Latar Belakang Masalah PROGRAM BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN SISWA :Studi Di SMA N 10 Kota Bandarlampung.

1 BAB I PENDAHULUAN Bab satu memaparkan latar belakang masalah pembahasan masalah, identifikasi masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi penelitian, metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam rangkaian kehidupannya akan selalu berbenturan dengan kondisi-kondisi lingkungan dimana ia berada. Pada lingkungan manusia tentu akan berkaitan dengan keadaan situasi lingkungan itu berada lengkap dengan norma peradabannya dan tentunya perkembangan teknologi dengan permasalahannya. Dengan keadaan yang demikian menjadikan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh seorang individu. Sebagai makhluk hidup, manusia setiap saat akan selalu menghadapi permasalahan- permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tingkat kebutuhan manusia oleh Abraham Maslow sering dikenal dengan teori hierarki kebutuhan. Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow George Boeree, 2005 terbagi dalam lima tingkatan yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan cinta, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Hasil pengembangan yang dilakukan oleh para ahli mengenai aktualisasi diri adalah munculnya kebutuhan diatas kebutuhan aktualisasi diri. Pada puncak hierarki kebutuhan manusia masih terdapat kebutuhan lain yaitu kebutuhan transeden. Keutuhan transeden adalah kebutuhan yang lebih mengarah 2 pada spiritual atau kebutuhan penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun kebutuhan manusia menurut Kartini Kartono 2000: 37 terbagi atas 3 tingkatan. Tingkatan pertama adalah kebutuhan biologis, meliputi kegiatan- kegiatan vital yaitu makan, minum, dan atau berhubungan seks. Tingkatan kedua adalah kebutuhan human atau dapat disebut sebagai kebutuhan sosial psikologis. Tingkatan ketiga adalah kebutuhan tingkat metafisis atau religius. Dari kedua pendapat tersebut maka dapat diketahui bahwa terdapat kebutuhan manusia yang paling mendasar yaitu kebutuhan fisiologis atau kebutuhan yang bersifat biologis. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut manusia harus berhadapan dengan berbagai macam masalah. Siswa sebagai bagian dari anak manusia tersebut tentu tidak akan luput dari permasalahan; baik itu yang berkaitan dengan permasalahan pribadi dengan dirinya dan keluarga, masalah sosial interaksi dengan lingkungan dan teman sebaya, belajar sebagai siswa dan tentunya dengan masa depannya. Kondisi dan permasalahan yang ada pada siswa agar dapat berkembang dan berprestasi dengan optimal haruslah dientaskan dimandirikan salah satunya adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah upaya untuk mempersiapkan seorang individu menjadi manusia yang lebih dewasa. Membentuk manusia dewasa berarti membentuk manusia yang dapat memenuhi tanggungjawab baik secara sosial, individual dan spiritual. Hal ini sesuai dengan tujuan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional SISDIKNAS No 20 tahun 2003 pasal 3. Menurut Undang-Undang SISDIKNAS pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik 3 agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan pedagogis diartikan sebagai suatu proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. Dewasa berarti bisa hidup mandiri terlepas dari ketergantungan pada orang lain. Proses mencapai kemandirian dan kedewasaan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu anak akan banyak membutuhkan bantuan orang dewasa. Dalam proses menjadi dewasa itu, anak berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik alam maupun lingkungan sosiokultural. Dalam berinteraksi, seseorang dituntut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ketika berinteraksi dengan sosiokultural, individu mendapat pengaruh sosiokultural yang bermanfaat bagi tercapainya perkembangan secara optimal. Tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak hanya menekankan pada proses pencapaian kognitif tetapi juga mengarah pada proses pembentukan kemandirian. Pentingnya pengembangan kemandirian menurut Sunaryo Kartadinata 1988 dalam Mohamad Ali 2004 karena pada dewasa ini terlihat gejala-gejala negatif seperti: a. ketergantungan disiplin kepada kontrol dari luar dan bukan karena niat sendiri secara ikhlas. Dewasa ini semakin sulit menemukan kedisiplinan, baik dijalanan, di kantor, dan berbagai lembaga atau situasi lain yang memang muncul secara 4 ikhlas dari dalam hati nurani yang bersih, b. sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup, baik lingkungan fisik dan sosial, c. sikap hidup yang terlalu konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan prinsip. Kecenderungan untuk mematuhi dan menghormati orang lain semakin dilandasi bukan oleh hakikat kemanusiaan sejati melainkan hanya karena atribut, atribut sementara yang dimiliki oleh orang lain. Kemandirian menurut Steinberg 