HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Tantangan dan Upaya Menuju Less Cash Society

Dalam mewujudkan masyarakat yang less cash society tentu tidak terlepas dari tantangannya. Salah satu tantangan utama adalah terkait infrastruktur. Instrumen pembayaran non tunai juga perlu didukung oleh infrastruktur, sistem, dan jaringan yang handal, aman, dan memadai. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi daerah-daerah yang masih minim infrastruktur telekomunikasi yang memadai. Selain itu edukasi masyarakat juga menjadi tantangan utama dalam mewujudkan less cash society .

Untuk itu, dalam mewujudkan less cash society, diperlukan kerjasama lintas institusi baik itu antar regulator seperti Bank Indonesia

(BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, dengan Kementerian terkait seperti Kemenkominfo dalam menyusun regulasi

yang memacu alat pembayaran non tunai termasuk juga dari segi

perlindungan dan keamanan penggunanya. Selain antar regulator dukungan antar institusi swasta penyediaan jasa keuangan seperti

perbankan dan telekomunikasi juga dieperlukan terkait penyediaan infrastruktur, sistem, dan inovasi produk alat pembayaran berbasis elektronik.

Kemudian hal terpenting adalah bagaimana melakukan edukasi kepada masyarakat tentang sistem pembayaran non tunai. Untuk hal ini, BI telah melakukan suatu langkah tepat yakni bekerjasama dengan beberapa universitas untuk menerapakan kawasan less cash society. Hal ini karena penerapan less cash society akan lebih mudah dimulai dari institusi pendidikan yang para siswa/i atau mahasiswa/i nya telah melek terhadap teknologi dan melek terhadap produk perbankan. Selain itu sosialisasi secara informal juga bisa memanfaatkan media sosial untuk lebih menjangkau masyarakat secara lebih luas lagi.

Terakhir adalah mulai membiasakan untuk “menipiskan dompet” dengan kata lain mulai membiasakan hanya membawa sedikit uang cash, dan melakukan transaksi dengan alat pembayaran non-tunai yang berbasis elektronik misalnya untuk pembayaran transportasi. Atau mencoba produk dompet elektronik yang telah ada tentu tidak ada salahnya. Dengan demikian dengan melakukan hal tersebut kita telah berkontribusi dalam mewujudkan Gerakan Nasional Non Tunai yang telah dicanangkan oleh BI. Dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti seiring berjalannya waktu, masyarakat yang nearly cashless dapat terwujud setidaknya untuk di kota- kota besar terlebih dahulu. (Sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/11/18/menuju-gaya-hidup- di-era-less-cash-society-687296.html ).

Bagaimana pun setiap teknologi punya sisi rawan yang bisa disalahgunakan. Keamanan penggunaan teknologi telekomunikasi mencakup jaminan kerahasiaan data, keaslian data, dan ketersediaan data. Tentu saja, kompleksitasnya cukup tinggi. Pengamanan yang dibutuhkan harus menjangkau end to end point security, termasuk perangkat dan aplikasi yang dipakai. Keamanan jaringan teknologi informasi di internal bank maupun interkoneksi operator penyedia jasa telekomunikasi juga dipersyaratkan.

Pengamanan mulai dari autentifikasi untuk semua pihak terkait layanan ini, proteksi aplikasi layanan dan pusat basis data, serta manajemen di peralatan mobile yang dipakai. Juga, keamanan peralatan, hingga sistem enkripsi alias penyandian data untuk akses layanan. Karena ini menyangkut uang, maka pengamanan di semua lini, tahap, dan peralatan yang dipakai lebih ketat. Di branchless banking standar keamanan dan kehati-hatian yang diterapkan tetap seperti laiknya berada di konter perbankan

4.3. Kebijakan Bank Indonesia Mendorong Less Cash Society

Kewenangan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran yang diejawantahkan dalam 4 peran yakni: (1) penetapan kebijakan, (2) kewenangan dalam entry dan exit policy industri sistem pembayaran, (3) operator sistem pembayaran dan (4) pengawasan. Melalui 4 peran tersebut Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam menentukan arah pengembangan sistem pembayaran ke depan.

Penetapan kebijakan diarahkan pada pencapaian target penggunaan transaksi non tunai sampai dengan 2,4 kali PDB di 2015 dan 3 kali PDB pada 2016. Kebijakan entry dan exit policy, diarahkan agar kondisi industri sistem pembayaran semakin sehat dan siap berkompetisi dengan pelaku industri global. Sebagai operator, Bank Indonesia terus menciptakan sistem pembayaran yang aman dan andal sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta industri pembayaran.

