Pondok Pesantren

5. Pondok Pesantren

a. Hakikat Pondok Pesantren

Definisi dari kosakata pondok pesantren dapat dikaji dengan memperhatikan makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent). Dikatakan seperti itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu kondisi yang menuntut adanya sebuah totalitas.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren dikenal sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna fiddîn (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita mengenal nama-nama seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto, Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi. Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni pesantren yang menjadi ulama

besar dikemudian hari.

commit to user

memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlaq yang tinggi. Hal ini terkait dengan metode pendidikan yang dikembangkan para kiai di pesantren. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar untuk menerima etik (peraturan moral) agama di atas etik-etik lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamankan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah. (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 20-21)

Pesantren dianggap sebagai salah satu pilar benteng pertahanan umat. Hal ini sangat disadari musuh-musuh Islam. Sehingga mereka berusaha melemahkan peran pesantren agar tidak lagi memiliki peran. Keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup -bahkan seluruh aspek kehidupan manusia- merupakan kunci kesejahteraan. Stabilitas hidup memerlukan keseimbangan dan kelestarian di segala bidang, baik yang bersifat kebendaan mau pun yang berkaitan dengan jiwa, akal, emosi, nafsu dan perasaan manusia. Islam sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits juga menuntut keseimbangan dalam hal-hal tersebut, keseimbangan mana sering disebut al- tawassuth atau al-i’tidal.

Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini merupakan akibat dari pelbagai kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan- kemungkinan yang terjadi di masa mendatang yang akan menyulitkan generasi berikut. Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting artinya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia mau pun akhirat, di mana aspek-aspeknya tidak dapat terlepas dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan

commit to user

antara semua unsur tersebut sangat rnempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap rasional manusia yang berwawasan luas dengan penuh pengertian yang berorientasi pada kemaslahatan makhluk.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendilikan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah mau pun jasmaniah.

Pesantren yang menyatu dengan masyarakat tahu benar denyut nadi masyarakat. Sebagaimana masyarakat pun tahu siapa pesantren dengan kiai dan para santrinya. Para santri di pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga di dalam kehidupan nyata mereka belajar tentang hidup. Karena bersatunya santri dan masyarakat itulah, pesantren kemudian tidak kebingungan meneliti lingkungan hidup.

Bilamana mereka harus mengabdi kepada masyarakat, mereka merumuskan sikapnya terhadap masyarakat sejak masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren itu sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat. Atau dapat juga disebut, kehidupan pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah dan pelayanan masyarakat.

Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Bertolak dari prinsip itu, pesantren memberikan arahan pendidikan lingkungan hidup dengan berbagai macam aspeknya.

commit to user

dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun, tidak bisa lepas dari keterkaitan mereka dalam pelbagai konteks sosial, di mana rnereka berarti mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan, terhadap dirinya sendiri dan orang lain maupun terhadap Allah SWT.

Dalam hal tersebut pesantren menekankan pentingnya arti tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, berarti keharusan meningkatkan kemampuan pribadi untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung jawab terhadap orang lain, merupakan sikap dan perilaku yang rasional di dalam berkomunikasi dengan orang lain dan alam di mana kehidupan manusia secara lahiriah selalu tergantung padanya. Kemudian tanggung jawab terhadap Allah SWT adalah dalam bentuk disiplin norma dan ajaran di dalam pengelolaan alam. Disiplin sosial sesuai dengan norma mu'asyarah dan mu’amalah antar sesama makhuk. Ini dalam rangka meningkatkan “keakroman" yang dapat menumbuhkan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari.

