Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
1
I. PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi, yang sebenarnya sama pentingnya dengan faktor-faktor produksi umum lainnya yakni modal dan tenaga kerja. Sayangnya,
untuk satu faktor ini, selama ini, terutama sejak krisis ekonomi 199798, kurang sekali perhatian pemerintah dalam penyediaan infrastruktur, khususnya di wilayah di luar Jawa, atau Indonesia Kawasan Timur. Hal ini karena setelah
krisis pemerintah harus fokus pada hal-hal yang lebih mendesak seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan, mencegah pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan
kembali kondisi politik dan sosial. Akibatnya, kondisi infrastruktur terpuruk di mana-mana. Mutu infrastruktur Indonesia menduduki peringkat terendah di kawasan dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, investasi asing,
pengentasan kemiskinann dan mutu lingkungan hidup. Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah sudah mulai menunjukkan perhatian yang
serius terhadap pembangunan infrastruktur. Ada dua hal yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta dalam memperbaiki kondisi infrastruktur di dalam negeri, yakni membangun infrastruktur baru
dan memperbaiki kondisi infrastruktur yang sudah ada. Tulisan ini punya dua tujuan utama, yakni menjabarkan kondisi infrastruktur di dalam negeri hingga saat ini dan
memberikan langkah-langkah alternatif untuk mempercepat perbaikan kondisi infrastruktur di Indonesia.
II. PERMASALAHAN
Permasalahan infrastruktur di Indonesia secara keseluruhan adalah ISEI, 2005: 1 menurunnya belanja untuk infrastruktur karena salah satunya akibat keterbatasan dana; 2 rendahnya kinerja
infrastruktur; 3 rendahnya tingkat recovery infrastruktur; 4 kesenjangan pembangunan infrastruktur antar wilayah; 5 kesenjangan aksesibilitas infrastruktur; dan 6 inefisiensi penyediaan infrastruktur.
Permasalahan tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga membentuk suatu vicious cycle. Apabila ma
aka dapat memperbaiki kondisi infrastruktur secara keseluruhan. salah tersebut dapat diatasi m
II.1 Menurunya Belanja untuk Infrastruktur
Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama tahun 1993 hingga tahun 2002 mengalami tren yang menurun. Pada tahun 19931994, rasio pengeluaran untuk infrastruktur terhadap PDB sekitar 5,34,
sementara tahun 2002 hanya 2,33 Gambar 1. Besarnya rasio belanja infrastruktur terhadap PDB kurang dari 4 menempatkan Indonesia dalam jajaran negara dengan rasio investasi infrastruktur terhadap PDB
terendah diantara negara-negara berkembang lainnya Tabel 1. Krisis ekonomi 199798 membuat kondisi infrastruktur di Indonesia menjadi sangat buruk. Bukan saja
pada saat krisis, banyak proyek-proyek infrastruktur baik yang didanai oleh swasta maupun dari APBN ditangguhkan, tetapi setelah krisis, pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur
berkurang drastis. Secara total, porsi dari APBN untuk sektor ini telah turun sekitar 80 dari tingkat pra-
krisis. Menurut laporan Bank Dunia 2004, pada tahun 1994, pemerintah pusat membelanjakan hampir 14 milyar dolar AS untuk pembangunan, 57 diantaranya untuk infrastruktur. Pada tahun 2002 pengeluaran
pembangunan menjadi jauh lebih sedikit yakni kurang dari 5 milyar dolar AS, dan hanya 30-nya untuk infrastruktur Gambar 2 3.
Gambar 1. Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur PDB
5,34 4,39
4,1 3,63
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
2
3,13 3,12
2,78 2,33
1 2
3 4
5 6
19931994 19941995
19951996 19961997
19971998 19981999
2000 2002
Sumber: World Bank, 2004
T asio Investasi Infrastruk
D
abel 1. R tur Terhadap PDB Dalam 5 Tahun Terakhir
0-4 persen 4-7 persen
atas 7 persen Kamboja La s
o Cina
Indonesia Mongolia Thailand Filipina Vietnam
Sumber. Raden Pa 2005.
rdede dalam Infrastructure Financing: the Indonesian Challenges, 2005, dikutip dari Winoto
Gambar 2: Total Pengeluaran Infrastruktur nominal, milyar dolar AS
2 4
6 8
10 12
14
1996 2001
Pemerintah Swasta
Sumber: World Bank 2004
Khususnya menjelang pertengahan 90-an hingga tahun 1996 investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri cukup besar dan meningkat setiap tahunnya. Namun, setelah krisis, akibat
banyak perusahaan-perusahaan swasta, khususnya skala besar dan di sektor konstruksi yang mengalami krisis keuanganhutang, investasi non-pemerintah di sektor ini juga mengalami pengurangan yang drastis
lebih dari 90 dari tingkat tertingginya pada tahun 1996, sampai titik terendahnya pada tahun 2000 Gambar 4. Selama ini peran swasta dalam investasi di infrastruktur lebih terfokus pada sektor
telekomunikasi dan enerji Gambar 5.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Gambar 3: Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pusat dari jumlah pengeluaran
43 57
70
30
3
10 20
30 40
50 60
70
1994 2002
Lainnya Infrastruktur
postel, perumahanpemukiman, irigasi, transportatsi, meteorologi geofisika dan h.
umber: Departemen Keterangan: infrastruktur terdiri d
pembangunan daera ari
S Keuangan
Gambar 4: Participasi Swasta di sektor infrastruktur juta dolar AS
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000
1992 1993
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002
um S
ber: Bank Dunia PPI database
Gambar 5: Partisipasi Swasta dalam infrastruktur menurut sektor, 1990-2002 juta dollar AS
2000 4000
6000 8000
10000 12000
Sumber: WB PPI database
Airsanitasi Transport
Energi Telekom
Pemerintah mentargetkan pertumbuhan PDB tahun 2006 mencapai 6 atau lebih. Menurut laporan World Bank 2004, berdasarkan perbandingan internasional maupun dengan pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur sebelum krisis ekonomi, maka untuk mencapai target pertumbuhan tersebut diperlukan
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
4 tam
a untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Rencana ini termasuk selesaikan pada
tahun 2006 Kompas, 2006a.
Gambar 6: Gap dalam pengeluaran untuk infrastruktur dari PDB
bahan investasi di infrastruktur sebesar 5 milyar dolar AS, atau harus mencapai 5 dari PDB Gambar 6.
Menurut pemerintah, untuk merehabilitasi infrastruktur yang rusak dan membangun yang baru perlu Rp 1.000 triliun dalam 5 tahun. Jadi, rata-rata setahun Rp 200 triliun. Hanya 20 yang dibiayai oleh
pemerintah lewat APBN. Oleh karena itu, pemerintah akan membentuk lembaga pembiayaan yang akan menampung seluruh aliran dan
salah satu dari 153 kebijakan yang masuk dalam Paket Kebijakan Infrastruktur yang harus di
5 target
2 3
4 5
6 7
8
Sw asta Publik
Nasional 1
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002
Sumber: World Bank 2004
Belanja infrastruktur di daerah juga dapat dikatakan sangat kecil, walaupun sejak dilakukannya desentralisasiotonomi daerah, pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat, sementara
pengeluaran pemerintah pusat untuk infrastruktur mengalami penurunan yang drastis Gambar 7. Berdasarkan kelompok kapasitas fiskal seperti yang dijabarkan di Tabel 2, diperoleh gambaran bahwa pada
tahun 2003 propinsi hanya membelanjakan maksimal sekitar 14,7 untuk belanja infrastruktur dari total belanja daerah. Sedangkan kabupaten dan kota masing-masing membelanjakan maksimal 16 dan 20
bela
akan terjadi kepincangan pembangunan infrastruktur antara tingkat nasional dan daerah, yang pada akhirnya akan
menghambat kelancaran investasi dan pembangunan ekonomi antar wilayah di dalam negeri. nja infrastruktur dari total belanja daerahnya. Gambaran kasar porsi belanja infrastruktur di daerah dapat
dilihat pada Tabel 3. Ini merupakan suatu persoalan serius, karena walaupun pemerintah pusat meningkatkan porsi pengelua-
rannya untuk pembangunan infrastruktur, sementara pemerintah-pemerintah daerah tidak menambah pengeluaran mereka untuk pembangunan infrastruktur di daerah masing-masing, maka
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Gambar 7: Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pusat untuk Infrastruktur dari PDB
5
1994 1995
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 Pusat
Daerah
eterangan: tanda titik diantara angka di sumbu vertikal artinya koma dalam pengertian Indonesia K
Sumber: World Bank 2004
Tabel 2. P pasitas Fiskal Daerah D
n Luar Negeri Pemerintah eta Ka
alam Rangka Penerusan Pinjama Kepada Daerah
ntuk Hibah
Jumlah Daerah Menurut Kapasitas Fiskal
Dalam Be
Daerah Ti
Se Re
nggi dang
ndah Pr
50,00 opinsi 20,00
30,00 Kab
59,70 Kota
upaten 12,69 27,61
45,00 37,50 17,50 Sumber KMK Mo.