Bank Indonesia terus memperkuat pengawasan sistem pembayaran sehingga perkembangan inovasi sistem pembayaran tetap diikuti dengan aspek mitigasi risiko yang baik sehingga pada gilirannya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran non tunai semakin meningkat.

Untuk mendorong perluasan non tunai, Bank Indonesia telah mencanangkan strategi pencapaian less cash society dalam 4 (empat) fokus kegiatan, yaitu (1) perubahan budaya masyarakat ke arah non tunai, (2) perluasan layanan pembayaran non tunai, (3) pengembangan infrastruktur pendukung dan (4) harmonisasi ketentuan.

Pertama , strategi perubahan budaya akan Bank Indonesia lakukan melalui upaya kampanye terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Bank Indonesia akan mengupayakan fasilitasi dengan Pemerintah maupun institusi terkait yang memiliki potensi sebagai katalisator penggunaan elektronifikasi sistem pembayaran. Upaya-upaya sebagaimana yang pernah dilakukan bersama antara Bank Indonesia dan industri seperti kerjasama e-ticketing di sektor transportasi publik dan penyaluran bantuan Pemerintah (government to people) akan terus ditingkatkan.

Di sisi lain, Bank Indonesia juga tengah mengupayakan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap non tunai melalui program edukasi yang berkelanjutan seperti integrasi pengajaran non tunai kedalam kurikulum pendidikan.

Kedua , perluasan elektronifikasi pembayaran juga merupakan bagian integral dari kebijakan keuangan inklusif dalam rangka meningkatkan akses masyarakat unbanked terhadap lembaga keuangan. Melalui pemanfaatan teknologi informasi Bank Indonesia mengharapkan industri sistem pembayaran dapat menjadi motor dalam menjawab tantangan ini dengan memberikan layanan kepada mereka secara aman dan efisien.

Bank Indonesia saat ini juga telah melakukan perluasan elektronifikasi pembayaran melalui pengembangan Electronic Bill

Presentment and Payment guna mengintegrasikan pembayaran untuk bill payment .

Ketiga , mewujudkan infrastruktur pembayaran yang andal, efisien dan aman melalui pengembangan National Payment Gateway (NPG) dan National Scheme . Pengembangan infrastruktur NPG mempunyai tujuan akhir meningkatkan efisiensi layanan Sistem Pembayaran (SP), termasuk dalam hal biaya, meningkatkan jangkauan layanan SP melalui interkoneksi dan interoperabilitas antar penyelenggara, dan meningkatkan kemandirian SP ritel nasional dengan melakukan pemrosesan secara domestik.

Kemandirian SP sangat terkait dengan implementasi standar nasional. Bank Indonesia akan memastikan bahwa standar yang ditetapkan sejalan dengan kepentingan nasional dan diimplementasikan sesuai target waktu yang ditetapkan. Bank Indonesia telah bersama-sama memulai hal itu dan merupakan kewajiban bersama juga untuk menyelesaikannya. Bank Indonesia menyadari bahwa sesuatu yang original dimulai mungkin masih terdapat kekurangan-kekurangan, namun merupakan tugas bersama untuk menutup kekurangan-kekurangan tersebut.

Keempat , menerapkan regulasi dan pengawasan yang kuat dan transparan untuk seluruh penyelenggara sistem pembayaran. Dalam aspek pengawasan instrumen sistem pembayaran, Bank Indonesia tentu saja akan memperkuat kapabilitas pengawasan sistem pembayaran.

Selain itu Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi dan konsolidasi antara otoritas kebijakan dengan pelaku usaha sistem pembayaran. Langkah tersebut diwujudkan melalui rencana pembentukan sebuah wadah koordinasi yang bersifat high level dan terdiri dari otoritas serta pelaku usaha sistem pembayaran. Koordinasi dan konsolidasi yang intensif diharapkan mampu mensinergikan berbagai kepentingan dan mengarahkan industri agar mampu bergerak efisien; mendorong iklim yang kondusif serta memperkuat perlindungan konsumen, dengan tetap berprinsip

nasional. (Sumber: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/pidato-dewan- gubernur/Documents/Sambutan_RW_Visa_270215.pdf )

kepada

kepentingan

4.4. Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai)

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku

Pandai) ada beberapa persyaratan yang harus dipatuhi bank yang ikut dalam program Laku Pandai. Pertama, bank tersebut harus berbadan hukum Indonesia. Kedua, memiliki peringkat faktor profil risiko operasional dan risiko kepatuhan dengan peringkat 1,2, atau 3. Ketiga, bank tersebut wajib memiliki jaringan kantor di Wilayah Timur Indonesia dan atau provinsi Nusa Tenggara Timur. Keempat, bank harus memiliki

infrastruktur pendukung berupa layanan transaksi elektronik bagi nasabah seperti SMS banking, mobile banking, dan internet banking. Selain itu,

bank juga diwajibkan mematuhi ketentuan mengenai uang elektronik yang diatur dalam PBI No.16/8/PBI/2014.

