Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Selama ini, penyediaan infrastruktur lebih banyak dilakukan oleh BUMNBUMD disamping pemerintah. Hal ini menyebabkan rendahnya kompetisi diantara para operator, sehingga berakibat pada
inefisiensi. Menyatunya peran regulator dan operator juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kompetisi diantara para operator. Misalnya jaringan listrik hanya dapat dibeli oleh PLN dan
pendistribusiannya juga dilakukan oleh PLN. Tingginya kompetisi akan tercapai jika diterapkan sistem multi seller
- multi buyer, sehingga muncul kreativitas dan inovasi.
III. MASALAH PENDANAAN
Tingginya kebutuhan infrastruktur tidak diikuti oleh kemampuan untuk menyediakan sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur. Menurut informasi dari Kantor Menko Perekonomian, selama
periode 2005 hingga 2009, diperkirakan kebutuhan infrastruktur di Indonesia mencapai US 145 milyar atau setara Rp. 1.303 triliun. Namun dan kebutuhan sebesar Rp. 1.303 triliun tersebut, APBN diperkirakan
hanya mampu mendanai Rp. 225 triliun, atau sekitar 17 dan total kebutuhan pendanaan infrastruktur. Sumber pembiayaan domestik lainnya antara lain berasat dari lembaga keuangan bank dan non-bank
diperkirakan hanya marnpu menutup 21 dari total pembiayaan, sehingga diperkirakan terdapat gap dalam pem
biayaan. biayaan infrastruktur sebesar Rp. 810 triliun atau 62 dari total pem
Banyak faktor yang membuat adanya masalah dalam pendanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Secara rinci, permasalahan dalam pendanaan infrastruktur di Indonesia dapat diuraikan sebagai
berikut ISEI, 2005: 1
mbiayaan infrastruktur. Dari gap pendanaan infrastruktur Rendahnya partisipasi pihak swasta dalam pe
sebesar Rp. 810 triliun, diharapkan pihak swasta dapat menutup Rp. 720 triliun. Harapan ini tampaknya tidak terlalu berlebihan jika melihat pada sejarah keberhasilan Indonesia tahun 1990an
dalam menarik dana investasi swasta dari Asia Timur hingga mencapai US 24 milyar dalam m ndanai 62 proyek dan menjadikan Indonesia sebagai negara deng
e an pangsa investasi infrastruktur
terbesar kedua 27 setelah Filipina 28. Namun melihat pada rendahnya partisipasi sektor swasta d
r alam beberapa tahun terakhir ini Gambar 14, untuk menumpukan harapan pembiayaan pada sekto
swasta tampaknya memerlukan beberapa kendapa yang harus diatasi terlebih dahulu [World Bank, 2004].
Gam Menurut Swasta dan Publik di Beberapa Negara dari PDB
bar 14: Investasi Infrastruktur
26
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
3 4
5 6
7
Publik Swasta
1 2
Indonesia Albania
Rusia Kambodia
Kazakhstan
Sumber: World Bank 2004
2 Rendahnya kemampuan perbankan dan pasar modal dalam negeri dalam pendanaan infrastruktur. Hal ini antara lain disebabkan karena ketidakmampuan institusi tersebut dalam memobilisasi pembiayaan
rupiah jangka panjang untuk proyek-proyek infrastruktur, dan kemungkinan timbulnya resiko nilai tukar jika pembiayaan dilakukan dalam mata uang asing. Dalam hal ini, karena pembiayaan
infrastruktur pada umumnya bersifat jangka panjang sementara itu sumber pendanaan bersifat jangka pendek, dikhawatirkan terjadi mismatch. Faktor ini juga ditunjang oleh minimnya pengalaman
perbankan dalam pembiayaan proyek. 3 Mengingat keterbatasan APBN dan sulitnya pembiayaan yang berasal dari swasta, pembangunan
infrastruktur memerlukan dana yang berasal dari luar negeri. Dana tersebut diharapkan diperoleh melalui kerjasama bilateral dalam bentuk pinjaman lunak. Dalam melakukan pinjaman ini, diperlukan
kesiapan menyangkut regulasi dan teknis infrastruktur daerah. Di Indonesia, skema infrastruktur pusat dan daerah belum jelas. Disamping itu masih terdapat tumpang tindih kewenangan, misalnya
kewenangan pusat menurut PP No. 25 Tahun 2000 sangat terbatas, namun kenyataannya pusat masih menangani kewenangan daerah melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Kementrian DIPA KL.
Selain masalah kewenangan, masalah pendaanaan antara pusat dan daerah juga belum jelas sehingga perlu ditindaklanjuti.
4 Terbatasnya alternatif sumber pembiayaan infrastruktur dasar di luar anggaran pemerintah. Selama ini tidak ada alternatif lain bagi pendanaan infrastruktur dasar selain berasal dari anggaran pemerintah,
sementara kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur sangat tinggi. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman daerah tidak dimungkinkan karena jenis infrastruktur yang dapat didanai oleh
pinjaman daerah adalah infrastruktur yang bersifat revenue generating. Disamping itu, penggunaan DAK dalam mendanai pembangunan infrastruktur juga terbatas.
5 Hambatan bagi alternatif pembiayaan infrastruktur daerah melalui penerbitan obligasi daerah dan obligasi perusahaan. Penerbitan obligasi daerah dalam rangka pembiayaan infrastruktur sebenarnya
bisa menjadi alternatif pembiayaan, namun masih menghadapi beberapa kendala, antara lain: 1 27
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id
Daerah-daerah belum sepenuhnya menerapkan sistem akuntansi pemerintah daerah secara benar; 2 Infrastruktur untuk obligasi daerah belum siap, yang lebih siap adalah corporate bond BUMD; 3
Keberlanjutan dan penerbitan obligasi daerah tersebut, misalnya apakah setelah diterbitkan akan diakui oleh pemerintahan selanjutnya. Sedangkan penerbitan obligasi oleh perusahaan PT Infrastruktur juga
menghadapi kendala, antara lain: 1 PT Infrastruktur relatif baru didirikan dan belum ada keuntungan; 2 Banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerbitkan obligasi; 3 Infrastruktur biasanya
membutuhkan pendanaan jangka panjang. 6 Tidak tersedianya indikasi kebutuhan pendanaan infrastruktur daerah. Model yang digunakan untuk
pembangunan infrastuktur di Indonesia didasarkan pada kebutuhan model makro dari pusat, yaitu menggunakan model yang digagas oleh pemerintah pusat tanpa dilengkapi dengan indikasi kebutuhan
pendanaan infrastruktur di tingkat daerah.
IV. PRINSIP DASAR PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR