EVALUASI SISTEM PEMBAYARAN BERBASIS ELEK

LOMBA KARYA TULIS BANK INDONESIA – CAMPUS KNOWLEDGE COMPETITION 2015 EVALUASI SISTEM PEMBAYARAN BERBASIS ELEKTRONIK DALAM MENDUKUNG GERAKAN NASIONAL NON TUNAI

Diusulkan Oleh: Faisal, SMI., MFM., CFP ® [97011401/0320016603] Faisal, S.Kom., M.Kom. [140605/0306027201]

UNIVERSITAS TRILOGI JAKARTA

LOMBA KARYA TULIS BANK INDONESIA – CAMPUS KNOWLEDGE COMPETITION 2015 EVALUASI SISTEM PEMBAYARAN BERBASIS ELEKTRONIK DALAM MENDUKUNG GERAKAN NASIONAL NON TUNAI

Diusulkan Oleh: Faisal, SMI., MFM., CFP ® [97011401/0320016603]

Faisal, S.Kom., M.Kom. [140605/0306027201]

UNIVERSITAS TRILOGI JAKARTA

FORM PENILAIAN KARYA TULIS

Lomba Karya Ilmiah Antar Perguruan Tinggi Bank Indonesia – CKC (Campus Knowledge Competition) Tahun 2015

Nomor: …………………….

Nama Peserta :

1. Faisal, SMI., MFM., CFP ®

2. Faisal, S.Kom., M.Kom.

3. – Universitas : Universitas Trilogi Jakarta

Jakarta, ……….. Juli 2015

(……………JURI…………..)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis

Evaluasi Sistem Pembayaran Berbasis Elektronik

dalam Mendukung Gerakan Nasional Non Tunai

2. Universitas

: Universitas Trilogi

3. Penulis / Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap

: Faisal, SMI., MFM., CFP ®

b. NIP/NIDN

c. Jurusan

: Manajemen Keuangan

d. Alamat Rumah dan : Jl. TMP Kalibata Jakarta Selatan 12760 No Tel./HP

e. Alamat email : m.faisal@universitas-trilogi.ac.id

4. Anggota Kelompok

a. Nama Lengkap

: Faisal, S.Kom., M.Kom.

b. NIP/NIDN

c. Jurusan

: Sistem Informasi

5. Anggota Kelompok

a. Nama Lengkap

b. NIP

c. Jurusan

ii

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan curahan rahmat, taufiq dan hidayah kepada penulis untuk dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini untuk mengikuti kegiatan: “Lomba Karya Tulis Bank Indonesia – Campus Knowledge Competition 2015”, dengan judul penelitian: “Evaluasi Sistem Pembayaran Berbasis Elektronik dalam Mendukung Gerakan Nasional Non Tunai”. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad S.A.W. yang telah membawa kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang benderang.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini, secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Trilogi Jakarta.

2. Ketua LPPM Universitas Trilogi Jakarta.

3. Seluruh sivitas akademik Universitas Trilogi Jakarta yang telah medukung kami untuk melakukan karya tulis ilmiah ini.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu Universitas Trilogi Jakarta memperkaya karya ilmiah dan dapat bermanfaat bagi Universitas Trilogi Jakarta dalam meningkatkan jumlah penelitian yang dilakukan oleh dosen.

Jakarta, 25 Juni 2015

(Faisal, SMI., MFM., CFP ® ) NIP: 97011401/0320016603

iii

Abstrak

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi atau TIK di perbankan nasional relatif lebih maju dibandingkan sektor lainnya. Saat ini sebagian besar layanan e-banking terkait langsung dengan rekening bank. Jenis e-banking yang tidak terkait rekening biasanya berbentuk nilai moneter yang tersimpan dalam basis data atau dalam sebuah kartu (chip dalam smartcard). Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberi masukan dan pertimbangan teknis kepada Anggota Dewan Gubernur dalam pengambilan langkah dan kebijakan strategis untuk menyikapi dinamika situasi terkini, yaitu untuk mengarahkan industri agar mampu bergerak efisien; mendorong iklim yang kondusif bagi sistem pembayaran dan penyelesaian transaksi keuangan; serta memperkuat perlindungan konsumen, dengan tetap berprinsip kepada kepentingan nasional.

Karya tulis ilmiah ini merupakan suatu literature study (hasil telaah pustaka) yang mengacu pada bukti-bukti empiris (laporan penelitian sebelumnya), buku serta informasi dan fakta aktual hasil dari suatu action research. Action Research merupakan suatu upaya untuk mempelajari masalah-masalah yang muncul yang bertujuan untuk mengarahkan, mengkoreksi, dan mengevaluasi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan organisasi tersebut. Peningkatan kualitas pendidikan menjadi salah satu strategi kunci dalam meningkatkan penetrasi layanan. Implementasinya perlu mempertimbangkan persepsi masyarakat tentang Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), terutama mengenai faktor-faktor yang masih menjadi penghambat dalam penetrasi GNNT. Tantangan terberat adalah bagaimana meningkatkan penetrasi TIK di masyarakat berpenghasilan rendah yang masih merupakan mayoritas di Indonesia.

Kata kunci: Electronic Banking, Electronic commerce, real time gross settlement (RTGS), Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), Less Cash Society

iv

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Enam Pilar Strategi Keuangan Inklusif ............................................. 7 Gambar 3.1 Kerangka Berpikir .......................................................................... 19 Gambar 4.1 Nilai Transaksi Non Tunai Per Hari ................................................ 21 Gambar 4.2 Fase Less Cash Society Global ....................................................... 22 Gambar 4.3 Perkembangan Layanan Keuangan Digital di Indonesia …..… 23

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Contoh Program dan Kelompok Sasaran .............................................. 9

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Biodata Ketua Tim Pengusul .......................................................... 47 Lampiran 2. Biodata Anggota Tim Pengusul……………………………………50

vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi tak di pungkiri ikut mengubah kebiasaan masyarakat, termasuk dalam aktivitas keuangan. Dengan teknologi, masyarakat bisa memilih beragam layanan keuangan yang mudah dan cepat. Bahkan cukup memakai alat telekomunikasi masyarakat tidak perlu beranjak. Salah satu inovasi teknologi terbaru adalah layanan P to P transfer (person to person transfer) antar lintas operator telepon seluler. Diluncurkan pada 15 Mei 2013 oleh tiga operator seluler terbesar di Indonesia yakni : Indosat, Telkomsel dan XL. Layanan ini menjadi yang pertama ada di dunia.