1995: 285 diartikan sebagai self governing person, yaitu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menguasai diri sendiri. Lebih lanjut kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai mengatur, atau mengelola diri sendiri. Watson dan Lindgren Suherman: 2008 yang menyatakan bahwa kemandirian adalah kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, gigih dalam usaha dan melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kemandirian merupakan proses yang berlangsung tunggal. Kemandirian dipengaruhi oleh banyak hal. Menurut Hill Steinberg, 1976 dalam Snatrock 2003 kemandirian dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Menurut mereka pola asuh yang demokratis akan sangat berkaitan dengan peningkatan otonomi remaja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Feldman Quatman, 1988, Feldman Rosenthal, 1990a, Goodnow Knight, Cashmore dalam Santrock 2003 harapan mengenai waktu yang tepat bagi otonomi berbeda-beda pada tiap kebudayaan, orang tua, dan remaja. Sebagai contoh adalah adanya harapan akan kemandirian lebih awal pada orang kulit putih, orang tua tunggal dibandingkan dengan keturunan Asia-Amerika atau Latin, serta orang tua perkawinan lengkap. 5 Sehingga kemandirian merupakan proses yang harus dibantu oleh pihak atau lembaga lain. Sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya usaha memandirikan anak dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berguna. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa dalam dunia pendidikan telah terjadi perubahan- perubahan, seperti perubahan sistem pendidikan, kurikulum, metode mengajar, dan lain-lain. Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah khususnya bagi peserta didik serta pihak yang berkecimpung dalam pendidikan. Pendidikan yang bermutu tidak cukup dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya. Kemampuan yang demikian tidak hanya menyangkut aspek akademis tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai. Oleh karena itu pendidikan yang bermutu di lingkungan pendidikan haruslah merupakan pendidikan yang seimbang, selain mampu menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar kemampuan profesional dan akademis, tetapi juga mampu memfasilitasi perkembangan anak memiliki kemandirian. Peserta didik di lembaga pendidikan umumnya adalah orang-orang yang sedang mengalami proses perkembangan yang memiliki karakteristik, kebutuhan, 6 dan tugas-tugas perkembangan yang berbeda dan harus dipenuhi. Pencapaian standar kemampuan profesional atau akademis dan tugas-tugas perkembangan peserta didik memerlukan kerjasama yang harmonis antara pengelola dan pelaksana manajemen pendidikan, pengajaran, dan bimbingan karena ketiganya merupakan bidang-bidang utama dalam pencapaian tujuan pendidikan. Keterkaitan ketiga bidang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.1 : Proses Pendidikan diadopsi dari: Mortensen and Schmuler, 1976: 24 Konselor merupakan suatu profesi yang dalam tugas dan kinerjanya harus memiliki keterampilan dan metode. Keterampilan dan metode yang ada haruslah dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang ada pada konseli. Seorang konselor dalam melaksanakan tugasnya harus memahami siapa konselinya dengan permasalahan yang dihadapinya. Diharapkan setelah konseli di beri bantuan layanan oleh konselor sekolah maka bertahap masalah yang 7 dihadapinya berkurang dan menjadi mandiri, disinilah tugas konselor untuk memandirikan siswa. Selama ini guru Bimbingan dan Konseling atau konselor sekolah sudah bekerja untuk membantu siswa konseli agar lebih mandiri sehingga dapat berkembang lebih optimal dan berprestasi, hanya saja dalam pelaksanaanya masih banyak berorientasi pada ketercapaian program yang di buat pada awal kegiatan, baik awal tahun pelajaran, semester maupun kegiatan. Keadaan ini menunjukkan hasil yang dicapai dalam memberikan bantuan layanan kepada siswa belum optimal. Pelayanan Bimbingan dan Konseling bukan berdasarkan permasalahan dan kebutuhan siswa atau konseli, akan tetapi masih banyak diberikan karena tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh seorang konselor guru Bimbingan dan Konseling. Hal ini tentu menjadikan pula program layanan layanan yang berdasarkan kebutruhan siswa sebagai konseli. Gambaran ini terlihat pada peserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru PLPG rayon 7 Lampung tahun 2008; diperoleh gambaran guru bimbingan dan konseling yang merencanakan dan melaksanakan program kegiatan Bimbingan dan Konseling berdasarkan kebutuhan siswa hanya 20 , selebihnya 80 berdasarkan penyusunan program yang tidak didahului dengan needs asessment. Informasi tentang pembaharuan konsep layanan Bimbingan dan Konseling di Kota Bandarlampung masih sangat minim, sehingga konsep tentang program Bimbingan dan Konseling Komprehensif belum banyak diketahui dan digunakan. 