.072003 dalam Alien Pak 05.
538KMK pahan, 20
T . Gam
asar B Infras
Tahu abel 3
baran K elanja
truktur n 2003
Propinsi Kota
Kabupaten Kapasitas
al Fisk
dari Belanja
Publik dari
Balanja Daerah
dari Belanja
Publik dari
Belanja Daerah
dari dari
Belanja Belanja
Publik Daerah
Tinggi 39,52 10,48 20,24 15,59 26,45 19,86
Se 33,02 12,12
Re 9,18 6,66
Rata-rata 2 dang
20,77 14,70 13,01 7,24 ,06
ndah 18,24 9,06
11,14 9 6,18
11,41 14,08
10,63 22,88
12,88 Keterangan: Belanja publik merupakan bagian dari belanja daerah dalam APBD.
Sumber. Bapekki, Departemen Keuangan, dikutip dari Pakpahan 2005.
II.2 Rendahnya KinerjaKualitas Infrastruktur
Semakin kurangnya pengeluaran terhadap infrastruktur membuat dengan sendirinya cakupan dan mutu pelayanan infrastruktur menjadi rendah. Berdasarkan laporan dari World Bank 2004, seperti yang
diperlihatkan di Tabel 4 dan 5, didapat gambaran sebagai berikut. Dalam hal kelistrikan, sekitar 90 juta orang tidak mendapatkan sambungan listrik sekitar 43 dari jumlah penduduk, yang sebagian besar 90
adalah kelompok miskin. Biaya sambungan di daerah perdesaan 33 lebih mahal daripada di perkotaan. Kebutuhan investasi sangat tinggi untuk memperluas kapasitas listrik di Indonesia, yakni diperkirakan
sekitar 15-17 milyar dolar AS sebelum tahun 2012 untuk menambah 9,700 MW kapasitas, pengembangan jaringan transmisi dan distribusi untuk 1,6 juta sambungan setiap tahun. Untuk air bersih dan sisten sanitas,
sekitar 22 penduduk tidak mendapatkan akses air bersih, dan hanya 14 yang dilayani oleh PDAM
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
6 ngat terbatas. Kebutuhan investasi sangat tinggi, diperlukan sekitar 330 juta dolar AS
unt un
ia bisa menjadi sangat mahal karena lamanya waktu dan banyaknya bahan bakar yang terbuang dalam
pabrik.
Tabel 4. Kinerja Infrastruktur di Indonesia d berap
Lainny k
Listrik T
Hanya 1,3 mempunyai akses terhadap jaringan pembuangan limbah manusia. Selain itu, PDAM itu sendiri dalam masalah; lebih dari 23 PDAM beroperasi merugi, lebih dari 40 air tidak dihitung, dan tarif di
bawah biaya. Dalam hal telekomunikasi, jaringan telepon masih sangat sedikit dibandingkan jumlah penduduk atau rumah tangga. Kepadatan telepon sambungan tetap hanya 4, dan cakupan layanan ke
perdesaan masih sa uk meningkatkan teledensity 1. Sementara itu, bisnis selular terus berkembang, rata-rata 77 per tah
sejak tahun 1995. Dalam hal jalan, jalan raya masih sangat terbatas yang hanya 1,7 km per 1000 penduduk, dan hampir
50 dalam kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan jalan kabupaten. Hal ini menambah kemacetan lalu lintas setiap tahun, sementara kapasitas jalan yang
ditambahkan sedikit. Pengeluaran pemerintah di subsektor ini terus menurun, dari 22 tahun 1993 ke 11 dari anggaran pemerintah tahun 2000. Jika hal ini terus berlangsung, tidak mustahil kondisi jalan raya yang
buruk atau kurangnya sarana jalan raya bisa menjadi penghambat serius pertumbuhan investasi. Berbisnis di Indones
transportasi produk dan jasa ke pasar maupun faktor-faktor produksi atau bahan baku ke pabrik-
an Be a Negara
a: Listri
elkom
Telekom
Negara Ti
t elektri
i Kualitas Listrik
sk 7
Tran i
distr ang
Jaring telepon
r 1000 o
g Pemilik
mobil hone
pe or
Pemilik telep
per 100
ng ngka
fikas ala 1-
smis ibusi y
putus an
pe ran
e p r 100
ang on
0 ora Australia
India Filipina
Sri Lanka
Singapura Ko
Mo 100
6,6 1
4,2 46
80 126
Thailand Indonesia
China Vietnam
Malaysia
96 5,7
8,0 19
38 57
rea ngolia
100 90
6,2 ...
5,2 ...
49 5
68 9
117 14
100 43
80 62
82 53
98 75
6,4 2,7
3,1 2,9
5,3 3,4
4,6 3,0
7,6 26,6
14,0 19,9
7,9 11,3
6,9 3,4
54 4
4 5
11 4
17 5
64 1
19 5
26 6
16 2
118 5
23 10
37 9
33 7
Sumber: World Bank 2004 diambil dari berbagai sumber seperti: WEF dan International Telecommunications Union.
Gambaran kinerja infrastruktur Indonesia secara ringkas dapat juga dilihat pada Tabel 6, di mana berbagai indikator infrastruktur masih menempati peringkat bawah [World Bank, 2004]. Namun, ada suatu
penemuan menarik dari hasil survei yang dilakukan oleh JETRO terhadap perusahaan-perusahaan Jepang mengenai problem utama dalam investasi di sejumlah negara di Asia, yakni Thailand Th, Malaysia M,
Singapura S, Indonesia ID, Filipina F, Vietnam V, dan India In. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 7, ternyata kondisi infrastruktur di Indonesia bukan merupakan penghambat utama bagi perusahaan-
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
7 perusahaan Jepang dalam melakukan investasi di Indonesia. Sebaliknya, di Vietnam, Filipina dan India,
permasalahan utamanya adalah kondisi infrastruktur yang buruk.
Tabel 5. Kinerja Infrastruktur di Indonesia d ega
ya: Air, asi da
Air Sanitasi Jalan
an Beberapa N ra Lainn
Sanit n Jalan
Negara pop
ses ke sanitasi yang
baik pop
air ih
Jaringan jalan raya
1000 duk
Jalan per
jumlah h km
p Fatal
alan per
Fatalitas per 10
ke n
. ak
. akses ke bers
km per pendu
aspal tana
er sq ft itas j
100 00 orang
0 00 ndaraa
Australia India
Filipina Sri Lanka
Singapura Korea
Mongolia 100
63 30
100 0,8
306,6 1
... 17
3
12,2 ...
6,7 44,9
Thailand Indonesia
China Vietnam
Malaysia
... ....
