TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Ginjal
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN II.A. Ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Ginjal terletatak pada dinding bagian luar
rongga perut, yang merupakan rongga terbesar dalam tubuh manusia, tepatnya di sebelah kanan dan kiri tulang belakang. Bentuk ginjal seperti biji kacang dengan panjang 6 sampai 7,5
sentimeter dengan ketebalan 1,5 sampai 2,5 sentimeter Pearce, 1995. Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi
garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam-basa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka
akan terjadi gangguan pada keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah yang dapat
mengganggu kerja organ lain yang menyebabkan penderita memerlukan pengobatan segera.
II.A.1. Gangguan Fungsi Ginjal
Rahardjo 1996 mengklasifikasi gangguan pada fungsi ginjal ke dalam empat tahap, yaitu hilangnya fungsi ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal dan gagal ginjal terminal
Tahap awal dari gangguan fungsi ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Pada tahap ini biasanya penderita tidak menyadari adanya gangguan pada fungsi ginjalnya. Keadaan ini
hanya akan diketahui apabila penderita melakukan pemeriksaan khusus fungsi ginjal. Namun seiring dengan waktu maka akan terjadi penumpukan sisa-sisa metabolisme di dalam tubuh
yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan yang lebih berat. Pada tahap berikutnya, yaitu insufisiensi ginjal, penurunan fungsi ginjal semakin dapat
dilihat lewat pemeriksaan rutin. Akan tetapi penderita sering tidak mengeluhkan keadaan ini sampai mencapai tahap dimana penurunan fungsi ginjalnya semakin memburuk sehingga
mengganggu kemampuan sehari-harinya. Pada tahap ketiga, yaitu gagal ginjal, gangguan fungsi ginjal serta gejala sudah nyata.
Berkurangnya fungsi ginjal menyebabkan penumpukan hasil pemecahan protein, yaitu ureum dan nitrogen yang beracun bagi tubuh, sehingga tubuh akan mengalami kekurangan protein.
Gangguan dalam metabolisme lemak akan menyebabkan low density lipoprotein LDL atau kolesterol buruk dan trigliserida meningkat, sedang HDL atau kolesterol baik menurun.
Dalam jangka panjang hal ini menimbulkan gangguan kardiovaskuler Sementara itu gangguan pada metabolisme karbohidrat akan menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Kemampuan
penderita menjadi terganggu dalam pekerjaan atau aktifitas sehari-hari. Tahap akhir dari gangguan fungsi ginjal, yaitu gagal ginjal terminal, dapat dilihat dari
sisa fungsi yang minimal sehingga gejala dan komplikasi pada penderita sudah sedemikian nyata dan tindakan perawatan harus segera dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Pada
gangguan fungsi ginjal tahap ketiga dan tahap terakhir apabila tidak ditangani dengan baik maka gangguan akan berkembang kearah yang lebih berat dan akhirnya memerlukan tindakan
yang mahal dan berakibat fatal.
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
II.A.1.i. Gagal Ginjal Terminal
Gagal ginjal terminal ditandai dengan fungsi ginjal yang semakin mengecil sehingga diperlukan pengaturan pemasukan cairan yang sangat ketat serta perawatan lain berupa dialisa
kronis atau transplantasi untuk mempertahankan hidup Peterson, 1995; Michael, 1986; Kartono, Darmarini Roza, 1992. Keadaan ini yang merupakan manifestasi puncak dari
gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis merupakan sebutan bagi kondisi gagal ginjal yang ditandai dengan
keadaan klinik yang menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal secara perlahan tapi pasti, yang dapat mencapai 60 dari kondisi normal, menuju ketidakmampuan ginjal. Yang
membedakannya dengan gagal ginjal akut, atau gagal ginjal mendadak yang diakibatkan oleh adanya infeksi pada ginjal, adalah perkembangan pada gagal ginjal kronis yang berbentuk
progresif meningkat dalam kuantitas maupun kualitas secara bertahap dan melibatkan mekanisme adaptif dimana ginjal masih dapat mengatur keseimbangan cairan dalam derajat
yang cukup untuk bertahan dengan pemasukan makanan yang normal. Adanya penurunan fungsi ginjal yang perlahan ini mengakibatkan kemampuan ginjal
untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu sehingga sisa-sisa metabolisme tersebut menumpuk dan menimbulkan gejala klinik dan laboratorium yang disebut sindrom
uremik. Periode waktu perkembangan gangguan ini dapat terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun Pearce, 1995; Peterson, 1995; Sidabutar, 1992; Roesma, 1992; Lubis, 1991;
Walls, 1986; Valtin, 1979; Robinson, 1979. Gejala utama dari gagal ginjal kronis berupa keluhan rasa sakit di daerah pinggang
yang dapat disertai dengan rasa mual, muntah, gatal-gatal di kulit, lemas, lesu, cepat lelah, kurang cairan dalam tubuh, sembab di daerah muka, perut dan kaki, nafsu makan menurun,
frekuensi dalam buang air dan jumlah urine berubah, libido menurun serta menstruasi yang tidak teratur Peterson, 1995; Tierney, dkk., 1993; Roesma, 1992; Kresnawan Sukardjini,
1992; Lubis, 1987.
