau instruksi dari petugas kesehtan tidak ada lagi.


(45)

2.4.2 Tingkat Pengetahuan didalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan. a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan gejala penyakit malaria.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa gigitan nyamuk dapat menyebabkan terjadinya malaria.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.


(46)

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau suatu penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat


(47)

2.5 Sikap (Attitude) 2.5.1 Pengertian Sikap

Secara historis istilah sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutip sebagai berikut:

An individual, s social attitude is a syndrome of response consistency with regard to social object” (Cambell, 1950).

“A mental and neural state of readiness, organized through experience, exerting a directive or dynamic influence up on the individual, s response to all objects and situation with which it is related” (Allport,1954).

“Attitude entails an existing predisposition to response to social objects which in interaction with situational and other dispositional variables, guides and directs the overt behavior of the individual” (Cardno,1955).

“An enduring system of positive or negative evaluations, emotional feelings, and pro or connection tendencies will respect to social object” (Krech, et al., 1982).

Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap juga adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu objek memihak atau tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pikiran (kognisi), dan


(48)

predisposisi tindakan (konasi) terhadap suatu objek di lingkungan sekitar. Newcomb dalam Notoatmodjo, mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dan lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Diagram berikut dapat menjelaskan uraian tersebut.

Gambar 2.1: Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi

Sumber: Notoatmodjo (2003)

Stimulus Rangsangan

Proses Stimulus Reaksi Tingkah Laku

(terbuka) Sikap

(tertutup)

2.5.2 Komponen Pokok Sikap

Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 (tiga) komponen pokok:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).


(49)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

2.5.3 Berbagai Tingkatan Sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan antara lain:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.


(50)

Sikap seseorang yang positif belum tentu terwujud dalam tindakan positif, begitu pula sebaliknya. Temuan-temuan dari peneliti yang lalu menyebutkan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat lemah bahkan negatif dan penelitian lain menyebutkan bahwa hubungannya adalah positif.

Menurut Brecter dan Wiggins yang dikutip Azwar (2007) sikap seseorang akan berpengaruh langsung terhadap perilaku sangat tergantung dari kondisi apa, waktu bagaimana dan situasi. Pengetahuan dan sikap perawat tentang dokumentasi asuhan keperawatan akan membentuk dasar perilaku dari perawat tersebut karena berdasarkan pengetahuan dan sikap perawat akan dapat melaksanakan dokumentasi asuhan keperawatan.

Fungsi Sikap

Teori fungsional yang dikemukakan oleh Katz (1953) dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana sikap menerima dan menolak perubahan haruslah beranjak dari dasar motivasional sikap itu sendiri. Apa yang dimaksud oleh Katz sebagai dasar motivasional merupakan fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan.

Fungsi sikap bagi manusia telah dirumuskan menjadi empat macam yaitu: a. Fungsi instrumental, fungsi penyesuaian, fungsi manfaat.

Fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang tidak


(51)

hal-hal yang dirasakannya akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasakan akan merugikan dirinya.

b. Fungsi pertahanan Ego

Sewaktu individu tidak mengalami hal yang tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan bagi dirinya maka sifatnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut. Sikap dalam hal ini, merefleksikan problem kepribadian yang tidak terselesaikan. c. Fungsi pertahanan nilai

Nilai adalah konsep dasar mengenai apa yang dipandang baik dan diinginkan. Nilai-nilai terminal merupakan preferensi mengenai keadaan akhir tertentu seperti persamaan, kemerdekaan dan hak asasi. Nilai instrumental merupakan preferensi atau pilihan mengenai berbagai perilaku dan sifat pribadi seperti kejujuran, keberanian, atau kepatuhan akan aturan. Dengan fungsi ini seseorang seringkali mengembangkan sikap tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya. Fungsi inilah yang menyebabkan orang sering lupa diri sewaktu berada dalam situasi masa seidologi atau sama nilai.

d. Fungsi pengetahuan

Menurut fungsi ini manusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencapai penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui


(52)

oleh individu akan disusun, ditata kembali, atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi. Jadi sikap berfungsi sebagai suatu skema, yaitu suatu cara strukturisasi agar dunia di sekitar tampak logis dan masuk akal. Sikap digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fenomena luar yang ada dan mengorganisasikannya.

2.5.5 Pembentukan Sikap

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih dari pada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antara individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lainnya, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat.

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah: (1) pengalaman pribadi; (2) pengaruh orang lain yang dianggap penting; (3) pengaruh kebudayaan; (4) media massa; (5) lembaga pendidikan; (6) pengaruh faktor emosional.


