Agama Islam

4. Agama Islam

Kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “tidak kacau”. Kata agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”, sehingga mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam Bahasa Inggris dan religie dalam Bahasa Belanda, dimana keduanya berasal dari bahasa Latin yaitu religio, berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat (Dadang Kahmad 2002 :13). Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini tanpa kecuali. Agama merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat dan dapat dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsur-unsur yang lain, seperti

commit to user

sosial. Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu sebagai berikut :

1. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjektif atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi ini biasa disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi ini hampir sama dengan konsep “Religius Emotion” yang diutarakan Emile Durkheim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “makhluk Tuhan”. Dimensi religiusitas merupakan inti dari keberagamaan yang membangkitkan solidaritas seseorang menjadi orang yang saleh dan takwa.

2. Segi objektif (Objective state), yaitu segi luar yang disebut sebagai kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan. Dalam segi ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat (Dadang Kahmad 2002 : 14).

Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Seperti masyarakat non-agama umumnya demikian pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti misalnya kelompok- kelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.

Penjelasan bahwa masyarakat agama sebagai sasaran bukan berarti agama sebagai suatu sistem ajaran, melainkan agama dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang. Sosiologi Agama mengkonstatasi

“supraempiris”, yaitu disebut dengan istilah masyarakat agama. Masyarakat

commit to user

unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan (Hendro puspito 1983 : 8-9).

Sosiologi Agama berusaha mencari dimensi sosiologis, sampai sejauh mana agama dan nilai-nilai kegamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi kegiatan manusia, seperti seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian para pemeluknya. Berdasarkan hasil studi para sosiolog, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu atau kelompok yang memiliki

saling bergantung

(interdependence) dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.

Islam ialah agama samawi yang terkandung dalam Al-Quran, yang dianggap penganutnya sebagai kalam Allah, kata demi kata, serta ajaran dan contoh normatif nabi terakhir Nabi Muhammad S.A.W. Perkataan Islam bermaksud "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Seorang penganut Islam dikenali sebagai Muslim, bermaksud "seorang yang tunduk (kepada Allah)". Muslim percaya bahwa Allah itu Esa dan tujuan hidup ialah untuk menyembah Tuhan. Muslim juga percaya bahawa Islam merupakan versi lengkap dan sejagat kepercayaan monoteistik ajaran Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan lain-lain nabi. Nabi Muhammad S.A.W. bukanlah pengasas agama baru, sebaliknya menjadi pemulih keimanan monoteistik ajaran nabi-nabi terdahulu.

Tradisi Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristian memutarbalikkan wahyu yang Allah berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks atau memperkenalkan tafsiran palsu, atau kedua-duanya. Amalan keagamaan Islam termasuklah Rukun Islam, yang merupakan lima tanggungjawab yang menyatukan Muslim ke dalam sebuah masyarakat. Selain itu, terdapat syariat Islam (syari'ah) yang menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktik seperti hukum pemakanan dan perbankan kepada jihad dan zakat. (www.wikipedia.org)

commit to user

Islam sinkretik adalah Islam Jawa yang merupakan campuran antara Islam, Hindu, Budha, dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu-Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam, dan keyakinan lokal, maka tidak ditemui unsur tersebut di dalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya.

Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika Islam datang ke Jawa, mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.

Kajian Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz, “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan politik. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan.

Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun di atas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat

commit to user

Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi.

Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang Jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.

Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo- modernisme. Corak ke-Islaman seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.

Tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing- masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi, misalnya Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan, upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba.

commit to user

hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan, dengan kata lain substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.

Koentjaraningrat (1994: 326) membagi keberagaman masyarakat Jawa menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Kategori yang pertama kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur- unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, dan mereka inilah yang disebut sebagai masyarakat sinkretik, sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran agama Islam dan bersifat puritan. Meski sudah memeluk Agama Islam, namun masih banyak masyarakat yang menjalankan berbagai ritual animisme dinamisme, sehingga disebut sebagai Islam abangan. Segala macam ritual dan meditasi yang bersifat religus banyak ditujukan untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib.

Berbagai macam ritual tersebut disebut dengan tindakan-tindakan keagamaan. Dalam Agama Jawa, tindakan-tindakan keagamaan yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa halusnya disebut dengan wilujengan atau dalam bahasa ngoko disebut sebagai selamatan. Selamatan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agami Jawi khususnya. Suatu upacara selametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga, kerabat, teman- teman, dan sebagainya. Rangkaian selametan biasanya terdiri dari nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk dan pelengkapnya (Koentjaraningrat, 1994 : 345). Masyarakat Jawa melakukan acara ritual untuk menghormati leluhur ataupun danyang.

Perbedaan Islam pesisir dan pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam Jawa. Namun seiring dengan perubahan sosial

commit to user

didapatkan. Hal ini terjadi adanya perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.

Islam pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki perbedaan- perbedaan yang unik. Perbedaan itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat perbedaan Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.

Lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.

b. Islam Puritan

Islam puritan adalah aliran yang identik dengan fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, dan jahidis. Islam Puritan menentang konsep-konsep seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan pengakuan akan peran perempuan. Sejarah Islam Puritan lebih tepatnya dikatakan dari kaum Wahhabi, dimana dasar- dasar teologi Wahhabi dibangun oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab yang sangat fanatik pada abad ke-18. Perlu dipahami bahwa Islam Puritan sangat menentang modernitas (Barat), menurut mereka umat muslim wajib kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus. Artinya, umat Islam tidak boleh bersahabat dengan dengan mereka yang bukan muslim atau muslim

yang dinilai bidaah.( Khaleb A. El Fadl, 2006: 27).

Bagi Islam puritan menafsirkan agama dalam proses penjadian sama dengan mengkhianati apa yang telah diberikan oleh Allah. Kaum puritan selalu

commit to user

menafsirkan teks keagamaan, dan karena kemampuan manusia dalam menafsirkan teks diabaikan maka estetika dan wawasan moralitas dinilai tidak relevan dan tidak berguna. Karena teks menjadi pegangan maka kehidupan yang berada di luar hukum Tuhan dinilai tidak benar sehingga harus diperangi atau dihukum.

Hukum yang dimaksud disini adalah Al-Quran dan Tradisi Nabi (hadist dan sunah), menurut mereka 90% (dalam syari’at) dari apa yang mereka anggap hukum yang terwayuhkan tidak terbuka bagi perdebatan, tidak boleh dipertanyakan, dan hanya 10% dari hukum yang terbuka bagi perdebatan.