Sejumlah persyaratan juga diterapkan kepada mereka yang ingin menjadi agen Laku Pandai. Agen Laku Pandai bisa berasal dari perorangan, jaringan outlet besar, lembaga keuangan dan toko-toko di daerah setempat, yang memiliki izin dari OJK dan izin dari bank untuk menjadi agen Laku Pandai. Untuk agen yang berasal dari perorangan, syaratnya adalah agen tersebut adalah penduduk setempat, memiliki kegiatan di lokasi sebagai sumber penghasilan utama, serta memiliki kemampuan, reputasi, kredibilitas dan integritas.

Sementara itu, untuk agen bank berbadan hukum, syaratnya adalah badan hukum tersebut memiliki kegiatan di bidang keuangan atau memili retail outlet dan sudah beroperasi minimal dua tahun. Badan usaha tersebut juga harus memiliki kegiatan usaha di lokasi, memiliki teknologi informasi yang memadai serta memiliki reputasi dan integritas yang baik. Agen berbadan hukum ini misalnya adalah perseroan terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi.

Agen Laku Pandai juga bisa dimanfaatkan oleh agen Layanan Keuangan Digital (LKD) sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Agen ini harus melewati fit and proper test sebagai agen bank. Agen Laku Pandai juga akan diberikan pelatihan untuk menyelenggarakan layanan perbankan. Layanan yang boleh diberikan agen diantaranya, setoran tunai, penarikan tunai, pemindahbukuan, pembayaran tagihan, transfer dana, cek saldo, penutupan rekening, permohonan kredit atau pembiayaan, pencairan kredit, penagihan, pembayaran kredit atau angsuran dan pelunasan pokok kredit. Meski pengajuan kredit bisa dilakukan lewat Laku Pandai, namun proses persetujuanna tetap dari bank.

4.5. Reputasi Seorang Agen

Pada prinsipnya, agen adalah pihak yang menjalin kerja sama dengan bank atau perusahaan telekomunikasi, yang melayani jasa

keuangan pada masyarakat. Pada praktik di Negara lain, pengaturan soal agen mencakup kriteria, aktivitas yang dapat dilakukan, serta edukasi para

agen tentang pengenalan dan perlindungan nasabah. Reputasi adalah faktor pertimbangan utama pemilihan agen di

negara-negara yang sudah lebih dulu mengadopsi branchless banking. Kepercayaan, menjadi syarat penting bagi seorang agen.

Untuk menggali informasi tentang calon agen, otoritas beberapa negara membuat aturan sangat rinci. Bank Sentral Kenya, misalnya, mensyaratkan rekam jejak, sumber pendanaan, dan reputasi di masyarakat.

Sementara Bank Sentral Pakistan mengatur calon agen harus memiliki usaha yang sudah berjalan beberapa waktu, memiliki reputasi baik, dan

dipercaya oleh penduduk di tempatnya berada. Menilik beragam contoh yang sudah berjalan di negara lain, beberapa hal pun harus digarisbawahi untuk penerapan branchless banking di Indonesia. Tak terkecuali soal perekrutan agen.

Agen-agen bank atau disebut unit perantara layanan keuangan (UPLK) ini akan dilengkapi dengan alat pencatat transaksi seperti mesin electronic data capture (EDC), point of sales (POS), atau bahkan sekadar telepon genggam untuk agen di pelosok negeri.

Kriteria agen, jelas tak bisa ditawar, mutlak didefinisikan rinci. Risiko pelibatan agen juga harus ditekan seminimal mungkin, untuk mencegah fraud atau penyimpangan. Sistem aplikasi yang dipakai agen untuk memberikan pelayanan disediakan dan dipantau bank atau perusahaan telekomunikasi.

Pengenalan agen terhadap nasabah juga tak bisa ditawar. Seorang agen harus tahu dan paham soal customer due dilligence (CDD) dan prinsip know your customer (KYC) saat membuka rekening layanan. Jangan sampai, kemudahan branchless banking disalahgunakan untuk pencucian uang maupun kegiatan terlarang seperti terorisme.

Meskipun bukan pegawai bank maupun perusahaan telekomunikasi penyelenggara branchless banking, agen tetap wajib menjaga kerahasiaan data nasabah. Setiap bank dan perusahaan telekomunikasi yang menjalankan branchless banking pun tetap bertanggung jawab penuh atas segala aktivitas melalui layanan ini.