(53)

2.5.6 Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sikap

Ada dua faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sikap adalah: a. Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri.

Faktor ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.

b. Faktor ekstern, yaitu faktor yang terdapat di luar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial di luar kelompok. Misalnya interaksi antara manusia dengan hasil kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, majalah, dan sebagainya.

Berdasarkan kajian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor keluarga, adat istiadat yang berlaku, dan informasi dari media massa yang diterima olehnya. Sikap dalam bentuk perilaku ini lebih sulit untuk diamati, oleh karena itu pengukurannya berupa tanggapan atau kecenderungan terhadap fenomena tertentu.

2.6 Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tingkat-tingkat tindakan adalah :

1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil


(54)

2. Respon Terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh. 3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

Merupakan praktek yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.7 Epidemiologi Malaria 2.7.1 Gejala Klinis

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium dengan gejala demam, menggigil dan berkeringat (Wikipedia, 2007).

2.7.2 Penyebaran dan Penularan Penyakit Malaria

Penyakit malaria ditemukan tersebar luas disemua pulau di Indonesia dengan derajat dan berat infeksi yang berbeda-beda. Timbulnya penyakit malaria pada manusia terjadi melalui proses penularan yaitu:


(55)

a. Penularan Secara Alamiah (Natural Infection). Adalah suatu infeksi yang terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. Betina yang mengandung plasmodium. b. Penularan Secara Mekanik (Mechanical Infection). Terjadi melalui trasfusi darah

atau melalui jarum suntik yang mengandung parasit malaria

c. Malaria Kongenital, terjadi pada bayi yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi parasit malaria. Infeksi kongenital jarang terjadi.

2.7.3 Konsep Segitiga Epidemiologi Hubungannya Terhadap Penyebaran Malaria

Penyebaran malaria secara epidemiologi dapat terjadi akibat adanya interaksi tiga faktor yaitu: agent, host dan environment

a. Agent (penyebab) parasit plasmodium

Parasit (plasmodium) hidup dalam tubuh nyamuk Anopheles sp. Dan dalam tubuh manusia. Parasit (plasmodium) hidup dalam tubuh nyamuk dalam daur seksual dan hidup dalam tubuh manusia dalam daur aseksual (Depkes RI, 1999)

Menurut Harijanto (Darwis, 2006) dikenal 4 jenis plasmodium yaitu :

1) Plasmodium Vivax, menyebabkan malaria tertiana (demam setiap hari ke-3). 2) Plasodium Falcifarum, memberikan banyak komplikasi dan cukup ganas,

menyebabkan malaria tropika (demam setiap 24-48 jam)

3) Plasmodium malariae, jarang dijumpai menyebabkan malaria quartana/malariae (demam setiap hari ke-4).


(56)

b. Host (pejamu)

1) Host Intermedier (Pejamu Antara/Manusia)

Manusia merupakan tempat berkembangbiaknya agent sekaligus sebagai sumber penularan (recervoir) melalui keberadaan vektor nyamuk Anopheles sp. Ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap agent. Faktor-faktor tersebut yaitu: (Depkes RI, 1994); Usia : Anak-anak lebih rentan terhadap malaria yaitu usia: 2-9 tahun, ras, riwayat pernah menderita malaria, cara hidup (life style), perilaku terhadap terjadinya malaria (man-made malaria), sosial ekonomi, status gizi, faktor keturunan (herediter) dan daya tahan tubuh (immunity status).

2) Host Definitive (pejamu tetap, sebagai vektor /nyamuk Anopheles sp)

Hanya nyamuk Anopheles sp. betina yang menghisap darah yang diperlukan untuk pertumbuhan telur nyamuk, berdasarkan kebiasaan makan dan istirahat nyamuk Anopleles sp. Dapat dikelompokkan sebagai berikut: (Depkes RI, 1999):

a) Tempat Hinggap atau Istirahat.

Ada yang lebih suka hinggap atau istirahat diluar rumah (eksofilik) Ada yang lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah (endofilik) b) Tempat Menggigit.

Ada yang lebih suka menggigit di luar rumah (eksofagik) dan Ada yang lebih suka menggigit di dalam rumah (endofagik).


(57)

c) Objek yang Digigit.

Ada yang lebih suka menggigit manusia (antrofilik) dan Ada yang lebih suka menggigit hewan (zoofilik).