2,9 2,7
25,9 100
28 83
94 96
55 38
47 100
84 86
77 84
78 75
77
92 60
1,9 20,5
3,8 ,1
42,8 3,3
2,6 5,3
1,1 1,7
1,1 1,2
0,7 0,9
0,8 10,4
0,4 0,8
0,2 0,4
9,5 6,4
0,9 1,4
... 4,6
8,2 ...
13,1 1,6
77,2 2,9
0,6 ...
4,5 67,2
...
Sumber: W jumlah sumber seperti WDI d
orld Bank 2004 diambil dari se an I
rnational Ro nte
ad Federation
Tabel 6: Kinerja Infrastruktur Indonesia
Indikator Ind
ia ones
Perin gkat Regional
Tingkat elektrifikasi 53
11 dari 12 Jaringan telepon
4 12 dari 12
Pela 6
9 dan 12 Akses atas sistem sanitasi yang baik
55 7 dari 11
Akses atas sistem air bers 7 dari 11
Jaringan jalan Km per 1. dari
nggan seluler ih yang baik
78 000 penduduk
1,7 8
12 Sumber World Ba
7: Problem Utama d I
as
nk, 2004.
Tabel alam nvest
i
Problem Th
M S
ID F
V In
Kondisi infrastruktur buruk gan
Upah makin mahal Isu tenaga kerjaburuh seperti demonstrasi, dll.
46,3 62,8
41,6 7,1
11,0 33,9
52,1 6,6
12,5 21,4
54,0 1,1
72,0 67,6
86,4 37,0
20,9 37,1
36,5 25,7
40,0 56,8
29,5 11,5
55,6 58,5
55,7 26,6
Kebijakan tidak jelas tidak pasti Perpajakan sulit dan rumit
Kesulitan rumitnya soal pajak prosedur perdagan 15,6
9,5 23,6
16,5 3,1
6,3 54,7
67,7 75,5
47,9 63,8
61,3 72,2
14,8
Sumber: Jetro dikutip dari Kompas, 2006b.
II.2.1 Jalan Raya
Jalan, khususnya jalan raya merupakan infrastruktur yang penting untuk memperlancar distribusi barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Dalam konteks
pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan secara umum, jaringan jalan sangat dibutuhkan untuk kelancaran arus faktor produksi maupun pemasaran hasil.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
8 Secara umum kondisi infrastruktur jalan di Indonesia adalah sebagai berikut ISEI, 2005; Winoto,
2005. Pertama, pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat lambat dibandingkan dengan di negara-negara tetangga lainnya. Pembangunan jalan tol di Indonesia telah dimulai sejak 26 tahun lalu,
namun total panjang jalan tol yang telah dibangun hingga saat ini hanya 570 kilometer km. Padahal di Malaysia - yang baru memulai pembangunan jalan tol 20 tahun lalu – total panjang jalan tol yang berhasil
dibangun sudah mencapai 1.230 km. Di China, panjang jalan tol mencapai lebih dari 100.000 km dan jalan arteri sekitar 1,7 juta km dengan tingkat kepadatan jalan 1.384 km1 juta penduduk. Sedangkan di
Indonesia tingkat kepadatan jalan hanya 126 km1 juta penduduk. Rendahnya tingkat pembangunan jalan tol di Indonesia terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 disebabkan antara lain oleh: 1 belum
adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat mendorong terjadinya kompetisi antar operator; 2.belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta;
dan 3 selama ini belum ada prosedur pemilihan investor yang kompetitif, pengadaan lahan, cost sharing, masa konsesi, dan dasa
panjang jaringan jalan r pembagian pendapatan Bappenas, 2005. Sementara itu,
non-tol di Indonesia capai 310.029 k
l 8 pra
gg un 20
njang telah men
m Tabe . Sejak
Pelita hin a tah
02, pa jalan
50 dan to njang jalan. Sedangkan panjang jalan propinsi rata-
kabupaten mencapai lebih dari tal pa
rata 1 tol, sisan
n nas n jal
a. 8,96 dari total panjang jalan non-
ya merupakan jala ional da
an kot
Tabel 8: Panjang Jarin lan
ol di sia
us Jal
gan Ja non-T
Indone
Stat an
PERIODE Nasional
Km Propinsi
Km Kabupaten
Km Kota
Km Total
Km PRA PELITA
8 Sampai dengan 196
9.780 21.116
48.717 2.314
81.927 PELITA I Tahun 1 969 sd Tahun 1974
10.167 22.682
49.134 2.314
84.297 PELITA II Tahun 1974 sd Tahun 1979
10.945 25.878
58.159 6.276
101.258 PELITA III Tahun 1979 sd Tahun 1984
11.500 27.500
81.696 10.080
130.776 PELITA IV Tahun 1984 sd Tahun 1989
12.594 33.398
113.631 11.080
170.703 PELITA V Tahun 1989 sd Tahun 1994
17.800 32.250
168.600 25.514
244.164 PELITA VI Tahun 1994 sd Tahun 1999
26.853 39.746
172.030 26.102
264.730 PROPENAS 2002
26.271 38.914
223.318 21.526
310.029 Sumber: Ditjen Praswil, 2002 dikutip dari Siregar, 2005.
Kedua, penyebaran pembangunan jaringan jalan tidak merata, cenderung lebih terpusat di Sumatera dan Jawa. Meskipun pembangunan jaringan jalan non-tol terus dilakukan,. namun selama ini pembangunan
tersebut lebih terfokus di Kawasan Barat Indonesia KBI khususnya di Sumatera dan Jawa. Hal ini terlihat dari total panjang jalan yang dibangun di Sumatera dan Jawa mencapai lebih dari 60 dari total panjang
secara keseluruhan Tabel 9. Selain rendahnya tingkat pembangunan jaringan jalan di Kawasan Timur Indonesia KTI, sistem jaringan jalan yang merupakan lintas utama di masing-masing pulau di KTI -
terutama Kalimantan dan Sulawesi belum terhubungkan. Jika hal ini terus berlanjut maka hal ini dapat mengganggu kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang memerlukan dukungan jasa prasarana, yang
pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
9 Ketiga, pemeliharaan infrastruktur jalan yang ada kurang baik. Selain masalah pembangunan jaringan
jalan, pemeliharan jaringan jalan yang sudah ada juga merupakan hal yang penting. Kurangnya pemeliharaan mengakibatkan kondisi jalan mudah mengalami kerusakan. Pada tahun 2004, kondisi jalan
yang masih layak digunakan hanya 54 dari total jalan. Sisanya 28,1 dalam kondisi rusak berat dan 18,2 meng
persentase alami rusak ringan. Jika dibandingkan dengan kondisi jalan kabupaten dan propinsi,
kondisi jalan nasi layak digu
lati aik
aten 35 jalan dalam kondisi rusak onal yang
nakan re f lebih b
. Di kabup berat Tabel 10. Gambar 8, 9 dan 10 me
jalan di Indonesia di tingkat nasional, provinsi nunjukkan kondisi
dan kabupaten untuk periode 1997-2003.
Tabel 9: Panjang Jaringa n Menurut Wilayah di Indonesia, 2000 km
Jalan l
n Jala
Status Tota
Wilayah Nasional
Propinsi Kabupaten
Kota Km
Sumatera 7.622
14.654 75.470
7.106 104.852
33,8 Jawa
4.373 8.498
60.445 9.714
83.030 26,8
Kalimantan 4.804
3.557 20.560
1.307 30.228
9,8 Ball Nusa Tenggara
2.069 4.724
20.507 1.020
28.320 9,1
Sulawesi 5.235
4.631 32.028
2.019 43.913
14,2 Maluku Papua
2.167 2.848
14.308 360
19.683 6,3
Total 26.270
38.912 223.318
21.526 310.026
100 Sumber: S
ari Ditjen Prasw iregar 2005 data d
il, 2000
Tabel 10. Kondis gan Jalan di Indonesia, 2002-2004
Kond
i Jarin
isi Jalan Jenis Jalan
P Ru
Ru anjang
km Baik Sedang
Ringan Berat
sak sak
Jalan 37,4
44,0 7,7
10,9 Nasional
34.629 Jalan Propinsi
46.499 27,5
35,3 14,4
22,7 Jalan Kabupaten
250.946 17,0
26,4 21,9
34,7 Jalan Kota
25.518 9,0
87,0 4,0
0,0 Jalan Tol
606 100,0
0,0 0,0
0,0 Total 348.148
20,0 33,7
18,2 28,1
Keterangan: data Jalan Nasional Propinsi berdasarkan hasil survei IRMS 2003, diramalkan ke 2004. Data Jalan KabKota bsrdasarkan hasil survei IRMS 2003.
