Perempuan dan Laki-Laki di Masyarakat
memandang dirinya sebagai feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas.
Aliran feminis psikoanalisis menurut Tong 2006: 196 banyak diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena mereka berargumentasi bahwa posisi dan
ketidakberdaayan sosial perempuan terhadap laki-laki kecil hubungannya dengan biologi perempuan dan sangat berhubungan dengan konstruksi sosial atas feminis.
Ragam kritik sastra feminis psikoanalisis muncul berawal dari penolakan para feminis terhadap konsep teori Sigmund Freud. Teori ini pada dasarnya menyatakan
wanita iri pada laki-laki karena perempuan tidak memiliki penis penis-envy. Wanita dianggap melakukan pembelaan dengan merasa bangga karena dapat melahirkan bayi
yang dianggap sebagai pengganti penis yang dapat dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Secara alami atau menurut kodratnya wanita memiliki ciri-ciri watak
effective, emphhatic, nurtrtant. Menurut Freud via Tong, 2006: 196 maskulintas dan femininitas adalah
produk pendewasaan seksual. Jika anak laki- laki berkembang “secara normal,”
mereka akan menjadi laki-laki dewasa yang menunjukan sifat maskulin yang diharapkan dan jika perempuan berkembang “secara normal” maka mereka akan
menjadi perempuan dewasa yang menunjukan sifat-sifat feminin. Menurut Freud, inferioritas perempuan terjadi karena kekurangan anak perempuan akan penis. Karena
mereka tidak harus merasa khawatir dikastrasi, anak perempuan tidak termotivasi,
seperti anak laki-laki seharusnya, untuk menjadi pengikut aturan yang patuh, yang “kepalanya” selalu dapat mengendalikan “hatinya”.
Feminis psikoanalisis menyimpulkan bahwa Freud dan terutama pengikutnya, Helene Deutsch, Erik Erikson, memberikan kontribusi terhadap perempuan.
Meskipun demikian, mereka percaya bahwa teks Freudinan dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan feminis dan bukannya tujuan nonfeminis, asalkan feminis
mereinterpretasi teks-teks ini dengan menolak doktrin determinisme biologis, dengan menekankan pada tahapan pra-Oedipal sebagai kebalikan tahapan Oedipal dari
tahapan perkembangan seksual manusia, atau dengan menceritakan kisah Oedipal dengan suara yang nonpatriarkal Tong, 2006: 200.