3) Environment (Lingkungan)

Faktor environment (lingkungan) dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (Depkes RI, 1999a)

a) Lingkungan Fisik

Suhu udara. Suhu udara mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk berkisar antara 20° - 30°C, suhu udara juga sangat berpengaruh terhadap siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik dimana semakin tinggi suhu udara akan memperpendek masa inkubasi eksterinsik yang mengakibatkan populasi parasit plasmodium dalam nyamuk akan meningkat, sebaliknya makin rendah suhu udara akan memperpanjang masa inkubusi ekstrinsik.

Kelembaban. Pada kelembaban 60% nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan malaria

Hujan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan aliran air pada sungai atau saluran air lebih kuat sehingga larva dan kepompong akan terbawa oleh air

Ketinggian. Secara umum malaria akan berkurang pada tempat yang makin tinggi dari permukaan laut. Pada ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut jarang terjadi transmisi (Harijanto dalam Darwis, 2006).


(58)

Angin. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam merupakan saat terbangnya nyamuk ke luar atau ke dalam rumah.

Sinar matahari. Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Anopheles hyrcanus lebih menyukai tempat yang terbuka, Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh, sedang

Anopheles barbirostris dapat hidup ditempat yang teduh maupun tempat yang terang.

Arus air. Anopheles barbirostris menyukai tempat perindukan dengan arus air yang statis atau mengalir sedikit, Anopheles minimus menyukai tempat perindukan dengan arus air yang cukup deras sedang Anopheles letifer suka di tempat air yang tergenang.

b) Lingkungan Biologik (tumbuhan pelindung dan hewan pemakan/ predator).

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuhan lain dapat menghalangi masuknya sinar matahari, atau melindungi larva dai serangan makhluk hidup lain. Beberapa jenis ikan pemakan larva (predator) seperti ikan kepala timah (panchax, sp), Gambusia sp, nila (Oreochromis niloticus) dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Sudomo, M.,dkk (1998) dalam penelitiannya di desa Sihepeng menyimpulkan bahwa ikan nila merah (Oreochromis nilotikus) ternyata dapat mengendalikan populasi larva nyamuk Anopheles


(59)

c) Lingkungan Kimiawi

Lingkungan kimiawi yang baru diketahui pengaruhnya adalah keadaan kadar garam tempat perindukan. Anopheles sundaikus menyukai dan tumbuh optimal pada tempat perindukan air payau dengan kadar garam antara 12-18%, tidak dapat berkembang biak pada air dengan kadar garam lebih dari 40%.

2.7.4 Program Pemberantasan dan Penanggulangan Malaria 2.7.4.1 Program Deteksi Dini

Menurut Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, kegiatan pemberantasan dan penanggulangan penyakit malaria sebagai berikut:

a. Penemuan kasus (penderita)

Untuk pelaksanaan penemuan penderita dapat dilakukan :pertama, secara aktif atau Active Case Detection (ACD), ini hanya dilakukan di Jawa- Bali dan Barelang Binkar oleh petugas Juru Malaria Desa (JMD), dengan cara menemukan penderita malaria klinis, mengambil sediaan darah, dan memberikan pengobatan. Ini dilakukan dengan kunjungan dari rumah ke rumah. Kedua, secara pasif atau

Passive Case Detection (PCD). Kegiatan ini dilakukan oleh semua puskesmas atau Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) lainnya. Semua yang memiliki sarana pemeriksaan sediaan darah malaria diharuskan mengambil sediaan darah dari setiap penderita malaria klinis.


(60)

Melalui kegiatan PCD tersebut, sediaan darah yang dikumpulkan tidak boleh <5% dari penduduk cakupan puskesmas pertahun. Adapun metode yang dikukan adalah sebagai berikut (1) Menentukan diagnosis klinis malaria akut dengan gejala demam menggigil secara berkala disertai sakit kepala, demam yang tidak diketahui sebabnya, dan penderita malaria klinis, (2) Pengambilan sediaan darah terhadap penderita malaria klinis di daerah resistan dan penderita gagal obat, (3) Melakukan pengobatan pada penderita (Depkes RI, 1999).

Malariometrik Survei Dasar (MSD) dengan tujuan mengukur endemisitas dan prevalensi malaria, di suatu bagian wilayah/status epidemiologi yang belum tercakup oleh kegiatan pemberantasan vektor, khususnya penyemprotan diluar Jawa-Bali.