Upaya pembinaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan dua pokok pendekatan. Pertama, pendekatan proyek dan kedua, pendekatan motivasi. Atau keduanya sekaligus dilakukan secara terpadu. Pendekatan kedua (motivasi) walaupun akan memerlukan waktu yang relatif panjang, akan berdampak lebih positif karena pihak sasaran secara berangsur akan mau mengubah sikap dan perilaku secara persuasif. Perilaku dan sikap acuh tak acuh terhadap masalah ingkungan hidup akan berubah menjadi suatu sikap dinamis yang terus berkembang yang akan berkulminasi pada stabilitas pembinaan lingkungan hidup. Pendekatan motivasi seperti itu dapat dilakukan dalam pola pendidikan di pesantren. Kesadaran akan keseimbangan lingkungan hidup yang muncul dari pengertian dasar tentang masalah-masalahnya serta implikasinya terhadap kesejahteraan ukhrawi dan duniawi dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui jalur pendidikan di pesantren.

commit to user

hidup secara duniawi dan ukhrawi, merupakan peranan dan peran serta nyata dalam pembinaan lingkungan hidup. Bila peranan itu mampu dilembagakan, akan banyak berpengaruh positif di kalangan masyarakat sekelilingnya. Mengingat posisi pesantren sebagai lembaga dakwah, berfungsi pula sebagai titik sentral legitimasi keilmuan agama Islam bagi masyarakatnya, melalui kegiatan pendidikan formal pesantren (yaitu madrasah) dan pengajian weton maupun pengajian rutin yang melibatkan masyarakat di sekelilingnya.

Pendidikan itu dilakukan secara integratif ke dalam komponen-komponen akidah, syari'ah dan akhlak. Namun diberikan atau dikenalkan dalam satu paket ikhtiar peningkatan sarana keberhasilan sa'adatud darain. Faktor integratif yang mengatur pola hubungan antar sesama di tengah-tengah masyarakat di dalam menyumbangkan nilai-nilai kehidupan, juga merupakan peranan lain yang mampu dilakukan oleh pesantren untuk mengembangkan dirinya dan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya pembinaan lingkungan hidup.

Pesantren dengan fungsi dan peranannya seperti tadi, sarat dengan pelbagai kegiatan edukatif mau pun pelayanan masyarakat. Sehingga untuk diperansertakan dalam pembinaan lingkungan hidup, perlu adanya pola pendekatan yang tidak mengganggu tugas-tugasnya. Lebih-lebih tidak akan mengganggu identitas pesantren. Langkah awal yang perlu ditempuh, adalah pengenalan masalah-masalah lingkungan hidup dan implikasinya terhadap segala aspek kehidupan. Kemudian penumbuhan kesamaan wawasan keagamaan yang berkait dengan lingkungan hidup yang mampu memotivasi pesantren dalam mencari sendiri alternatif-alternatif pemecahannya sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Kesiapan pesantren untuk melakukan pembinaan lingkungan hidup sangat mempengaruhi efektivitas kerja secara dinamis. Namun kesiapan itu akan banyak tergantung pada wawasan dan potensinya. Sementara itu masih ada pesantren yang berwawasan eksklusif di dalam mencerna ajaran Islam. Oleh karenanya pengenalan dan penumbuhan dimaksud, memerlukan pola

commit to user

berbeda-beda, dalam hal wawasan, potensi antisipasi ke depan maupun tenaga ahli dan tenaga dukungnya.

Kemungkinan-kemungkinan proyeksi pesantren pada pembinaan lingkungan hidup itu perlu perumusan matang. Apakah pesantren bertindak sebagai penunjang atau pelengkap, ataukah sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator? Semuanya akan menuntut adanya program tertentu yang tentu akan berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan status tersebut Di Indonesia pondok pesantren bisa berkembang pesat berkat kerjasama dari lembaga- lembaga Islam, salah satunya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU)

adalah suatu organisasi dengan keanggotaan yang diperkirakan lebih dari 35 juta orang, merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yang keberadaannya dipandang memiliki kekuatan, baik dalam organisasi Islam maupun dalam gerakan Islam. NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama terkemuka yang hampir seluruhnya merupakan para pemimpin pondok pesantren dibawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari.

Tujuan didirikannya adalah untuk memperjuangkan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren. Karena pada tahun 1920-an banyak ulama yang merasa prihatin terhadap pesatnya perkembangan modernisme Islam dan keberhasilannya menarik banyak umat Islam dari wilayah ajaran dan praktek Islam tradisional. Dalam pondok pesantren NU akan lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan dan ekonomi, diantaranya dengan meningkatkan komunikasi antar ulama, memperbaiki mutu sekolah-sekolah Islam, menyeleksi kitab-kitab yang dipelajari di pesantren dan mendirikan badan-badan untuk membantu kegiatan pertanian dan perdagangan umat Islam.