Bank dan perusahaan telekomunikasi wajib pula melakukan edukasi serta menyediakan layanan keluhan dan call centre, baik untuk agen maupun nasabah. Edukasi berkala bagi agen diperlukan untuk menyampaikan perkembangan maupun penyegaran informasi. Bank tetap pula melakukan pemantauan rutin, untuk melihat potensi pengembangan maupun mendeteksi “kenakalan” agen.

Bank Indonesia telah membuat Pedoman Umum Uji Coba Branchless Banking sebagai bekal proyek percontohan selama Mei sampai November 2013. Pedoman ini sekaligus menjadi embrio pengaturan tentang agen.

Model bisnis keagenan yang tepat dan efektif, akan menjadi penentu optimalisasi manfaat keberadaan branchless banking. Ujung

tombak semestinya tajam dan tak boleh menusuk diri sendiri. Pada akhirnya, manfaat maksimal bagi pemberdayaan ekonomi bangsa adalah

sasaran yang tak boleh terlupa dari segala kemudahan dan peluang yang ada. Sumber: http://www.bi.go.id/id/publikasi/geraiinfo/Documents/cf3d872a5b ab4fda86ada4428bf51162FINALGIJUNI2014.pdf

4.6. Proses Perubahan

Management of change dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dapat dikatakan sebagai perubahan dalam produk dan jasa atau pelayanan serta perubahan dalam ukuran dan struktur organisasi. Perubahan dalam ukuran dan struktur organisasi dimaksudkan untuk melakukan restrukturisasi atau membentuk organisasi yang lebih datar dan berbasis tim.

Perubahan semacam ini adalah hasil proses kegiatan re- engineering yang mengubah seluruh cara bisnis beroperasi atau pergerakan organisasi ke dalam aktivitas yang berbeda total. (Re- engineering adalah perancangan ulang seluruh atau sebagian proses-proses kerja sebuah organisasi guna memperbaiki produktifitas dan kinerja keuangannya). Re-engineering merupakan sebuah prosedur di mana pendekatan-pendekatan

pengandaian-pengandaian tradisional dipertanyakan dan kegiatan-kegiatan kerja diubah dan dirancang kembali. Hakekat re-engineering bertanya : Bagaimanakah kita akan mendesain struktur serta proses-proses dalam organisasi ini seandainya kita mulai dari awal ?

dan

Bank Indonesia yang terus-menerus belajar dan beradaptasi (meneruskan proses perancangan ulang sebagian proses-proses kerja dengan re-engineering seluruh proses-proses kerja) dihadapkan dengan mengubah dan memperbaiki cara bagaimana pekerjaan telah senantiasa dikerjakan.

Dalam mengupayakan proses re-engineering Bank Indonesia melakukannya sebagaimana dikatakan Robbins yaitu :

1. Merubah Struktur Manajemen merubah disain struktur organisasi untuk memenuhi demand baru. Perubahan disain struktur dari fungsional menjadi cross- functional teams atau membuat disain struktur proyek, dimana hubungan-hubungan otoritas, mekanisme koordinasi, pemberdayaan karyawan, job redesign, atau variabel-variabel struktural yang sama.

Perubahan struktur yang dilakukan diantaranya adalah menggabungkan atau mengkombinasikan tanggung jawab departemen,

eliminasi level-level organisasi atau memperlebar spans of control dengan tujuan untuk menjadikan organisasi yang lebih ramping (flatter) dan kurang birokratis. Meningkatkan desentralisasi agar dapat digunakan untuk membuat keputusan yang lebih cepat, serta formalisasi. Mengimplementasikan lebih banyak aturan-aturan dan prosedur-prosedur untuk meningkatkan standardisasi.

2. Merubah Teknologi Merubah teknologi di sini adalah memperkenalkan teknologi baru dimaksudkan untuk dapat mempengaruhi cara bekerja para karyawan dan diharapkan membuat organisasi semakin kompetitif. Faktor-faktor kompetitif

lainnya mencakup memperkenalkan perangkat baru, peralatan-peralatan, atau metode-

atau

inovasi-inovasi

baru

metode pengoperasian dengan modifikasi-modifikasi proses atau cara melakukan pekerjaan atau metode-metode dan perangkat yang

digunakan. Bank Indonesia melakukan pembenahan dalam bidang teknologi. Otomasi merupakan suatu perubahan teknologi yang menggantikan tugas-tugas yang semula dilakukan oleh manusia dengan mesin-mesin. Sedangkan komputerisasi telah merupakan suatu perubahan teknologi yang paling visible melalui pengupayaan untuk ekspansi komputerisasi atau yang memiliki sistem informasi yang canggih (elektronifikasi).