Survei Malariometrik Evaluasi (SME) dengan tujuan mengukur dampak kegiatan pemberantasan vektor, khususnya penyemprotan rumah di daerah prioritas di luar Jawa-Bali bertujuan untuk konfirmasi KLB (Depkes RI, 2003). MSD dilaksanakan pada saat prevalensi malaria mencapai puncak (point prevalence). Untuk mengetahui point prevalence tersebut digunakan beberapa indikator:

1) Angka klinis di suatu daerah yang dikumpulkan oleh unit pelayanan kesehatan (UPK) setempat secara teratur setiap bulan yang diperkirakan jumlah penderita malaria paling tinggi.


(61)

2) Angka kepadatan vektor yang diperoleh dari penyelidikan entomologi. Survei malariometrik dilaksanakan 1-11/2 bulan sesudah kepadatan vektor tertinggi di

capai. Pada saat melakukan Survei malariometrik juga di lakukan pemeriksaan limpa dengan menggunakan indikator Spleen Rate (SR) yaitu persentase dari orang yang membesar limpanya terhadap orang yang di periksa.

b. Pengendalian Vektor

Pemberantasan vektor malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan;

Rationale, Effective, Efficient, Sustainable, dan Acceptable yang sering disingkat dengan REESA (Depkes RI, 1999) :

1) Rationale adalah untuk lokasi kegiatan pemberantasan vektor yang diusulkan memang terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi kriteria yang ditetapkan, antara lain wilayah pembebasan: desa High Case Incident (HCI) dan ditemukan penderita indegenous dan wilayah pemberantasan PR>3%

2) Effective, dipilih salah satu metode/jenis kegiatan pemberantasan vektor atau kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi, entomologi dan laporan masyarakat.

3) Efficient, diantara beberapa metode kegiatan pemberantasan vektor yang efektif harus dipilih metode yang biayanya paling murah.


(62)

4) Sustainable, kegiatan pemberantasan vektor yang dipilih harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil yang sudah dicapai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.

5) Acceptable, kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat setempat.

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian vektor adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1999)

1) Penyemprotan rumah, 2) Larvaciding

3) Biologicil control

4) Pengelolaan lingkungan (source reduction)

5) Pemolesan kelambu dengan insektisida.

Program Kuratif

Tujuan pengobatan secara umum adalah untuk mengurangi kesakitan, menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah komplikasi dan relaps, dan mengurangi kerugian akibat sakit. Selain itu upaya pengobatan mempunyai peranan penting lainnya yaitu mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari seseorang yang mengidap penyakit kepada orang sehat lainnya.


(63)

Adapun jenis pengobatan malaria meliputi:

a. Pengobatan malaria klinis, adalah pengobatan penderita malaria berdasarkan diagnosa klinis tanpa pemeriksaan laboratorium;

b. Pengobatan radikal, adalah pengobatan penderita malaria berdasarkan diagnosa secara klinis dan pemeriksaan laboratorium.

c. Pengobatan Mass Drug Administration (MDA), adalah pengobatan massal pada saat KLB, mencakup >80% jumlah penduduk di daerah tersebut.

d. Penatalaksanaan malaria berat, dilakukan di semua unit pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuan dan fasilitas yang ada.

e. Profilaksis, adalah pengobatan pencegahan dengan sasaran warga transmigrasi dan ibu hamil di daerah endemis malaria (Harijanto, 2000)

Landasan Teori

Secara empiris telah dibuktikan bahwa malaria merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Oleh karena itu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya angka kejadian malaria diantaranya adalah melalui program penyuluhan. Penyuluhan merupakan kegiatan dalam hubungannya dengan peningkatan pengetahuan, keahlian, sikap maupun perilaku. Proses penyuluhan harus mengandung lima komponen utama penyuluhan agar mencapai sasaran yang diharapkan.

Kelima komponen tersebut adalah sebagai berikut tujuan penyuluhan, peserta penyuluhan yang dipilih sesuai dengan tujuan penyuluhan, tidak terlalu heterogen baik dalam hal usia, pendidikan, maupun pengalaman belajar. Penyuluh


(64)

(komunikator) yang berpengalaman dan memiliki keterampilan dalam memberikan penyuluhan, dalam arti kata para pelatih mampu menggunakan metode yang ada dan menguasai materi penyuluhan dengan baik, serta mampu menjaga situasi penyuluhan agar tetap dalam keadaan yang menunjang pencapaian tujuan penyuluhan. Materi penyuluhan dipilih sesuai dengan tujuan penyuluhan. Metode penyuluhan dipilih yang paling cocok untuk disampaikan kepada para peserta latihan oleh tim penyuluh yang bersangkutan. Penggunaan metode yang paling cocok akan mempermudah peserta latihan menerima materi yang diberikan. Kuantitas penyuluhan juga diatur sedemikian rupa agar tujuan penyuluhan dapat tercapai semaksimal mungkin.