P to P transfer bertujuan mengembangkan dan memperluas jaringan uang elektronik di Indonesia. Efisiensi dan efektivitas ketiga operator dalam mengembangkan layanan transfer dana melalui uang elektronik akan bertambah pula. Teknologi informasi khususnya di bidang telekomunikasi, memang menjadi pilihan awal untuk mendorong peredaran uang elektronik. Termasuk dalam pengembangan branchless banking sebagai upaya perluasan jangkauan layanan pembayaran dan perbankan di masyarakat.

P to P transfer menambah kemudahan masyarakat bertransaksi, setelah sebelumnya ada layanan internet banking maupun mobile banking. Dengan layanan ini, transfer uang cukup dilakukan dengan mengirim SMS, dan lintas operator telepon genggam. Tak hanya mengirim, nasabah juga bisa menarik uang dari transfer melalui SMS ini, tanpa perlu pula ke bank, cukup ke gerai tempat penguangan tunai (TPT) terdekat. Bisa saja gerai ini adalah toko kelontong di samping rumah, atau kantor pos terdekat. Untuk keamanan, fasilitas ini mensyaratkan pelanggan telepon seluler terdaftar, dengan bukti identitas diri sebagai bagian dari prinsip know your customer (KYC) ala perbankan.

Transaksi yang bisa dilayani P to P transfer adalah pengiriman uang minimal Rp 10 ribu dan maksimal Rp 5 juta per hari. Setiap transaksi pengiriman dana butuh dua kali SMS, dengan biaya Rp 150 per SMS. Bila transaksi berhasil, dikenakan biaya Rp 2.000, dipotong dari saldo uang elektronik si pengirim dana. Sumber: http://www.bi.go.id/id/publikasi/geraiinfo/Documents/cf3d872a5b ab4fda86ada4428bf51162FINALGIJUNI2014.pdf

Menurut Hermana (2007 : 4 - 16) Luasnya spektrum dan tingkat teknologi e-banking memang memerlukan nilai investasi yang tidak sedikit. Selain itu, implementasi e-banking tersebut memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam Menurut Hermana (2007 : 4 - 16) Luasnya spektrum dan tingkat teknologi e-banking memang memerlukan nilai investasi yang tidak sedikit. Selain itu, implementasi e-banking tersebut memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam

hanyalah berlaku di wilayah back-end sebuah bank dan menjadi tanggung jawab pada ahli-ahli TIK dan pengelola bank. Sedangkan dari sisi masyarakat pengguna layanan e-banking, faktor yang lebih dominan adalah apakah layanan teknologi tersebut dianggap mudah, cepat, akurat, aman, dan rahasia.

Pada Kamis, 14 Agustus 2014 Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo, secara resmi mencanangkan “Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT)”. GNNT ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis dan juga lembaga-lembaga pemerintah terhadap penggunaan instrumen non tunai, sehingga berangsur-angsur terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menggunakan instrumen non tunai (Less Cash Society ) khususnya dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonominya. (Sumber:

http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran- pers/Pages/sp_165814.aspx ).

Namun demikian, dalam beberapa hal pengembangan less cash society ini masih menghadapi kendala, antara lain: masyarakat Indonesia masih

merupakan cash society, dan memegang uang merupakan bagian dari suatu kebiasaan apabila tidak ingin dikatakan sebagai budaya, dimana

tendensi bertransaksi dengan uang tunai masih tinggi. Disamping itu masalah infrastruktur pengamanan, teknologi, dan kesiapan perangkat

hukum, masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut. (Sumber: http://www.bi.go.id/id/publikasi/sistempembayaran/riset/Documents/45fb3 801f4e8442eb48bc9a7211e69adLaporanSeminarLCS.pdf )

1.2 Perumusan masalah

Perubahan selalu terjadi dan tidak dapat dihindari atau dihilangkan, namun perubahan bukanlah merupakan proses sederhana. Perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang menuju pada keadaan yang diinginkan (lebih baik) dimasa datang. Apalagi dalam era globalisasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat dimana masyarakat menjadi semakin kritis dan kompetisi yang semakin ketat juga terjadi.

Management of change dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) merupakan topik penting untuk dipelajari karena Real goals – sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam hal di atas hendaknya bukan atau tidak hanya merupakan stated goals saja. Yang hanya merupakan official statements yang Management of change dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) merupakan topik penting untuk dipelajari karena Real goals – sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam hal di atas hendaknya bukan atau tidak hanya merupakan stated goals saja. Yang hanya merupakan official statements yang

Dalam penulisan karya ilmiah ini, dirasakan bahwa taktik organisasi yang telah didisain tidak/belum sesuai untuk mencapai real goals-nya. Lebih jauh lagi, bahwasanya kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang ada sekarang harus selalu diperbaiki agar tidak mempengaruhi motivasi, kepuasan dan komitmen kerja serta kepercayaan stakeholders. Pada kesempatan ini, penulis akan mengulas gambaran peluang, upaya dan tantangan sistem pembayaran di era e-commerce dikaitkan dengan pembentukan less cash society di Indonesia.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberi masukan dan pertimbangan teknis kepada Anggota Dewan Gubernur dalam pengambilan langkah dan kebijakan strategis untuk menyikapi dinamika situasi terkini, yaitu untuk mengarahkan industri agar mampu bergerak efisien; mendorong iklim yang kondusif bagi sistem pembayaran dan penyelesaian transaksi keuangan; serta memperkuat perlindungan konsumen, dengan tetap berprinsip kepada kepentingan nasional.

