MAKALAH MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAY
1
MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA SERTA MEMANFAATKAN SUMBER DAYA ALAM AGAR TIDAK
MASUK DALAM TRANSAKSI POLITIK PRAKTIS (Studi di Provinsi Kalimantan Tengah)
Oleh : Yandi Novia
Ketua Bidang Pelajar Dan Mahasiswa Dpd Knpi Provinsi Kalimantan Tengah
DALAM KEGIATAN:
STUDI PEMBANGUNAN NASIONAL (SPN) KEPEMUDAAN TAHUN 2015 DI JAKARTA, 18 – 20 AGUSTUS 2015
(2)
1
MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA SERTA MEMANFAATKAN SUMBER DAYA ALAM AGAR TIDAK
MASUK DALAM TRANSAKSI POLITIK PRAKTIS (Studi di Provinsi Kalimantan Tengah)
A. Prolog
Siapkah anda menghadapi persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Pernahkah anda iseng-iseng bertanya kepada para masyarakat, baik di kota maupun di desa tentang apa itu Masyarakat Ekonomi ASEAN. Cukup mengejutkan bahwa masyarakat yang berada di desa sebagian besar tidak mengetahui, dan lebih parah lagi masih ada sebagian besar masyarakat di perkotaan yang tidak mengetahui MEA. Umumnya para masyarakat menengah kebawah sangat asing dengan istilah ini, apakah kita sudah siap untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN? Para ahli telah banyak menjawab pertanyaan tersebut. Namun, harapan Wali Kota Palangkaraya HM Riban Satia kepada masyarakat di Bumi Tambun Bungai tidak menganggap era MEA sebagai sebuah ancamam. Sebaliknya, era MEA justru akan menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi setiap negara anggota, tak
(3)
2
terkecuali Indonesia, sebagai negera berpenduduk terbanyak dengan kawasan yang paling luas.
Dalam era industrialisasi yang semakin kompetitif sekarang ini, setiap pelaku bisnis yang ingin memenangkan kompetisi dalam dunia industri harus memberikan perhatian penuh pada kualitas. Usaha untuk memantapkan kondisi perusahaan diperumit lagi dengan berlakunya era perdagangan bebas AFTA (2003) dan akan berlakunya APEC (2020). Hal ini berakibat semakin banyaknya pesaing baru, di samping pesaing lama yang turut terlibat di bisnis untuk memperebutkan pangsa yang juga meluas.
Tingginya tingkat persaingan antarnegara ini tidak hanya akan berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan melainkan juga akan berdampak langsung pada perekonomian daerah khususnya setelah pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Tantangan ini selanjutnya harus diartikan sebagai tuntutan bagi setiap daerah di Indonesia untuk meningkatkan daya saing daerahnya masing-masing sebagai penentu keberhasilan pembangunan di daerah tersebut.
Tantangan utama dari pemberdayaan otonomi daerah adalah pemahaman akan potensi daya saing daerah. Dengan pemahaman yang akurat dan lengkap akan potensi daya saing yang dimiliki oleh daerahnya, suatu pemerintah daerah akan dapat dengan mudah menyusun suatu kebijakan yang benar-benar baik dan pada gilirannya akan menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha di daerah yang bersangkutan.
(4)
3
Konsep daya saing dapat ditinjau dari sisi perusahaan, industri, kelompokindustri, negara, atau daerah. Daya saing merupakan salah satu kata kunci yang lekat dengan pembangunan ekonomi daerah (Sri Susilo, 2013). Menurut Porter (1990), daya saing daerah adalah kemampuan menciptakan atau mengembangkan iklim paling produktif bagi bisnis dan inovasi. Daya saing juga banyak diartikan sebagai suatu potensi tunggal, sehingga dengan demikian tidak ada upaya pemahaman bagaimana kompleksitas faktor-faktor yang membentuk daya saing. Tanpa adanya kesatuan pemahaman yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, daya saing sering kali menyebabkan kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan dan kebijakan. Oleh karena itu upaya penyatuan pemahaman akan konsep daya saing adalah sangat perlu untuk dilakukan. Word Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang secara rutin menerbitkan “Global Competitiveness”, mendefenisikan daya saing nasional secara lebih luas namun dalam kalimat yang singkat dan sederhana. WEF mendefenisikan daya saing nasional sebagai “kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Fokusnya kemudian adalah pada kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristik-karakteristik ekonomi yang lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan tersebut.
