MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerp

MATAHARI SEGITIGA Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

Penyunting: Yohanes Adhi Satiyoko Herawati

Cetakan Pertama:

Oktober 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MATAHARI SEGITIGA; Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012, Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012

(xiii, 216 hlm.; 21cm) ISBN 978-979-188-191-3

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA SINGGAH SEBENTAR MENEGUK ILMU

Kemakmuran dan kejayaan sebuah negara ditandai dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual. Dengan kegiatan intelektual, akan ditemukan “keajaiban-keajaiban” ilmu penge-

tahuan yang senantiasa baru dan bermanfaat bagi kepentingan hidup manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan diawali dari pen- catatan hasil-hasil penelitian yang dibukukan. Seorang penulis

yang mumpuni tidak serta merta begitu saja menorehkan tinta di atas kertas. Berbagai pengalaman, perjalanan, dan rintangan yang pernah dihadapi penulis akan menjadi “cerita pengetahuan”

bagi pembaca ketika diekspresikan dalam bentuk tulisan. Tidak lepas dari catatan, ketika tiga pujangga Surakarta; Raden Nga- behi Ranggasutrasna diutus menjelajahi wilayah Jawa bagian

timur, Raden Ngabehi Yasadipura II diutus menjelajahi wilayah Jawa bagian barat, dan Raden Ngabehi Sastradipura diutus ke Mekah untuk memperdalam Islam, banyak sekali pengalaman

dan pengetahuan lahir batin Jawa yang mereka peroleh. Banyak tempat persinggahan yang memberikan ilmu pengetahuan baru bagi mereka sehingga ketika mereka bertiga kembali ke Sura-

karta, pengetahuan yang mereka bawa mereka gabungkan men- jadi satu buku dalam sebuah tulisan yang berisi ilmu pengetahu- an dan kebudayaan Jawa yang dikenal sebagai “ensiklopedi Ja-

wa” bernama Suluk Tambanglaras atau Serat Centhini, sebuah ma-

MATAHARI SEGITIGA

hakarya Jawa. Sebuah perjalanan, atau tepatnya catatan perja- lanan, menjadi sebuah “prosesi wajib inisiasi” bagi mereka yang ingin memperdalam dan “menyempurnakan” ilmu pengatahuan dalam bidang apa pun.

Begitu pula dengan aktivitas kreatif remaja yang telah ber- hasil masuk 10 nominasi penulisan esai dan cerpen dalam “Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY tahun 2012” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya-karya esai dan cerpen yang dimuat dalam antologi ini mencerminkan fragmen-fragmen hidup penulis yang tidak serta merta tertuang dalam lembaran kertas, tetapi merupa- kan intisari perjalanan hidup yang telah mereka lalui. Fragmen- fragmen kehidupan tersebut tertuang indah dalam MATAHARI SEGITIGA, antologi esai dan cerpen pemenang lomba penulisan esai dan cerpen tahun 2012 . Sebagai karya kreatif, para penulis esai dan cerpen dalam antologi ini dianggap mempunyai masa depan yang bagus sehingga sangat diharapkan “Lomba Penulisan Esai dan Cerpen bagi Remaja DIY tahun 2012” menjadi sebuah persinggahan yang bermanfaat untuk “meneguk ilmu” kepenulisan. Perjalanan para remaja penulis masih panjang, perhentian-perhentian yang dapat memperkaya diri menjadi penulis yang mumpuni masih dapat dijumpai di depan mata. Maka, jangan cepat berpuas diri. Teruslah maju membekali diri. Ini baru pijakan awal. Raihlah pijakan-pijakan lain untuk memperkaya ilmu. Selamat dan terus berkarya.

Drs. Tirto Suwondo, M.Hum.

MATAHARI SEGITIGA

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

Esai

MATAHARI SEGITIGA

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

BIOSKOP SASTRA

Eni Puji Utami

Sudah berapa banyakkah novel sastra yang kita baca? Apa- kah kita lebih sering membaca buku-buku sastra (novel serius), atau malah tertarik pada novel-novel populer? Mengapa novel-

novel populer lebih tinggi oplahnya? Di Indonesia, novel mungkin sudah menjadi buku yang pa- ling dinikmati oleh banyak pembaca. Novel adalah karya fiksi

atau nonfiksi yang dituturkan dengan gaya bahasa yang relatif ringan sehingga pembaca mudah memahami isi cerita. Salah satu novel populer adalah teenlit, novel remaja yang sempat merajai

pasar buku. Teen literature atau teenlit adalah salah satu jenis novel populer yang memang diperuntukkan bagi remaja, tetapi novel ini juga tentu boleh dibaca oleh siapa pun yang menyukai cerita-

cerita ringan. Hampir semua remaja tertarik dengan novel-novel populer. Mengapa demikian?

Dilihat dari sepak terjangnya, novel populer dapat disimpul- kan sebagai novel yang memiliki masanya dan penggemarnya, khususnya kalangan remaja. Memang, novel menampilkan ma-

salah aktual dan sezaman, tetapi hanya permukaannya saja. Ce- ritanya tidak menampilkan kehidupan secara intens dan mere- sap. Untuk itu, novel populer akan cepat ketinggalan zaman,

apalagi ada novel populer baru yang meledak. Sekitar tahun

MATAHARI SEGITIGA

2004 pernah ada novel populer yang meledak, misalnya Dealova hingga dibuatkan film. Penulisnya adalah Dian Nuranindya.

Ada beberapa indikasi mengapa remaja lebih suka berima- jiner dengan novel-novel populer di antaranya adalah kedekatan mereka dengan cerita-cerita populer yang sarat dengan kisah cinta remaja. Dapat juga karena bahasa konotasi dalam karya- karya sastra yang menyiratkan pesan dengan berbagai intepre- tasi tersebut susah dipahami. Bahkan, ada juga yang berpendapat bahwa ketertarikan itu muncul ketika novel sudah difilmkan. Mereka dapat menangkap pesan yang akan disampaikan melalui visual, dan memang dengan cara itulah mereka bisa menikmati- nya. Bukan hanya novel-novel sastra, melainkan novel populer pun kerap mereka buru ketika sudah difilmkan. Begitu pula ba- nyak cara menikmati sebuah karya, terutama karya sastra.

Ciri-ciri yang tampak dalam novel populer adalah tokoh- tokohnya kaya, tampan, cantik, dicintai, dikagumi, serta sanggup mengatasi segala masalah dengan cepat. Contohnya adalah Dira dalam novel Dealova sebagai sosok yang kaya dan tampan atau Ibel, sosok yang tampan, banyak dikagumi karena menjadi ang- gota band.