II.A.2. Perawatan Bagi Pasien Gagal Ginjal Terminal
Perawatan yang biasa digunakan dalam penanganan gangguan ginjal terminal adalah manajemen diet, dialisa dan transplantasi ginjal Carpenter Lazarus, 1984; Tierney, dkk,
1993. Manajemen diet diberikan kepada penderita gangguan ginjal sejak dari tahap awal sampai tahap akhir. Manajemen diet bertujuan untuk membantu mempertahankan status gizi
yang optimal, mencegah faktor-faktor pemberat, mencoba untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal, mengurangi dan bila mungkin menghilangkan gejala yang menganggu dan
mengatur keseimbangan cairan elektrolit Kresnawan Sukardjini, 1992; Rahardjo, 1996. Selain itu dengan adanya pengaturan diet yang baik, maka penderita gangguan ginjal yang
mencapai tahap gagal ginjal kronis akan dapat hidup normal dan produktif serta dapat menunda menjalani dialisa untuk jangka waktu yang cukup lama Kresnawan Sukardjini, 1992.
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
Dialisa, yang lebih populer dengan sebutan cuci darah, merupakan tindakan terapi perawatan yang harus dilakukan oleh penderita gagal ginjal baik akut maupun kronis.
Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena fungsinya yang menggantikan sebagian fungsi ginjal, yaitu ekskresi pembuang zat-zat berbahaya dari tubuh
hasil dari metabolisme Rahardjo, 1992; Kartono, Darmarini Roza, 1992. Dialisa saat ini hanya mengeluarkan 48 sampai maksimum 52 saja dari toksin uremik Rahardjo, 1996,
oleh karena itu penderita tetap memerlukan pembatasan pemasukan makanan dan minuman yang ketat serta intervensi obat-obatan untuk mengatur aspek-aspek dari kegagalan fungsi
ginjal yang lain serta untuk mencegah terjadinya akumulasi sisa-sisa metabolisme diantara waktu dialisa Kartono, Darmarini Roza, 1992; Tszamaloukas, 1993.
Tranplantasi ginjal merupakan upaya terakhir dalam perawatan penderita gangguan ginjal. Hal ini terutama dilakukan apabila fungsi ginjal yang tersisa sangat sedikit sekali
bahkan tidak ada. Prinsip utamanya adalah mengganti ginjal yang rusak dengan ginjal donor yang sehat lewat prosedur operasi. Perawatan ini memerlukan biaya yang mahal dan waktu
yang panjang karena harus melalui serangkaian pengujian laboratorium untuk mengetahui apakah ginjal donor cocok dengan penderita dan perawatan pasca operasi. Walaupun begitu,
tranplantasi ginjal tidak menjamin penderita sembuh total karena pada banyak kasus ditemukan bahwa mereka yang sudah menjalani transplantasi ginjal kembali menjalani dialisa.