Peringkat daya saing global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) tahun 2014 -2015 dinaikkan dari 38 menjadi 34 dari 144 negara.
(5)
4
Adanya perbaikan di beberapa sektor pendorong ekonomi, menjadi salah satu faktor kenaikan peringkat tersebut. Setelah pada tahun 2013, peringkat Indonesia melompat secara signifikan sampai 12 level ke peringkat 38 dalam pemeringkatan daya saing global 2013-2014. Dengan kenaikan tersebut, Indonesia berada di klasemen menengah. Kenaikan tersebut dikarenakan perbaikan di beberapa kriteria seperti infrastruktur, konektifitas, kualitas tata kelola sektor swasta dan publik efisiensi pemerintah, dan pemberantasan korupsi.
Penopang dalam hal ini adalah meningkatkan Sumber Daya Manusia yang harus lebih difokuskan kepada pemuda, karena pemuda yang akan melanjutkan astapet kepemimpinan baru. Tentu akan banyak peluang dan tantangan yang kemudian harus siap untuk dihadapi. Hal ini juga berkaitan erat dengan Sumber Daya Alam Indonesia yang kian musnah, akibat berbagai macam perusahaan, dimulai dari perkebunan sawit, tambang batu bara, timah, tambang emas, ilegal loging, dan lainnya.
Pemuda kian hari lebih asyik dalam dunia media sosial, yang kerap kali memposting hal-hal yang kadang tidak berguna, presentase pendidikanpun berkurang, sebagai contoh di Kalimantan Tengah hanya berkisar kurang lebih 20% pemuda/ pelajar SLTA yang melanjutkan ke perguruan tinggi. hal ini disebabkan karena lemahnya semangat dan penopang terhadap Sumber Daya Manusia yang mampu meningkatkan hasrat ataupun motivasi pemuda dalam bersaing, baik dibidang pendidikan ekonomi, usaha dan lain sebagainya.
(6)
5 B. Gambaran Sumber Daya Alam
Dalam hal kekayaan alam, Indonesia termasuk yang terkaya di dunia. Tetapi, dalam hal kemakmuran, pendapatan perkapita rakyat Indonesia masih tertinggal jauh di belakang. Jika kita membandingkan Indonesia dengan Singapura. “Singapura, yang tidak punya SDA, bisa maju dan pendapatan per kapita warganya mencapai US$ 48. 595 per orang per tahun. Sedangkan Indonesia, negeri yang kaya SDA, pendapatan per kapita warganya hanya US$ 3.452 per orang per tahun.
Dari perbandingan ini membuktikan ada yang tidak beres dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Mengenai hal ini Pemuda di Kalteng, melalui perwakilannya dalam forum diskusi yang promotori oleh Menara News (16/2/2014) sepakat menyatakan perbandingan itu menyingkap fakta, bahwa ada yang salah dengan kebijakan ekonomi dan tata kelola SDA kita.
Dua faktor penyebab kegagalan Indonesia mengelola SDA. Pertama, ekonomi Indonesia masih mengandalkan ekspor bahan mentah. Karena Model ekonomi semacam ini tidak menciptakan nilai-tambah dan tidak menyediakan basis untuk industrialisasi. Kedua, pemerintah Indonesia tidak percaya pada kekuatan sendiri untuk mengolah SDA-nya, tetapi semuanya diserahkan kepada korporasi asing. Akibatnya, sebagian besar SDA di Indonesia sudah di bawah bendera asing.
Padahal, Indonesia sudah punya konsep pengelolaan SDA sebagaimana diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Di situ ada penegasan mengenai kedaulatan
(7)
6
negara terhadap SDA dan pengelolaannya harus mendatangkan kemakmuran bagi rakyat.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai pemanfaatan SDA sebagai transaksi politik, terlebih dahulu kita akan memberikan gambaran bagaimana Pengelolaan SDA di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan Tengah pada khususnya.
Karena pada fakta yang terlihat melalui data-data yang terhimpun berbagai media, organisasi dan LSM serta lembaga lainnya yang terfokus dalam menangani masalah lingkungan. Dalam hal ini Menara News mendapat data dari WALHI Kalimantan Tengah (16/2/2014) bahwa; Laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 6 kali lapangan bola (300 ha) per detik. Hutan Alam dan HTI hanya mampu memasok 23% dari total demand (63.4 juta ha per tahun). Dari 673 bencana yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998, lebih dari 65 persen diantaranya merupakan kesalahan pengelolaan lingkungan – Banjir, longsor dan kebakaran hutan).