Sastra hiburan hanya merangsang pembaca untuk membaca karena lebih mudah untuk dinikmati. Di samping itu, lebih me- ngejar selera pembaca, komersial, dan tidak menuntut untuk serius. Plot sengaja dibuat lancar dan sederhana karena hanya untuk memuaskan pembaca. Biasanya cerita berakhir happy ending , misal dalam Dealova, tokoh Karra yang ditinggal mati oleh Dira mengalami kesedihan, tetapi tetap menemukan keba- hagian di akhir cerita, yaitu hubungan cintanya dengan Ibel.

Darma (2004) menyebut novel populer atau sastra pop atau hiburan sebagai escape literature. Karya sastra populer berfungsi untuk melarikan diri dari kebosanan, rutinitas sehari-hari, dan masalah yang tak terselesaikan, misal dalam Dealova, cinta yang diakhiri dengan kematian Dira dapat digantikan dengan keha- diran Ibel hingga berakhir bahagia.

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

Tentu, lain halnya dengan novel serius. Novel serius meng- ajak pembaca untuk menafsirkan dengan bekal intelektualnya. Untuk membaca novel serius diperlukan kemauan dan daya kon- sentrasi yang tinggi. Pengalaman kehidupan dihayati hingga menemukan nilai-nilai yang universal. Selain memberikan pengalaman yang berharga, novel serius mengajak pembaca un- tuk merenungkan dan meresapi permasalahan secara sungguh- sungguh.

Darma (2004) menyatakan bahwa sastra serius adalah sastra interpretatif, yaitu untuk ditafsirkan. Untuk itulah novel serius akan bertahan dalam segala zaman dan akan terus menarik untuk diperbincangkan.

Dalam novel serius, misalnya Bumi Manusia, dikisahkan tokoh yang bernama Minke yang terkagum-kagum dengan se- orang nyai yang bernama Ontosoroh. Nyai, saat itu, dipandang sebagai manusia rendah, bodoh, budak seks, ataupun wanita yang merelakan tubuhnya untuk harta. Namun, Pramoedya da- lam novel tersebut menggambarkan Nyai Ontosoroh yang be- gitu terpandang, misalnya karena kemampuannya belajar mem- baca dan berbahasa Belanda dengan cepat. Selain itu, Nyai Onto- soroh mampu mengurus peternakan sapi dari Herman Mellema, suaminya, hingga maju dan berkembang.

Di sisi lain, novel Bumi Manusia juga menggambarkan tokoh Minke yang menolak tradisi Jawa, yang ketika bertemu orang penting atau priyayi harus berjongkok dulu. Minke adalah pri- bumi pertama yang mampu menerbitkan media surat kabar yang pertama kali di Hindia atau Indonesia. Banyak cerita pelik lagi di dalamnya, misal, Annelies Mellema yang menginginkan untuk menjadi pribumi dan membenci kulit putihnya. Gadis ini begitu sayang dengan Mamanya, yaitu Nyai Ontosoroh. Akhir cerita, karena hukum Belanda yang berlaku, Annelies harus dibawa ke Belanda dan berpisah dengan kekasihnya Minke, yang se- orang pribumi. Gara-gara persoalan ini, Annelies menjadi sakit- sakitan dan meninggal dalam novel selanjutnya, yaitu Semua

MATAHARI SEGITIGA

Anak Bangsa . Selain itu, tokoh Minke begitu menentang diskri- minasi kulit putih terhadap kulit berwarna, serta kolonialisme di negerinya sendiri. Ia juga diceritakan begitu kagumnya de- ngan kebangkitan bangsa Asia, misal, kemenangan perang Je- pang atas Rusia. Tentu, novel serius seperti ini akan terus menarik diperbincangkan. Contoh novel serius yang lain adalah Jejak Langkah, Rumah Kaca, Belenggu, Atheis, Burung-burung Manyar, dan Para Priyayi.

Membaca teks sastra dalam arti paling sederhana adalah menikmatinya. Bila pada bagian awal teks pembaca tidak berhasil merengkuh kenikmatan, ia akan segera berhenti membaca, atau beralih ke bacaan lain yang lebih menjanjikan kenikmatannya. Sama halnya dengan novel sastra yang butuh imajinasi khusus untuk mengapresiasinya daripada novel-novel populer.

Akan tetapi, betapa tak beruntungnya nasib teks sastra bila terciptanya hanya untuk pemuasan hasrat para penikmat belaka. Betapa rendahnya martabat sastra bila hanya diukur de- ngan kadar nikmat yang dapat dihisap dari sebuah karya. “Nasib tulisan di tangan pembaca,” demikian kata Martin Walser. Ba- gaimana dengan pembaca yang tak peduli dengan teks? Kata- kanlah hubungan pembaca itu dengan teks, seperti alkoholisme dengan sebotol minuman keras. Ia tidak sempat menilai bahwa novel yang sedang dibacanya bagus sebab ia sudah telanjur ma- buk dan asyik masuk dalam membaca sehingga akan terlunta- luntalah nasib dan peruntungan teks sastra.

Di titik ini, ternyata membaca teks sastra tidak hanya se- batas menikmati, tetapi juga menyingkap makna tersembunyi hingga dapat dimengerti, dihayati, dan diintepretasi. Oleh karena itu, harus ada sebuah langkah agar teks sastra yang tidak sekadar dinikmati, tetapi pesan yang akan disampaikan pun dapat di- apresiasi oleh pembaca sehingga pembaca, khususnya remaja, tak enggan lagi untuk mengapresiasi karya sastra. Ibaratnya sas- tra dapat menjadi sahabat mereka. Oleh karena itu, karya sastra harus dapat dikemas lebih menarik lagi tanpa mengurangi esensi

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

di dalamnya. Karya sastra bisa dikemas dalam balutan media yang sangat lekat dengan dunia pembaca yang semakin canggih, khususnya remaja.

Lalu, media apa yang lekat dengan remaja? Sebut saja film, salah satu media lain yang dibuat agar publik

tertarik untuk membaca karya sastra. Meskipun film yang dibuat berdasarkan novel tersebut sudah melalui tahap interpretasi oleh sutradara dan penulis naskah, penonton yang menyaksikan film itu merupakan penginterpretasi kedua. Ketika mononton film, mereka diharapkan tidak sekadar mengonsumsi film itu saja. Namun, mereka juga tergerak hatinya untuk harus membaca bukunya. Hal itu dimaksudkan agar publik menjadi penginter- pretasi pertama dari karya sastra tersebut.

Mengapa harus sastra yang dikemas menarik? Dalam wiki- pedia disebutkan bahwa sastra adalah pedoman, instruksi, dan ajaran. Seperti kita ketahui, karya sastra bukan sekedar teks fiksi yang mengembangkan ide untuk menembus pasar. Dalam karya-karya sastra terdapat jutaan pesan yang tersirat dengan berbagai aspek, mulai dari alam, politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, dan masih banyak lagi. Pesan-pesan tersebut dapat dika- takan sebagai gerakan perubahan atau pemberontakan. Selain itu, balutan teks-teks sastra dapat pula dikatakan sebagai hiburan edukatif. Tidak seperti novel-novel populer yang terkadang lekat dengan tendensi dan belum begitu jelas esensinya.

Pengemasan teks sastra serius agar terlihat lebih menarik dapat disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Dalam pe- ngemasan ini kita tidak bisa memaksa pembaca untuk meninggal- kan novel-novel populer kemudian beralih untuk membeli novel- novel serius. Namun, kita ciptakan sesuatu untuk membalut no- vel-novel serius tersebut dengan kesenangan-kesenangan me- reka sehingga lama-kelamaan novel-novel serius akan digan- drungi oleh pembaca.

Film adalah sebuah wadah yang dapat dikatakan cocok un- tuk mengapresiasikan teks sastra agar dapat dinikmati oleh pem-

MATAHARI SEGITIGA

baca. Hal itu mengingat banyaknya novel sastra yang semakin laku setelah novel tersebut difilmkan, bahkan novel populer pun begitu.

Secara tidak langsung, hubungan antara kualitas sastra dengan film di sebuah negara ditentukan oleh masyarakat yang menikmati kedua komoditas budaya tersebut. Masyarakat dalam ruang dan waktu yang sama akan dihadapkan pada sastra dan film yang tumbuh dan berkembang dari dinamika sezaman. Na- mun dalam perkembangannya, selera masyarakat turut dipenga- ruhi oleh kepentingan produsen, seperti yang terjadi pada si- netron di Indonesia.

Semakin terbuka masyarakat negara-bangsa, semakin besar potensi pengelolaan dan pengolahan film dan sastra setempat. Semakin berkembang kualitas sastra sebuah negara-bangsa, se- makin besar potensi positif perkembangan kualitas film negara- bangsa itu. Cukup banyak film berkualitas bagus hasil adaptasi dari sebuah novel.

Ketika Perpustakaan Menjadi Bioskop

“Perpustakaan menjadi bioskop” di sini maksudnya bukan menyulap perpustakaan atau toko buku menjadi bioskop, melain- kan menyulap penyajian sastra yang tadinya hanya sekedar teks ke dalam bentuk visual atau film.

Sehelai bulu ayam putih melayang-layang dibawa angin (da- lam film Forrest Gump), bunga-bunga mawar merah yang berta- buran di sekujur tubuh seorang laki-laki setengah baya (dalam film American Beauty), dan seorang tua renta yang duduk di kursi roda di bawah pohon yang dedaunnya berguguran (dalam film Godfather 3 ), apakah hanya adegan biasa, adegan yang dirancang sekadar indah, atau adegan tanpa makna? Tentu adegan di atas sarat makna. Penciptaannya sudah melalui pertimbangan dan selektivitas maksimal yang lebih dikenal sebagai bentuk bercerita lewat tanda atau semiotik. Adapun tanda merupakan segala se-

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

suatu yang dapat dianggap sebagai pengganti sesuatu yang lainnya secara signifikan.

Jika diperhatikan dengan saksama dan direnungkan, akan kita peroleh makna, bahkan makna ganda dalam setiap adegan tersebut. Hal itu akan timbul multitafsir bagi penonton. Dari sepuluh orang yang menonton, akan timbul lebih dari sepuluh pendapat dan makna. Film seperti inilah yang lazim disebut film seni, yang kemudian berkembang menjadi film puitis. Sebab, sebagaimana kekuatan puisi ada dalam bahasa (teks) sebagai tanda, adegan film atau keseluruhan film dengan bentuk bercerita yang puitis, dengan tanda-tanda, dapat kita kategorikan sebagai film puitis. Terdapat empat unsur sastra dalam film, yaitu sastra sebagai ide, sastra sebagai (teks) dialog, sastra sebagai teks (des- kripsi) skenario, dan sastra sebagai sumber.

Disebut sebagai ide karena sebuah karya sastra cuma dijadi- kan ide dasar pembuatan (cerita) film. Boleh jadi, sebuah karya sastra berupa puisi, cerpen, novel, naskah drama, yang pernah dibaca seorang penulis telah merangsang imajinasinya untuk menciptakan karya film (baru). Dalam hal ini, film tidak bertitik tolak terhadap karya sastra itu, malah mengembangkannya se- luas dan sebebasnya. Karya sastra hanya menjadi radar untuk menciptakan karya baru meskipun tidak dapat menyangkal bah- wa karya sastra akan memberi pengaruh baik atau buruk terha- dap karya film itu.

Hal ini dapat kita lihat dalam film Bulan di Atas Kuburan (Asrul Sani) yang berangkat dari puisi sebaris Sitor Situmorang, “Malam Lebaran”. Cerpen Surat untuk Tuhan menjadi ide bagi Garin Nugroho untuk membuat film Surat untuk Bidadari, dan film Bulan Tertusuk Ilalang berangkat dari puisi “Bulan Tertusuk Ilalang”, D. Zawawi Imrom. Demikian pula film Ibunda tercipta karena Teguh Karya tergugah oleh sebuah puisi pendek yang pernah dibacanya.

Sastra juga dapat kita temukan dalam (teks) dialog. Dalam hal ini bentuk, rima, dan bunyinya adalah puisi, misalnya banyak

MATAHARI SEGITIGA

diucapkan oleh pemain dalam film Saur Sepuh, tetapi dapat pula sepotong, sebait, sebuah puisi yang diucapkan pemain, seperti Rendra yang membacakan puisinya dalam film Yang Muda Yang Bercinta karya Sjumandjaja.