Pesantren menawari suatu model pendidikan yang tidak hanya sekadar pendidikan sekuler tetapi juga pendidikan ilmu agama Islam. Bahkan ada pesantren yang hanya menawari pendidikan ilmu agama Islam saja. Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia sama sekali

commit to user

jaringan pesantren Indonesia. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti.

Pondok pesantren di Jawa membentuk macam-macam jenis pondok pesantren yang dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Hasyim (1998: 39) memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam sebuah pesantren antara lain, Kyai, masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

1) Kyai Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999: 144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, "kyai garuda kencana" dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55).

Kyai adalah seorang pakar ruhani keagamaan yang mempunyai spritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah SWT). Jadi orang bisa dikatakan Kyai, jika mereka benar-benar menjadi

commit to user

kepada santri-santinya. Seorang Kyai bukan hanya mengajar ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan pola hidup yang sehat dan sederhana. Kyai juga memiliki keahlian dan ketrampilan bermacam-macam. Ada seorang Kyai yang khusus mengajar al-Qur’an, sehingga melahirkan santri-santri penghafal al-Qur’an, begitu juga khusus Ilmu hadis. Memang tidak menafikan bahwa pada realitasnya, banyak Kyai memiliki keahlian pengobatan tradisional (alternative), yang Lazim disebut dengan (Tabib). Ada juga yang memiliki keahlian ceramah dan menulis buku. Ada juga yang menekuni bidang Ekonomi hingga menjadi Kyai Yang kaya Raya (Konglomerat) sebagaimana Usman Ibn Affan dan Imam Abu Hanifah. Ada juga Kyai yang Ahli Falak, Hisab (Astronomi), serta statistik, metafisika. Ada juga Kyai yang menekuni bidang kepemimpinan dan politik praktis hingga menjadi seorang menteri atau presiden. Dari sekian keahlian dan ketrampilan sang Kyai, kebanyakan dari mereka mendalami ilmu agama, seperti Fikih, hadist, tafsir, serta cabang-cabang ilmu agama yang lain.

Kyai mengeluarkan untuk perannya baik di dalam maupun di luar pondok pesantren tergantung pada prioritas setiap kyai. Misalnya, Pak Kyai Hashim Muzadi, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, memprioritaskan peran dan tugasnya sebagai ketua NU daripada perannya sebagai kyai. Oleh karena kesibukan dengan tugas di luar pondok pesantren, dia jarang berada di PP Al Hikam, maka para Ustad bertanggung jawab untuk mengajar dan mendidik santrinya. Namun demikian, perannya di dalam masyarakat umum masih sangat penting.

Menurut K.H. Aslam, peran kyai dalam masyarakat umum adalah “untuk membantu masyarakat dalam kepentingan baik tingkat moral maupun material dan juga untuk memberikan input ke dalam masyarakat.” Maka K.H. Aslam terlibat dalam macam-macam aspek kehidupan masyarakat, terutama bidang politik dan keagamaan. Kegiatan K.H. Aslam tersebut menunjukkan bahwa dia sejak dulu sudah seorang

commit to user

gelar kyai, seorang harus sudah memainkan peran dalam urusan masyarakat, dan peran tersebut memang tambah penting dan luas kalau sudah menjadi kyai.

Salah satu peran kyai dalam pondok pesantren adalah untuk memberi pengajian kepada santrinya. Pemberian pengajian tersebut juga merupakan peran kyai di luar pondok pesantren. Perannya di luar pondok pesantren dapat dilihat dari kegiatan-kegiatannya dalam bidang politik dan urusan keagamaan masyarakat Muslim. Kyai di Jawa merupakan jaringan tokoh masyarakat Indonesia yang sejak dulu memiliki peran penting, terutama dalam bidang politik dan agama. Pendapat ini juga dimiliki Zamakhsyari Dhofier (1985: 56) yang dalam penelitian mengenai pandangan hidup kyai, Tradisi Pesantren, dia menyampaikan kesimpulan bahwa “sebagai suatu kelompok, para kyai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa yang merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.”