C. Lalu bagaimana di Kalimantan Tengah?
Dari data yang telah dihimpun oleh WALHI Kalimantan Tengah (dalam Forum diskusi yang melibatkan sebagian organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, Minggu (16/2/2014)’ gambaran singkat mengenai praktek Korporasi Asing dalam hal mengeruk SDA, apa bila kita jauh kebelakang maka akan ditemui sejarah panjang eksploitasi SDA di kalteng melalui penguasaan wilayah dan industri yang berbasis komoditas sejak jaman kolonialisme pada jaman belanda dengan perusahan bernama NV.
(8)
7
BRUINZEEL yang megolah kayu agthis dan pasca kemerdekaan terutama Orde baru eksploitasi menjadi masif (Kayu, Sawit, Tambang, karbon offset) berbasis pada komoditas eksport.
Kepentingan kaum kapitalisme di Indonesia masih mengunakan sistem sosial yang feodalisme dimana monopoli tanah merupakan basis sosialnya. Bentuk pengusaan dari tuan tanah klasik menjadi tuan tanah tipe baru dengan pola pengusaan melaui ijin konsesi dengan merebut akses dan kontror terhadap kawasan. Kalteng yang memiliki luasan 15,356,800, 85 % sudah diperuntukan untuk investasi yang menguasi ruang dan merampas tanah dan hak-hak masyarakat adat Akibat pengusaan kawasan tersebut terjadi konflik sosial, kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi dan bencana ekologi.
Kemudian dilihat dari perijinan Investasi di Kalimantan Tengah itu sendiri maka akan terlihat 13.410.714,98 ha atau 85 % Dari total Wilayah Kalimantan Tengah Sudah dikuasai dan dikontrol oleh investasi. Dengan rincian; Ijin konsensi Perkebunan ( PPAL, IP, IUP, PKH, HGU) seluas 4.649.072 ha oleh 352 unit PBS. Dikuasai oleh holding Compeny Wilmar, BEST Agro, Sinar Mas, IOI, Musimas, Makin Grup)). Ijin Konsensi Kehutanan (IUPHK-HA) (HTI) (IPK) seluas 4.894.408 Ha oleh 91 Perusahaan. Ijin Konsensi Pertambangan ( KK, PKP2B, KP, SIPRD, SIPD) Seluas 3.867.234, 98 Ha oleh 859 Perusahaan. Termasuk perusahaan milik asing BHP. Biliton, aorora Gold, Renainance dan samin tan group, Bumi Resources, dan Adaro).
(9)
8
Akibat dikuasainya sumberdaya alam di kalimantan tengah oleh investasi untuk industri komoditas mengakibatkan; Konversi hutan besar-besaran mengkibatkan laju degradasi kerusakan hutan dan lahan sebesar ± 140.000 Ha/tahun, jauh lebih besar daripada kemampuan rehabilitasi sebesar 25.000 s/d 30.0 Ha/tahun dan menyiskan lahan krtis hingga 7,5 juta ha. Limbah pabrik dan tambang yang mencemari sungai dan danau akibat bahan kimia dan psetisda yang berlebihan. Kekeringan hutan/dan lahan gambut mengakibatkan kebakaran hutan dan bencana asap. Hilang dan punahnya satwa akibat rusaknya habitat dan terputusnya rantai makanan dan bentang alam (ekosistem yang terputus). Rusaknya struktur tanah akibat pengunaan pupuk dan air tanah yang berlebihan.
Berdampak pada bencana ekologi dan pemanasan iklim global. Perebutan akses tanah akan berdampak pada konflik agaria dan kriminalisasi warga serta pelanggaran HAM. Hilangnya budaya lokal dan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan SDA. Konflik buruh dengan upah yang rendah dan jaminan kesejahteraan. Masuknya budaya asing dan meningkatnya kriminalitas dan prostitusi.
