Pengertian Desa Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
13
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaran pemerintahan desa; dan 3 Semangat partisipasi
masyarakat sangat ditonjolkan. Artinya proses politik pemerintahan dan pembangunan di desa tidak lagi bermuara dari kebijakan pemerintah pusat secara
terpusat top-down, melainkan berasal dari partisipasi masyarakat.
10
Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dari daerah provinsi
itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Dari
pengertian undang-undang tersebut ditarik suatu kesimpulan bahwa desa itu merupakan bagian dari pemerintahan daerah.
Perumusan secara formal desa dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dikatakan bahwa desa adalah:
“Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Didalam UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desa adalah:
“Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
10
Ibid
14
adat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten”.
Selanjutnya, dinyatakan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, Pasal 1 ayat 12 yang menjelaskan bahwa:
“Desa atau yang disebut nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Selanjutnya dalam PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pasal 1 ayat 5 yang menjelaskan bahwa:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal- usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dari pengertian desa tersebut, didapatlah kata kunci, “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri”.
Artinya desa itu memiliki hak otonomi. Hanya saja, otonomi desa disini berbeda dengan otonomi formal seperti yang dimiliki oleh pemerintah provinsi, kabupaten,
dan kota, tetapi otonominya hanya sebatas pada asal-usul dan adat-istiadat setempat tersebut mengandung pengertian otonomi yang telah dimiliki sejak dulu kala dan
telah menjadi adat-istiadat yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
15
Sementara otonomi yang dimiliki pemerintah kabupaten danatau kota adalah otonomi formalresmi. Artinya, urusan-urusan yang dimiliki atau menjadi
kewenangan kabupaten danatau kota ditentukan berdasarkan undang-undang. Contoh urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten danatau kota,
diantaranya: 1 Urusan Pendidikan dan Kebudayaan, 2 Urusan Kesehatan, 3 Urusan Pertanian, 4 Urusan Ketenagakerjaan; dan sebagainya. Sedangkan urusan-urusan
yang menjadi kewenangan desa, diantaranya: 1 Urusan Pengelolaan Pasar Desa, 2 Urusan Lumbung Desa, 3 Urusan Pengairan Desa, 4 Urusan Pengelolaan Makam
Keramat, 5 Urusan Penyelenggaraan Upacara Adat, dan lain sebagainya.
Mencermati pengertian desa seperti di atas, Pemerintah Orde Baru kala itu memandang bahwa keberadaan desa-desa kesatuan hukum yang beragam corak dan
sifatnya, dan otonom tersebut akan menyulitkan pemerintah dalam melakukan pengaturan dan pengendalian. Disamping itu, keberagaman desa tersebut juga dapat
menghambat pembangunan nasional. Bagi pemerintah, desa-desa itu merupakan bagian dari organisasi dari keseluruhan sistem pemerintahan yang ada di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran ini, maka desa-desa tersebut perlu memiliki keseragaman. Apabila
dimungkinkan tidak hanya keseragaman dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang diperlukan, melainkan juga dalam sistem sosial-budayanya,
16
sehingga disamping memudahkan pengaturan dan pengendalian juga memudahkan pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan.
Bertitik tolak dari pengertian desa tersebut di atas, maka Pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pengaturan Desa dalam rangka
memudahkan pengaturan, pengendalian, dan pelaksanaan fungsi pelayanan terhadap pemerintahan desa dan masyarakatnya. Lebih dari itu, Inpres Nomor 5 Tahun 1976
juga sudah menjelaskan bahwa “Desa adalah desa dan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam pengertian territorial-administratif
langsung di bawah kecamatan”. Dalam kaitan ini, tersirat dengan jelas dalam rumusan tersebut bahwa desa-desa di Indonesia itu adalah desa-desa yang telah ada
sebelum negara ini merdeka, bukan merupakan ciptaan baru. Namun ditegaskan pula bahwa kedudukannya tidak bebas melainkan secara territorial-administratif
langsung berada di bawah kecamatan. Dengan demikian, tidak lagi berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri sebagaimana ketika desa-desa itu belum berada di
bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun peraturan perundang-undangan yang terakhir yang mengatur mengenai desa adalah undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dimana desa memang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, karena
17
sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit tidak disebutkan kedudukan pemerintah desa dalam susunan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun demikian, perlu dicermati bahwa dengan diberlakukanya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi desa menjadi terdesentralisasi dan
memiliki hak otonom berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dan bertanggungjawab terhadap Bupati dan Walikota.
Karena itu, istilah desa yang biasa dipergunakan di pulau Jawa, Bali, dan Madura tidak bisa berlaku secara general, tetapi harus didasarkan pada istilah yang
dipergunakan oleh masing-masing daerah, dengan mengacu pada suatu pengertian bahwa desa atau sebutan lainnya adalah nama kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Saparin bahwa sebutan desa itu sangat beragam, sebagai
contoh: masyarakat Aceh menggunakan nama Gampong atau Meunasah untuk daerah hukum paling bawah. Masyarakat Batak, daerah hukum setingkat desa dinamakan
Kuta atau Huta. Masyarakat Minangkabau, daerah hukum setingkat desa dinamakan Nagari, sedang daerah gabungan dinamakan Luha. Di Sumatra Timur, daerah hukum
yang paling bawah ialah Suku. Di Sumatra Selatan Kerinci, Palembang, Bengkulu nama daerah hukum ialah dusun dan daerah gabungan dinamakan Mendopo atau
Marga. Di Lampung namanya Dusun atau Tiuh, Minahasa namanya Wanu,
18
Ujungpandang disebut Gaukung, Bugis Metowa, Toraja Toraja dan Dusun Dati untuk desa di Maluku.