Meskipun jarang, sastra juga terdapat dalam deskripsi ske- nario, yaitu berupa teks puisi yang dapat menimbulkan multi- tafsir. Berbeda dari dialog, meskipun sama-sama tertulis dalam skenario, deskripsi tidak diucapkan pemain karena berfungsi sebagai keterangan adegan penuntun pemain (untuk berlakon) dan kreator film untuk membuat adegan. Deskripsi yang puitis ini banyak terlihat dalam skenario yang ditulis oleh sastrawan, seperti Arifin C. Noer dan Putu Wijaya. Tampaknya latar bela- kang sastrawan sangat mempengaruhi penyusunan deskripsi puitis tersebut.

Sastra dalam Film

Sastra sebagai sumber adalah sebuah karya sastra, seperti novel, naskah drama, dan kitab suci yang diangkat ke layar. Artinya, film lahir dengan mengadaptasi sebuah karya sastra. Film tercipta dengan sepenuhnya bertitik tolak terhadap karya sastra itu. Karya sastra merupakan pegangan utama kreator film. Oleh karena itu, perkembangan cerita dan pola film (diusahakan) tidak terlalu jauh melenceng. Dalam hal ini, karya sastra telah menetapkan garis yang harus diikuti, misalnya, film Ramayana dan Mahabharata yang diadaptasi dari karya sastra klasik. Se- kian banyak naskah drama William Shakespeare diadaptasi ber- ulang kali, misalnya Hamlet, Julius Caesar, Romeo and Juliet, dan The Passion yang diadaptasi dari Injil.

Di Indonesia, persoalan adaptasi ini melejit bermula dari Siti Nurbaya (diadaptasi dari roman Marah Roesli) dan Sengsara Membawa Nikmat (diadaptasi dari roman Tulis Sutan Sati) yang ditayangkan TVRI. Novel laris J.R.R. Tolkien, Lord of the Ring yang menyedot perhatian masyarakat dunia, tak disangka sema- kin berkibar ketika diangkat ke film, apalagi berhasil menyabet

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

sekian banyak piala bergengsi Academy Award. Persoalan adaptasi ini bukan hal baru sebab sudah tak terhitung banyak karya sastra yang diangkat ke film.

Hal itu seperti yang pernah dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono “ingin mengatakan begitu tetapi dengan cara begini.” Berdasarkan pengertian ini sesungguhnya film yang memasuk- kan unsur sastra akan besar kemungkinan berhasil menjadi film puitis. Untuk menyampaikan adanya kerinduan terpendam, da- pat ditampilkan lewat adegan berduaan membentuk tanah liat (dalam film Ghost) atau “berdiri di antara jemuran kain yang diguyur hujan (dalam film Bulan Tertusuk Ilalang).

Rasanya tidak perlu ada adegan bergumul di ranjang bila adegan sepasang kuda berlari lebih kuat mengungkapkan gejolak percintaan sepasang anak manusia, seperti dalam film Natural Born Killer . Demikian pula, adegan burung gagak yang melayang di udara, dalam film Surat untuk Bidadari, berhasil menyampaikan pesan adanya kematian.

Saat ini pun sudah sering muncul video-video yang dapat dikatakan sebagai wujud apresiasi sastra. Sebut saja puisi “Hujan Bulan Juni”. Sastra visual yang bermula dari puisi Sapardi Djoko Damono tersebut berhasil menggaet perhatian publik secara in- ternasional. Dengan gambaran-gambaran berupa semiotika se- derhana, pesan dari puisi tersebut mampu ditangkap oleh penon- ton. Hal ini pun masih sama dengan berbagai intepretasi. Gambar yang disajikan juga tidak “vulgar” sehingga tidak menampakan pesan secara tersurat.

Adanya akulturasi dari teks sastra menjadi sastra visual tak perlu dikhawatirkan tentang pereduksian esensi dari teks sastra semula. Malah dengan memvisualisasikannya, pengapre- siasi sastra bukan hanya pembaca, tetapi juga penonton. Dan, dengan adanya visualisasi tersebut, penonton akan tergelitik untuk menjadi pembaca juga. Maksud dari visualisasi sastra ini bukan untuk mengalihkan perhatian publik dari teks kemudian

MATAHARI SEGITIGA

beralih pada film, melainkan mencoba menghadirkan sastra dengan wajah baru yang dapat dinikmati oleh semua kalangan.

Sebenarnya, apresiasi sudah mulai tampak yang bukan ha- nya dari publik, melainkan juga dari sastrawan atau penulis yang karyanya sudah divisualisasikan. Sebut saja Ahmad Tohari yang novelnya Ronggeng Dukuh Paruk difilmkan oleh Ifa Isfansyah beberapa waktu lalu. Ahmad Tohari merasa bangga dengan ada- nya visualisasis sastra sebab dengan adanya visualisasi sastra tersebut, karya-karyanya akan semakin dikenal publik dan pesan serta ajaran yang tersirat dalam teks sastra tersebut akan lebih mendapatkan apresiasi.

Supaya tidak mereduksi makna dari teks sastra, komunikasi yang baik diperlukan antara sutradara film dan penulis teks sastra tersebut, seperti dalam film Laskar Pelangi. Pemindahan teks ke dalam medium film, yang berhasil dieksekusi Riri misal- nya, adalah kecerdasannya dalam membeberkan data/fakta da- lam novel dalam alur yang tidak runut. Kronologis peristiwa diacak sedemikian rupa, tetapi tetap menghadirkan data dalam novel. Contohnya adegan Pak Harfan menempelkan poster Rhoma Irama sebagai tambalan dinding sekolah yang jebol, ade- gan penunjukan Kucai sebagai ketua kelas, adegan Lintang yang dicegat buaya dan bertemu Bodenga ketika hendak mengikuti lomba cerdas cermat, dan adegan permainan perosotan dengan menggunakan pelepah pisang. Tidak runtut memang, tetapi tetap meramaikan isi cerita.

Film mampu mengomunikasikan beberapa hal dengan amat baik. Tema yang diusung dengan dukungan visual dan auditif mampu memberi efek-efek romantis dan melankolis kepada pe- nonton. Harapannya, program bioskop sastra ini lebih diperan- kan oleh pemerintah (atau melalui Balai Bahasa Yogyakarta) da- lam meningkatkan apresiasi terhadap karya-karya sastra. Hal tersebut bisa juga menjadi bentuk bisnis baru yang bersifat ko- mersial.

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

DAFTAR PUSTAKA

Howard, David. 2010. Bahasa, Citra, Media. Yogyakarta: Jalasutra. Damhuri, Muhammad. 2010. Darah Daging Sastra Indonesia.

Yogyakarta: Jalasutra.