Tak hanya itu Dari 468 perusahaan pertambangan hanya 20 perusahaan yang memiliki ijin pinjam pakai kawasan. Dari 346 unit PBS baru 17 perusahaan yang memiliki ijin pelepasan kawasan dari menhut. Banyak sekali perusahaan yang beroperasi tanpa ijin AMDAL dan perusahan tambang tidak melakukan reklamasi pasca oprasional. Perkebunan sawit yang mengkonversi lahan gambut. (Sumber : WALHI Kalimantan Tengah)
(10)
9
Meningkatnya budaya korupsi dan pungli bagi aparat penegak hukum, dari data satgas mafia kehutanan Kalimantan Tengah mengalami kerugian hingga mancapai 156 Triliuyun rupiah dari konversi hutan secara ilegal. Sumber daya alam menjadi negosiasi politik untuk kekuasaan dan mencari keuntungan. Hukum hanya berlaku bagi orang yang beruang saja dan banyak korban hukum justru bagi rakyat pemilik tanah ( WALHI mencacat 32 komunitas yang berkonflik bahkan pemerintah melansir data 300 lebih konflik masyarakat dengan perkebunan sawit).
Perlu disadari Kalimantan Tengah menyimpan banyak sekali SDA yang sangat berlimpah, sehingga tak heran jika Bumi Tambun Bungai sebagai paru-paru dunia. Tentunya kita tak ingin julukan “paru-paru dunia” akan menjadi sebuah dongeng untuk generasi mendatang. Hal yang perlu ditanyakan adalah sistem mengabdi kepada siapa? Memihak kepada siapa? Bukankan sudah jelas bahwa konsep yang kita anut di Indonesia adalah pengelolaan SDA sebagaimana diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Di situ ada penegasan mengenai kedaulatan negara terhadap SDA dan pengelolaannya harus mendatangkan kemakmuran bagi rakyat.
Haruskah kita paksakan bahwa sistem yang sedang dijalankan memihak kepada rakyat atau dengan kata lain menyejahterakan rakyat. Contoh sederhana kenapa harga Minyak Goreng mahal padahal Perkebunan Sawit berhektar-hektar di sekeliling kita. Lebih-lebih lagi sebagian besar Putera Daerah hanya menjadi buruh kasar dan tanah milik mereka dipaksa dijual untuk lahan perkebunan, dengan berbagai macam cara. Tak heran ini juga
(11)
10
karena pendidikan dan daya pikir sebagian masyarakat menilai pendidikan itu hanya cukup sampai SLTA, dan orientasi mereka masih pada taraf gaji yang tinggi, sehingga menjadi buruh kasar tak jadi masalah. Disisi lain Korporasi Asing juga menyerap banyak tenaga kerja, sehingga sebagian besar masyarakat tidak menjadi pengangguran. Lalu apa yang menjadi masalah? Kembali kepertanyaan di atas tadi, apakah rakyat sudah disejahterakan?
Dalam diskusi singkat yang dipromotori oleh Menara News menghadirkan perwakilan dari WALHI Kalimantan Tengah dan beberapa organisasi (DPD IMM Kalteng, BEM UNPAR, DEMA STAIN, BEM UMP, GMNI Cab. Palangkaraya) mencoba menggali pemanfaatan SDA sebagai transaksi politik, yang tentunya tidak terlepas kepada calon pemangku jabatan atau mereka yang sudah dan telah memangku jabatan itu sendiri. Dikatakan bahwa “ketidakmampuan penguasa melihat keberlangsungan”, sistem yang ada berorientasi pada keuntungan politik, kesejahteraan rakyat tak lagi dipikirkan, sehingga pernyataan bahwa “masyarakat miskin diciptakan” adalah hal yang wajar untuk disebutkan.
Alih-alih politik untuk kemakmuran rakyat, malahan sebaliknya pengerukan terjadi di mana-mana. Sebagaimana diungkapkan oleh peneliti senior Transaksi Politik Daniel Dhakidae bahwa di Indonesia tak ada politik yang bersih. ”Di mana pun, semua politik pasti bersifat transaksional,” mulai tingkat pemilukada hingga pemilu. ”Nyaris semuanya membeli dan menjual kedudukan. Wani piro adalah dasar dari transaksi politik di setiap pemilu. Direktur Pusat Kajian Politik Fisip UI (Pus kapol UI) Sri Budi Eko Wardani
(12)
11
juga pernah mengungkapkan dalam proses politik yang berorientasi transaksional , posisi pemilih (voter) dan kandidat menjadi tidak seimbang. Transaksi politik ini sangat berbahaya, karena selain berpotensi besar melemahkan warga, juga bisa melahirkan persepsi kuat bahwa pemilu harus dengan praktik transaksional. Inilah yang membuat kedudukan pemilih dan kandidat menjadi tidak setara.