Sumber: Bappenas 2005 data dari hasil survei IRMS dari Ditjen Praswil, 2004.
Menurunnya kondisi jalan yang terjadi sekarang ini sebabkan antara lain oleh belum optimalnya kualitas konstruksi jalan, pembebanan berlebih, bencana alam seperti longsor, banjir, dan gempa bumi, serta
menurunnya kemampuan pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan jalan oleh pemerintah setelah masa krisis Winoto, 2005.
Cara paling sederhana untuk mengukur tingkat kemajuan dalam pembangunan jalan dapat dilihat dari proporsi dari jumlah panjang jalan yang ada yang sudah diaspal, terutama di perdesaan. Di desa-desa yang
pembangunan infrastrukturnya sudah maju, jalan yang sudah diaspal lebih panjang dari desa-desa yang masih terbelakang. Di Gambar 11 dapat dilihat bahwa walaupun ada peningkatan sejak dekade 70-an,
besarnya jalan yang diaspal di Indonesia masih belum mencapai 60 dari jumlah panjang jalan yang ada.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Salah satu langkah yang harus diambil segera dalam perbaikan kondisi jalan di dalam negeri tentu adalah mengaspal sem
ngga jalan-jalan kecil di ua jalan yang belum diaspal, tidak hanya jalan nasional tetapi juga hi
antara peruma krusial bagi kelancaran
han penduduk di perdesaan. Karena jalan-jalan kecil tersebut sangat kegiatan ekonomi rakyat di perdesaan.
Gambar 8: Kondisi jalan nasional 1997-2003
10
Keterangan: I =.baik; II = sedang; III = rusak ringan; IV = rusak berat
IV III
II
I
31.7 24.3
70.5 67.9
64.07 42.8
52.5 29
28.7 17
21.6 25.4
16.2 16.4
15.7 8.8
2.4 5.3
5.85 9.3
6.8 4.8
5.1 10.1
5.2 4.68
20 60
80 100
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003
50.5 57.4
40
Sumber: Bappenas 2005.
Gambar 9: Kondisi jalan provinsi 1997-2003
23.9 15.3
30.3 34.9
34.3 33.1
32 36.6
45.6 30.1
32.4 30.3
32.4 33.8
19.3 23.7
22.7 17.5
14.5 18.7
17.3 20.2
15.5 16.9
15.2 21
15.8 16.9
10 20
30 40
60 70
80 90
100
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 50
Keterangan dan sumber: lihat Gambar 8
Gambar 10: Kondisi jalan kabupaten 1998-2003
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
23 20
22 21
19 20
36 35
34 34
34 32
26 30
28 29
28 31
15 15
16 17
19 16
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
1998 1999
2000 2001
2002 2003
Keterangan dan sumber: lihat Gambar 8
Gambar 11: Persentase dari Jumlah Panjang Jalan yang diaspal di Indonesia
11
Sumber: BPS
II.2.2 Kereta Api
Perkembangan perkeretaapian masih terbatas. Sampai saat
50
10 20
30 40
1977 1979
1981 1983
1985 1987
1989 1991 1993 1995 1997 1999
2001 60
70
ini, perkeretaapian hanya berkembang di Jawa dan sebagian kecil wilayah di Sumatera, serta kontribusi berdasarkan pangsa angkutan yang
dihasilkan secara nasional masih sangat rendah dibandingkan moda angkutan lain, baik di Jawa, Sumatera dan di wilayah perkotaan seperti di Jabotabek Bappenas, 2005. Demikian juga pangsa pasar angkutan
penumpang kereta api nasional masih rendah dibandingkan angkutan lain. Pangsa pasar angkutan penumpang kereta api nasional saat ini baru mencapai 7,3 dari seluruh pangsa angkutan penumpang di
Indonesia tahun 2000, produksi angkutan kereta api adalah 187,4 juta penumpang, dimana 118 juta diantaranya adalah angkutan penumpang di wilayah Jabodetabek; dan pangsa angkutan barang adalah
22,7 juta ton atau hanya 0,6 total pangsa angkutan barang di Indonesia. Di sisi lain kapasitas dan daya
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
12 dukung serta kondisi prasarana dan sarana semakin menurun akibat terjadi backlog dalam hal
pemeliharaan prasarana dan sarana kereta api Bappenas, 2005. Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan kereta api nasional, baik dalam aspek
pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan keterbatasan pendanaan, SDM dan kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik prasarana dan sarana kereta api saat ini masih banyak
mengalami backlog pemeuharaan yang berlangsung secara terus menerus, baik karena perencanaan, pengoperasian dan dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang, diperlukan redefinisi
tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai regulator, peran pemilik, dan operator di bidang perkeretaapian Bappenas 2005.
Kondisi prasarana rel, jembatan KA dan sistem persinyalan dan telekomunikasi KA yang telah melampui batas umur teknis, serta banyak terjadi backlog pemeliharaan prasarana. Rintangan-rintangan
yang terjadi di beberapa lintas utama akibat tidak seimbangnya penambahan kapasitas lintas terhadap peningkatan frekwensi pelayanan KA; sumber pendanaan pemerintah untuk pemeliharaan dan investasi
prasarana masih terbatas, sedangkan peran serta swasta juga belum berkembang..
II.2.3 Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan ASDP
Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan ASDP di Indonesia didefinisikan sebagai jembatan mengapung yang berfungsi menghubungkan jaringan transportasi darat yang terputus; kegiatan angkutan
feri unyai rute tetap dan jadwal
yang mengangkut penumpang dan kargo melalui sungai dan perairan; memp reguler serta bangunan kapal feri yang berbentuk khusus ISEI, 2005. Pembangunan ASDP diperlukan
untuk mengakomodasi peningkatan kebutuhan mobilitas penduduk melalui jaringan transportasi darat yang terputus di perairan antar pulau, sepanjang daerah aliran sungai dan danau, serta berfungsi melayani
transportasi yang menjangkau daerah terpencil dan daerah pedalaman Bappenas 2005. Saat ini kondisi infrastruktur ASDP di Indonesia adalah sebagai berikut ISEI, 2005:
1 Sarana dan prasarana penyeberangan masih terbatas. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau sangat membutuhkan pembangungan ASDP. Namun, hingga saat ini, dari 172 lintas
penyeberangan yang ditetapkan oleh Departemen Perhubungan, hanya 130 lintas yang sudah beroperasi. Selain lintas penyebrangan, sarana lain yang seperti kapal penyebrangan juga mengalami
keterbatasan. Hingga saat ini hanya tersedia 195 unit kapal penyeberangan. Dari jumlah tersebut, 47 kapal penyebrangan adalah milik BUMN, 2 KSO dan 51 milik swasta.
