83 5.
Jual Reguler program fattening prioritas dari berat tertinggi.
7. Pengelolaan Lingkungan
1. Lingkungan tempat kerja dan sekitarnya harus tertata
dengan baik, asri, bersih dan nyaman. 2.
Penanganan limbah bersih dan baik
8. Sistim PencatatanRekording
Pelaporan. 1.
Pencatatan Harian. Pencatatan ini adalah tanggung jawab Kepala
Kandang Kepala Unit. Diserahkan ke Supervisor Ternak secepat mungkin
pada esok hari. Record dapat berbentuk buku kecil.
2. Record Populasi.
Laporan Umum dari seluruh kegiatan fattening. Laporan ini dibuat oleh Admistrasi Ternak
berdasarkan data dari supervisor ternak data lapangan.
Laporan ini didapat ditampilkan setiap saat. Laporan ini harus di sah-kan oleh WFM FM jika
akan di kirim ke KP.
84 Lampiran 3. Data PBBH Sapi Steer PT Lembu Jantan Perkasa Tahun 2009
No Shipment
Jumlah ekor Lama pemeliharaan hari
PBB harian kgekor 1
L1 624
88 1,53
2 L2
149 78
1,10 3
L3 341
86 1,47
4 L4
249 73
1,50 5
L6 555
43 1,89
6 L7
401 46
1,98 7
L9 1.000
22 1,40
8 L10
50 19
3,00 9
L11-09 1.306
52 1,36
10 L12-09
901 68
1,21 11
L13-09 1.275
66 1,43
12 L14-09
1.127 104
1,35 Total
7.978 62
1,45
Lampiran 4. Data PBBH Sapi Heifer PT Lembu Jantan Perkasa Tahun 2009
No. Shipment Jumlah ekor
Lama pemeliharaan hari PBB harian kgekor
1 L1
71 121
0,92 2
L2 96
96 0,86
3 L3
257 85
1,30 4
L4 407
96 1,24
5 L5
511 81
1,27 6
L6 365
66 1,12
7 L7
204 59
1,18 8
L8 298
60 1,20
9 L9
549 44
1,12 10
L10 296
58 1,47
Total 3.054
76 1,21
85 Lampiran 5. Data PBBH Sapi Bull PT Lembu Jantan Perkasa Tahun 2009
No. Shipment Jumlah ekor
Lama pemeliharaan hari PBB harian kgekor
1 L13-08
4 155
1,16 2
L9-09 116
14 1,01
Total 120
84,5 1,02
Lampiran 6. Data PBBH Sapi Steer PT Lembu Jantan Perkasa Tahun 2010
No. Shipment Jumlah ekor
Lama pemeliharaan hari PBB harian kgekor 1
L3-10 1.248
64 1,44
2 L4-10
885 66
1,70 3
L5-10 1.042
29 1,71
4 L7-10
1309 55
1,87 5
L8-10 308
67 1,59
Total 4.792
56 1,67
Lampiran 7. Data PBBH Sapi Heifer PT Lembu Jantan Perkasa Tahun 2010
No. Shipment Jumlah ekor
Lama pemeliharaan hari PBB harian kgekor
1 L1-10
177 92
1,05 2
L2-10 616
74 1,35
3 L2A-10
250 103
0,95 4
L3-10 340
76 1,18
5 L4-10
290 110
0,99 6
L5-10 377
58 1,49
7 L6-10
499 28
1,74 8
L7-10 241
51 1,59
9 L8-10
528 47
1,42 Total
3318 71
1,36
Lampiran 8. Data PBBH Sapi Bull PT Lembu Jantan Perkasa Tahun 2010
No. Shipment Jumlah ekor
Lama pemeliharaan hari PBB harian kgekor
1 L1-10
978 92
1,32 2
L5-10 913
67 1,65
Total 1.892
80 1,45
PENERAPAN GOOD FARMING PRACTICES SAPI
PENGGEMUKAN DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN
SKRIPSI NAILLA RACHMAWATI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN NAILLA RACHMAWATI. D14070125. 2011.