Semua sumber daya alam baik yang potensial maupun yang riil harus dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungn Hidup dan UUD 1945 Pasal 33 yang menetapkan agar sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut harus dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Artinya, generasi sekarang harus berhati-hati dalam mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber daya alam, sehingga generasi yang akan datang tetap dapat menikmatinya.
Jika diamati dengan baik, alam itu rusak karena ulah manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab. Manusia hanya mementingkan kehidupannya sendiri dengan mengekploitasi alam semaunya. Karena manusia tidak pernah puas dengan sesuatu. Akibatnya lam ini menjadi rusak. Seharusnya, manusia lebih bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan kepada alam ini. Dengan cara memelihara dan menjaga serta merawat alam yang kita tinggali.
(13)
12 D. Apa yang harus dilakukan?
Masalah utama dalam pembangunan nasional adalah terbatasnya jumlah sumber daya alam. Sementara itu, kebutuhan manusia semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan yang tepat memnfaatkan lingkungan agar tidak cepat habis, seperti: (1) Memperhatikan Faktor Kelestarian Lingkungan; (2) meningkatkan nilai sumber daya alam yang tersedia; (3) membangun masa sekarang dan masa yang akan datang; (4) menerapkan etika lingkungan; (5) menjamin pemerataan dan keadilan; (6) menghargai keanekaragaman hayati; (7) menggunakan pendekatan integrative; dan (8) menggunakan pendekatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam merencanakan pembangunan lingkungan.
E. Bagimana dengan pemanfaatan SDA sebagai Transaksi Politik?
Pengelolaan SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, seharusnya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, baik pada generasi saat ini, dan generasi yang akan datang (Present and Future Generation). Hal ini juga melanda pada proses Penegakan Hukum (Law Enforcement), karena pada kenyataannya para pelaku yang menjalankan usaha di bidang SDA adalah orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Beberapa hari ini marak bahwa banyak Pejabat Negara yang terlibat dalam Korupsi di bidang SDA ini. Sebagaimana dirilis bahwa potensi kerugian negara akibat penyelewengan dalam pengelolaan SDA mencapai Rp
(14)
13
1,9 triliun. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Koalisi Anti Mafia Hutan tahun 2012-2013 di tiga provinsi, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kerugian negara akibat dari ketidakbecusan Pemerintah dalam mengelola SDA bisa ditanggulangi atau sekurang kurangnya dihentikan jika saja pemerintah dan penegak hukum serius melakukan upaya pemberantasan mafia hutan ataupun pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.
Penegak hukum, khususnya KPK, harus memberikan perhatian pada sektor SDA khususnya pada proses alih fungsi lahan dan tender konsesi pertambangan. Maraknya praktik korupsi dalam proses perizinan membuat target pemerintah untuk mengurangi emisi pada tahun 2020 kelak terancam tidak tercapai. Penegakan hukum harus segera dilakukan karena sudah banyak informasi tentang korupsi dalam alih fungsi lahan. KPK harus menjadikan sektor SDA sebagai fokus pemberantasan korupsi baik dari aspek pencegahan maupun penindakan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk membuka akses informasi kepada masyarakat agar tata kelola hutan dan lahan kualitasnya dapat ditingkatkan.
Hendaknya ada transparansi dalam pengelolaan SDA dan Kegiatan Ekonomi oleh pemerintah kepada masyarakat, karena masyarakat dengan ruh demokrasinya, semakin menginginkan akan kebutuhan informasi yang akurat, dan meraka semakin berani untuk mengungkapkan aspirasi dan gagasannya secara terbuka.
(15)
14
Jika kita kembalikan pada mandat pasal 33 ayat (3), lantas yang harus dijawab adalah siapa yang paling berkepentingan dengan pengelolaan SDA. Tentunya, masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional.
Dalam paradigma ini memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Hal ini sangat rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mandapat keuntungan atas pengelolaan SDA ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas.
Komitmen politik dari berbagai pihak untuk menjalankan kebijakan dalam pengelolaan SDA akan sangat mempengaruhi efektifitas pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan arah reformasi kebijakan itu sendiri.