2 Peran pemerintah pusat masih dominan dalam infrastruktur ASDP. Berbagai kendala dan keterbatasan dalam infrastruktur ASDP ini salah satunya disebabkan karena selama ini pembiayaan pembangunan
ASP masih di dominasi oleh pemerintah pusat. Sedangkan peran BUMN PT ASDP masih terbatas
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
13 dalam penyelenggaraan operator prasarana dan sarana ASDP, terutama dalam pengoperasian kapal
perintis dan penggusahaan beberapa lintasdermaga penyeberangan
II.2.4 Transportasi Laut
Transportasi laut mempunyai peranan yang sangat penting pada perekonomian Indonesia, khususnya dalam kegiatan ekspor-impor dan pergerakan arus barang antar daerah. Pada tahun 2002 lebih dan 99
kegiatan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan 95 dan ekspor-impor tersebut senilai US 88,4 miliar diangk
EI, 2005. Namun demikian, dalam melaksanakan ut dengan menggunakan transportasi laut IS
fungsinya berkaitan dengan kegiatan ekspor impor, transportasi laut menghadapi beberapa kendala dan masalah, antara lain ISEI, 2005 :
1 Terpuruknya peran armada pelayaran nasional. Permasalahan laut yang paling menonjol adalah terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan dan belum diberlakukan
sepenuhnya azas Cabotage. Rata-rata pangsa pasar armada nasional pada angkutan dalam negeri dan ekspor-impor antara tahun 1996-2003 masing-masing hanya 51,4 dan 3,6 Bappenas 2005.
2 Kurangnya fasilitas prasarana di pelabuhan. Selain masalah di atas, kurangnya fasilitas dan prasarana di pelabuhan menambah beban bagi pengguna jasa yang pada akhirnya menambah biaya
bagi masyarakat secara umum. Hingga tahun 2002 hanya 10 yang memiliki BOR berth occupancy ratio
di atas 70 dari 23 pelabuhan strategis. 3 Kontroversi tentang kewenangan atas pengelolaan pelabuhan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Masalah lain dalam infrastruktur transportasi laut adalah berkaitan dengan kewenangan pengelolaan pelabuhan antara pemerintah pusat dan daerah khususnya pemerintah
kabupaten dan kota. Hal ini menyebabkan pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di pelabuhan.
II.2.5 Transportasi Udara
Kondisi infrastruktur transportasi udara di Indonesia ditandai dengan banyaknya fasilitas yang sudah tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan operasi pesawat yang aman seperti lebar landasan dan bahu
landasan serta peralatan keselamatan penerbangan seperti kendaraan PK-PPK Penolong Kecelakaan
Penerbangan dan Pemadam Kebakaran Bappenas 2005.
II.2.6 Sumberdaya Air, Irigasi, dan Sarana serta Prasarana Sanitasi, Persampahan dan Drainase
Pembangunan di bidang sumberdaya air pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air bersih agar mampu berperikehidupan yang sehat,
bersih, dan produktif. Pembangunan di bidang sumberdaya air ditujukan untuk mengendalikan daya rusak
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
14 air a
an jaringan irigasi merupakan prasarana gar tercipta kehidupan masyarakat yang aman. Sedangk
penting dalam mendukung pembangunan pertanian untuk mencapai ketahanan pangan Bappenas, 2005. Dalam pembangunan infrastruktur sumberdaya air, irigasi dan sanitasi, Indonesia dihadapkan pada
bebe a lain ISEI, 2005:
rapa kendala dan permasalahan, antar
Air Minum
1 Sumber air yang ada tidak bisa memenuhi standar kesehatan. Di beberapa daerah, kualitas air minum yang tersedia tidak dapat langsung dikonsumsi, tetapi memerlukan pengolahan. Hal ini juga
menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi air minum kemasan atau air minum isi ulang. Hal ini dirasakan tidak cukup rasional karena untuk kebutuhan dasar seperti air minum bersih,
masyarakat harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal. 2 Debit air terus mengalami penurunan terutama di daerah perkotaan di Jawa. Pulau Jawa dengan jumlah
penduduk yang mencapai 65 dari total penduduk Indonesia hanya memiliki potensi air tawar sekitar 4,5 dari potensi air tawar nasional.
3 Kecilnya catchment area khususnya di beberapa daerah perkotaan. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan
dalam menyediakan air. Di sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi.
4 Rendahnya akses terhadap air minumair bersih. Meskipun infrastruktur air minum merupakan hal yang penting bagi masyarakat, namun hingga saat ini akses terhadap air minum khususnya air minum
perpipaan masih sangat rendah. Pada tahun 1992 jumlah penduduk total perkotaan dan perdesaan yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 14,7, pada tahun 1997 meningkat
sedikit menjadi 19,2, dan pada tahun 2002 turun menjadi 18,3. Pada kawasan perdesaan, tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 5,5 berubah menjadi 7,0 pada tahun
1997, dan turun menjadi 6,2 pada tahun 2002, sedangkan pada kawasan perkotaan tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 35,3, pada tahun 1997 berubah menjadi 39,9,
dan pada tahun 2002 turun menjadi hanya 33,3. Pelayanan air minum perpipaan di kawasan perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu Perusahaan Daerah Air Minum PDAM,
sedangkan di kawasan perdesaan pada umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat dan atau BUMDes Badan Usaha Milik Desa lihat Tabel 11 sd Tabel 13.
5 Pengendalian terhadap perusahaan air minum. Hal ini terlihat dari masih tingginya kebocoran yang disebabkan oleh kebocoran teknis misalnya rusaknya meteran air dan pipa bocor dan non teknis
saluran ilegal dan adanya permainan dalam administrasi yang berkisar antara 30-40 masih jauh
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
di atas ambang batas normal 20. 6 Penentuan harga sehingga tidak menutupi biaya. Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM
masih dibawah biaya produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian besar PDAM saat ini beroperasi dengan kondisi rugi. Tarif rata-rata saat ini untuk semua PDAM sebesar Rp. 430,00 per m
3
sedangkan biaya produksi air m
3
inum rata-rata sebesar Rp. 1.100,00 - Rp. 1.700,00 per m . Biaya produksi air minum akan terus meningkat seiring dengan semakin memburuknya kualitas dan kuantitas
air baku akibat tingginya laju penurunan kualitas lingkungan.
Irigasi
Irigasi sangat penting bagi pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Dilihat dari persentase luasnya terhadap luas lahan pertanian, irigasi teknis di Indonesia masih lemah dibandingkan di sejumlah negara
lainnya di Asia Gambar 12. Sedangkan di dalam negeri, pembangunan irigasi selama ini tidak merata antar propinsi; lebih banyak di IKB dibandingkan di IKT Tabel 11
Gambar 12: Lahan Irigasi Teknis sebagai persentase dari luas lahan pertanian di Beberapa Negara Asia
Sumber: FAO database
Berdasarkan fungsinya, irigasi dikelompokkan menjadi irigasi primer, irigasi sekunder dan irigasi tersier. Jaringan irigasi primer dan jaringan irigasi sekunder adalah jaringan irigasi yang terdiri dan
bangunan utama, saluaran indukprimer, saluran sekunder, dan saluran pembuangannya, bangunan-bagi, bangunan-sadap, serta bangunan pelengkapnya. Jarin
5 19
61 19
63 19
65 19
67 19
69 19
71 19
73 19
75 19
77 19
79 19
81 19
83 19
85 19
87 19
89 19
91 19
93 19
95 19
97 19
99 20
01 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Viet IND
China India
Thailand
gan irigasi tersier merupakan jaringan irigasi yang berfungsi prasaran pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran-saluran tersier, saluran
kuarter, dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, dan bangunan pelengkapnya. 15
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
16 Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Alam, pengembangan sistem irigasi primer dan
sekunder menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pembagian kewenangan sebagai berikut: 1 Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang lintas
propinsi menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat; 2 Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang lintas kabupatenkota menjadi wewenang pemerintah propinsi; 3 Pengembangan
sistem irigasi primer dan sekunder dalam satu kabupatenkota menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah kabupatenkota yang bersangkutan. S
pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak edangkan
dan tanggun r.