2.9 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas maka dapat dirumuskan suatu kerangka konsep sebagai berikut :

Materi Penyuluhan

Komunikator Penyuluhan

Metode Penyuluhan

Perilaku Pencegahan

Penyakit Malaria

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Penyuluhan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat di Wilayah Kerja


(65)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah penelitian yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian, maka jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross sectional survey, bertujuan untuk mengetahui hubungan penyuluhan dengan perilaku pencegahan penyakit malaria pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.

3.2Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba dengan pertimbangan merupakan salah satu daerah endemis malaria yang ada di Kabupaten Aceh Besar.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran kepustakaan, penyusunan proposal, seminar proposal, penelitian dan analisa data serta penyusunan laporan akhir. Penelitian dilaksanakan bulan Mei 2008.


(66)

3.3Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah 4710 orang.

3.3.2 Sampel

Kriteria inklusi sampel penelitian adalah: 1) Masyarakat yang tinggal dan sudah menetap selama 2 tahun di Desa Lamteuba Kecamatan Seulimum Aceh Besar; 2) Pernah mengikuti penyuluhan tentang pencegahan penyakit malaria; 3) bersedia menjadi responden penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi sampel penelitian adalah masyarakat yang tinggal di Desa Lamteuba Kecamatan Seulimum dan belum pernah mengikuti penyuluhan.

Sampel ditentukan dengan menggunakan persamaan Lemeshow et.al sebagai berikut:

{

}

2 2 1 2 / 1 ) ( ) 1 ( ) 1 ( Po Pa Pa Pa Z Po Po Z n − − + −

= −α −β

Dimana :

n = besar sampel z = konstanta (1,96)

p = proporsi individu yang mempunyai karakteristik yang akan diukur q = 1-p

= 0,05 = 1-


(67)

Asumsi pencegahan malaria dilingkungan masyarakat mempunyai proporsi (Po) sebesar 0,70 maka dapat dirumuskan :

{

}

{

}

{

}

{

}

94 , 232 1 , 0 ) 2 , 0 )( 8 , 0 ( 282 , 1 ) 3 , 0 )( 70 , 0 96 , 1 ) 1 ( ) 1 ( 2 2 2 1 2 / 1 = + = − − + − = − − Po Pa Pa Pa Z Po Po Z

n α β

Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel sebanyak 233 orang.

3.4Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer, yaitu data yang langsung hasil wawancara dengan responden. 1. Uji Validitas Data

Pengujian

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas

Variabel Butir Nilai CITC Status

1 0,7784 Valid

2 0,5233 Valid

3 0,8936 Valid

4 0,4764 Valid

5 0,6308 Valid

6 0,6848 Valid

7 0,6073 Valid

8 0,8132 Valid

9 0,4523 Valid

Materi ( X1 )


(68)

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas

Variabel Butir Nilai CITC Status

1 0,6305 Valid

2 0,8936 Valid

3 0,8732 Valid

4 0,8438 Valid

5 0,5963 Valid

6 0,7141 Valid

7 0,7395 Valid

8 0,8936 Valid

9 0,5635 Valid

10 0,5963 Valid

11 0,6177 Valid

12 0,4919 Valid

13 0,6827 Valid

14 0,6073 Valid

Komunikator ( X2 )

15 0,6916 Valid

1 0,6514 Valid

2 0,8936 Valid

3 0,8396 Valid

4 0,7728 Valid

5 0,6916 Valid

6 0,7395 Valid

7 0,5704 Valid

8 0,8936 Valid

9 0,5269 Valid

Metode ( X3 )

10 0,4764 Valid

1 0,7846 Valid

2 0,4730 Valid

3 0,6885 Valid

4 0,6984 Valid

5 0,4826 Valid

6 0,6848 Valid

7 0,6687 Valid

8 0,6751 Valid

9 0,7846 Valid

10 0,5508 Valid

11 0,5794 Valid

12 0,5949 Valid

13 0,7846 Valid

14 0,5315 Valid

15 0,6984 Valid

Pengetahuan ( Y1)


(69)