Penerapan Good Farming Practices
Sapi Penggemukan di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi.
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto
Usaha penggemukan sapi merupakan suatu usaha yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Untuk mencapai hasil yang optimal
diperlukan pedoman budidaya ternak yang baik Good Farming Practice. Good Farming Practice GFP merupakan panduan cara beternak yang baik dan benar,
yang memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi dan kesejahteraan ternak. PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten merupakan salah
satu perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading sapi potong. Penerapan GFP menjadi hal yang sangat penting bagi perusahan
ini untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang dihasilkan.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2010 di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten. Untuk mengkaji penerapan GFP yang
meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan. Metode yang digunakan berupa wawancara, pengisian kuisioner dan
penggamatan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten dalam melaksanakan usaha penggemukan sapi umumnya telah menerapkan aspek GFP dengan baik. Namun
demikian, beberapa hal dalam usaha penggemukan sapi perlu mendapatkan perhatian diantaranya: memperluas tempat penanganan dan pengolahan limbah dan
memperbaiki tata letak tempat penampungan limbah dengan kandang, meningkatkan koordinasi yang baik dengan masyarakat agar ternak masyarakat tidak memasuki
areal peternakan, dan adanya desinfeksi untuk karyawan, kendaraan dan kandang. Ketercapaian penerapan GPF juga dapat dilihat dari PBB harian sapi potong yang
dihasilkan telah melebihi target yang ingin dicapai perusahaan dengan rataan 1,38 kgekorhari pada tahun 2009 dan 1,53 kgekorhari pada tahun 2010.
Kata-kata kunci: Good Farming Practices, Pertambahan bobot badan, Sapi potong
ABSTRACT Penerapan
Good Farming Practices Sapi Penggemukan di PT. Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten
Rachmawati, N., H. Nuraini, dan R. Priyanto Good farming practice GFP is a guidline for good beef cattle raising in order to
improve the existing cattle fattening operation. The scope of GFP in beef cattle farming includes four aspects: facilities, production processes, environmental
protection and supervision. PT Lembu Jantan Perkasa is one of beef cattle company engaged in breeding, fattening and cattle trading. The application of GFP becomes
very important for these companies to produce environmentally freindly beef cattle with high productivity. In general PT Lembu Jantan Perkasa has a play well four
aspect: facilities, production processes, environmental protection and supervision. As a results the beef cattle has performance very well in feedlot as indicated by high
daily gain: steer 1,67 kgday, bull 1,48 kgday, heifer 1,36 kgday in 2010. These were several aspect need to be consider in order to improve the implementation GFP.
Those include:
site plant building and biosecurity. Keyword : average daily gain, beef cattle fattening, good farming practices
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kebutuhan produk peternakan terutama daging semakin meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang seimbang. Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging, belum memenuhi
kebutuhan karena jumlahnya masih di bawah target yang diperlukan konsumen. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya populasi
ternak sapi dan juga tingkat produksi sapi yang masih rendah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut adalah dengan
meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong melalui usaha penggemukan sapi potong secara berkesinambungan.
Usaha penggemukan sapi memerlukan pengelolahan yang profesional untuk mencapai hasil yang optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan pedoman
budidaya ternak sapi potong yang baik Good Farming Practices. Good Farming Practice GFP menurut Department of Agriculture, Food and Rural Development
Irlandia 2001 merupakan cara beternak yang baik dan benar, yang memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi dan kesejahteraan ternak. Good
Farming Practice juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku di lingkungan, hygiene atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi, registrasi ternak, serta
kesehatan ternak. Aspek-aspek utama dalam GFP yaitu manajemen nutrisi, manajemen lahan rumput, perlindungan sungai dan sumber air, pemeliharaan habitat
liar, pemeliharaan batas peternakan, penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berhati-hati, perlindungan situs-situs bersejarah, pemeliharaan penampakan visual
peternakan dan lingkungannya, pemeliharaan catatan peternakan, kesejahteraan ternak, hygiene atau sanitasi, tidak menggunakan bahan yang dilarang, penggunaan
obat hewan yang bertanggung jawab dan pengetahuan peternak tentang GFP. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan 2000 merumuskan ruang lingkup
pedoman budidaya ternak sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan.
PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading sapi potong.
2 Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1990 hingga sekarang dan telah banyak
menyuplai sapi potong di Indonesia. Penerapan GFP menjadi hal yang sangat penting bagi perusahan ini. untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang dihasilkan.
Sebagai wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah dibentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman prosedur operasional baku atau Standard Operating
Procedure SOP untuk melaksanakan peternakan sapi potong yang baik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan Good Farming Practices GFP Sapi Potong di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang Banten yang meliputi empat
aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan.
TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi
Bangsa breed sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan
dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
Menurut Blakely dan Bade 1992 menyatakan bahwa bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Infra class : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Infra ordo : Pecora
Famili : Bovidae
Genus : Bos cattle
Group : Taurinae
Spesies : Bos taurus sapi Eropa
Bos indicus sapi Indiasapi Zebu Bos sondaicus bantengsapi Bali
Sapi Brahman Cross
Minish dan Fox 1979 menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi
Hereford-Shorthorn HS. Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross BX. Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu
panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek, serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Menurut Turner 1977 sapi
Brahman Cross BX pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO’S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi
4 American Brahman, Hereford, dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50
darah Brahman, 25 darah Hereford, dan 25 darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi
darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi
mewarisi tetuanya. Menurut Ensminger 1995, ciri fisik sapi Brahman Cross BX ditandai
dengan adanya kelasa yang cukup besar melampaui bahu, kulit yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir yang panjang, serta mempunyai kaki panjang dan
telinga menggantung. Sapi BX banyak digunakan sebagai sapi bakalan di Indonesia karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain: memiliki daya tahan terhadap
panas dan kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik di daerah tropis, memilki daya tahan terhadap ektoparasit terutama caplak Direktorat Jenderal
Peternakan, 1986. Sapi Brahman Cross BX memiliki sifat-sifat seperti: 1 persentase
kelahiran 81,2, 2 rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg, dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, 3 angka mortalitas postnatal sampai
umur 7 hari sebesar 5,2, mortalitas sebelum disapih 4,4, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2, dan mortalitas dewasa sebesar 0,6, 4 daya
tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, 5 ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat
baik, serta 6 efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn Turner, 1977.
Menurut Winks et al. 1979, jantan kebiri sapi BX di daerah tropik Quensland secara normal performannya di bawah bangsa sapi eropa. Lingkungan
beriklim sedang, steer sapi Hereford lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX. Bobot hidup finishing yang sama produksi karkas sapi BX lebih berat
dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas dressing percentage yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi Brahman dan
Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki persentase
tulang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn dan BX. Trim lemak bervariasi
5 mulai dari 4,2 sampai 11,2, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi pada
Shorthorn. Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun
penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: 1 persentase beranak 40,91, 2
calf crop 42,54, 3 mortalitas pedet 5,93, 4 mortalitas induk 2,92, 5 bobot sapih umur 8-9 bulan 141,5 kg jantan dan 138,3 kg betina, 6 pertambahan bobot
badan sebelum disapih sebesar 0.38 kghari Hardjosubroto, 1984; Direktorat Jenderal Peternakan dan Fapet UGM, 1986.
Produktivitas Sapi Potong di Indonesia
Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih
rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah jumlah populasi ternak sapi dan juga tingkat produksi sapi yang masih rendah. Menurut
Djanuar 1985, produktivitas sapi pedaging dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya dan dalam praktik adalah
kombinasi antara kedua alternatif tersebut. Vercoe dan Frisch 1980 menyatakan bahwa sifat produksi dan reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput, penyakit, dan manajemen.
Produksi Sapi Potong
Parakkasi 1999 menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi
yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak cow calf, pembesaran anak sapi sapihan stocker dan
penggemukan finisher. Hardjosubroto 1994 menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performa, seperti bobot badan, ukuran
tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan maka ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga
bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat dijadikan
indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong.
