Pertimbangan Filosofis

c. Pertimbangan Filosofis

  Pertimbangan filosofis dalam pemidanaan terhadap Angelina Sondakh pada Putusan Kasasi yang lebih berat dibandingkan dengan putusan peradilan tingkat di bawahnya,

  Secara fiolosofis mengenai lamanya pidana penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP: (1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

  8 http:choiceoflaw.blogspot.com201502hukuman-bagi-mantan-koruptor.html ,

  diakses pada tanggal 21 Maret 2015

  9 www.kpk.go.id yang diposting pada 22 Agustus 2013, diakses pada tanggal 17 Maret

  (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu

  hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk

  dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal

  52. (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-sekali tidak boleh

  lebih dari dua puluh tahun.

  Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum pidana penjara adalah paling sedikit satu hari dan paling lama dua puluh tahun kecuali apabila hakim memilih pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana seumur hidup dapat dijatuhkan. KUHP juga dalam setiap rumusan pasal demi pasal terdapat maksimum khusus pidana penjara untuk masing-masing tindak pidana.

  Di dalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. 10 Di

  samping itu, hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanyalah maksimum dan minimumnya. Misalnya, dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling

  10 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit. h. 56 10 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit. h. 56

  Menurut Ruslan Saleh seperti yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi, dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut, hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Lebih jauh lagi, Sudarto menyatakan sebagai berikut:

  “KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (strafttoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman

  yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels)”.

  Selain dalam KUHP yang tidak ada pedoman pemidanaan (straftoemetingsleiddrad), hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada di dalam benaknya itu, yang memberatkan dan meringankan saja di luar Undang-undang. Misalnya terlalu muda, cara ia melakukan atau yang lain.

  Kemudian adanya disparitas pidana adalah bersumber pada diri hakim, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut Hood dan Sparks yang juga disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi, sifat internal dan eksternal pada diri hakim kadang-kadang sulit dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai “human equation” atau “personality of the judge” Kemudian adanya disparitas pidana adalah bersumber pada diri hakim, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut Hood dan Sparks yang juga disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi, sifat internal dan eksternal pada diri hakim kadang-kadang sulit dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai “human equation” atau “personality of the judge”

  sosial. 11 Hal tersebut ditegaskan pula oleh Al Wisnubroto yang menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

  hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor (internal) yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan

  suatu keputusan, adalah: 12

  1) Faktor Subyektif

  a) Sikap dan perilaku yang apriori

  Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam perkara pidana.

  Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak dan tidak adil ini dapat saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

  b) Sikap perilaku emosional

  Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini sangat berpengaruh pada hasil keputusannya.

  c) Sikap Arrogence Power

  Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara lainnya, seringkali mempengaruhi suatu keputusan.

  11 Ibid., h. 58.

  12 Al-Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Cet. I, Universitas Atma Jaya,

  Yogyakarta, 1997, h. 88-90. Bandingkan pula dengan: Yahya Harahap, Putusan Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan Keadilan,: Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 1989, h.

  d) Moral

  Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini yang berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya. Bagaimanapun juga, pribasi seorang hakim diliputi tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut, terlebih dalam memeriksa serta memutus suatu perkara.

  2) Faktor Obyektif

  a) Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi

  Latar belakang sosial seorang hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status social menengah atau rendah. Selain itu juga kebudayaan, agama dan pendidikan seorang hakim juga ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Dan satu hal lagi yang mempengaruhi perilaku hakim adalah latar belakang ekonomi. Bisa saja karena desakan ekonomi, seorang hakim yang pada awalnya memiliki pendirian yang teguh, memiliki komitmen yang kuat pada idealismenya, secara berangsur-angsur melemahkan pendiriannya dan menjadikannya bersikap pragmatis. Pada taraf inilah bisa saja mendorong hakim berani melakukan “unjustice action” hanya untuk mendapatkan imbalan materi. Faktor ini tentu saja tidak bersifat absolut, sebab hakim yang memegang teguh kode etik kehormatan hakim, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor apapun, termasuk desakan ekonomi.

  b) Profesionalisme

  Profesionalisme yang meliputi knowledge dan skill yang ditunjang dengan ketentuan dan ketelitian merupakan factor yang memengaruhi cara hakim dalam mengambil keputusan. Masalah ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu, hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan karena tujuannya tiada lain untuk menyelesaikan perkara, menegakkan hukum dan memberikan keadilan.

  Sehubungan dengan faktor tersebut di atas, faktor lainnya ialah tidak adanya pedoman bagi hakim di dalam menjatuhkan pidana.