1.4 Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat penulisan karya ilmiah ini diharapkan (a) dapat meningkatkan awareness, minat penelitian, meningkatkan jumlah penelitian dan juga meningkatkan kualitas penelitian para dosen/peneliti dilingkungan Universitas Trilogi Jakarta dalam mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk memperkuat daya saing dan jati diri bangsa; (b) mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat; (c) mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta memperkaya budaya kerja sama antar dosen/peneliti; (d) Membangun kepercayaan (trust) dan pengakuan masyarakat terhadap hasil-hasil proses Sedangkan manfaat penulisan karya ilmiah ini diharapkan (a) dapat meningkatkan awareness, minat penelitian, meningkatkan jumlah penelitian dan juga meningkatkan kualitas penelitian para dosen/peneliti dilingkungan Universitas Trilogi Jakarta dalam mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk memperkuat daya saing dan jati diri bangsa; (b) mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat; (c) mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta memperkaya budaya kerja sama antar dosen/peneliti; (d) Membangun kepercayaan (trust) dan pengakuan masyarakat terhadap hasil-hasil proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Digital Economy

Menurut Hermana (2007 : 1) OECD mendefinisikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, selanjutnya

disebut TIK, sebagai rangkaian kegiatan yang difasilitasi peralatan elektronik yang mencakup pengolahan, transmisi, dan penyajian informasi. TIK merupakan konvergensi dari tiga wilayah yaitu teknologi informasi, data dan informasi, serta masalah-masalah sosioekonominya. Jadi berbicara mengenai TIK tidak hanya sebatas teknologinya itu sendiri tetapi juga harus mengkaji dan mempertimbangkan dampak dari teknologi tersebut. Dengan kata lain, penguasaan dan penerapan TIK secara umum seiring dengan berbagai dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya.

Menurut Kim (2004) dalam Hermana dikatakan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang relatif

cepat dewasa ini telah mempengaruhi perkembangan perekonomian dunia. Pada kurun waktu 1999 sampai 2000, negara-negara sedang berkembang di wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa difusi teknologi informasi berkorelasi positif cukup kuat dengan tingkat pendapatan perkapita salah satu ukuran kesejahteraan sebuah negara .

Selanjutnya Hermana mengatakan bahwa kajian teknologi informasi dan komunikasi dari perspektif ekonomi makro

telah dilakukan oleh Papageorgiou (2000), yang menjelaskan model atau teori pertumbuhan yang ditentukan oleh kombinasi modal sumber daya manusia dan adopsi teknologi. Model terdiri dari 2 bagian yaitu model untuk negara yang sudah maju teknologinya dan negara yang sedang berkembang. Model memprediksi bahwa negara berkembang mempunyai kesempatan untuk mencapai pertumbuhan tinggi melalui adopsi teknologi jika kesenjangan teknologinya relatif dekat ke technology frontier.

Menurut Quibria dan Tschang (2001) dalam Hermana (2007: 4) TIK memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung mencakup (a) informasi mengenai pasar, peluang, dan lain-lain, (b) kesempatan kerja, (c) ketrampilan dan pendidikan, (d) pemeliharaan kesehatan, (e) pemberian layanan pemerintah, dan (f) pemberdayaan. TIK juga bisa meningkatkan kesejahteraan secara tidak langsung melalui pertumbuhan (ekonomi) yang cepat, yang memberikan trikledown effect terhadap perbaikan pendapatan dan kesempatan kerja.

2.2. Definisi Keuangan Inklusif

Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif Bank Indonesia dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat financial exclusion cukup tinggi. Hal ini terlihat dari beberapa hasil survei dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga nasional maupun internasional berikut : 1). Berdasarkan hasil survey LD-FEUI pada 5 propinsi, terdapat 35% responden yang mempunyai rekening di bank; 2). Hasil survey World Bank 2011 ada sekitar 20% penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal; 3). Hasil survey World Bank 2012 terhadap rumah tangga Indonesia, ada sekitar 32% penduduk dewasa Indonesia yang belum menabung dan 48% penduduk dewasa Indonesia yang menabung di lembaga keuangan formal.

Selanjutnya dikatakan bahwa untuk meningkatkan keuangan inklusif di Indonesia, dipilih cara komprehensif dengan menyusun suatu strategi nasional yang disusun bersama antara Bank Indonesia, kantor wakil

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K) dan Kementerian Keuangan yang disebut dengan Strategi Nasional Keuangan Inklusif. (Sumber: http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/Indonesia/peran/Conte nts/Default.aspx .

Keuangan Inklusif dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif didefinisikan sebagai: Hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migran, dan penduduk di daerah terpencil . (Sumber: Booklet Keuangan Inklusif ).

2.3. Kerangka Nasional Keuangan Inklusif

World Bank (2010) dalam Booklet Keuangan Inklusif mengungkapkan terdapat empat jenis layanan jasa keuangan yang dianggap vital bagi

kehidupan masyarakat yakni layanan penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi termasuk di dalamnya dana pensiun. Keempat aspek inilah yang menjadi persyaratan mendasar yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Peningkatan akses masyarakat kepada lembaga keuangan tersebut tentunya merupakan masalah kompleksitas yang memerlukan koordinasi lintas sektoral yang melibatkan otoritas perbankan, jasa keuangan non bank dan kementerian atau lembaga lain yang menaruh perhatian pada kehidupan masyarakat yakni layanan penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi termasuk di dalamnya dana pensiun. Keempat aspek inilah yang menjadi persyaratan mendasar yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Peningkatan akses masyarakat kepada lembaga keuangan tersebut tentunya merupakan masalah kompleksitas yang memerlukan koordinasi lintas sektoral yang melibatkan otoritas perbankan, jasa keuangan non bank dan kementerian atau lembaga lain yang menaruh perhatian pada