8 Orientasi Layanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan di sekolah bersifat kuratif. Selama ini perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia adalah masih membantu siswa yang bermasalah saja sedangkan siswa yang lain yang tidak bermasalah tidak tertangani oleh adanya layanan Bimbingan dan Konseling. Padahal seharusnya layanan Bimbingan dan Konseling dapat menjangkau pada semua siswa, siswa yang tidak mempunyai masalah justru perlu dibantu untuk memelihara dan mempertahankan kondisi agar dalam menjalani kehidupannya tidak mengalami hambatan. Oleh karena itu, di Indonesia pada saat ini membutuhkan program Bimbingan dan Konseling yang dapat menjangkau semua siswa dan meliputi semua bidang bimbingan yang dibutuhkan oleh siswa dan program Bimbingan dan Konseling yang perlu dikembangkan adalah program Bimbingan dan Konseling perkembangan komprehensif. Program Bimbingan dan Konseling komprehensif merupakan pendekatan komprehensif terhadap dasar, penyampaian layanan, manajemen, dan pertanggung-jawaban program bimbingan dan konseling. Model program Bimbingan dan Konseling komprehensif: model kerangka kerja yang mengatur mekanisme kerja konselor dan timnya dalam merancang, mengkoordinir, melaksanakan, mengelola, dan mengevaluasi, program bimbingan dan konseling untuk menyukseskan siswa. Dasar filosofis Bimbingan dan Konseling komprehensif adalah manusia pada dasarnya berkeinginan untuk meningkatkan dirinya secara bertahap dan positif. Potensi manusia itu merupakan aset yang berharga bagi masyarakat dan kehidupan manusia di masa yang akan datang. Tujuan akhir dari bimbingan dan 9 konseling di sekolah adalah membantu siswa belajar lebih efektif dan efisien. Program pengembangan siswa memerlukan bantuan dari seluruh personel sekolah yang terorganisir melalui program bimbingan dan Konseling. Konselor, guru, dan personel lain dalam praktiknya harus bekerja secara terbuka dan bekerja sama membimbing secara tepat terhadap siswa di sekolah. Pada model layanan Bimbingan Konseling komprehensif salah satu bagian penting yang tidak dapat ditinggal adalah layanan Bimbingan kelompok. Layanan Bimbingan kelompok merupakan salah satu bagian dari layanan dasar. Bimbingan Kelompok sebagai strategi dari layanan dasar merupakan bagian penting yang bersifat preventif, developmental ataupun preservatif. Asumsi yang digunakan dalam layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif adalah bahwa program bimbingan dan konseling menjangkau setiap siswa, cakupannya luas, didesain untuk pencegahan, sifatnya perkembangan. Program bimbingan dan konseling komprehensif merupakan bagian integral dari program pendidikan untuk kesuksesan siswa. Program bimbingan dan konseling memilih kompetensi siswa yang terukur didasari atas kebutuhan dalam bidang akademik, karir, pribadi atau sosial, program bimbingan dan konseling komprehensif memiliki sistem penyampaian yang meliputi kurikulum bimbingan sekolah, perencanaan individual, layanan responsif, dan dukungan sistem. Hal ini jelas hasilnya jauh dari pencapaian kemandirian secara optimal karena tidak berorientasi pada siswa atau konseli. Seperti di tuangkan pada rambu-rambu penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan 10 formal; Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam jalur Pendidikan Formal, DEPDIKNAS, 2007, hal 194. Lebih lanjut dalam buku tersebut dituangkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling koprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar standard based guidance and counseling. Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian. Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam jalur Pendidikan Formal, DEPDIKNAS, 2007, hal 194. Masalah kemandirian pada siswa juga menjadi perhatian konselor khususnya di SMAN 10 Kota Bandarlampung. Indikator yang paling mudah ditemui oleh guru Bimbingan dan Konseling di sekolah dalam layanan Bimbingan dan Konseling. Diketahui bahwa siswa yang datang ke ruang bimbingan dan konseling lebih banyak yang dipanggil 44 sementara siswa yang datang sendiri hanya 38. Dalam pemecahan masalah siswa di SMAN 10 Kota Bandarlampung lebih banyak mendengarkan pendapat dari orang lain teman, kakak maupun orang tua 11 dan yang menyelesaikan masalah sendiri sebanyak 7.37. hal ini semakin menunjukkan rendahnya kemandirian siswa. 11 Posisi guru Bimbingan dan Konseling dengan demikian semakin dibutuhkan siswa dengan masalah yang dihadapinya. Layanan akan lebih optimal bila dilayani dengan pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif dengan strategi bimbingan kelompok. Itu dapat diartikan juga siswa yang telah diberi layanan akan dapat dilihat keberhasilannya bila sudah mencapai kompetensi tertentu sesuai dengan tugas perkembangannya. Berdasarkan paparan yang ada diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian serta kajian lebih lanjut mengenai program layanan bimbingan kelompok untuk memandirikan siswa.

B. Rumusan Masalah