II.A.2.i. Dialisa
Dalam Daugirdas, Blake dan Ing 2001 dialisa diartikan sebagai proses dimana materi tertentu dari suatu cairan dikeluarkan dari cairan tersebut dengan menggunakan bantuan cairan
lain yang dibatasi oleh membran semipermeable. Prinsip yang dipakai adalah molekul materi cairan yang bentuknya kecil dapat melewati membran semipermeable, sementara molekul
materi cairan yang bentuknya besar akan tertahan. Ada beberapa cara dalam melakukan dialisa. Dua cara yang paling sering dilakukan
adalah hemodialisa dan peritonealdialisa Kartono, Darmarini Roza, 1992. Perbedaan antara keduanya terletak pada alat dan tehnik yang digunakan dalam proses dialisa. Tehnik
dalam hemodialisa adalah dengan mengalirkan darah keluar tubuh dan proses dialisa terjadi di dalam tabung dialisa yang berfungsi sebagai pengganti ginjal. Sementara tehnik dalam
peritonealdialisa adalah dengan memanfaatkan rongga perut sebagai pengganti ginjal dengan cara mengalirkan cairan dialisa ke dalam rongga perut. Cairan dialisa dalam rongga perut dan
darah yang berada dalam pembuluh kapiler yang sangat banyak di luar dinding rongga perut mengalami proses dialisa karena dinding rongga perut berperan sebagai membran
semipermeable. Diantara kedua jenis dialisa tersebut yang merupakan metode perawatan yang umum
untuk penderita gagal ginjal di Amerika Serikat dan di Indonesia adalah hemodialisa Peterson, 1995; Kartono, Darmarini Roza, 1992.
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
II.A.2.i.a. Hemodialisa
Hemodialisa didefenisikan sebagai bergeraknya air dan zat-zat beracun hasil metabolisme dari dalam darah melewati membran semipermeable ke dalam cairan dialisa.
Bentuk seperti ini disebut juga dengan ginjal tiruan ekstrakorporeal Peterson, 1995; Pearce, 1995; Michael, 1983; Carpenter Lazarus, 1984. Hemodialisa dapat dilakukan di rumah atau
di unit dialisa. Pasien yang menderita penyakit akut atau mengalami komplikasi medis biasanya melakukan dialisa di unit dialisa rumah sakit atau di unit perawatan intensif,
sementara pasien yang kondisi kesehatannya lebih stabil dapat melakukan dialisa sebagai pasien rawat jalan di unit dialisa rumah sakit, di pusat dialisa non-rumah sakit atau di rumah
Carpenter Lazarus, 1984. Di banyak negara, sebagian besar pasien hemodialisa dirawat di rumah sakit atau di unit dialisa dimana mereka menjadi pasien rawat jalan Michael, 1986.
Biasanya pasien membutuhkan 12-15 jam hemodialisa setiap minggunya yang terbagi kedalam dua atau tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama 3-6 jam tergantung dari tipe
membran yang digunakan, ukuran tubuh pasien dan kriteria lain yang telah ditentukan Tierney, dkk, 1993; Michael, 1986; Valtin, 1979; Carpenter Lazarus, 1984. Untuk
melakukan sekali hemodialisa, pasien di Jakarta harus membayar biaya sebesar Rp 600 ribu hingga Rp 1,2 juta http:www.indokini.comkesehatankes1128.shtml. Biaya yang sangat
mahal ini merupakan salah satu kelemahan dari prosedur hemodialisa. Untuk mengatasinya, maka dilakukan pemakaian ulang alat dialisa. Siregar dalam http:www.gizi.net cgi-
binberitafullnews.cgi?newsid1002523069,30972, menguraikan sejumlah keuntungan dan kerugian penggunaan ulang alat dialisa.
Keuntungan yang jelas adalah mengurangi biaya. Selain itu mengurangi komplikasi saat dialisa, memacu biokompatibilitas alat dialisa serta mengurangi bahan kimia industri pada
pembuatan alat dialisa baru. Kerugiannya, pasien akan terkontaminasi bahan kimia yang digunakan untuk membersihkan alat dialisa. Selain itu, ada kemungkinan kontaminasi kuman
pada alat dialisa serta penurunan kemampuan alat untuk membersihkan racun dari tubuh dan penurunan kapasitas ultrafiltrasi alat dialisa. Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan para
ahli menunjukkan, tidak ada perbedaan risiko dalam hal kematian dan kesakitan dari pasien yang menjalani cuci darah dengan penggunaan ulang alat dialisa dengan yang tidak digunakan
ulang. Kelemahan lain berhubungan dengan terganggunya waktu bekerja Tierney, dkk, 1993 sehingga menimbulkan gangguan dalam hal ekonomi. Prosedur ini juga memerlukan perhatian
medis yang besar dan tetap, karena memiliki batasan pada beberapa kemungkinan komplikasi, dan pada beberapa pasien kualitas hidupnya jauh dari normal Valtin, 1979.
Diperkirakan hanya sekitar 10-20 pasien gagal ginjal terminal yang melakukan dialisa dapat kembali berfungsi seperti orang sehat. 30-40 pasien yang non-diabetik dapat
diharapkan untuk kembali pada status fungsionalnya walaupun tidak memiliki pekerjaan. 20 dari pasien dapat dikembalikan pada tingkat keberfungsian yang memungkinkan mereka
untuk menjaga diri mereka sendiri. Sisanya, sekitar 20, bergantung secara penuh pada bantuan orang lain Carpenter Lazarus, 1984.
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
Komplikasi yang dapat muncul ketika individu melakukan hemodialisa antara lain tekanan darah rendah, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit di dada, sakit di punggung,
gatal-gatal, demam, kedinginan, perdarahan, masuknya gelembung udara ke dalam aliran darah, penurunan jumlah darah merah, penurunan kadar gula dalam darah, gangguan ritme
jantung dan otak, anemia, gangguan pada jumlah kalsium dan fosfor dalam tulang, gangguan berbicara, konstraksi otot mendadak, kejang, infeksi, gangguan gizi serta masalah psikososial
Tszamaloukas, 1993; Michael, 1986; Peterson, 1995. Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisa, menyebabkan pasien harus
melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi pasien hemodialisa, penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik
dan motorik, penyesuaian terhadap perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup.
Moos dan Schaefer serta Sarason dan Sarason dalam Sarafino, 1998 mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Untuk lebih
jelasnya, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang stres.
II.B. Stres II.B.1. Defenisi Stres
Banyak ahli mengeluarkan pendapat tentang defenisi stres. Beberapa pendapat akan dipakai untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan stres.
Sarafino berpendapat bahwa stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya
biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut. “Stres is the condition that result when person-environment transactions lead the
individual to perceive the discrepancy – whether real or not – between the demands of a situation and the resources of the person’s biological, psychological, or soial
systems.”
Sarafino, 1998, hlm. 70 Sementara itu, Atwater lebih berfokus pada tuntutan untuk melakukan respon adaptif
dalam melakukan penyesuaian diri. “Stres might be defined as any adjustive demand that requires an adaptive response
from us” Atwater, 1983, hlm. 49
Pendapat lain tentang stres didapat dari Lahey dan Ciminero yang menjelaskan stres dengan penekanan pada peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi negatif yang dialami individu
yang dapat menimbulkan efek yang tidak teratur pada perilakunya. “Stres is a board term refers to the disorganizing effect of primarily negative events
and situations on behavior”
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
Lahey Ciminero, 1980, hlm. 76 Dari ketiga pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa stres merupakan
gangguan emosional dan perilaku yang terjadi dalam melakukan respon penyesuaian diri terhadap peristiwa atau situasi karena adanya perbedaan antara tuntutan yang diakibatkan oleh
peristiwa atau situasi tersebut dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu.
II.B.2. Penyebab Stres
Seperti telah diuraikan diatas, stres muncul ketika seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap suatu peristiwa atau situasi. Akan tetapi tidak semua peristiwa atau situasi dapat
menimbulkan stres. Ada dua faktor yang mengakibatkan suatu situasi atau peristiwa menimbulkan stres yaitu yang berhubungan dengan individu itu sendiri dan yang berhubungan
dengan situasi yang dialami oleh individu Cohen Lazarus; Lazarus Folkman dalam Sarafino, 1998.
Situasi atau peristiwa yang berhubungan dengan individu dapat berupa kondisi tertentu dalam lingkungan yang merusak jaringan dalam tubuh, seperti hawa panasdingin yang
berlebihan, luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan pada sistem biologis dan psikologis individu, dimana derajat stres yang akan timbul karena tuntutan ini
tergantung pada keseriusan penyakit dan umur individu tersebut. Sementara yang berhubungan dengan situasi yang dialami individu dapat berupa
pertambahan anggota keluarga, perceraian, kematian dalam keluarga, pekerjaan serta keadaan lingkungan Sarafino, 1998.