Gambar 1.1 Enam Pilar Strategi Keuangan Inklusif

(Sumber: Booklet Keuangan I nklusif )

Kerangka kerja umum keuangan inklusif dibangun di atas enam pilar sebagai berikut: Pilar 1 Edukasi Keuangan. Bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat luas tentang produk-produk dan jasa-jasa keuangan yang ada dalam pasar keuangan formal, aspek perlindungan konsumen dan pemahaman manajemen risiko. Ruang lingkup edukasi keuangan ini meliputi: a) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa keuangan, b) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko terkait dengan produk keuangan, c) perlindungan nasabah, d) ketrampilan mengelola keuangan. Pilar 2 Fasilitas Keuangan Publik. Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan publik baik secara langsung maupun bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beberapa inisiatif dalam pilar ini meliputi: a) subsidi dan bantuan sosial, b) pemberdayaan masyarakat, c) pemberdayaan UMKM. Pilar 3 Pemetaan Informasi Keuangan. Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat terutama yang sebenarnya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak atau dari unbankable menjadi bankable oleh institusi keuangan normal, terutama kaum miskin produktif serta usaha mikro kecil. Inisiatif yang dilakukan di pilar ini meliputi: a) peningkatan kapasitas (melalui penyediaan pelatihan dan bantuan teknis), b) sistem Kerangka kerja umum keuangan inklusif dibangun di atas enam pilar sebagai berikut: Pilar 1 Edukasi Keuangan. Bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat luas tentang produk-produk dan jasa-jasa keuangan yang ada dalam pasar keuangan formal, aspek perlindungan konsumen dan pemahaman manajemen risiko. Ruang lingkup edukasi keuangan ini meliputi: a) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa keuangan, b) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko terkait dengan produk keuangan, c) perlindungan nasabah, d) ketrampilan mengelola keuangan. Pilar 2 Fasilitas Keuangan Publik. Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan publik baik secara langsung maupun bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beberapa inisiatif dalam pilar ini meliputi: a) subsidi dan bantuan sosial, b) pemberdayaan masyarakat, c) pemberdayaan UMKM. Pilar 3 Pemetaan Informasi Keuangan. Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat terutama yang sebenarnya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak atau dari unbankable menjadi bankable oleh institusi keuangan normal, terutama kaum miskin produktif serta usaha mikro kecil. Inisiatif yang dilakukan di pilar ini meliputi: a) peningkatan kapasitas (melalui penyediaan pelatihan dan bantuan teknis), b) sistem

nasabah potensial. Pilar 4: Kebijakan/Peraturan yang mendukung. Pelaksanaan program keuangan inklusif membutuhkan dukungan kebijakan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia guna meningkatkan akses akan layanan jasa keuangan. Inisiatif untuk mendukung pilar ini antara lain meliputi: a) Kebijakan mendorong sosialisasi produk jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, b) menyusun skema produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, c) mendorong perubahan ketentuan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian secara proporsional, d) menyusun peraturan mekanisme penyaluran dana bantuan melalui perbankan, e) memperkuat landasan hukum untuk meningkatkan perlindungan konsumen jasa keuangan, f) menyusun kajian yang berkaitan dengan keuangan inklusif untuk menentukan arah kebijakan secara berkelanjutan. Pilar 5 Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen potensional di masyarakat dan memperluas jangkauan layanan jasa keuangan dengan memanfaatkan metode distribusi alternatif. Beberapa aspek pada pilar ini meliputi: a) fasilitasi forum intermediasi dengan mempertemukan lembaga keuangan dengan kelompok masyarakat produktif (layak dan unbanked) untuk mengatasi masalah informasi yang asimetris, b) peningkatan kerjasama antar lembaga keuangan untuk meningkatkan skala usaha, c) eksplorasi berbagai kemungkinan produk, layanan, jasa dan saluran distribusi inovatif dengan tetap memberikan perhatian pada prinsip kehati-hatian. Pilar 6 Perlindungan Konsumen. Bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam berinteraksi dengan institusi keuangan dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Komponen yang berada pada pilar ini meliputi: a) transparansi produk, b) penanganan keluhan nasabah, c) mediasi, d) edukasi konsumen. Keeenam pilar tersebut selanjutnya dijabarkan kedalam program-program yang telah disesuaikan dengan kategori penduduk yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan Kementerian terkait.

Beberapa contoh program yang tengah dilakukan adalah seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1. Contoh Program dan Kelompok Sasaran

(Sumber: Booklet Keuangan Inklusif ) ²Layanan Keuangan Digital sebelumnya disebut Branchless Banking

2.4. Layanan Digitalisasi sebagai alat Transformasi Inklusi Keuangan

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan proses transaksi keuangan yang cepat, mudah, aman, dan efisien, teknologi informasi dan komunikasi juga berkembang pesat. Perkembangan tren digitalisasi masyarakat Indonesia dan dunia internasional ke depan diyakini akan semakin besar, demikian halnya dengan potensi peningkatan elektronifikasi di Indonesia. Demikian pula halnya dengan tren digitalisasi melalui penggunaan perangkat telekomunikasi (hand phone) oleh masyarakat termasuk di wilayah remote selalu menunjukkan kenaikan, dan menurut Data Kemenkominfo 2014, telah mencapai 270 juta pengguna. Penetrasi pengguna internet di Indonesia juga sangat tinggi menurut Mark Plus Insight Netizen Survey , 2014, mencapai 74,6 juta di tahun 2014.