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas

Variabel Butir Nilai CITC Status

1 0,7846 Valid

2 0,8108 Valid

3 0,6885 Valid

4 0,7288 Valid

5 0,4982 Valid

6 0,6984 Valid

7 0,6406 Valid

8 0,4771 Valid

9 0,5794 Valid

Sikap ( Y2 )

10 0,7679 Valid

1 0,5315 Valid

2 0,5508 Valid

3 0,7071 Valid

4 0,6885 Valid

5 0,5794 Valid

6 0,4826 Valid

7 0,5186 Valid

8 0,7846 Valid

9 0,5506 Valid

Tidakan ( Y3 )

10 0,7846 Valid

Berdasarkan tabel di atas, nilai Corrected Item-Total Correlation dari variabel butir pertanyaan X1, X2, X3 > dari nilai r tabel sebesar 0,444 ( df = 20-2 ; 0,05 ), dengan demikian dinyatakan valid sedangkan nilai Corrected Item-Total Correlation dari variabel butir pertanyaan Y1, Y2 dan Y3 > r table, juga dinyatakan valid.


(1)

E. Komunikator

Jawaban No Komunikator

Ya Tidak 1 Sesuai dengan tujuan penyuluhan

2 Tidak terlalu panjang tetapi tepat sasaran

3 Menggunakan kalimat yang sederhana (tidak berbelit-belit)

4 Menggunakan contoh yang relevan dengan materi yang dijelaskan.

5 Memberikan point-point yang penting pada awal dan/atau pada akhir pelajaran

6 Mengadakan variasi suara dalam memberikan penekanan hal-hal penting

7 Butir-butir penting dalam penjelasan diberikan tekanan dengan cara-cara mengulang-ulang.

8 Memberi tekanan yang disertai gambar dan lain-lain

9 Menjelaskan materi penyuluhan secara sistematis 10 Memberi kesempatan bertanya kepada peserta 11 Menanggapi pertanyaan yang diajukan

12 Percaya diri 13 Sabar 14 Terbuka

15 Penyuluhan diberikan minimal sebulan sekali

Mardiah: Hubungan Penyuluhan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar, 2008.


(2)

F. Metode

Jawaban No Metode

Ya Tidak 1 Metode penyuluhan yang digunakan adalah ceramah

2 Metode ceramah lebih mudah dimengerti

3 Adanya tanya jawab lebih mempermudah pemahaman

4 Tidak terlalu lama penyampaiannya

5 Metode ceramah dapat membuat peserta cepat paham

6 Menyampaikan materi dengan jelas dan tidak berbelit-belit

7 Waktu penyampaian peserta diberikan kesempatan untuk langsung bertanya

8 Metode ceramah tidak membuat peserta bosan

9 Metode ceramah sangat tergantung dari cara orang yang menyampaikan.


(3)

Lampiran 2. Peta Kabupaten Aceh Besar Propinsi NAD

1 6

5

4

3

2

96

Mardiah: Hubungan Penyuluhan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar, 2008.


(4)

(5)

Lampiran 4. Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data.

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat pengukur yang sama.

Cara Mengukur Validitas

Untuk mengetahui validitas suatu instrumen (dalam hal ini kuesioner) lakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel (pertanyaan) dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan korelasi pearson product moment (r).

(

) (

)

(

)

[

∑−

]

∑ ∑

[

(

)

]

− = 2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N r

Keputusan uji :

r hitung lebih besar dari r tabel Ho ditolak, artinya variabel valid r hitung lebih kecil dari r tabel Ho di terima artinya variabel tidak valid

Mardiah: Hubungan Penyuluhan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar, 2008.


(6)

Mengukur Reliabilitas

Pertanyaan dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Jika ada responden menjawab tidak setuju terhadap prilaku merokok dapat mempertinggi kepercayaan diri, maka jika beberapa waktu kemudian ia ditanya untuk hal yang sama, maka ia seharusnya tetap konsisten pada jawaban semula yaitu tidak setuju. Pengukuran reliabilitas pada dasarnya dapat dilakukan dua cara yaitu

Repeated measure atau ukur ulang. Pertanyaan ditanyakan pada responden berulang pada waktu yang berbeda (misalnya sebulan kemudian) kemudian dilihat apakah ia tetap konsisten dengan jawabannya.

One shot atau diukur sekali saja. Disini pengukurannya hanya sekali kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain. Pada umumnya pengukuran dilakukan secara one shot dengan beberapa pertanyaan. Pengujian reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu. Jadi jika sebuah pertanyaan tidak valid maka pertanyaan tersebut dibuang. Pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersama diukur reliabilitasnya.