II.B.3. Dampak Stres Stres mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Dalam aspek kognisi,
stres dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kogitif dengan menurunkan atau meningkatkan perhatian pada sesuatu. Dalam aspek emosi, stres dapat menimbulkan rasa
ketakutan yang merupakan reaksi yang umum ketika individu merasa terancam, memunculkan perasaan sedih atau depresi, serta memicu rasa marah terutama ketika individu mengalami
situasi yang membahayakan atau membuat frustrasi. Dalam aspek perilaku sosial, stres dapat mengubah perilaku individu dalam
menghadapi orang lain. Dalam aspek jender dan perbedaan sosial budaya, ditemukan bahwa wanita dan anggota kelompok minoritas pada umumnya melaporkan mengalami lebih banyak
peristiwa yang menimbulkan stres dibandingkan dengan pria Sarafino, 1998.
II.B.3.i. Dampak Stres Pada Kesehatan
Stres mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fungsi fisik sistem tubuh yang dapat
mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
individu sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada Baum dalam Sarafino, 1998.
Andersen 1988 juga menjelaskan hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut. 1.
Stres sebagai penyebab penyakit. Andersen berpendapat bahwa hal ini merupakan efek langsung dari sistem psikologis
dimana kondisi stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh dan perilaku yang mengakibatkan terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sistem hormon. Seiring dengan
waktu hal ini akan mengakibatkan tubuh menjadi bertambah lemah sampai akhirnya beberapa sistem organ tubuh mulai berfungsi tidak normal.
2. Penyakit sebagai penyebab stres.
Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan jenis penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun waktu
tertentu, bahkan untuk selamanya. Beberapa bentuk penyesuaian diri ini antara lain : a.
Penyesuaian diri dalam hal perilaku yang berhubungan dengan aspek keterbatasan dan anjuran dari penyakit dan perawatannya. Aspek keterbatasan meliputi kapasitas fisik yang
dapat mengganggu pekerjaan, keluarga dan fungsi seksual. Keterbatasan ini juga akan berdampak pada kemampuan ekonomi pasien, kemampuan dalam berprestasi dan
hubungannya dengan orang lain. Penyesuaian diri dalam perawatan melibatkan pengenalan perilaku baru, menghilangkan beberapa perilaku lama serta memodifikasi perilaku.
b. Penyesuaian diri secara kognitif meliputi mempelajari informasi baru yang relevan
dengan penyakit dan perawatannya, merubah sistem kepercayaan dan mempelajari kemampuan coping.
II.B.4. Strategi Mengatasi Stres
Mengurangi tingkatan stres mengakibatkan berkurangnya resiko memburuknya atau kambuhnya suatu penyakit. Selain itu keadaan yang diakibatkan oleh kondisi stres seringkali
menimbulkan perasaan tidak nyaman. Oleh karena itu, manusia termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres yang disebut juga dengan coping.
Beberapa defenisi tentang coping telah dikemukakan oleh para ahli. Lazarus menekankan bahwa coping merupakan suatu proses dalam mengatur tuntutan internal dan
eksternal yang berat bahkan sangat sulit. “Coping is the process of managing internal and external demands that are taxing or
even overwhelming” Lazarus dalam Wortman, Loftus dan Weaver, 1999, hlm. 418
Pendapat senada dikemukakan oleh Sarafino yang menyatakan :
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
“Coping is the process by which people try to manage the perceived discrepancy between the demands and resources they appraise in a stresful situation”
Sarafino, 1998, hlm. 13 Dalam hal ini, coping juga merupakan suatu proses dimana individu mencoba untuk
memperbaiki atau menguasai permasalahan yang diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang muncul dan sumber daya yang ada dalam suatu situasi yang memicu
terjadinya stres. Blair berpendapat bahwa coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk
mengatur stres, kesulitan dan tantangan yang dialaminya. “Coping as a term applied to effort to manage stres or troublesome demands,
difficulties and challenges.“ Blair, 1988, hlm. 16
Dari ketiga pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa coping adalah suatu proses dimana seseorang berusaha mengatur kesenjangan antara tuntutan yang dialaminya
dengan sumber daya yang dimilikinya sehingga ia dapat mengurangi stres yang dialaminya.
II.B.4.i. Jenis Coping
Coping terbagi kedalam dua jenis yaitu emotion-focused dan problem-focused. 1. Emotion-Focused Coping.
Bentuk coping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul dalam menghadapi stressor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini jika mereka yakin bahwa
mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan Lazarus Folkman dalam Sarafino, 1998. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk coping ini antara lain
kontrol diri, mengambil jarak dengan stressor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima keadaan dan melarikan diri dari keadaan Wortman, Loftus Weaver, 1990.