Kondisi tersebut mendorong munculnya inovasi yang menciptakan sistem pembayaran berbasis teknologi. Sehingga bentuk dari sistem pembayaran pun terus berevolusi dari sistem pembayaran tunai yang kemudian berkembang menjadi sistem pembayaran non tunai. Statistik menunjukkan bahwa transaksi non tunai mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 22% (volume) dan 21% (nilai transaksi). Dari semua

instrumen non tunai, yang menunjukan perkembangan paling pesat adalah uang elektronik yaitu sekitar 30% pada tahun 2014. Bank Indonesia

mencatat perkembangan insfrastruktur pembayaran juga menunjukkan pertumbuhan signifikan tiap tahunnya, seperti jumlah Automated Teller Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC) dan penggunaan channel elektronik seperti mobile banking, internet banking dan phone banking . Pertumbuhan infrastruktur pembayaran dalam dua tahun terakhir, yakni ATM dan EDC, masing-masing mencapai 14% dan 50%.

Sebagai bentuk komitmen atas perluasan penggunaan instrumen non tunai, Bank Indonesia akan menjadikan GNNT sebagai gerakan tahunan yang didukung dengan berbagai kegiatan untuk mendorong meningkatkan pemahaman masyarakat akan penggunaan instrumen non tunai dalam melakukan transaksi pembayaran. Dibandingkan negara- negara ASEAN, penggunaan transaksi pembayaran berbasis elektronik yang dilakukan masyarakat Indonesia relatif masih rendah. Volume penggunaan uang tunai untuk transaksi retail masih sangat dominan, yakni 99,4% dan termasuk tertinggi dibanding negara peer ASEAN, sementara dengan kondisi geografi dan jumlah populasi yang cukup besar berkisar 250 juta penduduk atau setengah dari total populasi seluruh ASEAN, dengan tingkat pertumbuhan kelas menengah yang mencapai 150 juta jiwa pada tahun 2014, masih terdapat potensi yang cukup besar yakni lebih dari 50% penduduk Indonesia berpotensi menjadi pengguna sistem pembayaran untuk perluasan akses layanan sistem pembayaran di Indonesia. (Sumber: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/pidato-dewan- gubernur/Documents/Sambutan_RW_Visa_270215.pdf )

2.5. Peranan Bank Indonesia

Bank Indonesia mendukung pelaksanaan implementasi Strategi Nasional Keuangan Inklusif melalui peranan sebagai berikut (Sumber: Booklet Keuangan Inklusif ):

1. Mengkoordinasikan

inklusif dengan kementerian/lembaga

kegiatan

keuangan

koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan

terkait. Melakukan

program keuangan inklusif.

2. Melakukan pemetaan potensi daerah sebagai dasar penetapan program dan prioritas kegiatan keuangan inklusif. Pemetaan potensi daerah antara lain dilakukan terhadap sektor ekonomi, pihak penerima program dan stakeholder terkait.

3. Menetapkan program dan prioritas kegiatan keuangan inklusif. Menetapkan program dan prioritas kegiatan keuangan inklusif yang akan dilakukan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Penetapan program dan prioritas kegiatan dilakukan sesuai dengan hasil pemetaan potensi daerah yang dilakukan oleh Bank

Indonesia. Selanjutnya untuk mempermudah pelaksanaannya, dibuat pedoman pelaksanaan program keuangan inklusif.

4. Sebagai focal point untuk kegiatan tertentu yang menjadi kewenangan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Bank Indonesia menjadi focal point dengan fokus pada edukasi, perlindungan konsumen, pengaturan dan pengawasan di bidang sistem pembayaran; edukasi perencanaan keuangan; pengaturan dan pemetaan sistem informasi untuk keuangan inklusif; serta pengembangan akses keuangan UMKM.

5. Mensosialisasikan program keuangan inklusif. Mensosialisasikan program kegiatan keuangan inklusif, khususnya kepada Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia serta pemangku kepentingan terkait.

6. Membangun kerjasama dengan pemangku kepentingan terkait di luar Bank Indonesia. Dalam rangka memperluas pengembangan keuangan inklusif diperlukan kerjasama dengan berbagai lembaga baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.

7. Melaksanakan kegiatan keuangan Inklusif. Melaksanakan kegiatan keuangan inklusif yang relevan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.

8. Mengevaluasi program kegiatan keuangan inklusif. Bersama dengan kementerian/lembaga terkait melakukan evaluasi perkembangan keuangan inklusif untuk bahan perbaikan dan penyempurnaan kegiatan di masa datang.

Implementasi dari SNKI di Bank Indonesia mengarah kepada fungsi-fungsi dimaksud dengan penekanan implementasi dilakukan melalui aspek sistem pembayaran, yaitu mendidik masyarakat in the bottom of the pyramid untuk belajar “keeping” uangnya dari cash-based, yaitu menyimpan uang di dalam rumah menjadi account-based, yaitu menyimpan uang dalam bentuk rekening uang elektronik. Hal ini dapat membantu mengurangi tendensi konsumtif sekaligus titik awal financial diary , mengelola keuangan sederhana yang diperkuat dengan program edukasi keuangan. Dengan SNKI dimaksud, diharapkan dapat meningkatkan kapabilitas dan kualitas hidup dari kelompok the bottom of the pyramid . Hal ini dapat membantu pengurangan kemiskinan sekaligus memperoleh dividend demografi karena tingginya usia produktif Indonesia saat ini dan ke depan. (Sumber:

http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/indikator/indeks/contents/default.aspx ).

2.6. Mandat Bank Indonesia

Sebagai otoritas sistem pembayaran, misi Bank Indonesia adalah Mengelola dan memelihara Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang yang aman, efisien, dan lancar, melalui perluasan akses dan

mempertimbangkan kepentingan nasional. Capaian misi tersebut akan Bank Indonesia tempuh melalui dua aspek penting, yaitu yang pertama:

melakukan Penguatan Sistem Pembayaran, dan kedua: proaktif dalam memelopori kerjasama dan kolaborasi.