gjawab perkumpulan petani pemakai ai Adapun permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan infrastruktur irigasi adalah sebagai berikut ISEI,
2005:
Kadin Indon ro, 2006
www.kadin-indonesia.or.id esia-Jet
17
Tabel 11: Hasil Pembangunan Irigasi di Indonesia menurut Wilayah ha
Akhir Repelita Wilayah
I II
III IV
V VI
19992000
657,353 134,806
442,128 1,031,195
178,539 573,714
1,299,473 208,264
622,200 1,334,355
193,416 698,680
146,770 32,485
80,348 Sumatera
Kalimantan Sulawesi
Indo in
nesia Timar la nya Luar Jawa Bali
Jawa + Bali Kaw
KB asan Barat
I Kaw
r KT asan Timu
I ir
BI igasi di K
ir TI
igasi di K Indonesia
548,36 46,233
415,42 154,87
1,164,8 2,942,3
1 8
4 96
49 3,490,710
616,535 84,99
15,01 4,107,245
164,006 1,398,293
2,599,910 3,257,263
740,940 81,47
18,53 3,998,203
220,075 2,003,523
2,604,018 3,635,213
972,328 78,90
21,10 4,607,541
253, 2,38
2,62 3,92
1,08 78
21 5,01
933 3,870
7,841 7,314
4,397 ,36
,64 1,711
,741 337,344
8,656 155,426
190,574 44,92
55,08 346,000
315,033 2,541,484
2,682,901 4,017,256
1,207,129 76,89
23,11 5,224,385
77 4
2 1
1
8 1
3,452 0,317
3,605 1,359
8,193 05,664
149,116 44,741
76,92 23,08
193,857 Sum
nas 2001, ber: Bappe
dikutip dari Winoto 2005
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
18 1 Pembangunan irigasi di Indonesia masih terkonsentrasi di KBI. Pembangunan irigasi selama ini masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Pada akhir Repelita I pembangunan irigasi di KTI hanya 15 dari total jaringan irigasi di Indonesia, sedangkan pembangunan di Jawa dan Bali mencapai 72. Baru
pada akhir Repelita VI, persentase pembangunan irigasi di KTI meningkat menjadi 55 dari total pembangunan irigasi di Indonesia namun kembali menurun menjadi 23 dari total pembangunan
irigasi pada tahun anggaran 19992000. 2 Fungsi irigasi telah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan pertanian
menjadi lahan industri terutama di pulau Jawa dan Sumatera sehingga jumlah sawah yang akan di airi menurun drastis.
Sanitasi dan Sewerage
Layanan sanitasi di Indonesia masih sangat rendah. Layanan terhadap sarana dan prasarana sanitasi baru dirasakan oleh 1,3 dari penduduk. Kurangnya sistem pembuangan tinja serta fasilitas limbah padat
telah menyebabkan pencemaran luas pada air permukaan dan air tanah, serta perusakan ekosistem yang rentan. Selama musim kemarau, 10 aliran sungai Brantas terdiri dari limbah industri yang tidak diproses.
Sekitar separuh dari limbah padat Surabaya dan sebagian besar tinja di buang ke sungai itu World Bank, 2004.
Belum diolahnya air limbah secara baik. Tingkat pelayanan air limbah selama 10 tahun terakhir 1992- 2002 cukup baik yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,6 per tahun. Jumlah penduduk total perkotaan dan
perdesaan pada tahun 1992 yang mendapatkan pelayanan dasar air limbah sebesar 30,9 , pada tahun 1997 bertambah menjadi 59,3, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 63,5. Tingkat layanan air
limbah di pedesaan dan perkotaan menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 1992 hingga 2002. Khusus di perkotaan, tingkat layanan air limbah telah mencapai 77,5 pada tahun 2002, sedangkan di
pedesaan hanya mencapai 52,2 ISEI, 2005. Namun demikian, hasil tersebut tidak diikuti dengan peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap air limbah domestik dari tangki septik dan jamban.
Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah Tinja IPLT yang telah dibangun untuk mengolah air limbah domestik tersebut yaitu lebih kecil dari dari 30 serta masih
tingginya pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah domestik tersebut Bappenas 2005. sarana prasarana sistem pembuangan air limbah dan pertumbuhan
Kesenjangan antara penyediaan penduduk. Meskipun tingkat layanan air limbah diperkotaan telah mencapai 77,5, namun persentase
masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah sewerage system
mengalami penurunan ISEI, 2005.
Persampahan dan Drainase
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Penanganan sampah dan drainase secara baik dan berwawasan lingkungan mengalami stagnasi. Hal ini ditunjukkan oleh cakupan pelayanan persampahan di kawasan perkotaan selama 10 tahun 1992-2002
yang hanya mampu melayani sebanyak 18,15 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase hanya mampu melayani 2,51 juta jiwa Bappenas, 2005.
umah Meningkatnya
pencemaran lingkungan
akibat sampah dibuang ke sungai atau dibakar. Sampah r tangga yang dibuang ke sungai diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin sulitnya
mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir TPA. Di kawasan perkotaan, laju penanganan sampah jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan anggaran
untuk penanganan sampah hanya berkisar 1-2 per tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk di perkotaan mencapai rata- rata 4,6 per tahun sehingga terjadi kekurangan cakupan pelayanan Bappenas,
2005. Menurunnya kuantitas manajemen Tempat Pembuangan Akhir TPA. Berubahnya sistem pengelolaan
TPA enjadi open dumping mencerminkan
yang didesain sebagai sanitary landfill danatau control landfill m penurunan kinerja tersebut. Kualitas lingkungan perkotaan semakin buruk akibat merebaknya pencemaran
udara akibat sampah yang terbakar sehingga tidak terkendalinya gas methane dan proses pembusukan sampah, rusaknya kualitas air tanah dangkal dan air permukaan akibat meresapnya air limbah yang tidak
terkendali, serta merebaknya gas dioxin yang karsinogenik ISEI, 2005.
II.2.7 Kelistrikan
Tenaga listrik sebagai salah satu bentuk energi final memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong berbagai aktifitas ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain,
pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memerlukan investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat modal, teknologi dengan resiko investasi tinggi serta memerlukan
persiapan dan konstruksi yang lama. Adapun kondisi infrastruktur kelistrikan di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut ISEI, 2005;
Bappenas, 2005: 1 Pelaksana penyediaan layanan kelistrikan khususnya hidroelektrik selama ini dimonopoli oleh PLN.
Meskipun telah beroperasi penyelenggara listrik swasta, namun hingga saat ini penyelenggara listrik swasta tersebut tidak diperkenankan menjual listriknya langsung kepada masyarakat tetapi harus
melalui PLN. Di beberapa daerah khususnya di kawasan pantai utara pulau Jawa, banyak industri yang menjalankan kegiatan operasionalnya dengan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh generator
sendiri self generated supply.
19
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
2 Dalam kurun waktu 1969-1993 kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat tajam dan 542 MW menjadi 13.569 MW atau meningkat lebih dari 24 kali lipat. Investasi dalam pembangunan
fasilitas ketenagalistrikan khususnya tahun 1993 hingga 1996 meliputi pembangunan pembangkit dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepanjang 6.350 km, gardu induk dengan
kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya. Pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13
per tahun. 3 Tingkat elektrifikasi nasional di Indonesia telah mencapai 57, namun masih berada di bawah rata-rata
dunia sebesar 74. Namun pelaksanaan pembangunan jaringan kelistrikan di Indonesia masih belum merata. Pembangunan jaringan listrik lebih banyak dilakukan di wilayah Jawa-Madura-Bali. Pada tahun
2003, sekitar 80 dari total pelanggan PLN berada di pulau Jawa dan Bali. Lebih dari 96 desa di Jawa dan Bali telah mendapatkan penerangan lisrik, sedangkan di luar Jawa baru mencapai 70.