BIODATA PENULIS

Eni Puji Utami kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Eni lahir di Bantul,

15 Januari 1993. Alamat rumah di Kepuh, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul, telepon 087839420097

MATAHARI SEGITIGA

APRESIASI ‘SASTRA PINGGIRAN’ DI SMA: PELUANG DAN TANTANGANNYA

Marcelline Gratia Sephira Taum

1. Pengantar

Istilah “sastra pinggiran” pertama kali saya dengar ketika menghadiri acara peluncuran buku Antologi Puisi Mbeling berjudul Suara-suara Yang Terpinggirkan (2012) di Bentara Budaya, Yogyakarta, tanggal 18 Mei 2012 yang lalu. Peluncuran buku yang dilaksanakan oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala itu sekaligus mengenang berpulangnya penyair Heru Emka yang merupakan inisiator dan editor buku tersebut. Ada dua pokok pembahasan yang menarik dalam tema pertemuan itu, yaitu “sastra pinggiran” dan “puisi mbeling.”

Sebagai siswa SMA yang mendapat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bangku sekolah, sejujurnya, saya belum per- nah mendengar kedua istilah tersebut. Oleh karena itu, muncul banyak pertanyaan dalam hati saya. Apa itu sastra pinggiran itu? Mengapa ada sastra yang dipinggirkan? Mengapa puisi mbeling dianggap sebagai sastra pinggiran? Mengapa sastra ping- giran tidak diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah ada peluang bagi sastra pinggiran untuk diajarkan di sekolah-sekolah? Apa sajakah tantangannya jika puisi Mbeling diajarkan di sekolah-se- kolah? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

Istilah “sastra pinggiran” dalam diskusi buku itu mirip de- ngan istilah “sastra yang diremehkan” yang diberikan oleh Her- yanto (dalam Taum, 2012: 38--39). Menurut Heryanto, sastra yang diremehkan adalah sastra yang disisihkan dari kritik dan sejarah kesusastraan. Termasuk dalam jenis “sastra yang dire- mehkan” adalah sastra pop, sastra hiburan, sastra remaja, sastra radio, dan puisi udara. Dalam tulisan ini, pengertian “sastra pinggiran” dibatasi pada puisi-puisi mbeling. Jadi, puisi-puisi mbeling merupakan sejenis karya sastra yang tidak diperhitung- kan sebagai jenis karya sastra yang penting.

2. Puisi yang Standar

Dari pelajaran Bahasa Indonesia, saya mengetahui bahwa puisi memiliki kaidah, kriteria, standar, ukuran, dan rumusan tersendiri. Pengertian yang baku atau standar mengenai puisi dapat kita temukan dalam buku Kamus Istilah Sastra karangan Panuti Sudjiman (1990). Dalam buku itu disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Hal ini berbeda dari prosa, yang didefinisikan sebagai bentuk karangan bebas. Oleh karena bahasa puisi terikat pada irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait itulah, menulis puisi menjadi sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Perhatikan puisi berikut ini yang tampaknya memenuhi kaidah dan kriteria tersebut.

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi

MATAHARI SEGITIGA

tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yg tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Chairil Anwar, 1997: 12) Puisi seperti ini memenuhi standar pengertian puisi karena

puisi ini dibangun dengan memperhitungkan irama (yaitu tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara), rima (yaitu peng- ulangan bunyi berpola, dalam puisi ini terutama rima akhir), penyusunan larik (setiap larik terdiri atas empat kata), dan pe- nyusunan bait (tiap bait terdiri atas empat larik). Menulis puisi yang seperti itu tentu membutuhkan kemampuan bahasa dan kepekaan perasaan dari sang penyair.

Adanya standar, aturan, dan konvensi puisi yang semacam itu membuat kebanyakan orang, termasuk para pelajar pada umumnya segan, bahkan takut mengekspresikan pikiran dan perasaannya kepada masyarakat luas. Keengganan dan ketakut- an itu ada benarnya. Kenyataan seperti ini diungkapkan oleh Emka (2012: xxi) sebagai berikut.

Tradisi penulisan puisi Indonesia yang berada di bawah pengaruh gaya puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan kemu- dian Rendra, menempatkan puisi ke dalam tahapan estetika sebagai sebuah adikarya yang canggih, yang kemudian me-

numbuhkan citra para penyair sebagai sosok unggulan yang flamboyan. Tak heran bila di masa remaja, saya menganggap penyair sedemikian istimewa, karena tak setiap oranng bisa menuliskan ‘kalimat sakti’ yang memukau banyak orang, se- perti mereka. Anggapan bahwa penyair memiliki hak yang

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

istimewa terhadap kata-kata ini seakan dipertegas oleh ucap- an Chairil Anwar: “yang bukan penyair tak ambil bagian.”

Menulis puisi sama artinya dengan menulis kalimat sakti yang memukau, menciptakan sebuah ‘adikarya yang canggih.’ Karena itu tidak semua orang dapat menjadi penyair, “yang bu- kan penyair tak ambil bagian.” Penyair adalah orang-orang isti- mewa, orang-orang pilihan.

3. Puisi Mbeling

Kenyataan bahwa menulis puisi merupakan sebuah kegiatan sakti yang menakutkan inilah yang ingin dilawan oleh ‘kaum pinggiran’. Kaum pinggiran itu adalah kelompok generasi muda yang menentang standar dan aturan-aturan baku penulisan puisi. Emka memberikan sebuah pemikiran yang berbeda tentang puisi, seperti dikutip di bawah ini.

“Menulis puisi tidaklah harus beranjak dari tema yang selalu serius seperti yang biasa muncul pada puisi yang tertulis dengan narasi besar, melainkan bisa juga bermula dari sekadar keisengan belaka untuk melukiskan sesuatu secara spontan, seperti anak-anak yang dengan seketika itu juga menggores- kan kapurnya untuk mencoretkan sesuatu di sebidang lantai yang dihadapinya” (Emka, 2012: xxi-xxii).

Dengan dasar pemikiran bahwa menulis puisi tidak perlu menggarap tema-tema yang serius, lahirlah puisi-puisi mbeling, yang terkesan sederhana, spontan, tetapi juga memang mengan- dung kebenaran. Perhatikan tiga buah contoh puisi mbeling ber- ikut ini.