6 Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat
karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan di kebanyakan daerah tropis Williamson dan Payne, 1993. Kondisi ternak sapi dapat diamati dengan cara
observasi, pengamatan dan perabaan bagian tulang belakang.
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai dengan umur, sedangkan perkembangan berhubungan dengan perubahan ukuran
serta fungsi dari berbagai bagian tubuh semenjak embrio sampai menjadi dewasa. Proses pertumbuhan pada ternak sapi dimulai sejak awal terjadinya pembuahan
sampai dengan pedet lahir, dilanjutkan hingga sapi menjadi dewasa Parakkasi, 1999. Menurut Tillman et al. 1991 pertumbuhan biasanya dimulai perlahan-lahan
kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali berhenti sehingga membentuk kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid.
Menurut Syamsudin et al. 1989 pertambahan bobot badan sapi tidak akan tinggi apabila ransum yang diberikan hanya rumput-rumputan saja. Pertambahan
bobot badan yang lebih tinggi akan diperoleh apabila ransum yang diberikan terdiri dari rumput-rumput yang dicampur atau disuplemen dengan hijauan yang berkualitas
tinggi seperti daun gamal, lamtoro, atau jenis leguminosa lainnya. Sapi Brahman Cross BX yang dipelihara dengan sistem feedlot dengan
perbandingan konsentrat dan hijauan masing-masing 85 dan 15 menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,8-1,2 kgekorhari dengan persentase
bobot karkas 53,21. Pertambahan bobot harian sapi Brahman Cross BX sebesar 0,78 kg dapat menghasilkan persentase bobot karkas sebesar 54,18 Ngadiyono,
1995
Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Sapi Potong
Pemeliharaan dan perawatan harus dilakukan sebaik-baiknya untuk menjaga kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik.
Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya, sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan
7 fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda dan sapi dewasa
finishing. Parakkasi 1999 menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi
menjadi tiga, yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua yaitu a sapi di kandangkan terus-menerus dan b sapi
dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak
sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara
ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem
ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakan.
Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Sistem ekstensif biasanya
aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama
Parakkasi, 1999. Daerah yang luas padang rumputnya, tandus dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian maka dapat dilakukan usaha peternakan secara
ekstensif. Beberapa daerah melepaskan ternaknya di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakannya dan keadaan padang rumput Tafal, 1981. Sistem
pemeliharaan mix farming system atau sistem pertanian campuran adalah petani biasanya memelihara beberapa ekor ternak sapi dengan maksud digemukkan dengan
pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian Parakkasi, 1999.
Bangunan dan Fasilitas Peternakan
Office International des Epizooties OIE 2006 menjelaskan bahwa bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak
karena di dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan ternak
secara langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak yaitu a
menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat
8 menjadi sumber polusi i pembakaran sampah lokal yang melepaskan banyak
senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa pelarut dan logam berat, atau ii dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi udara dekat
dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon, iii polusi tanah industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun, atau iv tempat
perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan b menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu banguan
khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah. Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar
bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas
yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi
kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk
peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan
masuk ke areal peternakan.
Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air
dengan kualitas yang baik, penerangan dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak Ensminger dan Tylor, 2006. Area yang
terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta memiliki
penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini dilakukan
untuk efisiensi pekerja dan sering disebut sebagian kandang untuk kebutuhan khusus Palmer, 2005.
Perkandangan
Direktorat Jenderal Peternakan 1985 menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan
tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri, dan kandang juga merupakan salah satu sarana untuk
9 menjaga kesehatan. Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal
Produksi Peternakan 2006 adalah sebagai berikut: 1.
Konstruksi kandang harus kuat 2.
Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3.
Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup 4.
Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan 5.
Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak 6.
Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung 7.
Kandang isolasi dibuat terpisah
Manajemen Pakan
Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan
ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya,
sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya
bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit Williamson dan Payne, 1993. Kebutuhan pakan terkait erat pada jenis, umur, dan tingkat produksi.