4 Saat ini Indonesia mengalami kekurangan pasokan listrik. Pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memertukan investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat
modal, teknologi dengan resiko investasi tinggi serta memerlukan persiapan dan konstruksi yang lama. Sejak tahun 1997 hingga 2004 relatif tidak ada penambahan kapasitas baik pada sistem Jamali Jawa-
Madura-Bali maupun sistem luar Jamali. Hal tersebut mengakibatkan cadangan listrik yang lebih rendah dari yang seharusnya dimiliki 25. Pada sistem Jamali, walaupun kapasitas terpasang lebih
tinggi dari kebutuhannya, namun kemampuannya sangat terbatas, sedangkan di luar Jawa, khususnya Sumatera dan Kalimantan, sudah mengalami kekurangan pasokan.
Akibat kurangnya pasokan listrik dan mahalnya biaya investasi listrik, mengakibatkan sekitar 90 juta oran
apat sambungan listrik yang berasal dari PLN. Dari jumlah g atau 43 dari total penduduk belum mend
tersebut 90 merup ian besar di luar
akan masyarakat miskin. Selain itu lebih dari 6000 desa dan sebag wilaya
dan Bali belum m ero
mbun istrik.
h Jawa emp
leh sa gan l
II.2 un
..8 Telekom ikasi
Sektor telekom e
ela l
a a
k un
unikasi m mang t h menga ami pemb ngunan y ng cukup pesat seja awal tah
1980-an. Namun d , m
luas ml
las sia
angat besar, kekurangan emikian
elihat dan ju
ah popu i Indone
yang s fasilitas telekom
a u
d r
m isi
unikasi m sih sangat terasa, kh susnya di luar Jawa an di dae ah pedala an. Kond
di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut ISEI, 2005: infrastruktur telekomunikasi
1 Pertumbuhan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informasi di Indonesia masih berjalan lambat. Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi dalam lima tahun terakhir 1999-2003 hanya
20
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
mengalami pertumbuhan sebesar 16,18, yaitu dan 8,36 juta sambungan telepon tetap menjadi 10,15 juta sambungan telpon tetap. Sedangkan bisnis seluler terus berkembang dengan pertumbuhan rata-rata
77 per tahun sejak tahun 1995.
2 Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi selama lima tahun terakhir 1999-2003 mengalami pertumbuhan sebesar 16,18, yang terdiri dan penambahan 1,79 juta satuan sambungan ss telepon
tetap, dari 8,36 juta ss m pelanggan telepon bergerak,
enjadi 10,15 juta ss, dan penambahan 16,43 juta da
a jadi 18,65
ri 2,22 juta or ng men juta.
3 Pe
ja ktu
komu terp
h all.
mbangunan ringan infrastru r tele
nikasi masih usat di KBI, k ususnya Jawa dan B
Jangkauan infrastruktur informasi sang
dan le te
dan masih
at terbatas bih banyak
rkonsentrasi di KBI wilayah perkotaan. Sampai dengan tahun 2003, sebagian besar 86 dari infrastruktur yang ada
terdapat di Sum dan
Tabe ngan de
hanya r
atera, Jawa Bali
l 12. De mikian,
14 dari infrastruktu
terdapat di KTI.
4 Selain kesenjangan antara KBI dan KTI, kesenjangan pembangunan infrastruk tur telekomunikasi juga
terjadi antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Meskipun teledensitas antar regional cenderung merata, nam
dan pedesaan menunjukkan kesenjangan yang tinggi. un teledensitas antara wilayah perkotaan
Teledensitas wilayah pedesaan baru mencapai 0,2. Hal ini berbeda jauh dengan wilayah Jabotabek dan perkotaan lainnya yang masing-masing mencapai 35 dan 11-25. Saat ini sekitar 64 dari total
desa atau sekitar 43 ribu desa tidak memiliki fasilitas telekomunikasi.
5 Duopoli penyelenggaraan telekomunikasi. Saat ini telah ada Undang-undang telekomunikasi yang menterminasi dini hak eksklusivitas PT. Telkom sebagai penyelenggara telekomunikasi sambungan
lokal dan SLJJ, serta PT. Indosat sebagai penyelenggara SLI dan menetapkan kebijakan duopoli yang mereposisi PT. Telkom dan PT. Indosat sebagai full network and service provider dalam
penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap. Namun demikian, pelaksanaan duopoli tersebut belum berjalan efektif. Sejauh ini belum terdapat penambahan sambungan baru yang berarti,
penambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga. 6 Perkembangan teknologi internet meningkat pesat. Dalam kurun waktu 1999-2003 terjadi
perkembangan pesat dalam teknologi internet baik pengguna maupun penyelenggara layanan internet ISP. Pembangunan teknologi informasi secara luas baru dimulai sejak tahun 1994. Pelanggan internet
dalam lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan drastis mencapai lebih dan 238, yaitu dari 256 ribu orang menjadi 865 ribu. Sedangkan pengguna internet meningkat sekitar 700, yaitu dari 1 juta
orang menjadi 8 juta orang. Namun demikian, internet belum menjadi pilihan utama masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Tabel 12:. Penyebaran dan Pembangunan Sentra Telepon Tetap
Region 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003
21
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
22
.875 1.239.409 Regional
I 598.651 701.479 770.857 835.167 897.323 1.007.468 1.115
Regional II 1.635.545 1.903.581 2.079.452 2.208.436 2.412.221 2.632.521 2.824.556 3.036.372
Regional II 400.939 504.984 567.358 621.134 639.913 645.479 672.597 733.462
Regional IV 339.047 395.73 475.41 531.593 579.647 618.101 646.701 668.261
Regional V
667.2 842.447 935.372 1.048.556 1.198.142 1.317.384 1.427.660 1.594.827 Regional
VI 172.824 218.638 254.315 279.958 302.948 320.338 34 5.979
2.336 42 Regional
VII 371.824
415.607 488.88
555.349 632.411
677.649 720.31
780.805 TOTAL
4.186.030 4.982.466
5.571.644 6.080.193
6.662.605 7.218.940
7.7 50.035
8.479.115 S
, Bappenas, 2005. umber: RPJM
II.2.9 Energi
Indonesia memiliki potensi sumber energi yang cukup banyak Tabel 13, namu energi
n penggunaan s
sih bertumpu pada penggunaan energi tidak terbarukan seperti mi bumi, padahal
elama ini ma nyak
cadangan minyak bumi mulai menipis. Untuk mengata asalah ini, perlu dimulai secara bertahap
si m p
as alam, tenaga air, dan panas bumi, serta energi alternatif emanfaatan energi alternatif seperti batubara, g
lainnya. Untuk ini, diperlukan pembangunan infrastruktur untuk keperluan mulai dari eksplorasi hingga distribusi ke pemakai-pemakai akhir seperti industri dan m
akat Winoto, 2005. asyar
Tabel 13: Potensi Sumberdaya Energi Primer
No Sumber energi
Potensi Potensi
dunia Cadanga
kti n terbu
Produksitahun Ket n
eranga 1
2 3
4 5
Minyak bumi s bumi
Ga Batubara
Tenaga air Panas bumi
321 miliar barrel 507 TSFC
50 miliar ton 75 ribu MW
27 ribu MW 1,2
3,3 3,0
0,02 40
5 miliar b 90 TSFC
arrel 5 miliar ton
75ribu MW 2305 MW
500 juta barrel 3 TSCF
100 juta ton 4200 MW
807 MW Hab
m 10 tahun, eks
Hab m 30 tahun,
eks Hab
m 50 tahun, eks
Sulit untuk pengembangan skala besar, domestik.