Pengembangan dan penggunaan teknologi informasi merupakan kekuatan terbesar untuk suatu perubahan. Hal ini dilakukan oleh karena Bank Indonesia sadar bahwa dengan mengikuti perkembangan baru akan mengakibatkan perubahan keterampilan, pekerjaan, struktur, dan juga budaya. Pengembangan dan penggunaan kemajuan teknologi yang dilakukan Bank Indonesia juga ditujukan sebagai alat untuk memperbaiki produktivitas, efisiensi, dan market competitiveness.

3. Merubah Orang-orang adalah pilihan ketiga dan terakhir

a. Pengembangan Organisasi fokus pada teknik-teknik atau program- program yang bertujuan untuk merubah orang-orang dan karakter serta kualitas hubungan kerja antar personal.

b. Team building mencakup interaksi antar para anggota tim kerja untuk belajar/mempelajari bagaimana tiap-tiap anggota berpikir dan bekerja.

c. Intergroup development berkenaan dengan merubah sikap-sikap, stereotypes , harapan-harapan dan persepsi-persepsi yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok kerja.

Menurut Robbins, memperoleh atau meraih outputs yang diinginkan (innovative products) melibatkan inputs dan transformasi dari inputs. Inputs meliputi orang-orang dan kelompok kreatif dalam organisasi. Namun memiliki orang-orang kreatif saja tidaklah cukup. Dibutuhkan lingkungan yang tepat bagi terjadinya proses inovasi dan agar proses tersebut meningkat pada saat inputs ditransformasikan. Lingkungan yang tepat atau sesuai adalah lingkungan yang menstimulasi inovasi. Tiga variabel yang seharusnya dipakai untuk menstimulasi inovasi, yakni; struktur organisasi, budaya, dan praktek-praktek sumber daya manusia (Robbins, 2005 : 327).

4.7. Manfaat Pembayaran non-tunai

Terwujudnya less cash society akan memiliki banyak manfaat bagi Indonesia yaitu efisiensi ekonomi nasional, governance/transparansi pengelolaan keuangan pemerintah, layanan publik yang berkualitas dan lingkungan usaha yang ramah, dukungan human capacity development dalam rangka keuangan inklusif termasuk literasi keuangan, dan dapat ikut bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Untuk mencapai semuanya itu, Bank Indonesia telah berusaha menyasar penggunaan instrumen dan channel non tunai yaitu masyarakat

dan pemerintah melalui penggunaan APMK, Uang Elektronik, Mobile Payment/Banking, Internet Payment/Banking, dan Electronic Fund Transfer (EFT) melalui RTGS dan SKNBI. Bank Indonesia saat ini juga telah melakukan perluasan elektronifikasi pembayaran melalui pengembangan Electronic Bill Presentment and Payment guna mengintegrasikan pembayaran untuk bill payment.

Strategi yang digunakan yaitu melalui peningkatan awareness dan acceptance masyarakat, pelayanan e-government, perluasan fasilitas pembayaran, pengembangan infrastruktur, dan insentif penggunaan non tunai.

1. Aspek keamanan dan kenyamanan pembayaran non-tunai

a. Less cash society selain dapat meningkatkan sistem pembayaran yang cepat, aman, dan efisien, untuk mempercepat perputaran aktivitas ekonomi dan stabilitas sistem keuangan, juga dapat mencegah tindak pidana kriminal. Dalam kaitannya dengan mengurangi tindakan kriminal, tentu membawa fisik uang dengan jumlah besar sangat berisiko dan dapat memicu tindakan kejahatan di jalanan. Ada studi menarik yang dipublikasikan oleh US National Bureau of Economic Research yang meneliti pengaruh penggunaan Electronic Benefit Transfer (EBT) terhadap tingkat kriminal di Missouri pada periode 1990 s/d 2011. EBT sendiri merupakan mekanisme penyaluran insentif kesejahteraan dari pemerintah AS atau seperti mekanisme penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Indonesia. Dari hasil studi didapatkan bahwa tingkat kriminalitas turun sebesar 9,8%, dengan tingkat pencurian berkurang hingga 7,9% seiring dengan perubahan mekanisme penyaluran EBT dari menggunakan cek ke sistem kartu debit. Namun demikian, studi tersebut juga menyebutkan penurunan tersebut tidak semata-mata karena penggunaan EBT. Kepraktisannya dalam penggunaan sehari hari, bisa dibayangkan perbandingannya, dengan bentuk fisik berupa kartu kredit, kartu ATM ataupun kartu debet, maka dompet pun terlihat’langsing’ sehingga tak mengundang tindak kejahatan semisalnya pencopetan. Dan untuk saat ini trend uang non tunai memang memiliki momentum yang tepat, Beberapa perbankan nasional pun telah memiliki uang elektronik yang bisa dipergunakan multifungsi yang dapat dipakai untuk transaksi diberbagai tempat, mulai dari transaksi

hingga pembayaran transportasi/penerbangan dan terasa banyak sekali manfatnya dan yang jelas lebih praktis. bahkan dalam konteks kekinian dunia kampus di Indonesia telah melakukan less cash society yang mengadopsi sistem transaksi non tunai.