Konsumsi bahan kering BK pakan ditentukan oleh ukuran tubuh, macam pakan, umur dan kondisi. Konsumsi bahan kering pakan hijauan berkualitas tinggi pada sapi
dewasa adalah sebesar 1,4 dari bobot hidupnya, sedangkan pada sapi jantan muda sebesar 3. Konsumsi bahan kering pakan biasanya makin menurun dengan
meningkatnya kandungan zat-zat pakan yang dapat dicerna National Reseach Council, 1984. Menurut Tilman et al. 1991 kebutuhan bahan kering pakan yang
disarankan utuk sapi pedaging adalah antara 2,5-3 dari bobot badan setiap hari dan dapat ditambahkan konsentrat 2 dari bobot badan, sedangkan sisanya adalah
hijauan atau pakan berserat tinggi. Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak,
namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah Williamson dan Payne, 1993. Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila
diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandung nutriennya rendah Panjono et al., 2000.
10 Tingkat konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologi,
sebagai contoh sapi dewasa, finish sedang dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4 bobot badanhari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan
berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3 dari bobot badan Parakkasi, 1999. Sumber pakan ternak dibagi menjadi lima berdasarkan fungsinya, yaitu: 1
sumber hijauan kering dan hijauan kasar misalnya jerami padi, rumput lapang, dan lamtoro; 2 sumber energi misalnya dedak padi, jagung, sorgum, dan onggok; 3
sumber protein nabati misalnya bungkil kelapa bungkil kelapa sawit, bungkil kacang kedelai dan bungkil bji kapuk; 4 sumber protein hewani misalnya tepung ikan,
tepung daging dan tulang, tepung darah dan tepung bulu ayam; dan 5 sumber mineral misalnya tepung tulang dan tepung kulit kerang, kapur, kalium karbonat,
zeolit dan kromium Khalil, 1998. Potensi genetik ternak untuk pertumbuhan dan konversi pakan dapat
diperkirakan dengan mengetahui bangsa, jenis kelamin, ukuran tubuh dan riwayat sebelumya. Pemberian pakan secara adlibitum dengan memberikan pakan biji-bijian,
100 pakan konsentrat atau maksimum ditambahkan 10-15 hijauan terhadap konsentrat dimaksudkan untuk merealisasikan potensi genetik Presto and Willis,
1982. Office International des Epizooties 2006 menjelaskan bahwa pakan
komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar,
tanggal kadaluarsa dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording
kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan.
Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko bahaya terdapatnya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran
bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna.
Usaha Penggemukan Sapi
Usaha penggemukan sapi merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi persatuan ternak Direktorat Jenderal
11 Peternakan, 1986. Tujuan usaha penggemukan sapi adalah untuk memperoleh
pertambahan bobot badan yang relatif tinggi dengan menghitung nilai konversi pakan dalam pembentukan jaringan tubuh termasuk otot daging dan lemak serta
menghasilkan karkas daging dan daging yang berkualitas tinggi Dyer dan O’Mary, 1977.
Penggemukan sapi secara umum dapat dikelompokan menjadi penggemukan sapi dipadang rumput pasture fattening dan secara dikandangkan feedlot serta
kombinasi antara keduanya Williamson dan Payne, 1993. Usaha peternakan khususnya penggemukan sapi pedaging semakin berkembang mulai dari
penggemukan secara tradisional maupun secara feedlot. Usaha penggemukan feedlot didasarkan pada prisip penggemukan dengan pemberian pakan secara penuh dengan
konsentrat dalam julah besar. Sapi bakalan dengan bobot antara 150-300 kg dapat digemukkan dalam 180 hari atau kurang. Penggemukan ini menghasilkan
pertambahan bobot badan 0,9 kg per ekor per hari atau lebih dengan pakan sekitar 7 kg untuk setiap kg pertambahan berat badan Blakely dan Bade, 1992. Sapi bakalan
yang digunakan dalam penggemukan adalah sapi Bali, Peranankan Onggole PO, dan sapi impor seperti sapi Australian Commersial Cross ACC, Brahman Cross
BX, Shorthon dan Brangus Susilowati, 1998. Sapi yang digemukkan secara feedlot adalah sapi yang memiliki pertumbuhan
tinggi sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat Tulloh, 1978. Usaha penggemukan sapi secara feedlot di Amerika pada
beberapa tahun terakhir ini berlangsung kurang dari 120 sampai 150 yakni periode 70 sampai 90 hari. Perubahan waktu penggemukan yang lebih singkat dimaksudkan
untuk memperoleh efisiensi ekonomi dalam penggunaan pakan Tilman et al., 1991. Sapi yang dipelihara secara feedlot dengan pemberian pakan banyak mengandung
biji-bijian dan selalu berada di dalam kandang sering kekurangan vitamin A dan D, sehingga dalam penggemukan sapi daging perlu ditambahkan vitamin tersebut
Presto and Wills, 1982.