Sebagai energi terbarukan, dapat dikonsumsikan dalam
panjang is dala
por is dala
por is dala
por
jangka waktu yang cukup Sumber: Bapp
5. enas 200
II.3 Rendahnya Tingkat Cost Recovery
Rendahnya tingkat cost recovery dari sektor infrastruktur m minkan banyak hal, yakni buruknya
encer kinerja riil dari sektor tersebut sehingga perlu waktu sangat lama
k menghasilkan profit, dan buruknya untu
m n serta rendahnya efisiensi dalam pengem
an sektor tersebut ISEI, 2005. Di satu sisi, biaya anajeme
bang produksinya sangat tinggi, sedangkan di sisi lain, penerapan tarif pada infrastruktur yang bersifat cost
recover cost recovery
atau b even poi
a menjadi suatu faktor y
terlalu rendah. Rendahnya tingkat reak
nt bis
d gi investor, khususnya dari pihak sw
Semakin rendah perkiraan profit yang akan didapat isincentive
ba asta.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
dari suatu kegiatan ekonomi, semakin kecil keingi vestor u
menanam dalnya di
sektor nan in
ntuk mo
dalam tersebut.
II.4 Ketimpangan Pembangunan Infrastruktur a Wilayah
ntar
Pembangunan infrastruktur selama ini cenderung ditekankan pada pengembangan infrastruktur perkotaan dan pengembangan kawasan Barat Indonesia. Hal ini bukan hanya m gakibatkan kesenjangan
en antar desa dan kota tetapi juga kesenjangan antara propinsi atau antara KBI dan KTI. Sebagai suatu
ilustrasi, tiga tabel berikut memperlihatkan ketimpa hal jumlah pendudukrumah tangga yang
ngan dalam punya akses ke air bersih dan sanitasi. Dari ketiga t
ebut dapat dilihat de an jelas ba
kses ke abel ters
ng hwa a
air bersih dan sanitasi belum merata antar propinsi; walaupun ada perbaikan selama periode yang diteliti. Yang paling menyolot adalah proporsi pendudukrumah tangga yang memakai air pipaPAM. Bukan saja
masih dibawah 50 dari jumlah penduduk yang memakai air ledeng, tetapi juga terdapat variasi yang cukup besar antara beberapa propinsi. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh tingkat pendapatan rata-rata per
kapita tetapi juga oleh tingkat pembangunan fasilitas peny air bersih pipaPAM
aluran .
Table 14: Persentase dari Populasi yang tidak punya akses ke air bersih menurut propinsi, 1999 dan 2002
23
Propinsi 1999
2002 Nangroe Aceh Darussalam
l u
a Belitung akarta
gyakarta
ulut
orontalo aluku
aluku Utara Papua
6 Sumut
Sumba Riau
Jambi Sumse
Bengkul Lampung
Bangk DKI J
Jabar Jateng
D.I. Yo Jatim
Banten Bali
NTB NTT
Kalbar Kalteng
Kalsel Kaltim
S Sulteng
1,5 47,9
46,4 71,8
57,3 59,7
48,5 41,8
42,4 58,9
47,4 52,7
45,0 45,9
48,9 30,3
53,0 39,8
38,9 36,7
55,8 27,8
52,3 46,8
78,5 5
9,2 54,4
... 40,2
62,1 47,8
48,9 43,0
... 34,2
62,5 41,9
7 8,4
68,2 6
6,7
Sulsel Sultengg
G M
M 4
6,7 35,8
4 1,5
3 7,3
44,5 51,7
3 5,7
53,8 49,1
45,1 43,6
41,3 ...
62,4 52,1
43,9 ...
43,2 54,5
61,6
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Indonesia 51,9
44,8 Sumber: BPS dkk. 2004.
Table 15. Persentase dari Rumah Tangga tanpa akses ke air bersih dan sanitasi menurut propinsi, 1999 dan 2002
Propinsi Air bersih
Sanitasi 1999
2002 1999
2002 Nangroe Aceh Darussalam
Sumut Sumba
Riau Jambi
Sumsel Bengkulu
Lampung Bangka Belitung
DKI Jakarta Jabar
Jateng D.I. Yogyakarta
Jatim 38,5
24
52,1 53,6
28,2 42,7
40,3 40,8
45,6
... 59,8
37,9 52,2
51,1 57,0
51,5 58,2
57,6 41,1
52,6 47,3
55,0 54,1
51,1 69,7
47,0 60,2
61,1 63,3
30,4 33,8
16,8 16,8
32,7 11,4
32,5 12,5
20,3 21,3
22,3 25,1
31,1 31,8
12,0 12,7
... 38,5
0,8 1,1
20,8 17,3
30,9 31,1
16,1 9,9
31,9 31,5
Banten Bali
NTB NTT
Kalbar Kalteng
Sul Kalsel
Kaltim ut
Sulteng Sulsel
Sultengg Gorontalo
Maluku Maluku Utara
Papua Indonesia
... 65,8
37,5 58,1
21,6 31,8
53,3 64,2
55,5 48,3
50,9 56,4
... 47,9
... 45,5
.... 44,2
72,2 47,7
53,2 21,5
33,3 58,5
62,7 64,3
46,2 54,9
58,7 37,6
56,1 56,8
38,4
55,2 ...
24 29,2
,9 21,9
56,9 56,3
28,2 27,1
36,9 34,5
19,0 31,1,
18,1 22,8
11,4 25,0
47,4 36,4
35,0
... 43,7
... 38,9
11,9 18,7
45,6 36,4
35,4 50,2
45,6 31,6
51,4
... 25,0
Sumber: BPS dkk. 2004.
Table 16. Persentase dari Rumah TanggaPopulasi yang menggunakan air pipaPAM menurut propinsi, 1992 dan 2002
Propinsi 1992
2002 Nangroe Aceh Darussalam
Sumut Sumba
Riau Jambi
Sumsel Bengkulu
Lampung Bangka Belitung
DKI Jakarta Jabar
Jateng 8,3
21,8 21,5
7,9 12,8
17,2 12,5
4,4 ...
43,9 7,6
... 24,1
21,0 11,0
... 15,8
11,3 5,3
8,4 49,8
13,6 11,2
15,0
D.I. Yogyakarta Jatim
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
25
NTB NTT
Kalb Kalteng
Kals Kalt
Sulu Sult
Suls Sult
Goront Mal
Maluku Ut Papu
Banten Bali
ar el
im t
eng el
engg alo
uku ara
a Indonesia
8,3 9,4
14,9 19,1
... 30,9
13,7 19,7
9,5 13,2
25,2 35,6
21,6 20,6
14,7 24,8
... 16,4
9,9 42,2
12,5 14,9
10,6 13,5
33,5 46,1
32,4 15,4
20,8 22,5
11,2
... ...
... 9,6
... 14,7
18,3 Sumber: RI 2004
II.5 Kesenjangan Aksesibilitas Infrastuktur
Selain kesenjangan penyebaran pembangunan infrastruktur antar wilayah, masalah lain yang krusial adalah akses
tur sangat ibilitas masyarakat yang tidak merata. Akses masyarakat miskin terhadap infrastruk
rendah dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan tinggi. Kondisi ini lebih buruk terjadi di daerah pedesaan, di mana persentase dari jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan jauh lebih
besar daripada di perkotaan. Gambaran tidak meratanya akses penduduk terhadap infrastruktur diantaranya akses terhadap air bersih dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini [World Bank, 2004].
Gambar 13. Akses ke Infastruktur Air Bersih Berdasarkan Pendapatan
Sumber: World Bank, 2004.
II. 6 Inefisiensi Penyediaan Infrastruktur
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Selama ini, penyediaan infrastruktur lebih banyak dilakukan oleh BUMNBUMD disamping pemerintah. Hal ini menyebabkan rendahnya kompetisi diantara para operator, sehingga berakibat pada
inefisiensi. Menyatunya peran regulator dan operator juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kompetisi diantara para operator. Misalnya jaringan listrik hanya dapat dibeli oleh PLN dan
pendistribusiannya juga dilakukan oleh PLN. Tingginya kompetisi akan tercapai jika diterapkan sistem multi seller
- multi buyer, sehingga muncul kreativitas dan inovasi.
III. MASALAH PENDANAAN