Penguatan Sistem Pembayaran dituangkan kepada empat pilar, yaitu pertama: Sistem Pengelolaan Uang yang Efektif dan Efisien, kedua: Perluasan Elektronifikasi Pembayaran, ketiga: Infrastruktur Pembayaran yang handal dan aman, dan pilar keempat adalah Pengawasan dan Oversight yang Kuat dan Tajam (Rigorous). Bank Indonesia akan lebih banyak eksplorasi pilar kedua, yaitu Perluasan Elektronifikasi Pembayaran.

Terkait Perluasan Elektronifikasi Pembayaran tersebut, salah satu visi Bank Indonesia di bidang non tunai adalah mewujudkan masyarakat yang memiliki preferensi tinggi dalam menggunakan instrumen dan sarana pembayaran non-tunai dalam melakukan transaksi keuangan, atau yang dikenal dengan Less Cash Society.

Perwujudan Less Cash Society ini penting untuk mendorong perekonomian yang lebih efisien, disamping mendorong governance yang lebih baik dalam pengelolaan keuangan oleh masyarakat, pelaku bisnis maupun lembaga-lembaga pemerintah. (Sumber:

http://www.bi.go.id/id/ruang-media/pidato-dewan- gubernur/Documents/Sambutan_RW_Visa_270215.pdf ).

2.7. Elektronifikasi

Elektronifikasi adalah suatu upaya yang terpadu dan terintegrasi untuk mengubah pembayaran dari tunai menjadi non tunai. Perluasan penggunaan elektronifikasi diartikan sebagai upaya untuk mengubah sebagian besar mekanisme pembayaran dari fisik menjadi digital, atau dari manual menjadi elektronik, dan meningkatkan akses keuangan yang terbatas menjadi luas (inklusif).

Strategi perluasan elektronifikasi pembayaran dilakukan melalui upaya kampanye terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Bank Indonesia akan mengupayakan fasilitasi dengan Pemerintah maupun institusi terkait yang memiliki potensi sebagai katalisator penggunaan elektronifikasi sistem pembayaran.

Perluasan elektronifikasi pembayaran juga merupakan bagian integral dari kebijakan keuangan inklusif dalam rangka meningkatkan akses masyarakat unbanked terhadap lembaga keuangan. Melalui pemanfaatan teknologi informasi, Bank Indonesia berharap program elektronifikasi yang diluncurkan dapat menjadi motor dalam menjawab tantangan ini dengan memberikan layanan kepada mereka secara aman

dan efisien. (Sumber: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/pidato-dewan- gubernur/Documents/Sambutan_RW_Visa_270215.pdf ).

2.8. Strategi Re-engineering Manajemen Perubahan

Menurut George M Hill keberhasilan re-engineering harus mengkaitkan seluruh orang-orang,

proses, strategi-strategi, dan teknologi suatu organisasi (pelaku bisnis dan juga lembaga-lembaga pemerintah) dengan keseluruhan tujuan bisnisnya. Jika satu kaitan dalam rantai tersebut hilang (diabaikan), proses transformasi bisnis akan gagal. Strategi tersebut harus didasarkan pada visi yang mendorong utilitas saat ini, ke arah yang diinginkan di masa datang. Hal ini berarti bahwa Bank Indonesia harus menawarkan visi operasional spesifik yang seluruh organisasi dapat mengaplikasikannya dalam aktivitas-aktivitas sehari-hari. Hal ini merupakan proses dua arah untuk memastikan bahwa keputusan strategis mengarah pada perubahan operasional dan bahwa perubahan operasional mempengaruhi keputusan strategis. Terdapat hubungan timbal balik antara perubahan strategis dan operasional. Untuk itu, keduanya perlu dikelola secara sinergis.

Hill mengemukakan beberapa pointers yang menjadikan keberhasilan dan kegagalan re-engineering (Hill, 1993: 8-9).

A. Keberhasilan re-engineering

1. Suatu kinerja tinggi organisasi, didorong (termotivasi) oleh core processes (proses inti) yang unggul dalam quality service, customer

satisfaction, dan cost effectiveness. Fokus hanya pada satu kunci di atas kemudian memperbaiki fungsi menjadi proses transformasi, mengintegrasikan revisi proses ke dalam visi strategik agar para organisasi memahami dan termotivasi untuk bergerak menuju arah baru.

2. Re-engineering harus fokus pada cross functional untuk membentuk teams yang terdiri dari representatif dari tiap organisasi terlibat dalam proses. Pimpin teams tersebut dengan change agents yang antusias, open minded, dan konsentrasi pada memberi motivasi proses.

3. Re-engineering harus didorong oleh apa keinginan customers dan bukan oleh perspektif-perspektif internal. Oleh karena itu, salah satu kunci bagi keberhasilan re-engineering adalah untuk fokus pada proses-proses yang memiliki dampak tertinggi pada customer service . Salah satu aspek yang berkembang adalah dengan adanya gerakan menciptakan organisasi yang berpusat pada pelanggan dengan struktur yang memberi cerminan sehingga tanggap terhadap pasar yang berbeda daripada perbedaan fungsi. Tanggapan pelanggan menempatkan tekanan lebih besar pada proses horisontal yang efektif dan mewujudkan konsep bahwa setiap orang adalah pelanggan.

Contoh kasus untuk hal ini adalah Carolina Power & Light Co (CP&L) organisasi yang berhasil mengaplikasikan konsep ini dalam

upaya re-engineering organisasinya. CP&L memulai proyek re- engineering nya dengan mengidentifikasi aktivitas-aktivitas kunci, yang kemudian diuraikan atau dijabarkan ke dalam proses-proses yang didasari oleh keseluruhan tujuan strategik organisasi. Hasilnya, banyak proses dirasionalisasikan (streamlined), diperbaiki, atau bahkan dieliminasi. Dan karena customer satisfaction kadangkala terpengaruh oleh representatif atau agen pelayanan organisasi, CP&L juga mendesain ulang sistem customer service-nya dengan memberi informasi seperlunya untuk menjawab berbagai pertanyaan customer dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan customer secara lebih baik. Hasil akhirnya, para karyawan CP&L saat ini dapat berkonsentrasi atau fokus pada pemberian solusi-solusi yang kreatif kepada customers ketimbang pada pelaksanaan tugas-tugas spesifik.