Good Farming Practice GFP
Good Farming Practice menurut Departement of Agriculture, Food and Rural Development 2001 merupakan cara beternak yang baik dan benar, yang
memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi dan
12 kesejahteraan ternak. Good Farming Practice GFP juga termasuk di dalamnya
aturan yang berlaku di lingkungan, hygiene atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi, registrasi ternak, serta kesehatan ternak. Aspek-aspek utama dalam GFP
yaitu manajemen nutrisi, manajemen lahan rumput, perlindungan sungai dan sumber air, pemeliharaan habitat liar, pemeliharaan batas peternakan, penggunaan pestisida
dan bahan kimia yang berhati-hati, perindungan situs-situs bersejarah, pemeliharaan penampakan visual peternakan dan lingkungannya, pemeliharaan catatan peternakan,
kesejahteraan ternak, hygiene atau sanitasi, tidak menggunakan bahan yang dilarang, penggunaan obat hewan yang bertanggung jawab dan pengetahuan peternak tentang
GFP. Ruang lingkup pedoman budidaya ternak sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan
Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, 2000.
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa Serang, Banten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010.
Pengamatan dan pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan pada magang penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas ternak sapi, hasil pengamatan wawancara,
kuisioner dan lembar evaluasi penerapan Good Farming Practices GFP serta Standard Operating Procedure SOP. Data sekunder merupakan data periode tahun
2009-2010 yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP perkandangan, recording ternak, dan penanganan ternak baru datang, populasi sapi
penggemukan, kematian, pemberian pakan dan kualitas pakan, performa produksi ternak penggemukan, pemilihan sapi bakalan dan evaluasi sapi potong, pengelolaan
limbah, karyawan, penjualan serta pembelian ternak. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, meteran, dan termohygrometer.
Prosedur Teknik Pengambilan data
Data primer didapatkan melalui wawancara kuisioner dan lembar pengamatan checklist yang berisikan instumen Standard Operating Procedure serta observasi
langsung di lapangan. Wawancara, kuisioner, dan observasi berpedoman pada instrumen Good Farming Practices sapi penggemukan Direktorat Jenderal Produksi
Peternakan, 2000. Pengisian kuisioner dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten atau ahli dalam perusahaan tersebut. Kuisioner yang akan disebar
berjumlah 15 eksemplar. Wawancara dilakukan kepada farm manager, kepala unit dan supervisor masing-masing unit. Data sekunder diperoleh dari PT Lembu Jantan
Perkasa, Serang-Banten.
14
Rancangan
Studi ini dilakukan untuk membandingkan penerapan Good Farming Practices sapi penggemukan yang diterapkan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-
Banten dengan pedoman pengemukan sapi potong yang baik yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Selain itu juga melakukan wawancara,
observasi, pengumpulan data produksi dan manajemen.
Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT
Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten terutama dalam penerapan Good Farming Practices sapi potong serta membandingkan penerapannya dengan pedoman
pengemukan sapi potong yang baik yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan.
Peubah yang diamati 1.
Evaluasi pelaksanaan Good Farming Practices
Dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan magang di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten dan terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.
2. Pertambahan Bobot Badan harian kghari