2. Problem-Focused Coping. Bentuk coping ini bertujuan untuk mengurangi tuntutan stressor atau mengembangkan
sumber daya dalam menghadapi tuntutan tersebut. Individu cenderung menggunakan bentuk ini jika mereka yakin bahwa tuntutan stressor atau sumber daya mereka masih dapat
diubah Lazarus Folkman dalam Sarafino, 1998. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk coping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan
atau berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana.
Diantara strategi coping yang telah disebutkan diatas, dukungan sosial merupakan hal yang paling diperhatikan Blair, 1988. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Aristoteles yang
menyatakan bahwa manusia adalah hewan sosial. Manusia ditakdirkan untuk hidup dalam suatu lingkungan dan bergaul dengan orang lain. Keadaan ini sudah terlihat sejak manusia
dilahirkan dimana sebagai bayi manusia sangat mengandalkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan biologisnya. Setelah ia meningkat dewasa dan berkembang menjadi
mahluk sosial, ia juga membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk dapat memenuhi
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
kebutuhan-kebutuhannya. Penelitian ini akan berfokus pada dukungan sosial. Agar lebih mendalam, tinjauan kepustakaan yang berhubungan dengan dukungan sosial akan dipaparkan
dalam bagian tersendiri.
II.C. Dukungan Sosial
II.C.1. Defenisi Dukungan Sosial
Terdapat banyak defenisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang
disediakan lewat interaksi dengan orang lain. “Social support is the resources provided to us through our interactions with other
people” Sheridan Radmacher, 1992, hlm.156
Pendapat lain dikemukakan oleh Siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan
dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. “Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and
valued, and part of a network of communication and mutual obligation.”
Siegel dalam Taylor, 1999, hlm.222
Pendapat hampir sama dikemukakan oleh Thoits yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan
dan keamanan didapat lewat interaksi dengan orang lain “Social support is the degree to which an individual’s basic needs for affection,
approval, belonging and security are gratified through interaction with others.” Thoits dalam Rutter, dkk , 1993, hlm. 17
Dari beberapa defenisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis
yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan
kepentingan bersama.
II.C.2. Sumber Dukungan Sosial
Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orangtua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok
kemasyarakatan.
II.C.3. Bentuk Dukungan
Sheridan dan Radmacher 1992, Sarafino 1998 serta Taylor 1999 membagi dukungan sosial ke dalam lima bentuk, yaitu :
1. Dukungan instrumental tangible assisstance
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk
dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan
terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat dikontrol. 2.
Dukungan informasional Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang
situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.
3. Dukungan emosional
Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah
dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.
4. Dukungan pada harga diri
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain.
Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi. 5.
Dukungan dari kelompok sosial Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu kelompok
yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.
II.C.4. Dampak Dukungan Sosial
Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan
efek dari keadaan stres. Lieberman 1992 mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
USU Repository © 2006
Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi
potensi munculnya stres. Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian
yang dapat menimbukan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres dan
efeknya. Pada derajat dimana kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.
Sheridan dan Radmacher 1992, Rutter, dkk. 1993, Sarafino 1998 serta Taylor 1999 mengemukakan dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat
mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres, yaitu : 1.
Model Efek Langsung Model ini melibatkan jaringan sosial yang besar dan memiliki efek positif pada
kesejahteraan. Model ini berfokus pada hubungan dan jaringan sosial dasar. Model ini juga dideskripsikan sebagai struktur dari dukungan sosial yang meliputi faktor status
perkawinan, keanggotaan dalam suatu kelompok, peran sosial dan keikutsertaan dalam kegiatan agama.
2. Model Buffering.
Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif stres. Model ini mengacu pada sumber daya
interpersonal yang akan melindungi individu dari efek negatif stres dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan oleh kejadian yang mengakibatkan stres. Model ini
bekerja dengan mengarahkan kembali hal-hal yang menimbulkan stres atau mengatur keadaan emosional yang disebabkan oleh hal-hal tersebut. Model ini berfokus pada fungsi
dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan sosial yang ada. Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi
kejadian dan efek stres. Dalam Sarafino 1998 disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi
karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.
3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau
menyarankan perilaku tidak sehat. 4.
Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya
dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.
III. METODE PENELITIAN III.A. Subyek Penelitian