4. Membangun kredibilitas secara internal dan eksternal dengan mendemonstrasikan respon atau tanggapan awal yang substansial. Sebagai contoh, pada CP&L aktivitas-aktivitas pertama di identifikasi dan dirancang ulang dalam proses penyampaian pelayanan informasi sebelum mengaplikasikan pendekatan yang sama pada core business processes organisasi, misalnya customer service .

5. Mengembangkan teknologi untuk mempermudah. Teknologi baru seharusnya tidak digunakan hanya untuk mekanisasi dan mempercepat cara-cara lama melakukan bisnis. Keberhasilan re- engineering mempengaruhi teknologi inovatif sebenarnya untuk memformulasikan kembali proses bisnis. Misalnya, client/server processing didistribusikan kepada customer contact dapat mempunyai dampak signifikan karena memberdayakan agen pelayanan menjadi lebih menentukan (dapat mengambil keputusan), sangat responsif, dan lebih informatisf dalam berhubungan dengan customers. Melalui unit-unit kerja yang powerful, mereka dapat menawarkan/memberikan keseluruhan layanan yang lebih baik (tingkatan yang lebih fleksibel dan melayani berdasarkan kebutuhan spesifik customers).

6. Pertahankan re-engineering. Visi re-engineering harus datang dari pimpinan (dalam hal ini Bank Indonesia) – namun dukungan harus

dibangun atau dikembangkan dari bawah. Komitmen pimpinan adalah penting. Namun pekerjaan pimpinan bukan untuk mendikte.

Pekerjaan atau tugasnya adalah untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari ketakutan dan mendorong atau memotivasi partisipasi. Banyak upaya-upaya re-engineering gagal karena kurangnya dukungan dari bawahan ketimbang dari faktor-faktor lainnya. Untuk mengatasi tantangan ini, perubahan harus dipromosikan pada seluruh level organisasi sejak dini. Komunikasi harus jelas, kredibel, dan kontinu selama proses re-engineering. Organisasi harus

mengambil tindakan berarti, seperti memfokuskan teams sekitar proses, bukan sekitar tugas-tugas, dan memberi mereka tanggung

jawab untuk memperbaiki kinerja. Ketimbang melihat akuntabilitas tersebut sebagai beban yang tidak fair, karyawan merasa hal tersebut memperkaya tugas atau pekerjaan mereka.

7. Re-engineering yang berhasil mensyaratkan pembebasan diri dari aturan-aturan dan operasi-operasi tradisional. Satu-satunya cara untuk membuat lompatan jauh (quantum leaps) dalam kinerja adalah untuk menolak asumsi-asumsi lama dan menerima/menganut perubahan radikal. Tujuannya adalah untuk menciptakan bisnis yang tanggap secara cepat dan efektif terhadap perubahan- perubahan pasar.

B. Kegagalan re-engineering Re-engineering suatu organisasi mempunyai arti seluruh komponen

bisnis harus terintegrasi dengan visi baru masa depan. Jika sistem dan proses dirubah tanpa membantu para karyawan menyesuaikan dirinya, re- engineering akan cepat gagal. Jika teknolgi masa lalu dibeli untuk mendukung strategi saat ini, akan menimbulkan kegagalan lainnya.

Setiap bagian dari utilitas organisasi disinkronisasikan dengan misi organisasi tersebut untuk memberi kepuasan kepada stakeholders-nya.

Inilah lingkungan dimana true re-engineering berhasil dan berjaya (Hill, 1993: 8-9).

Seperti dikatakan Victor Tan, bahwa banyak organisasi yang tidak berhasil oleh karena salah dalam advokasinya. Kesalahan ini disebabkan oleh karena menggunakannya sebagai alat yang terisolasi untuk mencapai keunggulan bisnis (Victor Tan, 2002 : 81). Kesalahan-kesalahan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Business Process Re-engineering tidak dapat memberikan kontribusi pada keunggulan bisnis jika orang dalam organisasi tidak kompeten atau jika karyawan tidak memiliki komitmen.

b. Business Process Re-engineering tidak dapat memperbaiki masalah jika organisasi menghasilkan dan memasarkan produk yang salah.

c. Business Process Re-engineering dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menurunkan biaya dan meningkatkan daya saing organisasi apabila digunakan dengan benar sebagai pelengkap dari alat lainnya untuk mencapai keunggulan bisnis.

2.9. Agen Perubahan (Change Agent)

Pengertian menurut Griffin dan Pareek, dalam Wibowo (2006 : 114 - 115) tentang agen perubahan adalah orang profesional yang tugasnya membantu masyarakat atau kelompok merencanakan pembangunan atau membentuk kembali sasaran, memfokus pada masalah, mencari pemecahan yang mungkin, mengatur bantuan, merencanakan tindakan

16

yang dimaksudkan untuk memperbaiki situasi, mengatasi kesulitan, dan mengevaluasi hasil dari usaha terencana.

Tugas seorang agen perubahan sungguh sangat luas dan berat. Oleh karena itu, harus memiliki kualifikasi pribadi, pengetahuan dan pemahaman tertentu dan sudah tentu keterampilan. Akan tetapi, yang lebih penting, ia harus memahami bahwa tanggung jawabnya membantu orang lain untuk dapat belajar menolong dirinya sendiri. Agen perubahan berperan penting untuk mengelola perubahan secara bijaksana.

Dorongan untuk perubahan sangat kuat dan terjadinya perubahan tidak bisa dihindari. Namun, kesalahan yang mungkin terjadi dalam melakukan perubahan perlu dihindari dan perubahan harus dilakukan secara bertahap. Agen perubahan berperan penting untuk mengelola perubahan secara bijaksana.