di

gerai

minimarket

b. Less cash society juga dapat mencegah tindak pidana pencucian uang dan meningkatkan transparansi. Hal ini karena, sistem

pembayaran non tunai dapat melakukan identifikasi dan pelacakan asal-usul transaksi keuangan. Sehingga dapat pula mencegah transaksi untuk keperluan illegal.

c. Transaksi non tunai, mampu memutus mata rantai agar tidak korupsi, karena biasanya memang transkasi non tunai ini memiliki data yang sangat valid dan tercatat secara rinci, sehingga bila ada terjadi penyimpangan-penyimpangan maka akan mudah terdeteksi, dengan adanya transaksi non tunai, otomatis akan memperkecil pintu-pintu penyimpangan yang bermuara dengan namanya korupsi, ini adalah masa depan yang baik bagi bangsa Indonesia yang terus menerus melawan sebuah tindakan bernama korupsi. Dan dalam transaksi non tunai ini kemungkinan peluang melakukan kejahatan yang menggerogoti uang negara bisa ditumpulkan, dan ada harapan besar disatu ketika korupsi nantinya perlahan-lahan mati dengan semakin berkembangnya transaksi non tunai.

d. Sebuah proses yang melindungi para pekerja Indonesia dengan memanfaatkan proses layanan non tunai melalui produk

perbankan seperti mobile banking, internet banking serta anjungan tunai mandiri, sehingga para TKI/TKW yang selama ini rentan

dengan pemerasan dapat menikmati jerih payahnya di luar negeri, mudah mengakses produk non tunai,

e. Dengan semakin meluasnya penggunaan uang non tunai maka peluang-peluang gratifikasi akan menyempit, inilah salah satu peluang bagi bangsa Indonesia untuk melawan musuh utama bangsa Indonesia yaitu korupsi, sebuah harapan yang sangat niscaya dalam sebuah konteks masa depan.

f. Disamping itu, peningkatan transparansi khususnya yang terkait pelayanan publik juga dapat ditingkatkan selain memberikan manfaat kepraktisan. Sebagai contoh inovasi dalam pembayaran pajak dengan secara elektronik/ e-billing system yakni melalui ATM maupun internet banking. Dan yang terbaru adalah inovasi e- samsat yang diterapkan polda dan pemerintah provinsi Jawa Barat untuk melakukan pembayaran pajak kendaraan bermotor melalui ATM.

g. Bagi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan yang mengawasi sistem pembayaran, less cash society juga memberi benefit yakni dalam hal efisiensi pengelolaan uang. Kita akan semakin tahu betapa lemahnya uang konvensional, bayangkan saja untuk selembar uang kertas yang kita punya di dompet, ada proses

panjang yang dilalui, mulai dari perencanaan, pencetakan, peredarannya, serta bila uang itu ditarik dari peredaran maka

dibutuhkan waktu yang cukup lama, belum lagi nantinya uang tersebut akan dimusnahkan, sungguh sebuah proses yang melelahkan. Berdasarkan Laporan Keuangan Bank Indonesia, pada tahun 2013 biaya pengelolaan pembayaran tunai mencapai Rp 2,6 triliun, meningkat dari tahun 2012 yang mencapai Rp1,4 triliun. Biaya tersebut termasuk biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pencetakan maupun pemusnahan uang (kertas dan logam). Karena BI diamanatkan oleh undang-undang untuk menyediakan uang yang layak edar. Jadi uang terus dicetak bukan berarti untuk menambah peredaran uang, tetapi juga untuk mengganti (replacement) uang yang sudah tidak layak edar.

h. Selain itu, bagi pemerintah, less cash society juga terkait dengan peningkatan keuangan inklusif yakni misalnya melalui inovasi

branchless banking . Sehingga dengan meningkatnya keuangan inklusif dapat meningkatkan akses masyarakat ke layanan institusi keuangan formal untuk meningkatkan taraf kesejahteraan.

i. Peluang-peluang yang menjanjikan dalam penggunaan transaksi non tunai, seperti pembayaran antar perorangan yang jauh lebih

efektif dan tentu saja jauh lebih aman dibanding dengan uang kertas, apa lagi logam, dan contoh lain adalah pembayaran

perorangan kepada perusahaan atau bisnis, dan ini telah dibuktikan saat kita membayar transjakarta, tiket kereta api ataupun pesawat terbang, selain cepat dan tentu saja menihilkan peran calo yang selama beberapa tahun terakhir mulai tiarap dengan proses transaksi

tunai. (Sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/11/18/men uju-gaya-hidup-di-era-less-cash-society-687296.html ) .

non

2. Aspek infrastruktur (teknologi) sistem pembayaran yang memudahkan pembayaran non-tunai dan mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT).

