Teori Menulis Menjadi Faktor Penghambat?

3. Teori Menulis Menjadi Faktor Penghambat?

Menulis cerita, misalnya cerita pendek, memang tidak sulit. Cerpen bisa dijadikan ajang mencurahkan perasaan. Namun, de- ngan asal metulis, asal jadi, lantas apakah karya tersebut dapat dianggap sebagai karya sastra? Belum tentu. Contoh lain, adalah menulis puisi. Menulis puisi tidak hanya sekedar menggabung- kan kata dengan kesan yang harus diindah-indahkan. Terkadang puisi bagus lahir dengan kata-kata lugas, tetapi bermakna dalam. Dalam sekolah formal, guru seringkali memberi batasan atau aturan dalam menulis karangan. Sebelumnya kita dibekali ter- lebih dahulu dengan teori menulis agar kita terarah dalam menu- lis cerita. Dalam hal ini, sebagai contoh adalah dalam penulisan cerpen yang sering dilakukan para remaja.

Menurut Edgar Alan Poe (yang dianggap sebagai tokoh cer- pen modern), ada lima aturan penulisan cerpen, yaitu sebagai berikut.

MATAHARI SEGITIGA

a. Cerpen harus pendek. Artinya, cukup pendek untuk dibaca dalam sekali duduk. Cerpen memberi kesan kepada pemba- canya secara terus-menerus, tanpa terputus-putus sampai ka- limat terakhir.

b. Cerpen seharusnya mengarah untuk membuat efek yang tunggal dan unik. Sebuah cerpen yang baik mempunyai ke- tunggalan pikiran dan action yang bisa dikembangkan lewat sebuah garis yang langsung dari awal hingga akhir.

c. Cerpen harus ketat dan padat. Cerpen harus berusaha me- madatkan setiap gambaran pada ruangan sekecil mungkin. Maksudnya, agar pembaca mendapat kesan tunggal dari keseluruhan cerita.

d. Cerpen harus tampak sungguhan. Seperti sungguhan adalah dasar dari semua seni mengisahkan cerita. Semua tokoh ceritanya dibuat sungguhan, berbicara dan berlaku, seperti manusia yang betul-betul hidup.

e. Cerpen harus memberi kesan yang tuntas. Selesai membaca cerpen, pembaca harus merasa bahwa cerita tersebut benar- benar selesai. Jika ujung cerita masih terkatung-katung, pembaca akan merasa kecewa.

Teori di atas memang benar dan sama sekali tidak salah. Namun, banyak orang menganggap menulis dengan berbagai aturan akan membatasi kreativitas mereka sehingga mereka men- jadi malas hanya untuk memulainya saja. Sebelum menulis, me- reka harus memikirkan bahwa cerita ini menurut aturan harus begini, kemudian harus begitu. Mereka merasa tidak leluasa un- tuk mengembangkan isi pikiran mereka. Keinginan mereka tidak bisa mengalir begitu saja.

Lalu, benarkah teori hanya menjadi penghambat? Tentu saja tidak. Tanpa teori, kita tidak akan menulis atau menciptakan sesuatu dengan benar. Untuk menulis karya ilmiah, teori sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, ada mata kuliah metedologi peneli- tian di universitas sebagai pembimbing pembuatan skripsi. Un-

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

tuk menulis, kita harus mengetahui dasar-dasarnya. Kita harus mengetahui tentang struktur, ejaan, dan lain sebagainya.

Namun, bagaimana ketika kita berbicara tentang kreativitas? Siapa yang akan menyalahkan Dewi Lestari saat menulis kalimat percakapan hanya dengan satu tanda apostrop, dan bahkan tidak menggunakan sama sekali? Siapa yang akan menyalahkan Mark Haddon membuat judul novelnya sepanjang The Curious Incident about Dog on the Night-time ? Siapa yang akan menyalahkan S.J. Rozan memberi judul novelnya “Winter and Night” atau Stephenie Meyer dengan Twilight dan judul tersebut tidak menggambarkan apa yang ada dalam cerita mereka? Bukankah ini yang dapat disebut sebagai seni dan kreativitas?

Kreativitas tidak bisa digiring melalui teori. Seseorang yang sangat hafal teori belum tentu dapat mempraktikkannya dengan baik melebihi orang yang mempunyai kreativitas tinggi. Bagai- mana cara kita menulis, menentukan judul, gaya bahasa, memper- lihatkan watak tokoh, semua mengalir dari dalam diri kita sen- diri menentukan ciri khas kita dalam bercerita.

Dalam sastra, teori memang bukan segalanya. Hanya saja, para pelajar menerima batasan dan aturan yang diberikan oleh guru secara mentah sehingga mereka menganggap jika aturannya begitu, maka mereka juga harus begitu. Bagaimana mengem- bangkan kreativitas, tidak diperhatikan. Yang terpenting adalah karya tersebut harus selesai sesuai dengan batasan waktu yang diberikan guru. Karya mereka menjadi kaku dan mati. Inilah yang membuat banyak pelajar tidak menyukai pelajaran menga- rang. Padahal, mereka bisa menulis dengan kreativitas dan gaya mereka masing-masing tanpa harus menyimpang dari aturan yang ada.