MATAHARI SEGITIGA

DANG DUT

(Sri Indarit Sulistyawati, 1972) gendang gendut

tali kecapi kenyang perut karna korupsi

DI BAWAH STOPAN BANG JO

(Sri Indarit Sulistyawati, 1972) Polisi menanti rejeki

PUISI

(Baron Muhammad, 1972) kotak katik kata

Puisi berjudul “Dangdut” karangan Sri Indarit Sulistyawati hanya mengubah dua larik terakhir dari karmina (atau pantun kilat) yang sudah sangat dikenal para pelajar Indonesia, yang berbunyi /Gendang gendut tali kecapi//Kenyang perut senanglah hati/. Penulisan puisi menjadi sekadar mengubah karmina tetapi mampu memberikan kritikan tajam pada para koruptor yang kenyang perutnya. Judul puisi “Di Bawah Stopan Bang Jo” (Sri Indarit Sulistyawati) menunjukkan penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa sehingga menjadi bahasa Indonesia yang tidak baku. Istilah “Stopan Bang Jo” adalah isti- lah bahasa Jawa (tempat berhentinya kendaraan karena ada tan-

da lalu lintas “Abang – Ijo” atau ‘merah-hijau’). Dalam bahasa Indonesia yang baku, judul tersebut seharusnya “Di Perempatan Lampu Merah”. Puisi tersebut hanya berisi satu larik, /Polisi mencari rejeki/. Meskipun hanya berisi satu larik, puisi mbeling ini menyampaikan sebuah kenyataan yang dihadapi sehari-hari,

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

yaitu betapa seringnya polisi mengambil keuntungan dari para pelanggar lalu lintas di jalan raya. Puisi yang berjudul Puisi karya Baron Muhammad mencoba mendefinisikan apakah puisi itu. Puisi bagi Baron Muhammad hanyalah sekadar “kotak katik kata” dan hal itu terwujud dalam puisi-puisi mbeling.

4. Dari Puisi Mbeling ke Puisi Lugu

Istilah mbeling memang dapat menimbulkan masalah. Menurut KBBI (2008: 892), kata mbeling berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘nakal’. Istilah itu pertama kali digunakan oleh Remy Silado (2012: xv-xx) di tahun 1972. Menurut Remy Silado, mbeling adalah istilah Jawa yang berarti ‘nakal’, tetapi nakal yang positif. Nakal yang positif adalah nakal dengan konotasi pintar, mem- punyai tanggung-jawab, mengerti sopan santun, dan mengetahui aturan. Hal inilah yang menyebabkan sekelompok kaum muda membangun kelompok sastra yang kemudian disebut sebagai “Puisi Mbeling” pada tahun 1972. Nama mbeling mula-mula dia gunakan untuk menyebut rubrik baru di Majalah Aktuil di Ban- dung tahun 1972.

Menurut Remy Silado, istilah mbeling digunakan untuk me- lawan konsep WS Rendra yang membangun model perlawanan budaya mapan dengan cara “urakan”. Kata urakan dalam bahasa Jawa berkonotasi jelek; tidak sopan, tidak tahu aturan, kurang ajar. Mbeling dan urakan sama-sama mengungkapkan adanya per- lawanan. Perlawanan pada istilah mbeling memiliki konotasi po- sitif, sedangkan urakan memiliki konotasi lebih keras dan tidak tahu aturan. Mbeling tidak berarti urakan.

Dengan penjelasan tersebut, puisi mbeling sesungguhnya ti- dak perlu ditakuti, seolah-olah akan mengajarkan orang menjadi “nakal” melalui puisi mbeling. Untuk menghilangkan konotasi nakal dalam istilah mbeling itu, Remy Silado kemudian mengubah nama puisi mbeling menjadi “puisi lugu”. Rubrik pada puisi mbeling di Majalah Aktuil pun berubah nama menjadi puisi lugu. Dijelas- kan oleh Remy Silado bahwa lugu adalah menuliskan hasil peng-

MATAHARI SEGITIGA

amatan apa adanya, dengan sikap lugu, tanpa dibebani pikiran tentang baik-buruknya, bersih-kotor, serta indah-jelek.

“Bagi kami puisi yang berbicara apa-adanya seperti puisi- puisi lugu inilah, puisi yang kontemplatif. Segalanya terbuka, tak pakai dewangga, tak pakai kerudung, tak pakai tabir. Jika orang bertanya siapa avant garde dalam puisi kiwari Indonesia, tak susah carinya, sebab jawabnya: Kami-lah itu!” (Sylado dalam Damono, 1978).

Yang dimaksud dengan puisi lugu adalah puisi yang polos, yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif sehingga puisinya mirip dengan bahasa se- hari-hari (Waluyo, 1987: 140). Puisi semacam ini mudah sekali dihayati maknanya. Ada kesan bahwa penyairnya belum mampu mengharmoniskan bentuk fisik untuk makna puisinya. Menurut Waluyo, penyair kurang memiliki kepekaan yang tepat dalam takaran lambang, kiasan, majas. Puisi di atas sangat mudah dipa- hami, seperti puisi anak-anak dan puisi para pemula. Beberapa karya Yudhistira Ardinugraha, seperti “Sajak Sikat Gigi” dan “Biarin” termasuk puisi lugu.

SAJAK SIKAT GIGI

(Yudhistira Ardi Nugraha) Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur Di dalam tidurnya ia bermimpi Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari Sikat giginya tinggal sepotong Sepotong yang hilang itu agaknya Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Puisi berjudul “Sajak Sikat Gigi” karya Yudhistira Ardi Nu- graha ini merupakan puisi lugu, tetapi disusun dalam bentuk

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

humor sehingga pembaca merasa terhibur. Pesan puisi ini pun jelas agar anak-anak menggosok giginya sebelum tidur.

BIARIN!

(Yudhistira Ardi Nugraha) kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kamu tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana cuma karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang seperti itu

kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin

soalnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa, coba, lonte? aku laki-laki. Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu aku rampok hati kamu. Toh nggak ada yang nggak perampok di dunia ini. Iya nggak? Kalau nggak percaya tanya saja sama polisi

habisnya, kalau nggak kubilang begitu mau apa coba bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini berjalan seperti kamu sehari sekarang ini

kamu bilang itu melelahkan. Aku bilang biarin kamu bilang ini menyakitkan

MATAHARI SEGITIGA

Puisi berjudul “Biarin” karya Yudhistira Ardi Nugraha ini menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Terhadap persoal- an hidup yang dikemukakan pun, penyair memilih bersikap polos dan apa adanya. Ia tidak mengajukan argumen dan bantahan yang “berat-berat”, tetapi sebaliknya memilih bersikap terus- terang, polos, dan apa adanya.