Selanjutnya Wibowo mengatakan, jika perubahan diperlukan untuk meningkatkan kinerja organisasi, perubahan dilakukan oleh agen perubahan adalah perubahan sumber daya manusia, terutama yang menduduki jabatan kunci. Pemimpin pada berbagai jenjang organisasi harus mampu menjadi katalis dalam proses perubahan tersebut. Namun, perubahan memerlukan dukungan dan kerjasama segenap sumber daya manusia. Oleh karena itu, diperlukan pemberdayaan sumber daya manusia sehingga setiap orang merasa dirinya sebagai bagian dan turut serta dalam proses perubahan.

BAB III METODE PENULISAN

3.1. Metode Penulisan

Karya tulis ilmiah ini merupakan suatu literature study (hasil telaah pustaka) yang mengacu pada bukti-bukti empiris (laporan penelitian sebelumnya), buku serta informasi dan fakta aktual hasil dari suatu action research.

Action Research merupakan suatu upaya untuk mempelajari masalah- masalah yang muncul yang bertujuan untuk mengarahkan, mengkoreksi, dan mengevaluasi keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan organisasi tersebut. Beberapa fitur suatu Action research ini adalah: 1). Merupakan usulan (usulan solusi terhadap masalah-masalah) yang valid dan actionable, serta applicable; 2). Konsep dapat diaplikasikan dalam situasi aktual (real time, everyday-life conditions ), tidak atau bukan dalam research atau laboratory setting; 3). Implementasi yang efektif akan mengarah pada hasil yang konsisten dengan apa yang diinginkan; 4). Efektivitas diatas adalah testable dengan metode-metode standard.

Penulisan ini dilakukan dengan melakukan lima tahapan proses action research terhadap masalah yang timbul dan dihadapi:

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan masalah Pada tahap ini penulis mengidentifikasi masalah dengan melihat efek langsung dan kumulatif dari proses perubahan.

2. Mengumpulkan atau mengkoleksi data Dalam proses pengumpulan data dan informasi tersebut penulis menggunakan suatu portfolio (proses filing segala sesuatu yang terlihat relevan terhadap masalah yang nantinya dapat di analisis kemudian). Bukti tertulis berkaitan dengan laporan hasil seminar, artikel-artikel, dan lain-lainnya, digunakan untuk membentuk baseline tentang apa yang terjadi di masa lalu dan dapat digunakan untuk membandingkan pendekatan baru terhadap pendekatan sebelumnya.

3. Mengorganisasi data Dalam mengorganisasi data di atas penulis menyajikan contoh-contoh dan kejadian-kejadian yang diperoleh dari pengumpulan dan pengkoleksian data di atas. Selanjutnya dilakukan penyajian data dalam bentuk sederhana dan mudah dimengerti serta menyusun data sesuai prioritas dan urgensinya.

4. Analisis dan interpretasi data Mengolah data menjadi informasi maksimum merupakan langkah berikutnya dari bab sebelumnya, setelah itu dilakukan analisis data untuk menentukan bidang prioritas untuk bertindak. Langkah berikutnya adalah mempelajari literatur maupun jurnal-jurnal dan mengidentifikasi topik-topik dalam literatur maupun jurnal-jurnal tersebut. Kemudian dilakukan proses pengumpulan laporan riset dan artikel-artikel tersebut serta menganalisis dan menginterpretasikan informasi dalam materi- materi tersebut sebagai alat untuk memahami dan untuk bertindak. Langkah selanjutnya adalah menentukan tindakan yang paling sesuai.

5. Membuat strategi-strategi tindakan dan membuat usulan penerapannya dalam organisasi. Pada tahap ini dilakukan pengkombinasian informasi dari analisis data dengan literatur di atas. Kemudian memilih strategi-strategi terbaik untuk bertindak dan membuat action plans jangka pendek dan jangka panjang (jika Anggota Dewan Gubernur setuju dan mau menerapkannya). Selanjutnya mengimplementasikan beberapa tindakan secepatnya (jika Anggota Dewan Gubernur setuju dan mau menerapkannya) dan menilai implementasi tersebut diatas.

Tahap berikutnya adalah mengulang kembali proses 1 sampai dengan 5 di atas serta melakukan action research kembali untuk menilai dampak penerapan usulan di atas (jika manajemen menyetujui dilakukan action research lanjutan, baik oleh penulis sendiri maupun penulis lain dalam bidang lainnya).

3.2. Kerangka Berpikir

Pola pikir karya ilmiah ini dapat dijelaskan melalui bagan kerangka berpikir di bawah ini. Program GNNT direncanakan sebagai gerakan bersama seluruh otoritas, industri, dan lapisan masyarakat secara nasional untuk mewujudkan less cash society.

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir

GNNT dilakukan melalui strategi perluasan elektronifikasi pembayaran dilakukan melalui upaya kampanye terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Bank Indonesia akan mengupayakan fasilitasi dengan Pemerintah maupun institusi terkait yang memiliki potensi sebagai katalisator penggunaan elektronifikasi sistem pembayaran. Perluasan elektronifikasi pembayaran juga merupakan bagian integral dari kebijakan keuangan inklusif dalam rangka meningkatkan akses masyarakat unbanked terhadap lembaga keuangan. Elektronifikasi ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional.

Selanjutnya, peluang ini mewujudkan masyarakat yang memiliki preferensi tinggi dalam menggunakan instrumen dan sarana pembayaran non- tunai dalam melakukan transaksi keuangan, atau yang dikenal dengan less cash society . Peluang ini juga diharapkan dapat menjangkau masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan kepada mereka secara aman dan efisien.

20

Adapun tantangan untuk hal ini adalah terdapat faktor penghambat akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan.

Secara umum bahwa dampak dari kebijakan tersebut adalah peningkatan performance , profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini telah terjaga dengan baik, yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Peluang sistem pembayaran non tunai di Indonesia

(Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/11/18/menuju-gaya-hidup-di-era-less-cash-society-687296.html )