Upaya mendorong penggunaan non tunai menjadi penting untuk dilakukan mengingat banyak manfaat yang diperoleh seperti dari sisi kepraktisan, efisiensi, kemudahan akses serta mendukung perekonomian melalui peningkatan velocity of money, serta membantu usaha pencegahan dan identifikasi kejahatan kriminal.

Perluasan penggunaan non tunai juga dirasakan akan lebih memberi dampak melalui elektronifikasi transaksi pembayaran yang

dilakukan oleh pemerintah baik untuk pembayaran pengeluaran rutin, pemberian subsidi, maupun pembayaran biaya lainnya mengingat nilai

transaksi pemerintah sangat besar.

Program GNNT direncanakan sebagai gerakan bersama seluruh otoritas, industri, dan lapisan masyarakat secara nasional untuk

mewujudkan less cash society melalui peningkatan penggunaan instrumen dan channel non tunai.

Untuk mencapai semuanya itu, Bank Indonesia berusaha menyasar penggunaan instrumen dan channel non tunai yaitu masyarakat dan pemerintah melalui penggunaan APMK, Uang Elektronik, Mobile Payment/Banking, Internet Payment/Banking, dan Electronic Fund Transfer (EFT) melalui RTGS dan SKNBI.

Dalam kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong less cash society, Bank Indonesia mewujudkan infrastruktur pembayaran yang andal, efisien dan aman melalui pengembangan National Payment Gateway (NPG) dan National Scheme. Pengembangan infrastruktur NPG mempunyai tujuan akhir meningkatkan efisiensi layanan Sistem Pembayaran (SP), termasuk dalam hal biaya, meningkatkan jangkauan layanan SP melalui interkoneksi dan interoperabilitas antar penyelenggara, dan meningkatkan kemandirian SP ritel nasional dengan melakukan pemrosesan secara domestik.

Kemandirian SP sangat terkait dengan implementasi standar nasional. Bank Indonesia akan memastikan bahwa standar yang ditetapkan

kepentingan nasional dan diimplementasikan sesuai target waktu yang ditetapkan. Bank Indonesia telah bersama-sama memulai hal itu dan merupakan kewajiban bersama juga untuk menyelesaikannya. Bank Indonesia menyadari bahwa sesuatu yang original dimulai mungkin masih terdapat kekurangan-kekurangan, namun merupakan tugas bersama untuk menutup kekurangan-kekurangan tersebut.

sejalan

dengan

3. Regulasi dan kebijakan yang mendukung pengembangan e-commerce. Perdagangan dalam jaringan (daring) atau online di Indonesia

sejak 2014 diatur dalam Undang-undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di peraturan ini terdapat tiga pasal yang khusus mengatur tentang transaksi elektronik. Transaksi elektronik tersebut juga mencakup perdagangan di dunia maya. Di dalam UU itu pelaku perdagangan daring harus mendapatkan stempel terdaftar dari Kemendag serta Kemenkominfo. Jika tidak terdaftar, maka aktivitas perdagangan online itu dinyatakan tidak sah dan tidak diakui. Dalam UU Perdagangan, diatur perdagangan sistem elektronik dengan ketentuan bahwa setiap orang atau badan usaha yang memperdagangkan barang atau jasa wajib menyediakan data dan informasi secara lengkap dan benar.

Tentang regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah antara lain mengenai aturan tentang identitas penjual online, market place yang di dalamnya memuat jasa pengiriman barang termasuk jasa pembiayaan, dan mengatur soal produk apa yang dijual. Peraturan tersebut juga

akan mengatur cara pembayaran. Menurut Kemendag, seluruh transaksi jual-beli online atau e-commerce tetap dilindungi oleh

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Widodo (Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Kemendag)), perlindungan konsumen masuk di Undang-Undang Perlindungan Konsumen, meskipun transaksinya melalui e-commerce. Dasar yang digunakan untuk melindungi konsumen tersebut tertuang pada pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain itu juga diberlakukan ketentuan terkait Standar Nasional Indonesia (SNI) dan labeling .