  Disamping itu juga faktor hakim sendiri ketidakjelasan pemahamannya terhadap makna dari penjatuhan pidana.

  Muladi merujuk di dalam observasinya yang dilakukan oleh Reid mengenai persepsi seorang hakim tentang ras diskriminasi dan implementasinya di dalam penjatuhan pidana di Amerika Serikat. Dia menyatakan bahwa pada khususnya orang-orang yang berkulit hitam (negro) sering diperlakukan tidak adil didalam pemidanaan. Pidana biasanya lebih berat dan jarang diberikan lepas bersyarat (parole) atau

  probation (semacam pidana percobaan). 13

  Bila dibandingkan dengan pelaku tindak pidana yang berkulit putih, mereka jarang mendapatkan pengampunan (grasi) dan jarang pula mendapatkan komutasi (perubahan pidana) sehubungan dengan pidana mati yang dijatuhkan terhadap mereka.

  Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat- ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman. Dalam maksimal dan minimal tersebut, hakim pidana adalah bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Selanjutnya, Muladi mengutip Molly Cheang yang berpendapat bahwa persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “the aims of

  13 Ibid., h. 59.

  punishment” yang dikatakan sebagai “the basic difficulty”, sangat memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana. 14

  Seorang hakim barangkali berpikir bahwa tujuan berupa deterrence hanya dapat dicapai dengan pidana penjara. Namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Nyoman Serikat Putra Jaya berpendapat bahwa terlaksana tidaknya tujuan pemidanaan itu tergantung dari pandangan hakim sendiri tentang tujuan pidana. Kalau hakim menjatuhkan pidana dengan tujuan untuk balas dendam, pasti akan memberikannya lebih berat. Namun, ada yang lebih ditekankan lagi, yaitu bagaimana memperbaiki si pelaku menjadi orang baik dan bagaimana supaya dia kembali kepada masyarakat. Jadi, disini yang menentukannya adalah bagaimana proses selanjutnya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Karena putusan hakim itu tidak serta merta mewujudkan tujuan-tujuan pemidanaan.

  Hakim di dalam menjatuhkan putusan pemidanaannya, tentunya memperhatikan hal-hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan

  untuk menjatuhkan jenis dan berat ringannya pemidanaan. 15 Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan

  14 Ibid

  15 Pertimbangan hakim dalam putusan yang mengandung pemidanaan ada dua, yaitu

  pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis antara lain: dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana; kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis antara lain: latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa,keadaan sosial ekonomi terdakwa dan faktor-faktor agama terdakwa. Lihat: Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis antara lain: dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana; kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis antara lain: latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa,keadaan sosial ekonomi terdakwa dan faktor-faktor agama terdakwa. Lihat: Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia,

  Penjelasan di atas, maka dalam pertimbangan filosofis bahwa penjatuhan pidana terhadap Terdakwa Angelina Sondakh dalam tindak pidana korupsi juga tidak lepas dari faktor yang bersumber dari pemahaman dari hakim itu sendiri di mana peranan hakim dalam sidang pengadilan adalah mencari kebenaran materiil tanpa meninggalkan kebenaran formilnya dari suatu tindak pidana dan menentukan salah satu atau tidaknya terdakwa, sehingga dengan adanya peranan hakim ini dapat terciptanya kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya adil. Hakim bukan hanya memeriksa berkas perkara dan mendengarkan keterangan dari para pihak saja, sehingga kebenaran materiil dan kebenaran formil dari suatu perkara dapat ditemukan.

  Sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System) pidana menempati posisi sentral, hal ini disebabkan karena keputusan didalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang luas, baik yang menyangkut langsung terhadap pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas, lebih-lebih jika putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat.

  Hakim sebagai pejabat yang berwenang menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa disidang pengadilan, menjadikannya sebagai faktor yang sangat menentukan terjadinya perbedaan pemidanaan antara peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi. Terjadinya perbedaan pemidanaan antara peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi dalam Hakim sebagai pejabat yang berwenang menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa disidang pengadilan, menjadikannya sebagai faktor yang sangat menentukan terjadinya perbedaan pemidanaan antara peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi. Terjadinya perbedaan pemidanaan antara peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi dalam

  Terjadinya perbedaan putusan didasarkan pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Perbedaan ancaman pidana dapat memberikan keleluasaan hakim dalam memutus perkara.

  Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Korupsi Angelina Sondakh secara fiolsofis, Kekuasaan kehakiman di dalam Undang- Undang Dasar 1945 diatur pada Pasal 24 dan Pasal 24 A, Pasal 24B dan Pasal 24C p tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian Pelaksaaan operasional kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kekuasaan yang dimaksud merupakan suatu kaidah yang berisi suatu hak, yaitu hak untuk menentukan hukum. Sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah yang mengandung makna perkenaan atau kebolehan untuk bertindak. Motif melakukan suatu tindak pidana bisa menjadi hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, pada dasarnya Angelina Sondakh memiliki motif dalam melakukan suatu tindak pidana korupsi.

  Tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Angelina Sondakh dilakukan secara bersama-sama dengan fungsinya masing- Tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Angelina Sondakh dilakukan secara bersama-sama dengan fungsinya masing-

  Hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga menjadi dasar berat ringannya suatu putusan. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan penting dicantumkan dalam suatu putusan karena pada dasarnya itu menjadi pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.

  Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi berbeda-beda satu sama yang lainnya walaupun pasal yang dikenakan sama tetapi ada perbedaan kerugian yang ditimbulkan dan juga sebagaimana kerugian tersebut telah dinikmati atau belum sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mempertimbangkan aspek kerugian yang bersifat materiil maupun non materiil yang ditimbulkan terkait putusan pidana Angelina Sondakh.

  Menurut penulis, berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Angelia Sondakh sebagai anggota DPR terdakwa mempunyai kewenangan membahas pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran bersama Pemerintah sebagai acuan bagi setiap KementerianLembaga dalam menyusun usulan anggaran, berdasarkan kesepakatan internal di Komisi X, Terdakwa ditunjuk menjadi Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran yang bertugas menindaklanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja yakni Kemendiknas dan Kemenpora melalui Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran, Terdakwa kemudian diajak oleh

  Muhammad Nazaruddin (rekan sesama anggota DPR) bertemu dengan Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang lainnya dari Permai Grup yakni Gerhana Sianipar, Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di Restoran untuk saling berkenalan sebagai sesama Pengusaha.

  Mindo Rosalina Manulang adalah pihak yang nantinya berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyek- proyek di Kemendiknas dan di Kemenpora setelah berbagi nomer hand phone dan pin BBM.

  Setelah pertemuan tersebut Mindo Rosalina kembali bertemu terdakwa guna menanyakan kesediaan Terdakwa untuk menggiring anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora, untuk kerjasama berupa Proyek-Proyek PembangunanPengadaan dan Nilai Anggaran yang disesuaikan dengan permintaan Permai Grup.

  Terdakwa menyanggupinya dengan syarat awal Permai Group harus membuat proposal tentang usulan kegiatan dari Universitas- Universitas, serta memastikanya ke Biro Perencanaan Ditjen Dikti Kemendiknas.

  Setelah mempelajari berkas yang diajukan Mindo Rosalina, pertengahan Maret 2010 terdakwa menyanggupi permintaan Permai Grup dengan meminta imbalan uang (fee) sebesar 7 (tujuh persen) dari nilai proyek, dengan sistem 50 pada saat pembahasan dilakukan dan setelah DIPA turun atau disetujui.

  Terhadap permintaan tersebut Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina supaya fee yang diminta terdakwa dapat dikurangi. Terdakwa akhirnya mau mengurangi fee menjadi 5.

  Setelah disetujui, Terdakwa kemudian memprakarsai pertemuan Mindo Rosalina Manulang dan Harris Iskandar selaku Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kemendiknas guna mempermudah upaya penggiringan anggaran di Kemendiknas sesuai dengan permintaan Permai Grup.

  Selanjutnya Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat- rapat di Badan Anggaran DPR RI membahas alokasi Anggaran APBN-P 2010 dan APBN 2011, dalam rapat Terdakwa mengajukan usulan program kegiatan sebagai aspirasi dari Komisi X, yang awalnya tidak diusulkan Kemendiknas.

  Terdakwa beberapa kali melakukan komunikasi melalui telepon ataupun BBM dengan Mindo Rosalina Manulang untuk membicarakan tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran serta imbalan uang (fee) yang sebelumnya telah dijanjikan, Memenuhi janji tersebut, maka Permai Grup memberikan sejumlah uang kepada Terdakwa beberapa kali secara bertahap yakni : pertama, Rp 70 juta - Rp

  2 Milyar - Rp 5 Milyar - Rp 5 Milyar - 300.000 Dollar - 750.000 Dollar - 500.000 Dollar – 400.000 Dollar, dan terakhir sebesar Rp 10 Juta Rupiah, sehingga total keseluruhan uang yang diterima terdakwa dari Permai Group adalah Rp. 12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus 2 Milyar - Rp 5 Milyar - Rp 5 Milyar - 300.000 Dollar - 750.000 Dollar - 500.000 Dollar – 400.000 Dollar, dan terakhir sebesar Rp 10 Juta Rupiah, sehingga total keseluruhan uang yang diterima terdakwa dari Permai Group adalah Rp. 12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus

  Jika mengacu pada Pasal 253 KUHAP, MA memiliki kewenangan untuk mengadili perkara khususnya dalam perkara pidana jika: hakim sebelumnya salah menerapkan hukum, hakim sebelumnya tidak menerapkan hukum acara sebagaimana mestinya atau hakim tersebut telah melampaui kewenagan yang ia miliki. Berdasarkan Pasal tersebut jika salah satu syarat atau secara alternatif dapat dipenuhi, maka MA melalui kewenaganya dapat “mengadili sendiri” perkara yang bersangkutan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, maka MA akan atau bisa saja menilai fakta dari perkara yang bersangkutan dari awal hingga akhir, lalu kemudian membuat putusan sendiri, yang mana mungkin saja hal itu akan memberikan pidana yang lebih berat atau bahkan lebih ringan dari putusan hakim pada judex factie sebelumnya tergantung bagaimana hasil pembuktian yang ia. Jadi Pasal 253 KUHAP itu harus dipedomani dalam hal kasasi dilakukan dalam kasus pidana.

  Kewenangan MA yang demikian adalah sangat penting karena didalam praktek cenderung hakim judex factie keliru dalam menjalankan kewenanganya dalam mengadili suatu perkara, misalnya dalam kasus Angelina Sondakh di atas. Semenjak penyusunan dakwaan telah ditemukan kesalahan-kesalahan oleh jaksa, sehingga akhirnya putusan yang dijatuhkanpun menjadi keliru atau tidak tepat.

  Adapun dakwaan yang dibuat oleh jaksa adalah berbentuk alternative, padahal seharusnya dakwaan tersebut disusun secara subsideritas. Karena secara logika dasar saja, jika dakwaan alternative, maka sifatnya pilihan sehingga hakim yang mengadili perkarapun tidak harus menggali kebenaran materil masing masing unsur pasal, namun cukup memilih salah satu saja yang jika menurutnya sudah terbukti, itulah yang dijadikan dasar memutuskan pidana.

  Kesalahan berikutnya, dalam putusan terkait penggunaan Pasal 12 dan Pasal 5 UU Tindak Pidana Korupsi. Secara umum Pasal 12 merupakan delik yang bisa terpenuhi baik secara sengaja ataupun lalai sedangkan pada Pasal 5 deliknya adalah delik opset sehingga mutlak 5 tahun. Logikanya bagaimana hakim bisa memilih Pasal 5, sedangkan dalam kasus Anggelina Sondakh jelas suap yang diterima oleh si pelaku lantaran adanya sikap aktif dari dirinya untuk meminta dan melakukan serangkaian kegiatan agar ia mendapatkan uang dari si pemberi suap.

  Sehingga dengan kondisi demikianlah diperlukan MA sebagai lembaga yang menjamin bahwa kekeliruan dalam hukum acara pidana bisa diperbaiki, agar putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan baik bagi si pelaku dan masyarakat pada umumnya sebagai korban tidak langsung dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Adapun hal yang mendasari kewenangan pengadilan yang lebih tinggi tersebut untuk memperbaiki kekeliruan hukum yang terjadi dilakukan oleh MA melalui tugas dan kewenanganya dalam hal pengaturan dan sebagai lembaga Sehingga dengan kondisi demikianlah diperlukan MA sebagai lembaga yang menjamin bahwa kekeliruan dalam hukum acara pidana bisa diperbaiki, agar putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan baik bagi si pelaku dan masyarakat pada umumnya sebagai korban tidak langsung dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Adapun hal yang mendasari kewenangan pengadilan yang lebih tinggi tersebut untuk memperbaiki kekeliruan hukum yang terjadi dilakukan oleh MA melalui tugas dan kewenanganya dalam hal pengaturan dan sebagai lembaga

  

  Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kasus Angelina Sondakh, Mahkamah Agung memang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan yang lebih berat dibandingkan dengan yang dijatuhkan oleh Peradilan tingkat PertamaNegeri maupun peradilan tingkat banding. Apalagi dalam kasus Angelina Sondakh terdapat kekeliruan hakim judex factie yang tidak memberikan pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) tentang sikap aktif Angelina Sondakh sebagai pelaku dalam tindak pidana suap untuk mendapatkan uang sebagai imbalan dari penggiringan dana untuk proyek Nazaruddin.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24