Dua buah puisi berikut ini merupakan puisi lugu. Tidak diperlukan perenungan untuk memahami maknanya karena mengartikan ‘pesan’ ibu sebagai sebuah persoalan sehari-hari (puisi “Pesan Anak pada Ibunya”, karya Jeihan) dan memaknai ‘cinta’ tidak dengan pengertian yang rumit-rumit, melainkan dalam pengertian praktis (puisi “Cinta”, karya Jeihan).

PESAN ANAK PADA IBUNYA

(Jeihan) Bu!

Ibu! (Aktuil No. 120/1973)

CINTA

(Jeihan) di bibir hangat

di dahi hangat

5. Penutup

Puisi mbeling atau puisi lugu merupakan salah satu jenis sastra pinggiran karena dianggap menyimpang dari puisi-puisi standar. Puisi mbeling sebenarnya merupakan puisi perlawanan terhadap kemapanan cara berpuisi yang rumit dan canggih. Saya berpendapat bahwa puisi mbeling atau puisi lugu cocok untuk diajarkan dan dipelajari di sekolah-sekolah. Ada dua alasan

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

mengapa puisi mbeling atau puisi lugu perlu diajarkan di sekolah- sekolah.

Pertama, kebanyakan pelajar belum memiliki kemampuan untuk menulis puisi yang setara dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan WS Rendra. Sebaliknya, apabila para pelajar diper- kenalkan dengan model puisi mbeling, yang secara polos dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara spontan tanpa diikat oleh aturan-aturan yang ketat, saya percaya bahwa para pelajar memiliki banyak peluang untuk menjadi penyair mbeling. Setelah terbiasa menulis puisi secara spontan, barangkali kita dapat meningkatkan mutu puisi dengan menulis puisi yang meng- ikuti standar. Dengan demikian, menulis puisi mbeling dapat men- jadi sarana belajar bagi kita untuk menulis puisi yang lebih serius, sesuai dengan standar puisi.

Kedua, usia para pelajar merupakan “usia nakal” karena se- cara psikologis mereka berada dalam tahap pencaharian jati diri. Sementara itu, sekolah-sekolah formal tidak memiliki atau me- nyediakan wadah ataupun sarana bagi murid-muridnya untuk menyalurkan kenakalan mereka. Sekolah justru menjadi sarana pendisiplinan dan tidak memberikan toleransi sedikit pun terha- dap kenakalan remaja. Akan tetapi, yang terjadi justru para pel- ajar, khususnya pada tingkat SLTA, mencari jalan penyalurannya sendiri. Sebagian dari mereka melakukan tawuran, vandalisme, bahkan juga melakukan tindak-tindak kriminal yang lebih berat, seperti mencuri, merampok, membunuh, dan terlibat dalam penggunaan atau pengedaran narkoba.

Puisi mbeling dapat menjadi sarana latihan menulis puisi bagi para pelajar. Selain itu, puisi mbeling dapat juga digunakan sebagai sarana melakukan kritikan terhadap kemapanan dengan cara pandang lugu, polos, dan sederhana. Puisi mbeling, menurut saya, dapat menjadi salah satu sarana positif bagi kaum remaja untuk menyalurkan energi kreatifnya ke arah yang positif.

MATAHARI SEGITIGA

DAFTAR BACAAN

Damono, Sapardi Djoko. 1978. “Puisi Mbeling: Suatu Usaha Pembebasan” dalam Majalah Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pengem- bangan Bahasa Depdikbud.

Emka, Heru. 2012. Antologi Puisi Mbeling: Suara-Suara yang Terpinggirkan. Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala. Taum, Yoseph Yapi. 2012. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia. Sylado, Remy. 2012. “Kata Pengantar: Mbeling Masih Berlanjut” dalam Heru Emka (Ed), 2012. Antologi Puisi Mbeling: Suara-Suara yang Terpinggirkan. Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala. Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

BIODATA PENULIS

Marcelline Gratia Sephira Taum adalah siswa SMA Negeri 1 Depok Jalan Babarsari Depok, Sleman, Yogyakarta. Marcelline lahir di Madiun, 26 April 1995. Alamat rumah di Kronggahan I RT 05 RW 03 Trihanggo, Sleman,

Yogyakarta, telepon 08562750408

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

MEMBENTUK KARAKTER ANAK MELALUI CERITA PENGANTAR TIDUR

Rr. Risang Ayu Dewayani Putri

Apa yang dimaksud dengan cerita pengantar tidur? Menga- pa cerita pengantar tidur bisa membentuk karakter anak? Perta- nyaan itulah yang berada di benak kita setelah membaca judul

ini. Menurut pengertian dari wikipedia, cerita pengantar tidur atau dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemi- kiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup

dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceri-

takan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa membawa pendengarnya terhanyut ke dalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut

dan pesan moral yang disampaikan. Kisah-kisah dongeng yang sering diangkat dari kebanyakan sastrawan dan penerbit biasanya dimodifikasi menjadi dongeng

modern agar tidak membosankan. Salah satu dongeng yang dari dahulu sampai sekarang masih diminati anak-anak ialah kisah 1001 malam dengan tokohnya bernama Abunawas. Sekarang

kisah asli dari dongeng tersebut hanya diambil sebagian saja, kemudian dimodifikasi dan ditambah, bahkan ada yang diganti sehingga melenceng jauh dari kisah dongeng aslinya. Kisah asli-

nya seakan telah ditelan zaman. Sementara itu, cerita yang berisi

MATAHARI SEGITIGA

tokoh para hewan disebut dengan fabel. Salah satunya, yaitu dongeng si kerbau dan burung yang mengajarkan kepada anak- anak untuk saling membantu orang yang sedang mengalami kesusahan.

Cerita pengantar tidur biasanya dibacakan seorang ibu atau ayah untuk mengantar anaknya terlelap menuju mimpi yang in- dah. Dari cerita tidur itulah, anak dapat mengambil manfaatnya yang juga berpengaruh pada pembentukan karakter dirinya. Membacakan cerita pengantar tidur atau mendongeng sudah menjadi hal yang wajib, bahkan menjadi tradisi bangsa Indonesia ini. Terlebih lagi saat zaman belumlah secanggih seperti ini banyak orang tua atau kakek nenek yang menceritakan berbagai cerita untuk anaknya atau cucunya sebelum mereka tidur.