2) Masjid Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Dalam konteks sejarah dakwah, masjid adalah tempat pertama yang dibangun Rasulullah Muhammad SAW untuk menunjang aktivitas dakwahnya. Pada saat itu, masjid adalah pusat segala kegiatan yang terperinci ke dalam tiga fungsi. Yaitu fungsi religi, fungsi pendidikan, dan fungsi sosial, pemberdayaan serta pengembangan ekonomi masyarakat.

commit to user

kepada Allah SWT. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah bersabda: diantara sekian ibadah manusia kepada Tuhannya, sujud merupakan momentum yang paling dekat dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya (aqrobu ‘abdin ilallahi wahuwa saajidun). Dalam bingkai sujud inilah seorang hamba biasanya mengadukan persoalannya, meminta, dan memohon ampunan-Nya.

b.) Fungsi kedua adalah fungsi pendidikan yaitu untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk muslim di daerah luar termasuk di dalam pondok pesantren.

c.) Fungsi ketiga adalah fungsi sosial. Pada masa rasul, masjid adalah pusat melakukan studi atas segala hal yang terjadi di masyarakat. Jikalau ada satu jamaah saja yang sakit, maka jama'ah yang lain akan segera mengetahui keadaannya. Dari masjid ini pula seluruh jama'ah yang tidak mampu didata, kemudian dibantu dan diberdayakan secara ekonomi. Maka tidak heran jika pada masa itu muncul para dermawan seperti sahabat Abu Bakar dan Sayyidina Utsman yang memberikan seluruh hartanya untuk membantu para fakir miskin jamaah masjid.

Pendidikan Islam dan masjid berkaitan sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting di dalam masyarakat, misalnya sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai "tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik" (Dhofier 1985: 49). Masjid di dalam dan diluar pondok pesantren tidak jauh beda

commit to user

diprioritaskan untuk kegiatan para santri dalam menunutut ilmu.

3) Santri Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap- tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita- cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52).

Orang-orang santri ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan seterusnya. Identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007). Meskipun pencitraan ini realistis, namun ada kesan inferioritas di sana, sebab pencitraan seperti di atas, juga disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan klenik, berbau kuno/klasik, dan seolah-olah anti-modernitas. Banyak orang yang

commit to user

takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.

Peran santri dalam masyarakat menurut Azyumardi Azra (2001:80), santri memainkan peran penting dalam kecenderungan islamisasi atau re- islamisasi di kalangan umat Islam Indonesia. Proses ‘kebangkitan Islam’ ini diindikasikan oleh bertambahnya jumlah masjid dan tempat ibadah lainnya di Indonesia, pertumbuhan jumlah orang yang pergi haji ke Arab Saudi, dan berdirinya organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Islam baru, seperti Bank Islam dan Asuransi Islam. Istilah selain dari kebangkitan Islam yang sering dipakai di Indonesia untuk menggambarkan kecenderungan tersebut adalah ‘santrinisasi’.

Proses santrinisasi adalah santri yang mengalami re-islamisasi selama pendidikannya di pesantren karena proses penanaman ajaran dan praktik-praktik Islam lebih intens di lingkungan sistem pendidikan pesantren daripada sistem pendidikan lain. Menurut teori Azyumardi Azra (2001: 80), santri bahkan mengajarkan kepada orangtua mereka yang acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam. Umumnya orang tua merasa malu akibat ketidaktahuan mereka mengenai ajaran dan praktik Islam tertentu kepada anak-anaknya sehingga mereka mulai mempelajari Islam.

Para santri dididik supaya memiliki keterampilan kemandirian dan menghayati tugasnya serta perannya menurut ajaran Islam di dalam masyarakat sebagai perempuan, Ibu, isteri, tetangga, pekerja dan seorang alim. Pada saat pulang kampung, santri-santri membawa ilmu barunya ke rumah dan berbagi pengalamannya kepada orang tuanya, saudaranya dan temannya tentang apa yang mereka lakukan di pondok dan apa yang pernah dipelajari. Peran santri dalam proses kebangkitan Islam sangatlah penting, karena beberapa macam fakta lain seperti keadaan politik di Indonesia dan di arena internasional yang mempengaruhi perkembangan agama Islam di Indonesia.

commit to user

Definisi singkat istilah 'pondok' adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama pars santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang lugs dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri clan rumah kyai, termasuk perumahan ustadz, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu manfaat pondok selain dari yang digunakan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi, santri untuk mengembangkan keterampilan kemandiriannya agar mereka slap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985: 45).