Kesungguhan pemerintah dan politisi yang mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan sangat diharapkan oleh publik dalam penataan keagrariaan dan pengelolaan SDA dengan melakukan perubahan yang signifikan berbagai ketentuan perundangan sektoral yang selama ini memberi legitimasi bagi eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam. Meskipun, implikasi dari pembaruan tersebut justru akan membatasi kekuasaan pihak
(16)
15
tersebut dalam pengelolaan SDA yang selama ini dapat memberi pemasukan bagi biaya-biaya politik.
Dengan demikian, maka dalam tahun politik ini, masyarakat mendambakan sosok pemimpin yang dapat mengakomadasi kepentingan rakyatnya dengan konsisten terhadap pengelolaan SDA yang betul-betul sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Jangan sampai, apa yang menjadi janji dalam kegiatan politik hanya menghumbar kebohongan kepada publik.
(1)
10
karena pendidikan dan daya pikir sebagian masyarakat menilai pendidikan itu hanya cukup sampai SLTA, dan orientasi mereka masih pada taraf gaji yang tinggi, sehingga menjadi buruh kasar tak jadi masalah. Disisi lain Korporasi Asing juga menyerap banyak tenaga kerja, sehingga sebagian besar masyarakat tidak menjadi pengangguran. Lalu apa yang menjadi masalah? Kembali kepertanyaan di atas tadi, apakah rakyat sudah disejahterakan?
Dalam diskusi singkat yang dipromotori oleh Menara News menghadirkan perwakilan dari WALHI Kalimantan Tengah dan beberapa organisasi (DPD IMM Kalteng, BEM UNPAR, DEMA STAIN, BEM UMP, GMNI Cab. Palangkaraya) mencoba menggali pemanfaatan SDA sebagai transaksi politik, yang tentunya tidak terlepas kepada calon pemangku jabatan atau mereka yang sudah dan telah memangku jabatan itu sendiri. Dikatakan bahwa “ketidakmampuan penguasa melihat keberlangsungan”, sistem yang ada berorientasi pada keuntungan politik, kesejahteraan rakyat tak lagi dipikirkan, sehingga pernyataan bahwa “masyarakat miskin diciptakan” adalah hal yang wajar untuk disebutkan.
Alih-alih politik untuk kemakmuran rakyat, malahan sebaliknya pengerukan terjadi di mana-mana. Sebagaimana diungkapkan oleh peneliti senior Transaksi Politik Daniel Dhakidae bahwa di Indonesia tak ada politik yang bersih. ”Di mana pun, semua politik pasti bersifat transaksional,” mulai tingkat pemilukada hingga pemilu. ”Nyaris semuanya membeli dan menjual kedudukan. Wani piro adalah dasar dari transaksi politik di setiap pemilu. Direktur Pusat Kajian Politik Fisip UI (Pus kapol UI) Sri Budi Eko Wardani
(2)
11
juga pernah mengungkapkan dalam proses politik yang berorientasi transaksional , posisi pemilih (voter) dan kandidat menjadi tidak seimbang. Transaksi politik ini sangat berbahaya, karena selain berpotensi besar melemahkan warga, juga bisa melahirkan persepsi kuat bahwa pemilu harus dengan praktik transaksional. Inilah yang membuat kedudukan pemilih dan kandidat menjadi tidak setara.
Semua sumber daya alam baik yang potensial maupun yang riil harus dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungn Hidup dan UUD 1945 Pasal 33 yang menetapkan agar sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut harus dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Artinya, generasi sekarang harus berhati-hati dalam mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber daya alam, sehingga generasi yang akan datang tetap dapat menikmatinya.
Jika diamati dengan baik, alam itu rusak karena ulah manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab. Manusia hanya mementingkan kehidupannya sendiri dengan mengekploitasi alam semaunya. Karena manusia tidak pernah puas dengan sesuatu. Akibatnya lam ini menjadi rusak. Seharusnya, manusia lebih bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan kepada alam ini. Dengan cara memelihara dan menjaga serta merawat alam yang kita tinggali.
(3)
12 D. Apa yang harus dilakukan?
Masalah utama dalam pembangunan nasional adalah terbatasnya jumlah sumber daya alam. Sementara itu, kebutuhan manusia semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan yang tepat memnfaatkan lingkungan agar tidak cepat habis, seperti: (1) Memperhatikan Faktor Kelestarian Lingkungan; (2) meningkatkan nilai sumber daya alam yang tersedia; (3) membangun masa sekarang dan masa yang akan datang; (4) menerapkan etika lingkungan; (5) menjamin pemerataan dan keadilan; (6) menghargai keanekaragaman hayati; (7) menggunakan pendekatan integrative; dan (8) menggunakan pendekatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam merencanakan pembangunan lingkungan.