Akan tetapi, membacakan buku atau menceritakan dongeng pada anak sebelum tidur mungkin sudah jarang dilakukan orang tua masa kini. Karena kesibukan yang begitu padat, para orang tua tidak sempat melakukannya. Dan, juga sekarang ini sudah banyak teknologi yang memadai sehingga orang tua cenderung malas atau menyuruh anak mencari cerita sendiri atau mende- ngarkan cerita melalui internet. Amat disayangkan memang, padahal ada banyak manfaat positif yang tidak diketahui orang tua yang bisa diperoleh jika anak didongengkan, bukan hanya untuk membuatnya cepat tidur. Entah itu cerita nyata, tidak nya- ta, atau pengalaman orang tua, yang penting cerita itu membuat anak bahagia, dan sesuai untuk anak.

Mungkin, sebagian dari kita menganggap mendongeng se- belum tidur terkesan kuno. Padahal, momen kebersamaan inilah yang paling ditunggu dan dikenang anak dari orang tuanya. Apalagi, mendongeng sebelum tidur tidak hanya bermanfaat bagi bayi dan orang tuanya. Anak-anak hingga remaja juga bisa mendapatkan keuntungan lebih dari mendengar dongeng. Salah satunya adalah dengan mendongeng, membantu perkembangan bicara dan bahasa anak. Karena itu, mendongeng sebenarnya bisa dilakukan sejak awal-awal kehamilan. Memang terdengar

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

aneh, tetapi kegiatan ini sangat berpengaruh terhadap perkem- bangan otak bayi dengan menyerap suara ibu.

Hal ini juga membantu memperkuat ikatan batin antara ibu dan anak. “Membacakan cerita mendorong perkembangan bicara dan bahasa anak. Selain itu, membantu anak-anak belajar kete- rampilan keaksaraan dengan cara yang menyenangkan,” kata Dr. Sung Min dari Institute of Mental Health di Singapura. Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa atau keterampilan ber- bahasa anak, dongeng dapat disertai dengan bahasa Inggris atau bahasa lainnya.

Manfaat lainnya, mendongeng juga dapat menenangkan anak saat menangis. Pernyataan ini mungkin masih membingung- kan, tetapi membaca cerita merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan stres anak dan orang tua. Dan, bila stres terlalu sering, sistem imun tubuh anak akan menurun dan menjadi ren- tan terhadap penyakit. ”Ketika anak-anak merasa nyaman dan santai, membaca cerita dengan suara yang keras kepada mereka dapat menurunkan tingkat stres mereka,” tulis Patti Jones (dalam www.child.com.htm). Dramatisasi adegan dapat dilakukan untuk mempercepat menenangkan anak, seperti membaca dengan suara yang berbeda sesuai tokoh dalam cerita atau menggunakan sebuah gerakan agar membuatnya lebih menarik.

Mendongeng juga dapat membantu meningkatkan kecer- dasan anak. Ketika membacakan cerita kepada seorang anak yang baru belajar bicara, membaca buku atau cerita yang sama secara rutin dapat mengajarkan kemampuan bahasa anak dan itu bagus untuk meningkatkan memori otaknya. Anak-anak juga dapat mengembangkan imajinasi dan kemampuan daya pa- hamnya.

Jones berpendapat bahwa sebuah buku yang dibaca ber- ulang-ulang dapat membantu anak mengembangkan keteram- pilan logikanya. “Anak-anak pertama kali diceritakan isi buku, mungkin mereka tidak menangkap segalanya. Akan tetapi, saat mereka mendengarnya lagi dan lagi, mereka mulai memperha-

MATAHARI SEGITIGA

tikan pola dan urutan cerita,” kata Virginia Walter Ph.D., seorang profesor bidang studi pendidikan dan studi informasi di Uni- versity of California .

Membacakan cerita pengantar tidur menjadi latihan anak untuk memahami pelajaran akademis. “Lakukan dengan cara yang positif dan menyenangkan agar hasilnya bermanfaat,” ujar Sung. “Orang tua tidak harus mencoba menguji kemampuan membaca anak atau memaksa anak untuk membaca materi yang sebenarnya dia tidak siap. Orang tua sebaiknya jangan memaksa untuk menikmati cerita dan berbicara dengan si anak mengenai informasi atau cerita .

Anak-anak mempunyai tahap-tahap perkembangan psiko- logi. Awal masa kanak-kanak berlangsung dari dua sampai enam tahun. Anak-anak masa ini oleh para ahli psikologi disebut se- bagai usia penjelajah dan usia bertanya karena anak-anak pada masa ini gemar menjelajahi lingkungan dan memiliki dorongan ingin tahu mengenai apa yang ada di sekitarnya. Pada masa ini pula dapat terjadi bahaya fisik maupun bahaya psikologis se- hingga sangat tepat untuk pemberian cerita pengantar tidur. Anak memiliki bahasa fisik yang penting yaitu sakit, kematian karena kecelakaan, mudah terserang penyakit terutama penyakit pernafasan, serta tangan kidal karena masa ini merupakan masa penentuan penggunaan tangan terutama mulai memusatkan pada keterampilan satu tangan.

Setelah masa anak-anak awal berakhirnya, yaitu masa anak sekolah yang berlangsung dari umur enam tahun sampai umur dua belas tahun. Para pendidik menyebut masa ini dengan “usia sekolah dasar” karena anak pada umur-umur ini mengikuti pen- didikan di sekolah dasar dengan harapan memperoleh dasar- dasar pengetahuan dan keterampilan yang penting artinya untuk keberhasilan penyesuaian hidup ketika dewasa nanti yang juga didukung oleh peran dan perhatian orang tua.

Menurut ahli psikologi, anak-anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan juga mengalami berbagai kendala. Pada da-

Antologi Esai dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Esai dan Cerpen Tahun 2012

sarnya seorang anak memiliki empat masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya, yaitu pertama out of law /tidak taat aturan (misalnya, susah belajar, susah men- jalankan perintah). Kedua, yaitu kebiasaan jelek (bad habit) (misal- nya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek). Ketiga adalah penyimpangan (maladjustment) perilaku. Dan terakhir, yaitu masa bermain yang tertunda (pause playing delay). Keempat masalah di atas sedikit banyak akan mempengaruhi hubungan antara anak dan orang tuanya. Walaupun keduanya menyadari bahwa mereka memiliki masalah, tampaknya mereka (baik orang tua maupun anak) cenderung untuk saling mempertahankan hak- hak mereka, dan bukan mempertahankan kewajiban mereka.

Oleh karena itu, sangatlah penting membentuk karakter anak masa dini. Pada usia dini yaitu 0—6 tahun, otak berkem- bang sangat cepat hingga 80%. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa perkembangan fisik, mental, dan spiritual anak akan mulai terbentuk. Oleh karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa keemasan anak (golden age).