5) Kitab-Kitab Islam Klasik Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warm kertas, edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.

commit to user

Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren." Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab. yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab- kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999: 144).

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1. Nahwu dan shorof (morfologi);

2. Fiqh; 3. Ushul fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawwuf dan etika; dan 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah clan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51). 1.) Nahwu dan shorof (morfologi)

Nahwu adalah kaidah-kaidah Bahasa Arab untuk mengetahui bentuk kata dan keadaan-keadaannya ketika masih satu kata (Mufrod) atau ketika sudah tersusun (Murokkab). Termasuk didalamnya adalah pembahasan Shorof. Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya ketika mufrodnya.

2.) Fiqh Fiqih menurut bahasa berarti paham. Sedangkan menurut istilah Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil- dalilnya yang terperinci, maksudnya bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu. Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

commit to user

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.

b. AS-SUNNAH

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat bagaimana tatacaranya yang terdapat dalam as- Sunnah. Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

c. IJMA’

Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad SAW atas suatu hukum syar’i dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin. Apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

commit to user

Qiyas adalah mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antarkeduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan. Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’. Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil),

2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

3.) Ushul Fiqh Pengertian Ushul Fiqh yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil- dalilnya yang terperinci. Adapun ilmu-ilmu dalam Ushul Fiqh, antara lain:

1. Dalil-dalil syarak: merangkumi dalil-dalil yang disepakati

dan dalil-dalil yang tidak disepakati.

2. Dilalah: merangkumi kaedah-kaedah istinbat hukum dari nas-

nas Al-Quran dan As-Sunnah.

3. Ta'arudh dan Tarjih: perbahasan tantang percanggahan antara dalil-dalil serta Jalan jalan penyelesaiannya.

4. Ijtihad dan Mujtahid: merangkumi persoalan taqlid dan

muqallid.

5. Hukum-hukum Kulli: merangkumi hukum-hukum taklifi dan

hukum wad'ie.

commit to user

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al- Qur'an. Ada banyak ulama periwayat hadits, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

5.) Tafsir Pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Tafsir merupakan sebuah kata yang dengannya kita mampu menjelaskan segala sesuatu, baik yang belum jelas, kurang jelas, tidak jelas, maupun yang sudah jelas agar lebih jelas untuk memudahkan dan menambah pemahaman dalam perenungan sesuatu, sehingga semakin mendekatkan pada penghayatan.

6.) Tauhid Tauhid diambil kata : Wahhada-Yuwahhidu-Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. ( al- Baqarah 163 Muhammad 19 ).

Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan

commit to user

memperjuangkan tauhid ). Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.

a. Rububiyah

Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta.

b. Uluhiyah/Ibadah

Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bangi-Nya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan.”

c. Asma wa Sifat

Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagungan-Nya. Umat Islam mengenal

99 asma’ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah.

7.) Tasawwuh Tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.

8.) Tarikh Tarikh adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan- aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan

commit to user

(tentang nilai baik dan buruk).

9.) Balaghah Balaghah ialah menyampaikan makna yang agung secara jelas dengan menggunakan kata-kata yang benar dan fasih, yang memiliki kesan dalam hati dan cukup menarik, serta sesuai setiap kalimatnya kepada kondisi atau situasi sekaligus orang-orang yang diajak bicara.

b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia

Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia clan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan barn. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.

Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar hares mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas, dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah (Dhofier, 1985: 41).

Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun

commit to user

kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas- luasnya dan membuka secara lugs jabatan-jabatan dalam administrasi modem bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum, yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil yang berhenti, dikarenakan santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985: 41).

Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan clan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya clan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997: 150) bahwa jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia.

Menurut Laporan Departemen Agama RI di Jawa tahun 2004 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1.

Tabel 1: Jumlah Pesantren, Madrasah dan Santri di Jawa pada tahun 2009 (Laporan Departemen Agama RI)

Propinsi Daerah