E. Bagimana dengan pemanfaatan SDA sebagai Transaksi Politik?
Pengelolaan SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, seharusnya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, baik pada generasi saat ini, dan generasi yang akan datang (Present and Future Generation). Hal ini juga melanda pada proses Penegakan Hukum (Law Enforcement), karena pada kenyataannya para pelaku yang menjalankan usaha di bidang SDA adalah orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Beberapa hari ini marak bahwa banyak Pejabat Negara yang terlibat dalam Korupsi di bidang SDA ini. Sebagaimana dirilis bahwa potensi kerugian negara akibat penyelewengan dalam pengelolaan SDA mencapai Rp
(4)
13
1,9 triliun. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Koalisi Anti Mafia Hutan tahun 2012-2013 di tiga provinsi, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kerugian negara akibat dari ketidakbecusan Pemerintah dalam mengelola SDA bisa ditanggulangi atau sekurang kurangnya dihentikan jika saja pemerintah dan penegak hukum serius melakukan upaya pemberantasan mafia hutan ataupun pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.
Penegak hukum, khususnya KPK, harus memberikan perhatian pada sektor SDA khususnya pada proses alih fungsi lahan dan tender konsesi pertambangan. Maraknya praktik korupsi dalam proses perizinan membuat target pemerintah untuk mengurangi emisi pada tahun 2020 kelak terancam tidak tercapai. Penegakan hukum harus segera dilakukan karena sudah banyak informasi tentang korupsi dalam alih fungsi lahan. KPK harus menjadikan sektor SDA sebagai fokus pemberantasan korupsi baik dari aspek pencegahan maupun penindakan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk membuka akses informasi kepada masyarakat agar tata kelola hutan dan lahan kualitasnya dapat ditingkatkan.
Hendaknya ada transparansi dalam pengelolaan SDA dan Kegiatan Ekonomi oleh pemerintah kepada masyarakat, karena masyarakat dengan ruh demokrasinya, semakin menginginkan akan kebutuhan informasi yang akurat, dan meraka semakin berani untuk mengungkapkan aspirasi dan gagasannya secara terbuka.
(5)
14
Jika kita kembalikan pada mandat pasal 33 ayat (3), lantas yang harus dijawab adalah siapa yang paling berkepentingan dengan pengelolaan SDA. Tentunya, masyarakatlah yang justru sebagai pihak paling punya kepentingan. Masyarakat yang selama ini hidup di sekitar hutan, misalnya, yang banyak dirugikan dan menjadi lebih miskin, bukan karena tidak terampil dan tidak tahu cara mengelola sumber daya hutan tersebut, akan tetapi dikarenakan lemah dan tidak berkuasa dalam konstelasi politik lokal dan nasional.
Dalam paradigma ini memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Hal ini sangat rentan bagi masuknya kelompok kepentingan yang bermaksud mandapat keuntungan atas pengelolaan SDA ini dan menjauhkan partisipasi para pihak secara luas.
Komitmen politik dari berbagai pihak untuk menjalankan kebijakan dalam pengelolaan SDA akan sangat mempengaruhi efektifitas pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan arah reformasi kebijakan itu sendiri.
Kesungguhan pemerintah dan politisi yang mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan sangat diharapkan oleh publik dalam penataan keagrariaan dan pengelolaan SDA dengan melakukan perubahan yang signifikan berbagai ketentuan perundangan sektoral yang selama ini memberi legitimasi bagi eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam. Meskipun, implikasi dari pembaruan tersebut justru akan membatasi kekuasaan pihak
(6)
15
tersebut dalam pengelolaan SDA yang selama ini dapat memberi pemasukan bagi biaya-biaya politik.
Dengan demikian, maka dalam tahun politik ini, masyarakat mendambakan sosok pemimpin yang dapat mengakomadasi kepentingan rakyatnya dengan konsisten terhadap pengelolaan SDA yang betul-betul sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Jangan sampai, apa yang menjadi janji dalam kegiatan politik hanya menghumbar kebohongan kepada publik.