Menkominfo Rudiantara menegaskan bahwa perdagangan elektronik di Tanah Air perlu didukung payment gateway atau sistem yang menjembatani pembayaran dalam bertransaksi online yang melibatkan Bank Indonesia. Dengan adanya payment gateway, diharapkan transaksi online jauh lebih efisien dan mudah sehingga tidak perlu lagi harus transfer via ATM kemudian diverifikasi terlebih dahulu. Selanjutnya dikatakan bahwa perhatian lain dalam mengembangkan e-commerce di Indonesia, yakni terkait dengan masalah logistik atau pengiriman barang. Apalagi di Tanah Air banyak penyedia jasa paket pengiriman barang sehingga harus ada jaminan soal itu. Di masa depan industri logistik akan sangat efisien dalam mendukung e-commerce.

Pemerintah, menurut menteri, juga perlu memberikan perlindungan kepastian dari sisi pelanggan guna meminimalkan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dialami pelanggan. Itu antara lain terkait dengan kualitas produk yang ditawarkan apakah sesuai dengan yang ditayangkan online atau tidak.

Sementara itu, infrastruktur untuk mendukung e-commerce, pemerintah akan mendorong layananan seluler generasi keempat (4G) yang diklaim sebagai akses internet berkecepatan tinggi. Berkaitan dengan tumbuhnya perdagangan daring, pemerintah dinilai perlu fokus menata lisensi produk luar yang masuk ke Indonesia, baik melalui perdagangan maupun penjualan daring, untuk mengantisipasi maraknya bisnis antarwilayah dan antarnegara yang tidak mendapatkan izin penjualan.

Menurut AKBP Rusharyanto dari Sub Direktorat Industri dan Perdagangan, Markas Besar Polri, "Kita perlu penataan lisensi, pihak

yang terlibat perdagangan mengimpor dan mengekspor ketika online sudah tanpa batas begini semuanya bebas." Ia mengatakan penataan lisensi itu untuk menghindari bisnis yang hanya ingin mengambil keuntungan tetapi tidak membayar pajak maupun tidak ada dasar perlindungan terhadap konsumen. "Penjualan online ini rentan penipuan dan pemalsuan barang," Menurutnya, pemerintah perlu

mengambil kebijakan terkait izin usaha memasarkan produk agar tidak terjadi peredaran produk palsu yang merugikan masyarakat.

Selain itu, ia juga mengatakan sanksi bagi pemilik tempat yang menjual produk palsu secara bebas harus seimbang dengan kerugian yang disebabkannya. Modus penipuan di kalangan penjual, misalnya, dengan tidak mengirimkan barang yang sudah terjual atau produk tak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan di awal. Sebaliknya, penipuan di kalangan pembeli bisa terjadi tatkala pembeli mangkir tidak mau membayar barang yang sudah di tangannya. (Sumber: http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/perkembangan-sangat- pesat-regulasi-e-commerce-belum-siap/81675 ).

4. Aspek insentif bagi pengguna pembayaran non tunai. Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi

Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent of development . Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat.

Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent of development , diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan

program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking , pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat.

Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense), mengatur perbankan nasional dengan melakukan penggolongan (segregration) perbankan Indonesia berdasarkan modal inti dan mengkaitkannya dalam kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh masing-masing individual bank. Dalam pembahasan mengenai kebijakan multilicense ini, pembahasan difokuskan pada perluasan jaringan kantor bank sebagai akibat dari terbatasnya layanan jasa keuangan oleh bank sebagaimana telah dibahas di atas.

Bank Indonesia telah merumuskan kebijakan mengenai multilicense dengan beberapa pertimbangan:

a) Perijinan jenis kegiatan usaha bank umum tidak dapat lagi diberikan sama untuk semua bank karena beragamnya kondisi bank;

37

b) Perijinan jenis kegiatan usaha perlu diatur ulang berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank sesuai kemampuan modal dan

kinerja;

c) Penataan perijinan kegiatan usaha bank diharap juga dapat mewujudkan ketahanan struktur perbankan nasional yang kokoh dan berdaya saing;

d) Pengaturan perijinan kegiatan usaha bank diarahkan untuk meningkatkan kapasitas tata kelola bank sehingga mempunyai kemampuan dalam mengendalikan risiko;

e) Tantangan persaingan yang dihadapi perbankan nasional terutama menghadapi implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015;

f) Mewujudkan perbankan nasional yang mempunyai daya saing lokal, nasional dan regional serta penyediaan pembiayaan yang efisien;

g) Meningkatkan fungsi intermediasi bank khususnya pembiayaan UMKM.